Papa dan maminya terus menatap dengan penuh penasaran. Namun, rasanya ia masih tak sanggup menceritakan semua hal yang sempat ia lihat dengan kedua matanya sendiri. Kejadian mengerikan yang lagi-lagi ia lihat dengan nyata. Hal itu membuat psikisnya goyah dan semua badannya gemetar tak karuan. Semua ikan yang telah mati tertembak pun juga menjadi saksi. Ikan-ikan itu, mati sambil mengutuk sosok yang telah membunuh mereka.
Mengenaskan.
Seolah dunia sedang dirundung pilu dengan ribuan kematian. Mereka menyeleksi siapapun manusia yang layak hidup atau layak untuk mati. Dengan cara apa? Dengan cara mengirim para monster yang berwujud hewan aneh maupun manusia.
Tiba-tiba Steven menangis. Ia mengingat semua kematian yang tertangkap dan tersimpan di memorinya tanpa ia inginkan. Rasanya ia pun ingin melupakan semua itu. Hatinya terasa sesak, lebih sesak dari menahan napas untuk menyelamatkan diri.
Hal itu membuat Harry dan Angelina bingung harus berbuat apalagi. Hingga mereka pun membiarkan Steven menangis dengan kencang. Amannya, mereka berada di ruang bawah tanah. Sehingga tak ada suara berisik yang akan membuat mereka dalam bahaya.
"Baiklah, kau menangislah. Mami tidak akan memintamu berhenti. Mami tau apa yang kau rasakan, pasti sangat berat. Sekarang, mami aku buatkan makan malam untuk kita. Boleh mami ambil ikannya dan memasaknya?" Angelina menatap Steven yang mengangguk sembari menangis sesenggukan. Harry hanya mampu memeluk pundak anaknya dan memberikan ketenangan.
"Lebih baik sekarang kau mengganti bajumu. Papa akan mengubur baju yang sudah penuh darah ini. Agar tidak mengundang monster untuk datang."
Steven menurut. Ia pun melepas semua pakaiannya dan Harry memberinya baju ganti. Steven benar-benar tampak terpukul. Harry yakin, pasti anaknya itu telah melihat sesuatu yang mengerikan. Sama seperti hari-hari yang lalu.
Dalam beberapa saat, Angelina memasak ikan-ikan itu dengan membuat bumbu bakar. Meski dalam ruang bawah tanah, mereka juga memiliki cerobong asap agar bisa mendapatkan sirkulasi yg baik saat memasak.
Sembari menunggu Angelina memasak, Steven pun mencoba untuk berbagi keluh kesahnya. Apalagi hal yang ia rasakan juga sangat berdampak bagi keselamatan bersama. Ia tak ingin ada yang terluka lagi.
"Papa, Mami."
Angelina dan Harry menoleh menatap Steven intens. "Ada apa, Stev?"
"Steven ingin menceritakan apa yang sudah Steven lihat sore tadi."
▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️
Flashback on. . .
"Sst, jangan bergerak sedikitpun." Werd membisikkan sebuah kalimat yang membuat Steven menegang seketika.
Sekelompok orang yang berjalan berbondong mendekati mereka mulai menyadari adanya pergerakan dari keduanya. Hal itu membuat Werd menggersah pelan. "Astaga, kenapa mereka harus melihat kita."
"Paman, siapa mereka?" Steven sangat penasaran akan identitas sekelompok orang yang berpakaian aneh. Hanya dengan menggunakan serabut kelapa untuk menutupi bagian kemaluan dan bertelanjang d**a. Bahkan wajahnya sangat kusam seperti tak pernah mandi satu abad yang telah berlalu.
"Sial. Kita harus berlari sebelum mereka menangkap kita. Kau siap?" Bukannya menjawab pertanyaan Steven, Werd langsung memberi penawaran pada anak itu.
Steven mengangguk ragu. Meski ia tak yakin bisa berbuat gaduh di tempat yang seharusnya sunyi sepi.
"Saat aku menghitung sampai tiga, kau berlarilah terlebih dulu."
"Kau?"
"Aku akan menyusul di hitungan keempat."
Tanpa ragu, Steven langsung menganggukinya.
"Bawalah tombak dan ikan ini. Ini adalah sumber energi untukmu. Berjanjilah padaku, kau harus berlari sekuat tenaga. Jangan merepotkan ku. Paham?"
Steven mengangguk untuk ke sekian kalinya. Hingga akhirnya, Werd mulai menghitung.
"Satu ... dua ... tiga! Lari!"
Saat Steven berlari, Werd masih ada di balik semak-semak dan para sekelompok orang itu ikut berlari menghampiri Werd.
Steven yang merasa ada yang aneh pun langsung berbalik melihat Werd yang masih berdiri di tempat. Seolah menantang para sekelompok orang aneh dengan senjata tombak yang mengerikan. Sama persis dengan jaman manusia purba dengan senjata bebatuan dan kayu yang lebih mengerikan.
"Paman!" Steven berteriak memanggil Werd yang tersenyum sendu ke arahnya. Tanpa Steven sangka, Werd langsung di sekap oleh para manusia aneh itu dan langsung memukuli Werd dengan batu besar. Steven berlari kembali ke arah Werd yang sudah terkulai lemas. Werd yang masih sadar pun langsung menyuruhnya untuk pergi. Darah yang mengucur deras dari kepala Werd bersimpah ke baju Steven tanpa henti.
"Pergilah! Mereka kanibal! Biar aku saja yang menjadi santapan mereka!"
"Kau bodoh! Kau sudah berjanji pada istrimu untuk bertahan hidup, Paman!" teriak Steven.
Para sekelompok manusia aneh itu berjalan mendekati Werd dan Steven. Akan tetapi, Werd langsung mendorong Steven dan masuk ke semak-semak.
"Larilah! Lari!"
Prak!
Suara tengkorak Werd yang remuk tak berbentuk setelah salah satu manusia aneh itu menghantam kepala Werd dengan batu besar.
Hal itu membuat Steven gemetar. Ia langsung berlari dengan terburu menghindar dari kerumunan manusia aneh yang sibuk menggotong jasad Werd.
Mereka kanibal. Memakan daging manusia selayaknya manusia normal memakan daging sapi. Mereka mengerikan. Tak memiliki hati nurani meski mereka memiliki hati selayaknya manusia biasa.
Steven menangis sepanjang jalan. Dengan tombak berisi ikan yang sudah diburu oleh Werd, Steven terpingkal-pingkal hingga beberapa kali jatuh dan melukai lututnya sendiri.
Sialnya, Steven sempat bertemu dengan monster mengerikan itu lagi. Dengan napas terburu, ia hampir diterkam oleh binatang buas seukuran t-rex itu.
Tapi, sepertinya Tuhan masih menyayanginya. Memberinya kesempatan untuk kembali hidup. Ia berhasil lolos dari terkaman maut. Hingga saat mentari mulai menghilang di ufuk barat, Steven kembali sampai di kediamannya dengan lusuh darah menghujani baju.
Untuk pertama kali, Steven menangis meronta karena membiarkan seseorang mati karena menyelamatkannya dari maut.
Flashback off. . .
▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️