"Keberanian adalah hal utama saat ini di tengah keadaan yang semakin terasa menyeramkan."
****
Steven melihat adiknya yang sepertinya sudah semakin pulas. Dia pun menaruh adiknya perlahan-lahan.
"Shut...." Steven menepuk punggung adiknya agar tetap terlelap. Steven sebenarnya mengantuk tapi takutnya nanti Maminya yang mencari makan lebih baik dia yang mencari. Walaupun keadaan malam sangat sunyi tapi Dan dia sangat was-was kalau berangkat. Takut, terjadi sesuatu tapi apa daya dia harus berani.
Setelah adiknya nyaman tertidur dia pun menuju ke tempat Maminya memasangkan selimut dengan benar agar Maminya nyenyak dalam tidur.
"Maafin, Steven ya, Mi. Steven lebih baik mengalah dan Steven saja yang mencari makan untuk kita. Mami, istirahat saja yang tenang." Setelah mengucapkan Hal itu dengan sangat lirih Dan orang tuanya tidak mendengar Steven mengecup singkat kening Maminya.
Setelah itu dia bangkit dan segera untuk ke luar. Mengambil perlengkapan yang biasanya dibawa, Papinya. Untung semuanya dilettakkan ditempat yang mudah terlihat tanpa harus mencari ke mana.
"Dah siap. Semoga aja dapet ikan atau ayam yang berkeliaran supaya besok kita semua bisa makan," ucapnya setelah itu. Dia berangkat. Menanjak lewat tangga karena memang posisi mereka dibawah tanah yang sudah dirancang Papinya.
Sampai di luar keadaan sangat gelap. Tidak ada bunyi-bunyi yang terdengar selain gemerusuk tanaman yang tertiup angin. Steven merasakan bulu kuduknya merinding. Bukan, dia bukan takut oleh makhluk halus atau apapun dia hanya takut sewaktu-waktu monster itu datang dan menerkamnya. Steven tidak tahu apakah makhluk itu akan datang di malam hari atau tidak. Dia hanya tahu kalau ada kebisingan pasti makhluk itu akan datang. Dan rasanya dia harus tetap berhati-hati sekarang.
"Semoga bisa kembali dengan selamat Dan membawa banyak sumber Makanan untuk mereka makan," ucap Steven lagi. Dia lalu berjalan memberanikan diri. Kakinya tanpa alas apapun yang melindungi karena tidak mau mengambil resiko yang lebih besar lagi. Jadi, dia harus susah payah hati-hati.
"Dingin sekali ternyata," ucap Steven lagi. Memang benar angin terasa menusuk kulitnya walaupun pakaian yang sudah dia gunakan ini panjang.
......
Di sisi lain Estel berhasil naik ke lantai atas. Dengan banyaknya tangga yang kopong. Dia masuk ke kamar lamanya. Sudah berserakan sampah Dan kasur yang sudah pada bolong. Ada beberapa tengkorang juga di sana. Sepertinya memang sewaktu mereka pergi rumah ini sempat untuk berlindung entah siapa.
"Mengerikan sekali. Sebenarnya dari mana asalnya ini semua? Kenapa sampai ada monster. Dunia ini seakan hanya fiksi yang sedang aku selami Dan tinggali. Walaupun, nyatanya kita hidup di dunia nyata," ucap Estel lagi. Dia duduk di kasurnya. Melihat ada foto yang terkoyak. Foto itu adalah foto keluarganya. Sudah sangat lama tapi masih saja ada yang tertinggal.
"Kakak aku kangen sama Kakak, maaf ya udah bikin Kakak jadi celaka karena aku," ucap Estel melihat foto Violine yang tersenyum merekah.
Krekk.... Saat Estel duduk di kasurnya agak lama. Kasurnya itu mengeluarkan suaranya. Dia langsung berdiri dan merasakan panik. Dia menggenggam foto itu dengan erat.
