Keyakinan Yang Kuat

2202 Kata
"Awalnya mereka menolak tapi ternyata hati mereka luluh juga." *****    Hari itu Gorge sangat kasihan melihat keadaan Angelina dan bayinya. Angelina memaksa untuk mencari suami dan anak-anaknya tapi Gorge melarangnya karena tidak tega. Oleh karena itu dia memutuskan untuk berbicara kepada Riska—istrinya untuk ikut mencari Harry dan anak-anaknya.   "Ris aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ucap Gorge kepada Riska yang sedang menjemur pakaian. Sedangkan Gorge sedang memahat kayu yang akan dia bawa untuk mencari Harry sebagai alat perlindungan dirinya.   "Kenapa?" tanya Riska menoleh sekilas ke suaminya.   "Kamu kasihan enggak sama Angelina dan anaknya. Dari dia di sini badannya malah semakin kurus," ucap Gorge menyuruh Riska melihat kepada Angelina.   "Ngapain kamu ngelihatin istri orang? Kamu suka sama dia?" tanya Riska sinis.   "Astaga enggak gitu, Riska. Aku cuma kasihan aja. Aku mau bantu dia cari suaminya ya. Kamu jagain dia di sini," ucap Gorge lagi. Riska langsung menaruh pakaian yang belum semua dia jemur untuk menghampiri suaminya yang aneh itu.      "Ngapain kamu perhatian banget sih sama istri orang. Kamu suka kan sama dia?! Mukanya dia lebih cantik kan, Gorge dari pada aku. Jawab buruan!"    "Enggak, Riska. Kamu dengerin aku dulu. Kamu main marah-marah aja. Sini dengerin aku dulu aku mau jelasin sesuatu ke kamu," ucap Gorge menyuruh Riska untuk duduk di sebelahanya. Riska yang tetap menolak pun akhirnya ditarik Gorge untuk  duduk di sebelahnya.   "Ris kamu inget kan waktu anak-anak kita masih ada, pasti kita bakal ngelakuin apa aja buat mereka."   "Iya terus kenapa?" tanya Riska lagi.   "Kamu tahu juga betapa nyeselnya kita saat kita sama sekali enggak bisa nyelamatin anak kita." Riska mengangguk lagi.   "Itu yang Harry rasain, Ris. Harry beruntung memiliki anak yang pemberani yang ikut membantu Papinya menyerang mosnter itu. Mereka anak-anak kecil tapi mereka enggak takut buat ikut sama Papinya. Aku pengen cari mereka, buat bantuin mereka kalau di luar sana mereka dalam bahaya, Ris." Riska langsung menengok serius kepada Gorge.   "Kenapa?" tanya Gorge saat Riska melihatnya dengan tatapan yang menghunus.   "Kamu enggak waras ya. Kamu mau ninggalin aku sendiri di sini. Aku udah enggak punya siapa-siapa di sini, Gorge kalau kamu enggak balik lagi gimana. Kamu enggak mikirin aku ya?!" Riska jelas malah emosi mendengar permintaan Gorge yang akan meninggalkannya di sini.   "Riska aku enggak akan ninggalin kamu. Aku bakal berusaha agar aku kembali. Kamu tahu 'kan aku sayang sama kamu."   "Iya aku tahu. Tapi, kenapa kamu kenapa malah pengen nyari Harry sama keluarganya itu bahaya, Gorge," ucap Riska lagi. Jelas dia akan menentang Gorge—suaminya bagaimana pun hanya Gorge yang dipunya Riska.   "Aku cuma pengen nyelamatin anak-anak, Harry. Bahkan bukan cuma anak-anak Harry tapi semua anak-anak di sini. Kita enggak mungkin akan hidup dalam keadaan seperti ini terus, Riska. Ris, kita sudah cukup berumur untuk memperbanyak kebaikan. Jadi, aku mau aku nyusul karena aku pengen adanya perubahan buat kita semua," jelas Gorge. Gorge melihat anak-anak di sini hanya bermain padahal usia mereka seharusnya belajar. Seperti saat belum ada monster yang menyerang kota.   "Ya tetep aja, Gorge ngapain sih kamu nyusul mereka. Belum tentu juga bisa selamat. Monster itu enggak tahu jumlahnya berapa kamu enggak tahu apa yang kita alamin kemarin gimana?" tanya Riska.   "Tahu, Ris. Tapi, coba kamu bayangin kalau kamu punya anak. Kamu bakal diemin anak kita di tempat kayak gini. Enggak punya ilmu, dan seterusnya sampe mereka besar punya anak. Kalau bukan dari kesadaran masing-masing yang mau perubahan kayak Harry gimana bisa maju, Ris? Aku kasihan sama anak-anak di sini. Bukan cuma keluarga Harry aja. Kita enggak mungkin selamanya kayak gini," jelas Gorge panjang lebar. Riska terdiam melihat banyak anak yang hanya diisi dengan waktu bermain.    "Ya kenapa enggak kita diriin sekolah aja yang pinter suruh ngajarin dengan gitu kan jadi enggak banyak ketinggalan belajar." Gorge menggelengkan kepalanya.   "Jangan menggampangkan sesuatu. Kamu pikir aja masa depan anak-anak kalau terus di sini. Kalau terus banyak yang memiliki keturunan pun tempat ini akan semakin penuh. Memang sih bisa buka lahan baru tapi kan pasti gitu-gitu aja. Demi Tuhan, Ris aku enggak ada niatan aneh-aneh atau sesuai yang ada dipikirkan kamu kalau aku suka sama Angelina sama sekali enggak. Malah yang aku pikirin malu. Anak-anak Harry aja pada berani kenapa aku yang orang dewasa malah diem di sini," jelas Gorge lagi. Hati Riska semakin tergerak, dia juga ingin kehidupan seperti dulu. Tapi, rasa takutnya mengalahkan segalanya.   "Kamu yakin? Ini bahaya, Gorge."   "Kalaupun aku mati, setidaknya aku sudah mengorbankan diri untuk membantu masyarakat."    "Kalau emang menurut kamu itu yang terbaik, aku setuju aja, Gorge. Walaupun aku takut kalau kamu enggak kembali. Di sini aku udah enggak punya siapa-siapa lagi," jawab Riska. Gorge pun mengelus kepala Riska.   "Iya, aku akan berusaha untuk kembali kamu doain aja ya." Riska mengangguk lagi.   "Kamu mau berangkat kapan dan sama siapa?" tanya Riska.   "Kemungkinan besar dua hari lagi aku berangkat. Aku masih bawa alat-alat buat jaga diri."   "Gorge kamu janji bakal balik lagi kan nanti?" tanya Riska lagi dengan raut wajah berkaca-kaca. Gorge melepaskan alat yang sedang dipakainya itu, lalu memeluk istrinya.   "Riska kalaupun aku enggak balik kamu bisa ikhlasin aku 'kan? Kamu di sini banyak orang yang akan menemani kamu."   "Kalau enggak aku ikut aja, Gorge aku enggak papa dalam bahaya asalkan masih sama kamu. Aku takut kalau harus ditinggal kamu juga setelah anak-anak." Riska tidak kuasa lagi menahan air mata pada akhirnya. Dia tidak tahu harus bahagia bagaimana kalau suaminya saja akan pergi bertaruh nyawa.   "Riska aku bakal usaha semaksimal mungkin agar bisa kembali. Jadi, kamu enggak usah takut ya." Gorge melepaskan pelukan dari istrinya menghapus air mata istrinya. Walaupun umur mereka sudah tidak muda lagi tapi cinta mereka seakan saling membutuhkan.   "Udah enggak usah nangis. Lanjutin gih jemurinnya nanti keburu enggak ada panas aku mau ke ruangan perkakas dulu." Gorge bangkit membawa alatnya lalu dia berpindah ke ruang perkakas.    Riska melihat suaminya yang berjalan pergi meninggalkannya. Apakah dia akan ditinggalkan oleh suaminya seperti anak-anaknya meninggalkannya. Dia tidak ingin itu terjadi tapi apalah daya. Apa kata suaminya benar. Kalau bukan kesadaran kita untuk menghancurkan monster itu siapa lagi. ......    Gorge masuk ke ruangannya. Tapi, belum sampai di dalam seseorang memanggilnya. "Paman, Gorge," panggil seseorang di belakangnya.   "Ya, kenapa kalian tumben ke sini?" tanya Gorge kepada teman-teman Joe yang datang.   "Denger-denger, Paman mau nyusul Joe sama keluarga baru itu ya?" tanyanya.   "Kenapa memangnya? Kalian menguping pembicaraan ku dengan istriku ya?" tanya Gorge dengan nada yang sedikit tidak senang karena bagaimanapun dia malu kalau memang ada yang mendengar obrolan bersama suaminya.   "Tidak. Bukan begitu, Paman. Kamu tidak bermaksud untuk menguping tapi kami dengar sekilas saja kalau kalian akan menyusul Joe dan keluarga baru itu," ucap anak-anak muda tersebut.   "Ya terus kalian mau ngapain kalau saya mau nyusul mereka. Kalian mau Hina saya nyalahin saya kalau saya juga ikut kebawa hasutan Harry dan keluarganya? Saya enggak terbawa hasutan Harry dan keluarganya saya benar-benar ingin mencari mereka dan membantu mereka," jelas Gorge secara tegas.    Teman-teman Joe saling pandang satu sama lain. Gorge pun langsung masuk tapi kata-kata teman Joe akhirnya membuat Gorge berhenti berjalan masuk.   "Kita nyamperin, Paman ke sini karena mau ikut, Paman nyari Joe. Udah seminggu ini Joe enggak pulang. Kita khawatir aturan waktu itu kita ikut mereka bukan malah diem di sini. Padahal, biasanya kita ngelakuin semuanya bareng-bareng baru kemarin kita enggak setuju karena memang kita takut. Tapi, sekarang kita udah yakin untuk ikut Paman cari Joe," jelas salah satu teman Joe yang bernama Roy.   Gorge menengok lagi ke arah mereka, "Jadi, kalian nyusulin saya di sini karena mau ikut cari Joe juga?"   "Bukan itu aja, Paman. Kita juga mau ikut buat ngancurin monster itu."   "Kalian enggak takut? Kalau kalian yang hancur karena monster itu gimana?" tanya Gorge lagi untuk menyakinkan apakah benar mereka akan ikut bersamanya.   "Setidaknya kami sudah berjuang untuk melakukan tindakan mulia jadi apapun yang terjadi kami akan selalu siap dan menyerahkan kepada takdir." Gorge pun mengangguk melihat keyakinan mereka.   "Yaudah kalau gitu. Kalian bisa bantu saya buat alat-alat yang waktu itu dibuat Harry untuk berjaga saat nanti mencari mereka." Mereka Semua mengangguk setuju. Setidaknya, mereka sudah mau ikut bersama Gorge membuat Gorge bersyukur dia tidak akan sendiri nanti bersama kelima teman Joe.   "Paman kenapa, Paman memilih untuk nyusul keluarga baru itu?"    "Karena saya malu anak-anak kecil seperti anak Harry saja tidak takut kepada monster itu walaupun sangat bahaya. Mereka tetap memilih ikut bersama Papinya. Di situ akhirnya saya memutuskan untuk ikut. Kalau kalian kenapa malah minta ikut? Di sini lebih aman enggak usah takut bahaya."   "Teman kita sedang berada di luar bertaruh nyawa walaupun kita takut setidaknya kita punya hati nurani. Joe yang dulu menyelamatkan kita-kita masa sekarang kita diem saja, Joe pergi dengan mempertaruhkan nyawanya." Gorge mengangguk sangat solidaritas ternyata. Sayang kenapa tidak kemarin saja ikut berangkat bersama mereka.   "Saya apresiasi keluarga, Gorge. Mereka sama sekali enggak takut dengan monster itu. Mereka selalu menggunakan berbagai cara agar mosnter itu bisa mati."   "Iya, Paman saya sampai bingung kenapa sampai segitunya orang baru itu ingin menghancurkan monster tersebut. Padahal, kalau mereka diam di sini semuanya akan aman," saut Roy lagi.   "Tidak, Roy. Kedepannya kita enggak akan tahu bagaimana, kita enggak bisa prediksi akan sebanyak apa manusia yang ada di tempat ini. Iya kalau tempatnya semakin muat kalau tidak bagaimana? Satu-satunya ya kita harus berani melawan." Mereka pun saling mengangguk.    "Lagi pula, Harry ingin anak-anaknya kembali sekolah seperti dulu. Harry ingin anak-anaknya berpendidikan seperti dulu. Kotanya akan kembali dengan keyakinan penuh Harry. Semangat Harry lah yang membuat sayapun tergerak untuk menyusul mereka."    "Selama ini kita cuma diem di zona nyaman karena takut banyak korban tapi kalau kita diem saja pun tanpa sadar tetap akan ada korban yang berjatuhan."   "Nah itu dia. Kalaupun kita diem aja tetep aja satu persatu di sini mati bukan? Entah karena makanan, tidak adanya fasilitas kesehatan yang lengkap. Kalau gini terus mau gimana kita ke depannya." Mereka pun sangat ngeri membayangkannya.   "Rencananya kita akan pergi kapan?" tanya Vender   "Dua hari lagi. Jadi, kalian siapkan saja peralatan kalian untuk berangkat." Mereka pun mengangguk.   "Iya, Paman."  .....    Riska menghampiri Angelina yang sedang mengajak main anaknya. Dia sebenernya agak kesal dengan Angelina karena keluarganya malah membuat Gorge ingin menyusul Harry.   "Angel kamu lagi ngapain?" tanya Riska basa-basi walaupun dia melihat Angel sedang meminang anaknya.   "Lagi mainan sama Eveline, Ris. Kenapa?" tanya Angelina. Riska bisa melihat raut wajah lelah dari Angelina.    "Kalau kamu capek mending istirahat aja, Angel biar anak kamu aku yang jagain. Kelihatannya kamu capek banget." Angelina tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Bukan karena tidak percaya dengan Riska hanya saja dia tidak mau.   "Enggak usah aku enggak capek kok," ucap Angelina berbohong.   "Tapi, mata kamu kelihatan ngantuk banget. Pasti enggak tidur ya semaleman karena Eveline ngerengek terus badannya panas?" tanya Riska.   "Iyasih tapi sekarang anak aku udah agak mendingan dia ngajak main kayaknya. Masa aku tinggal tidur lagian enggak papa juga kok," ucap Angelina. Seorang Ibu mampu menyembunyikan rasa lelahnya demi bisa melindungi anaknya dan bersama anaknya selalu.   "Yaudah, Angel tapi kamu jangan capek-capek ya nanti kalau kamu yang sakit malah kasihan anak kamu," ucap Riska mengelus pundak Angelina.   "Iya, Ris. Makasih ya. Suami kamu mana? Tumben ke sini biasanya kamu sama suami kamu terus," kata Angelina lagi.    Riska meminkan jarinya sepertinya dia harus bilang kepada Angelina kalau suaminya memutuskan untuk menyusul Harry—suami Angel.   "Suamiku lagi di ruang perkakas, ngerangkai alat," jawab Riska.     "Oh mau cari makanan ke luar lagi ya?" tanya Angelina. Karena biasanya kalau Gorge ke luar hanya untuk mencari makanan untuk stock di sini. Semua orang pun sama mengumpulkan makanan untuk mereka makan bersama.   "Tidak, Ngel. Malah suami aku ngerangkai alat-alat buat nyusul suami kamu. Padahal, suami aku enggak tahu suami kamu di mana," ujar Gorge lagi. Angelina malah mengerutkan keningnya bingung.    "Hah?! Kenapa tiba-tiba?" tanya Angelina lagi. Dia berhenti menimang anaknya dan melihat serius ke Riska.    "Dia kasihan sama anak-anak di sini juga enggak dapet pendidikan, tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai juga. Tidak mungkin mereka akan hidup seterusnya seperti ini. Makanya Gorge mau nyusul suami kamu, berharap mereka bertemu juga." Angelina berusaha mencerna ucapan Riska.    "Ris tapi 'kan bukannya kamu yang enggak bolehin suami kamu buat ikut suami aku. Kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran?" tanya Angelina lagi.   "Itu dia kalau aku punya anak pasti juga bakal ngelakuin Hal yang sama jadi aku biarin Gorge buat cari Harry dan anak-anak kamu. Semoga aja mereka bisa saling bertemu dan bisa bersama-bersama menghancurkan monster itu." Angelina satu sisi senang tapi satu sisi dia juga merasa tidak enak dengan Riska. Riska yang bilang hanya memiliki Gorge sebagai suaminya. Kalau Gorge tidak selamat Angelina akan semakin merasa bersalah lagi. Apa ini keputusan tepat yang sudah di pikirkan oleh Riska dan suaminya?    "Riska kamu yakin? Bukannya kamu bilang...." Angelina menggantung ucapannya karena dia merasa butuh jawaban Riska langsung.     "Ya aku rasa aku tidak apa-apa. Angel. Seperti yang aku bilang tadi kita berdoa aja semoga mereka baik-baik saja nantinya," jawab Riska yakin. Angelina pun mengangguk.     "Terimakasih ya, Ris kamu dan suami kamu memang orang baik."   "Biasa saja." Riska tersenyum dan mengelus pundak Angelina lagi. Setelah itu mereka saling menimang Evelina. Eveline tersenyum bersama Riska. Angelina pun ikut tersenyum Sekarang dia yakin semoga sama Suaminya akan bertemu dengan Gorge dan suaminya masih baik-baik saja.    Batin Angelina hanya bisa terus berdoa agar suami dan anak-anaknya selamat monster itu segera pergi dari sini dan kehidupan mereka akan lebih nyaman lagi ke depannya. Dia kemudian mengelus kepala anaknya dan tersenyum percaya. .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN