Bab 6. Adam

1292 Kata
Bel sudah beberapa kali aku pencet, tetapi penghuninya masih belum membukakan pintu. Hal itu membuat aku sedikit khawatir. Apakah Naira masih belum bangun atau justru terjadi sesuatu pada gadis cantik itu? Aku tidak bisa menghilangkan kekhawatiran ini karena Naira tidak kunjung membuka pintunya. Sementara itu, ponsel yang berada di dalam saku celana bahanku bergetar, menandakan adanya panggilan masuk. Tanpa membuang waktu, aku membalik badan dan kembali ke dalam hunian. Sebelum itu, aku menyangkutkan tas kertas yang berisi sarapan pagi pada tuas pintu yang menjadi hunian Naira. Lantas aku merogoh saku celana dan mengeluarkan benda pipih itu dari sana, lalu menggeser tombol hijau yang tertera pada layar. “Selamat pagi, Tuan Wijaya,” salamku pada pria yang ada di ujung sana. “Dokter Adam! Temui saya di kantor!” Tuut! Panggilan itu dengan cepat dimatikan begitu saja dan aku mengantongi kembali ponselku setelah menghela napas panjang. Setelah menuliskan sesuatu pada catatan kecil buat Naira, aku bergegas keluar dari penthouse-ku dan meletakkan catatan itu ke dalam tas kertas yang tadinya aku sangkutkan pada tuas pintu Naira agar dia tahu kalau sarapan itu dariku dan tidak takut untuk memakannya. Aku yakin sekali jika pemanggilan Dokter Wijaya padaku kali ini pasti ada hubungannya dengan kasus yang menjeratku. Setelah tiba di lantai dasar, aku lantas masuk ke mobil, menghidupkan mesin, dan mulai memecut laju. Mobilku membelah jalanan kota menuju rumah sakit di mana nasibku sedang dipertaruhkan. Aku mengayunkan langkah lebar menuju ruang presiden yang berada di lantai teratas bangunan rumah sakit ini. Setelah tiba di hadapan pintu yang tertulis ‘president director’, aku mengetuk tiga kali sempai pada satu suara yang memerintahkan aku untuk masuk. Pintu kubuka dan seperti yang sudah aku duga, di dalamnya sedang duduk seorang wanita yang sangat ingin aku hindari untuk bertemu dengannya. Aku menjaga ekspresi datarku, berusaha agar mereka tidak membaca emosi yang aku alami. “Selamat pagi, Tuan Zendaya,” ucapku tetap menjaga sopan-santun pada atasan. Iya, benar. Dia adalah Wijaya Zendaya, orang tua dari Miranda Zendaya yang sekarang ini sedang menatapku lekat sekaligus atasanku. Pria paruh baya itu meminta aku untuk duduk di atas sofa yang berhadapan dengannya dan putrinya, Miranda. “Dokter Adam, saya menerima laporan jika tadi malam Anda telah masuk ke kamar operasi dan menangani pasien. Apakah itu benar?” tanya Dokter Wijaya. Aku mengangguk mantap. “Benar,” jawabku sepatah tanpa ragu. “Anda tahu kalau itu adalah sebuah pelanggaran?” Sekali lagi pria paruh baya itu melemparkan pertanyaan. Kali ini dengan menyipitkan matanya saat menatapku. “Saya mengakuinya dan saya tahu konsekuensinya apa," jawaban lugasku berikan dan aku balas menatap pria paruh baya itu tanpa ada secuil pun rasa gentar karena tidak ada yang salah dari menyelamatkan nyawa pasien. Bukankah tugas seorang dokter adalah mengabdikan hidupnya pada pasien? Jadi, aku tentu saja tidak bersalah. Lebih baik dipecat daripada melihat satu pasien meninggal di depan mataku sendiri. Itu hanya akan memberikan beban dalam pikiranku. “Lupakan itu sejenak. Saat ini ada yang lebih penting lagi yang ingin saya bahas dengan Anda,” alih Dokter Wijaya, “Silakan, Tuan. Saya siap mendengarkannya,” ucapku tegas. Sepertinya aku tahu ke mana arah tujuan pembicaraan ini. Inilah yang aku tunggu-tunggu. “Ini terkait kasus pelecehan Anda pada putri saya. Jujur, saya sebagai orang tua merasa sangat marah dan malu. Anda telah mempermalukan diri sendiri dan juga saya! Tindakan Anda benar-benar sudah keterlaluan dan saya meminta pertanggungjawaban Anda terhadap nama baik putri saya, Miranda, dan nama baik keluarga besar Zendaya.” Akhirnya, ini yang aku tunggu, pria paruh baya itu menyatakan ini dan aku melihat seringai kemenangan dari wajah Miranda. Kutarik napas dalam dan mengembusnya pelan. “Lalu apa yang harus saya lakukan untuk mengembalikan nama baik Anda, Tuan Presiden?” “Menikahlah dengan putriku, Miranda, atau Anda pilih saya pecat?” ucapnya tanpa ragu. Uang dan jabatan memang akan selalu bisa menyilaukan mata siapa pun. Itu bisa terjadi pada siapa saja. Namun, bukan