Kasur itu seketika runtuh Dan mengeluarkan suara yang cukup keras. Estel menengok ke arah kaca. Terdengar sangat jelas suara monster itu akan datang. Dia mundur perlahan-lahan. Hatinya terasa panik. Dia ingin segera berlari tapi kakinya terasa sangat kaki sekarang. Tidak, Estel tidak mau mati. Dia menyesal tidak menuruti Papinya untuk diam tadi. Estel melihat ke sana dia terus berjalan mundur tapi dia yang panik malah menyenggol beberapa barang hingga menimbulkan suara lagi Dan lagi. Monster itu kian mendekat, Estel hanya bisa menangis tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Hingga Akhirnya dia pasrah saat monster itu masuk melewati kaca pecah tersebut. Dia memejamkan Matanya dan....
.......
Mendengar suara bising yang keras membuat Harry langsung membuka matanya. Dia langsung duduk.
"Estel kamu di mana?" panggil Harry yang sangat terkejut kala melihat anaknya benar-benar sudah tidak ada padahal baru tadi dia meninggalkan anaknya sekejab untuk tidur tapi lagi-lagi anaknya itu hilang dari jangkauannya.
Hingga Harry melihat ke arah ruangan atas. Dia segera untuk menuju ke sana. Sudah pasti anaknya ada di sana. Anaknya hanya diam saja padahal monster itu kian deket di sana. Dia langsung saja menarik tangan anaknya dan menjatuhkan diri dari atas untuk saja di bawah tadi ada tasnya. Entahlah tasnya ada barang-barang rusak atau tidak.
Dia bersembunyi Dan menutup mulut anaknya. Jantungnya sangat berdegup kencang lagi. Monster besar itu lagi-lagi berada di depan matanya. Tidak bisa dia pugkiri kalau tadi Harry telat sedikit pasti nyawa anaknya lagi-lagi akan terengut. Ingin rasanya dia marah tapi kondisi sedang kacau. Monster itu ada di atasnya. Dia takut kalau monster itu datang.
"Estel kamu tahan napas." Estel mengangguk dia pun menahan napasnya. Saat monster itu benar-benar di atasnya Dan dia sedang berada di bawah monster itu. Rasa takut, gemetar Dan menahan bau yang sangat busuk sekuat tenaga mereka tahan. Mereka benar-benar diam layaknya patung. Gerak sedikit sudah pasti kuku-kuku monster itu langsung menancap entah di bagian tubuh mereka yang mana namun tetap akan membuat dia jadi sangat terancam. Harry ingin mundur tapi tetap saja dia takut kalau malah pergerakannya membuat sadar Monster itu. Wajah monster itu kian dekat dengan mereka. Harry menutup matanya. Pegangan di Estel semakin kuat memeluk anaknya. Estel sudah hampir kehabisa napas. Tapi, dia juga takut kalau sampai dia bernapas membahayakan Papinya juga.
Beberapa saat Kemudian akhirnya monster itu pun melewati Harry dan juga Estel. Berjalan menjauh membuat mereka langsung menghembuskan napasnya. Monster itu berjalan Dan keluar menghancurkan seisi rumah mereka yang tadinya layak jadi super kacau. Harry melepaskan pelukannya yang erat kepada Estel.
"Bernapas, Estel," ucap Harry kepada anaknya. Wajah anaknya pucat namun masih bisa terbuka matanya. Bibirnya yang pucat membuat Harry semakin khawatir dengan anaknya.
"Estel kamu enggak papa 'kan, nak? Kamu bisa denger, Papi, 'kan?" ucap Harry sambil menepuk tangan dan pundak Estel. Estel hanya bisa mengangguk sambil berusaha untuk bernapas. Dadanya terasa sesak. Tapi, dia sadar sedikit-sedikit kalau monster itu sudah pergi. Tapi, beberapa sat kemudian pandangannya mengabur Dan tidak mendengar suara apapun lagi selain suara Papinya yang memanggilnya.
"Estel bangun, Estel ini, Papi nak. Kamu denger suara, Papi 'kan?" panggil Harry lagi. Mata anaknya malah semakin tertutup. Tapi, nafas anaknya makin lama makin tidak teratur. Harry yang tadinya ingin marah karena anaknya yang melakukan kesalahan lagi pun akhirnya pupus. Dia lebih panik sekarang.
"Estel kamu sadar mata kamu buka jadi dimeremin gitu," ucap Harry lagi sambil menepuk pipi anaknya. Anaknya benar-benar pingsan sekarang. Dia membawa anaknya mengambil tasnya. Ada minyak angin yang sempat dia bawa.
"Estel bangun," ucap Papinya lagi. Harry meletakkan Estel di lantai dia mencari minyak angin yang dibawanya. Dia sudah antisipasi kalau ada sesuatu seperti ini tapi tidak tahu kalau anaknya sampai pingsan. Memang harus benar-benar sangat sabar kalau membawa Estel.
"Estel bangun," ucap Papinya menempelkan minyak kayu putih itu dihidung anaknya. Lalu, mengoles ke perut anaknya berharap anaknya segera sadar. Rasa kantuk yang tadi sangat mengangguk, rasa kesal juga tergantikan dengan khawatir.
"Stel ini, Papi kamu baik-baik aja, 'kan sayang. Jangan tinggalin, Papi. Setelah ini kita pulang, nak ketemu sama Mami dan Kakak sama adek kamu emang kamu enggak kangen," ucap Harry mencoba berbicara dengan anaknya agar anaknya segera sadar. Dia tidak mau kehilangan lagi anaknya.
......
Di samping itu Steven akhirnya sampai di kali yang jaraknya lumayan jauh. Suara air yang deras tidak mungkin terdengar di telinga Monster itu kata Papinya dulu. Semoga saja benar, dia ingin segera mengambil ikan Dan masuk ke sungai itu.
Udara yang Dingin seakan terbawa dengan air yang dingin pulan. Tapi, Steven tidak boleh banyak mengeluh dia harus mencari ikan untuk Maminya.
"Dingin banget airnya. Susah juga gelap-gelap gini cari ikan," ucap Steven sambil mencari lagi ikan-ikannya dengan jaring yang dia bawa. Berbekal dengan obor yang dia bawa Dan juga korek sebagia petunjuk mencari ikannya.
Satupun belum bisa Steven dapatkan, bajunya sudah semakin basah. "Duh ikannya masih pada tidur kali ya. Ikan muncul dong aku udah Dingin banget nih," ucap Steven berharap ikan-ikan itu bermunculan. Jika ada teman sekolahnya dulu pasti dia akan dikatakan gila oleh mereka. Untung saja mereka tidak ada.
Steven terus mencari sambil pikirannya membayangkan apakah kehidupannya akan terus begini ke depannya. Pemerintahan pun tidak tahu bagaimana kabarnya. Apakah masih hidup atau tidak. Semua kini hanya mementingkan diri masing-masing atau keluarganya. Untuk siapa saja yang masih hidup entahlah bagaimana kabarnya pun tidak tahu.
"Hey kamu siapa?!" panggil seseorang teriak Dari atas. Sedangkan Steven sedang berada di bawah.
"Kamu yang siapa," ucap Steven menimpali. Dia fikir sudah tidak ada orang lagi selain dirinya ternyata dia melihat ada anak yang tidak terlalu jelas wajahnya. Anak itu berjalan turun perlahan-lahan dari atas Dan menyusul Steven. Steven tidak peduli apa yang mau dilakukan dia toh wajahnya juga tidak terlalu terlihat oleh Steven karena gelapnya malam.
Steven akhirnya melihat ikan Dan langsung saja menjaringnya. Tapi, suara orang yang tidak tahu siapa tadi langsung membuat ikan itu kabur.
"Hey kamu siapa aku tanya tadi," panggil orang itu dibelakangnya. Steven sebenarnya kesal. Dia nyaris mendapatkan ikan tapi suara orang itu malah membuat tangkapannya langsung pergi tadi.
"Kamu ngapain sih berisik ikan aku jadi kabur 'kan," ucap Steven kesal. Mereka tidak takut Berbicara pelan. Karena suara arus yang besar mungkin tidak membuat makhluk itu datang.
"Tunggu. Jangan berisik." Steven menyuruh sosok itu untuk terdiam. Hingga ia melayangkan tombak dan hap! Satu ikan menancap di mata tombak. Cukup besar. Cukup untuk di makan dua orang. Jadi, setidaknya ia harus mendapatkan empat ekor ikan.
"Ah, skillmu jangan buruk, Kawan. Biar aku yang membantumu." Sosok itu mengambil alih tombak milik Steven. Kemudian ia turun ke sungai dengan aliran air yang cukup deras karena dekat dengan air terjun. Kemudian mengangkat tombaknya.
Hap!
Hap!
Hap!
Tak lama, ia mengangkat tombaknya dan diarahkan ke Steven. Steven menganga melihat tombaknya penuh dengan ikan-ikan segar dan cukup besar. Membuat perutnya semakin terasa lapar.
Pada akhirnya, sosok asing itulah yang membantunya. "Wah! Terima kasih." Steven masih belum menyadari maksud dari sosok yang memegang tombak berisi ikan-ikan tersebut.
"Kau masih tak menyadari apa maksudku?" tanya sosok itu dengan blak-blakan.
"Hm? Apa maksudmu?"
"Ijinkan aku makan ini bersamamu."
Steven ber'oh'ria. "Bukankah seharusnya memang begitu? Kau yang mencarinya. Kau juga harus menikmatinya."
Sosok itu tersenyum. "Aku, Werd. Kau siapa anak kecil?"
"Ayolah, aku bukan anak kecil lagi, Paman Werd. Namaku, Steven."
Werd terkekeh. Ia pun keluar dari sungai dan mendekati Steven. "Kau sendirian?"
Mereka mulai berjalan menyusuri semak belukar hutan yang terbengkalai. Sembari bercakap untuk mengusir rasa sepi. Hanya saja, untuk percakapan ini, mereka menggunakan nada yang terdengar sangat pelan.
"Tidak. Aku bersama keluargaku. Kau?" tanya Steven sambil memangkas semak-semak yang menghalangi jalan. Agar dirinya juga terhindar dari duri-duri beracun. Begitupun dengan Werd yang menggunakan tombak penuh ikannya untuk menyisir jalanan.
"Aku sendirian. Istri dan anakku mati termakan hewan itu."
Steven merasa iba dengan sosok yang sekarang berjalan bersamanya. "Apa kau merindukan mereka?"
"Tentu saja. Tapi aku harus bertahan hidup. Karena itu adalah pesan terakhir dari istriku."
Steven terdiam sejenak. Kemudian, langkahnya terhenti. Steven ikut menghentikan langkahnya dan menatap heran ke arah Steven. Seolah tatapan itu memberi pertanyaan, "Ada apa?"
Steven mengarahkan telunjuknya ke depan bibir. Isyarat agar Werd tetap diam.
Tak lama kemudian, ada suara ranting terinjak dan membuat mereka sontak menutup mulut untuk menahan napas. Panik dan cemas mulai menyerang. Suara deru napas mengerikan itu terdengar di telinga mereka. Alhasil, Steven dan Werd langsung merunduk dan terus berusaha menahan napas. Mereka semakin tidak berani bernapas karena melihat sesosok makhluk mengerikan berjalan melintas di depan mereka. Makhluk yang telah menghabisi semua nyawa yang bernapas.
Makhluk itu semacam hewan buas di masa lampau. Seperti hewan purba yang telah musnah. Mereka kini hanya berbentuk fosil dan menjadi pajangan di museum-museum setempat. Akan tetapi, makhluk kali ini berbeda. Makhluk itu buta atau tak mampu melihat sekitar. Hanya dengan mendengar napas atau suara berisik, mereka bisa bertahan hidup sebagai predator.
Satu menit berlalu. Akhirnya si makhluk buas itu berlalu dan sekiranya tak dapat lagi merasakan deru napas Steven ataupun Werd.
Untuk ke sekian kali, Steven merasakan ribuan syarafnya terputus karena satu menit menahan napas. Meskipun dia takkan mati dimakan oleh hewan buas itu, dia akan mati secara perlahan karena seluruh syarafnya terus terputus.
"Sial. Kepalaku pusing." Steven bergumam sembari memijat keningnya.
"Sepertinya kita memang akan mati meski tak mati di tangan hewan itu."
Steven mengangguki ucapan Werd. "Baiklah, Paman. Mari kita kembali betjalan."
Suara mereka yang terlalu pelan itu takkan mampu mengundang hewan itu kembali. Akan tetapi, mereka kembali merasakan ada sesuatu yang mendekat. Sontak mereka kembali menunduk dan menahan napas. Werd menatap Steven yang sudah pasrah dengan keadaan. Hingga akhirnya, Werd melihat sekelompok orang berpakaian setengah badan. Bukan seperti manusia biasa. Mereka terlihat seperti ... makhluk pribumi di hutan tersebut.
"Stev," ucap Werd melepas tangannya dari mulutnya. Steven menggeleng dan berusaha membuat Werd kembali menahan napas.
Akan tetapi, tatapan Werd tetap tertuju pada sekelompok orang yang semakin mendekat ke arah mereka. Namun, seperti nya sekelompok orang itu belum melihat keberadaan mereka berdua.
"Gawat."
Stev menatap Werd heran dengan terus menahan napasnya.
"Musuh kita bukan hanya hewan buas itu. Tapi juga ... mereka."
▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️
Harry tetap berlari. Meski napasnya terengah, dia harus sampai di pelabuhan untuk kembali ke pulau antah berantah di mana ada istri dan anak-anaknya di sana. Sebelum waktu menjelang malam, ia harus berhasil membawa barang-barang dan Estel kembali ke kediaman baru mereka. Meski kediaman itu juga dihuni oleh para hewan buas yang tak punya hati. Membunuh mangsanya dengan mencabik-cabik mereka layaknya manusia menyobek roti dengan rakus.
Tibalah Harry dan Estel yang sudah terbangun di pelabuhan. Mereka menumpangi speedboat yang sudah disiapkan Harry dengan cekatan. Tanpa basa-basi, mereka langsung berangkat ke pulau yang tak terurus itu dengan cepat.
Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai di pulau. Untung saja ingatan Harry sangat bagus. Itu mengapa Harry dapat menduduki posisi direktur utama di sebuah perusahaan besar. Meski pada akhirnya harus terlepaskan karena tragedi berdarah karena hewan buas tak berhati.
Mereka pun sampai di pulau. Di mana Estel membawa tas kecil di punggungnya dan Harry membawa tas ransel besar berisi beberapa pakaian dan barang-barang yang dibutuhkan selama hidup di pulau tak berpenghuni.
Semak belukar yang menghalangi jalan langsung dibabat habis oleh Harry. Ia berambisi untuk sampai di kediaman baru mereka sebelum mentari pergi. Tanpa kendala, mereka melalui perjalanan dengan tenang meski harus sangat berhati-hati.
Sesampainya di sana, ia melihat sang istri sedang menunggu di luar. Hal itu membuat Harry langsung menyuruhnya untuk masuk ke bawah tanah. Karena sangat berbahaya untuk menunggu di luar.
"Sudah kubilang. Jangan menunggu di luar, Sayang."
"Aku menunggu Steven. Dia bilang ingin mencari makan, namun belum kembali hingga sekarang. Hal itu membuatku cemas."
Sang istri memasang wajah cemas dengan terus menggigit kukunya. Harry dengan sigap memeluk sang istri dan menenangkannya.
"Tak apa. Sebentar lagi Steven pasti akan kembali. Dia anak yang cerdas dan cekatan. Aku yakin dia akan baik-baik saja."
Srak
Sontak Harry dang istrinya langsung menoleh ke asal suara. Berjaga, Harry langsung memeluk Estel dan menyuruhnya untuk menahan napas. Begitupun dengan dirinya dan Sang Istri.
Tak lama kemudian, Harry melihat Steven dengan tombak berisi beberapa ikan besar di sana. Namun, Steven penuh dengan bercak darah dan mata sembab seperti usai menangis.
Sontak hal itu membuat Harry dan Sang istri penasaran sekaligus khawatir. "Steven? Ada apa, Nak?"
"Papa, Mama, Steven membunuh seseorang."
▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️