Steven menatap kedua orang tuanya yang juga sedang menatapnya dengan pandangan penasaran. Wajah Steven tentu saja masih penuh dengan wajah bersalahnya. Mengingat jasa Werd padanya akan ia bawa sampai bila-bila. Werd adalah paman terbaik yang ia miliki saat ini, ia rela dimakan alih-alih melarikan dirinya.
“Paman Werd….” Lirih Steven, Harry mengernyitkan dahinya bingung. Begitu juga Angelina yang sedang membakar ikan untuk santapan mereka malam ini.
“Werd kenapa Steven?” tanya Angelina sambil membulak-balikkan ikan yang sedang ia masak itu.
“Paman Werd, sudah tiada….” Lirih Steven sambil menundukkan kepalanya. Harry dan Angelina tentu saja terkejut mendengar apa yang Steven tuturkan padanya.
“Kamu serius?” tanya Harry yang menggantikan Angelina untuk mengipaskan ikan mereka. Steven pun menangis lagi, ia masih shock berat dengan pemandangan mengerikan tadi.
Steven mengangguk mengiyakan, ia benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi selain menangis dan merasa bersalah. Angelina sebagai ibu tentu saja merasa iba terhadap anak lelaki pertamanya ini. Angelina kemudian mendekati anaknya itu dan mengelus pundaknya.
Steven masih menangis kencang tadi perlahan meredakan tangisnya ia memeluk Angelina setelah mengganti pakaiannya tadi. Angelina tentu saja memeluknya balik dan membisikkan kata-kata bahwa mereka akan baik-baik saja dan Steven tak perlu khawatir. Steven perlahan mendongakkan kepalanya, siap menceritakan apa yang ia lihat tadi di atas.
“Paman Werd, nyelamatin aku dari orang-orang kanibal….” Lirih Steven dan melihat ke arah kedua orang tuanya yang terkejut setengah mati. Ternyata monster tak hanya berbentuk manusia saja di dunia yang hancur ini.
“Orang kanibal?” tanya Harry ulang. Tentu saja Steven menganggukkan kepalanya mengiyakan.
“Awalnya aku tak tahu manusia aneh mana yang memakai kelapa sebagai penutup kelamin mereka, lalu Paman Werd bertingkah gusar dan menyuruhku berlari. Kemudian aku berlari dan Paman Werd lah yang menjadi korban. Aku hendak menghampirinya lagi, namun Paman malah menyuruhku berlari kencang. Kepalanya … kepalanya….” Steven tak sanggup melanjutkan apa yang ingin ia terangkan. Semua begitu suram dan menyakitkan.
Angelina yang merasakan kengerian itu pun tentu saja menghentikan anak laki-lakinya itu. Ia paham bagaimana rasanya menjadi orang yang terselamatkan sementara orang yang kita kenal mengorbankan nyawanya seperti itu. Angelina pun tahu bagaimana rasa hutang budi itu menghantui anaknya pada Werd.
“Mami kalau berada di posisi Werd, mungkin akan melakukan hal yang sama Nak….” Angelina berusaha untuk menghibur anaknya itu. Kemudian tak lama adik-adik Steven datang dan ikut memeluknya.
Steven merasa terhibur tentu saja, apalagi adiknya yang tak mau diatur ini ternyata memiliki sifat yang romantic. Steven tersenyum tipis, andai adik keduanya itu masih ada. Mungkin ia makin bahagia, walaupun dunia ini sedang tidak baik-baik saja, setidaknya keluarga mereka utuh.
Namun apa lagi yang mau di kata, adiknya sudah tenang di sana. Ia sudah menjadi pahlawan bagi adiknya yang lain. Steven yakin bahwa ia sudah bahagia di atas sana bersama orang-orang yang gugur. Steven pun berharap supaya dunia hancur ini secepatnya utuh kembali, entah bagaimana ia hanya berharap saja.
“Makanan sudah siap….” Kata Harry menginterupsi kegiatan peluk-memeluk mereka. Mereka semua pun memakan makanan yang Werd dan Steven cari tadi.
Suasana kembali menghening. Harry dengan cepat membuka sebentar cerobong asap mereka untuk menghilangkan bau asap yang menyengat di ruang bawah tanah ini. Kemudian ia menutupnya dan mengunci cerobong asapnya lagi agar tak ada binatang atau apapun yang masuk.
Anak-anak sudah tidur, begitu juga dengan Steven yang sudah tidur dengan pulas dipelukan adik perempuan ketiganya itu. Angelina sudah selesai menyusui anak bungsunya dan meletakkannya di dekat saudaranya yang lain. Ia menghampiri Harry yang duduk di kursi panjang dengan renungan.
Angeline menyentuh bahu suaminya itu dan menatapnya dengan tatapan penuh sendu. Harry membalasnya dengan menyentuh tangan Angeline. Mereka saling memberikan dukungan dalam hati masing-masing. Terutama Harry yang merupakan kepala keluarga mereka. Harry memegang beban paling berat dalam misi bertahan hidup ini.
“Kau harus kuat sayang, demi anak-anak kita….” Lirih Angeline karena takut anak-anak mereka terbangun ataupun mendengarkan mereka. Harry tentu saja mengangguk dan masih memegangi tangan istrinya itu meminta sedikit saja dukungan yang ia butuhkan.
“Kau juga, keadaan ini benar-benar tidak terduga. Anak kita … melalui semua kengerian di usia mereka yang masih belia,” kata Harry sambil menunduk. Ada rasa bersalah dalam dirinya karena membiarkan anak keduanya mati dan anak pertamanya yang menyaksikan kengerian itu.
“Sudahlah Harry, kita harus bersyukur masih bisa di sini bersama-sama walaupun Viola sudah tak bersama kita lagi,” ucap Angeline sambil terus memberikan semangat kepada suaminya itu.
“Ya, kita berhutang budi sekali kepada keluarga Werd, tanpanya mungkin kita harus kehilangan anak laki-laki kita ini,”
“Benar, saat waktunya berburu bersama yang lain. Carikanlah istri Werd makanan juga,” saran Angeline pada suaminya itu. kemudian Harry mengangguk setuju.
Saluran telpon, televisi, bahkan sirine pun tidak bisa dibunyikan oleh warga kota. Namun untungnya radio di rumah mereka masih bisa digunakan dan mereka masing-masing memegang walkie-talkie di ruang bawah tanah mereka yang menjadi sumber informasi.
Semua warga sudah setuju untuk mencari buruan bersama-sama untuk menghindari mereka dari bahaya monster maupun kanibal. Perburuan yang dilakukan secara beramai-ramai juga lebih efektif untuk mereka bertahan hidup ketimbang mereka melakukan perburuan masing-masing. Jadi setiap hari di pagi hari mereka akan pergi berburu.
Keluarga Werd yang berisikan istri dan anaknya pun hanya dapat berharap ada keluarga lain yang akan mencarikan mereka makanan karena yang ikut berburu hanya kaum laki-laki saja. Tentu saja Harry akan mencarikannya makanan sebisanya, kalau perlu ia akan membawa keluarga Werd bersamanya.
Sayangnya ruang bawah tanah mereka tak sanggup menampung dua orang tambahan. Mengingat pasokan udara mereka hanya berasal dari lubang kecil yang ditutup, menyulitkan mereka untuk berbagi lagi dengan orang lain. Walaupun berhutang budi, mereka juga harus tetap hidup untuk melanjutkan bayaran hutang itu pada keluarga Werd.
“Tentu saja Angeline, aku takkan melupakan keluarga itu. Werd yang menyelamatkan anak kita,” jawab Harry. Ia menatap ke arah Steven dengan tatapan penuh kesedihan dan penyesalan. Kenapa ia memberikan Steven izin untuk mencari ikan, kenapa bukan ia saja.
“Tapi aku masih merasa bersalah, kenapa aku memberikan izin kepada anak kita itu untuk mencari ikan, kenapa bukan aku?”
“Sudahlah Harry, semua itu tak perlu kau sesalkan. Aku yakin putraku adalah lelaki yang kuat sepertimu, ia akan terbiasa,”
“Ya, semoga saja….”
Tidur Steven terlihat tidak nyenyak. Ia pasti menyaksikan kengerian itu sekali lagi di dalam mimpinya, Harry benar-benar tak tega. Angeline paham dengan tatapan Harry pun menyuruh suaminya itu untuk ikut mengistirahatkan dirinya bersama anak-anak.
Malam itu sama dengan malam-malam lainnya, mereka takut dan ngeri akan penyerangan orang-orang kanibal atau monster datang ketika mereka sedang tidur. Harry tidur di sebelah Steven dan Estel. Ia memeluk putranya itu dengan tujuan untuk menenangkan mimpi putranya itu yang mungkin meliar.
Pagi harinya semua anggota keluarga bangun dan bersiap-siap kecuali Steven yang demam. Kejadian kemarin tidak bisa cepat ia lupakan. Sialnya pasokan obat mereka sudah tidak ada, terpaksa Harry juga harus mencari obat untuk anaknya itu.
Harry pun menghubungi warga di kota dan bertanya apakah orang-orang ini masih memiliki stok obat atau tidak. Ternyata semua dari mereka sudah tak lagi memiliki pasokan obat. Harry mengeluskan mukanya frustasi.
“Harry, apakah mobilmu masih berfungsi?” tanya salah satu warga kota yang merupakan tetangga mereka. Tentu saja Harry menjawab jujur.
“Bagaimana kau dan Eliot pergi ke kota lain mencari pasokan obat untuk warga di sini, kemudian kita semua berburu untukmu dan istrinya Werd?” saran kepala daerah mereka. Harry menatap istrinya itu.
Mereka tak bisa memilih yang lain, tidak ada pilihan lain juga yang menghampiri mereka. Mau tak mau Harry mengiyakan saran dari warga kota. Estel yang mendengar penuturan itu pun tertarik untuk ikut. Bukan Estel namanya jika ia menuruti perintah orang tuanya dengan lancar.
“Papi, aku mau ikut!” kata Estel tidak bisa diganggu gugat dan sudah final. Harry dan Angeline tentu saja tidak mengizinkannya.
“Tidak Estel, ini bukan perjalanan hiburan. Ada monster diluar sana, kau tinggal bersama ibu….” Ucap Harry final. Estel menggeleng tidak terima. Ia mau membantu kakaknya yang sedang terbaring lemah itu.
“Papi akan membutuhkanku! Tubuhku mungil, jadi aku bisa menyelinap di mana saja, tidak seperti Papi!” kata Estel membanggakan tubuhnya yang mungil itu.
Angeline tetap menggeleng melarang anak perempuannya itu untuk ikut ayahnya pergi. Namun Harry tiba-tiba berpikir kemungkinan mereka akan membobol swalayan yang ada di kota seberang dengan bantuan putri kecilnya ini.
“Apa yang kau pikirkan?!” tanya Angeline yang sudah bisa menebak bahwa suaminya itu berubah pikiran.
“Dia bisa meringankan bebanku dan Eliot,”
“Kau sudah gila? Dia masih kecil sekali Harry!” pekik Angeline histeris. Ibu mana yang sudi melihat putrinya dibawa pergi menantang bahaya? Jika bisa ia juga akan melarang suaminya untuk pergi.
“Ayolah Angeline, jangan mempersulit aku maupun anakmu. Steven butuh obat secepat mungkin!”
Angeline dan Harry bersitatap sebentar, mereka menyalurkan emosi masing-masing dalam diam. Ada perasaan takut juga dalam hati Harry, namun kelincahan putrinya itu juga ikut ia pertimbangkan.
Estel mempunyai tubuh yang mungil, berkat kemungilannya itu ia mempunyai kelincahan di atas rata-rata. Kelincahan ini lah yang menjadi pertimbangan Harry, selain itu keunggulan putrinya juga di kelenturan tubuhnya dan tidak meinggalkan suara berisik saat menapakkan kakinya.
Hasil perdebatan diam mereka pun berbuah pada Estel yang ikut Harry serta Eliot pergi untuk mencari obat di kota sebrang. Kemudian Harry dan Estel pun keluar dari ruang bawah tanah mereka menghampiri warga yang juga sudah berada di atas.
Eliot terkejut melihat penampakan Estel yang seharusnya berada dibawah bersama ibunya. Harry pun mengerti dengan tatapan Eliot pun tersenyum ringkas.
“Dia akan berguna nanti.”
“Astaga Harry, otakmu sudah tidak waras atau bagaimana?”