padaku, Adam Collin. “Sejujurnya, dua pilihan itu sulit sekali bagi saya, tetapi yang paling tersulit saat ini adalah menikah dengan putri Anda. Jadi, saya lebih memilih untuk dipecat dari pekerjaan ini, Tuan Wijaya Zendaya,” balasku juga tanpa rasa ragu karena aku berada di pihak yang benar. Dua pilihannya sama-sama merugikanku, tetapi aku lebih memilih yang kedua karena lebih menguntungkan. “Adam!” Miranda bangkit dari duduknya dan jari telunjuknya teracung tepat ke wajahku. Bisa aku lihat wajahnya memerah, mungkin efek dari menahan luapan emosi. “Kamu benar-benar keterlaluan! Kamu mau lari dari tanggung jawab? Iya?!” Aku membiarkan Miranda meluapkan emosi sesukanya. “Nona Miranda, saya akui di dalam foto itu adalah saya. Anda juga bilang bahwa Anda memiliki saksi yang bisa membuktikan bahwa itu memang adalah saya,” ucapku dengan tenang. Aku berdeham dan melanjutkan, “Pertanyaannya di sini, saya merasa tidak pernah mengambil dan menyebarkan foto yang memalukan seperti itu. Lalu, siapa yang menyebar foto itu, hm?” Wajah Miranda berubah pucat dan wanita itu juga terlihat sedikit kelabakan dan salah tingkah. Dalam hati, aku menyengir senang. “Satu hal lagi. Pada malam kejadian itu, saya tidak tahu kenapa saya malah mabuk berat sehingga kesadaran saya hilang. Tuan Zendaya sendiri sebagai pria pasti tahu, alkohol memang bisa meningkatkan steroid gonad. Namun, jika berlebihan, justru memberikan efek yang berlawanan. Apakah Tuan Zendaya ingin menyangkal ucapan saya barusan?” Aku tatap wajah pria paruh baya yang saat ini lebih memilih menundukkan wajah dan memandangi ujung kaki. Mereka berpikir diamku selama ini karena aku sudah tidak bisa menemukan jalan keluar dan tersudut. Namun, diamku selama ini karena masih menjaga nama baik rumah sakit dan nama baik Miranda sebagai seorang publik figur. “Jika Anda bersikeras tidak mau menikahi putri saya, maaf! Saya harus memberikan Anda ini.” Tuan Wijaya mengulurkan satu amplop kepadaku. Aku tahu isinya pasti adalah surat PHK dan aku menerimanya walau dengan berat hati. Namun, ini bukanlah akhir dari segalanya. “Terima kasih. Jika demikian, saya permisi,” pamitku pada pasangan ayah dan anak itu. Aku beranjak dari sofa yang kududuki dan melangkah keluar dari ruangan Dokter Wijaya yang merangkap menjadi presiden rumah sakit tempatku bekerja. Aku melangkah cepat menuju kubikel lift yang akan membawaku menuju lantai dua di mana ruangan praktikku berada. Setelah keluar dari pintu lift, aku kaget karena sebuah tangan halus yang memiliki jemari lentik menarik pergelangan tanganku ke arah samping. “Naira?!” seruku. “Adam, Pak Rustam bilang kamu dipecat dari rumah sakit. Apakah itu benar?” Aku mengacuhkan pertanyaan Naira. “Apa sarapannya enak?” Aku menoel hidung lancipnya. Jujur, gadis cantik itu membuat aku gemas setiap kali menatap wajahnya yang sedikit imut. “Kok, gak nyambung? Apakah benar kamu dipecat?” sewot Naira mengulang kembali pertanyaannya. “Iya, benar. Aku harus keruanganku untuk mengemasi semua barang-barangku. Setelah itu, aku kembali lagi ke penthouse dan masak makan siang buat kamu,” jawabku. Kulihat wajah cantik itu seketika sendu dan netranya berkaca-kaca. “Maafkan aku karena tidak bisa membuktikan kalau kamu tidak bersalah,” lirih Naira. ‘Kamu tidak bersalah, Naira, karena lawanmu adalah Tuan Zendaya, dan pria tua itu tidak akan membiarkan dirimu menang melawannya,’ batinku dalam diam dan menatap Naira dengan sendu. “Kamu tidak usah bersedih, kalau kamu kangen mau ketemu sama aku, kan, tinggal nyebrang ke penthouse.” Aku menggoda Naira sehingga gadis itu menyemburkan tawa dan mencubit lenganku. “Apaan, sih! Siapa juga yang kangen sama kamu! Kegeeran kamu, tuh, ya!” ketus Naira, tetapi aku bisa melihat wajahnya bersemu merah. Itu cantik sekali, menurutku. “Ya sudah, kamu lanjut saja pekerjaan kamu, entar dimarahi sama Pak Rustam gimana? Aku mau beresin dulu barang-barangku,” ucapku dan Naira mengangguk kecil. “Sampai ketemu nanti sore karena aku akan menjemputmu. Jadi, nanti tunggu aku dulu, ya!” sambungku dan mengakhiri pertemuan kami karena Naira segera bergegas ke ruangannya karena dipanggil rekan sekantornya, Belly.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN