"Tindakan refleks malah membuat semuanya menjadi...."
*****
Estel mengggit tangan Lili setelah itu dia berlari ke arah Papinya. Lili ingin mengejarnya tapi Joe menarik tangan Lili.
"Bahaya, Li."
"Joe lepasin, Estel dalam bahaya. Nanti kalau dia kenapa-kenapa gimana?" Lili hendak melepaskan tangan Joe tapi sangat kuat. Hingga Steven pun bisa bebas dari tangan Joe.
"Stev," panggil Joe. Steven berhasil kabur dengan Estel.
"Kamu apa-apaan sih, Joe sekarang mereka ada di sana dalam bahaya semua monster."
"Tenang, Li. Kalau kamu ngelakuin Hal yang enggak-enggak malah kita semua dalam bahaya."
"Terus sekarang kita harus gimana?" Lili menggigit jarinya. Dia melihat ke sana. Estel dan semuanya dalam bahaya.
"Joe lihat...." Lili menyuruh Joe lihat ke sana. Dari mana mereka tahu keberadaan keluarga Harry. Padahal, mereka bilang tidak akan mau ikut rencana Harry. Dan mereka ke sini bagaimana.
"Kamu tunggu sini aja, Li. Aku bakal ikut bantu mereka." Lili mengangguk membiarkan Joe ikut ke sana. Setelah Joe ke sana, dengan keberanian Lili ikut ke sana membawa Bambu tajam yang ada di sebelahnya.
Harry juga terkejut, kala orang-orang ada di sini. Mereka semua datang untuk membantu Harry. Harry langsung saja mengambil radio itu dari dekat Octa. Di depan Octa sudah ada monster yang siap menerkamnya.
Harry mengintrupsikan kepada Octa unfuk tenang. Maksudnya adalah dia akan menyalakan radio ini. Tapi, menjauh dari sini. Setelah berhasil Harry mengambil radio itu dan berjalan berbalik, Octa meleparkan sebuah Batu mengenai radio itu hingga berbunyi ke arah Steven.
Monster yang jumlahnya semakin banyak itu membuat orang-orang semakin panik, tapi untungnya mereka tetap diam dalam ketenangan. Seakan mereka sudah tahu kelamahan monster itu adalah dengan tenang jadi tidak ada dari mereka yang menimbulkan suara.
Monster sudah berada di depan dan belakang Harry. "PAPI....." teriak Estel monster itu langsung beralih ke arah Estel. Harry dengan napas terengah-engah tidak mungkin membiarkan anaknya dalam bahaya. Tidak....
Harry menggelengkan kepalanya, dia mengintrupsikan kepada Estel untuk tenang. Estel malah mundur dengan tangisannya. Kini tiga monster berjalan di depannya. Dia tidak tahu harus apa lagi. Sedangkan orang-orang desa yang yang datang juga hampir banyak yang terluka karena menghabisi monster itu.
Harry langsung menyalakan radio itu dengan setelan yang sudah dia aturnya. Octa sangat ngasal menyalakan radio tadi hingga ada kerusakan di radio itu. Harry melihat anaknya yang semakin terperosok oleh monster itu.
"Ayo, bisa," ucap Harry menyetel radio itu tapi tetap saja tidak bisa mengeluarkan suara yang seharusnya. Steven datang untuk membantu Papinya.
Beberapa saat saat monster itu nyaris memakan Estel, monster itu langsung mundur. "Steven cari peluit itu."
"Iya, yah." Steven mencari alat itu, sedangkan Harry menyelamatkan anaknya lebih dulu. Para monster sudah semakin mundur. Semua orang sedikit demi sedikit tidak tergapai oleh monster itu.
"Dek, kamu enggak papa?" tanya Papinya.
"Enggak papa, Pi." Tapi, tanpa Harry ketahui, cakaran monster itu masuk ke tangan Estel. Estel merasakan perih, tapi dia tahan. Ini Harus berhasil setelah kemarin mereka gagal. Apalagi semua orang ada di sini.
"Estel kamu mau ke mana?!" Estel langsung pergi dari Papinya. Dia menghampiri anaknya tapi Steven datang, "Pi ini peluitnya." Steven memberikan kepada Harry. Tapi, bukan Harry yang mengambilnya melainkan Octa.
"Octa kembalikan alat itu."
"Enggak Harry! Kamu fikir kamu bisa kabur gitu aja. Enggak! Aku enggak mau kamu kabur gitu aja."
"Octa kita bisa nyelamatin semua orang dengan alat ini. Peluit ini mau aku sambungkan ke radio itu, Octa. Kembalikan."
"Enggak Harry! Kamu sama anak kamu itu pembunuh jadi lebih baik kalian ikut mati."
"Ahhh, Papi...." Mereka menengok, Estel hampir saja mati ditarik monster itu. Tapi, dengan cepat orang-orang desa menariknya lagi.
Harry langsung kabur ke anaknya. Steven menarik peluit itu. Mumpung monster itu sedang menahan sakit akibat suara itu. Suara itu akan semakin melengking dengan peluit itu.
"Octa aku enggak tahu kalau kamu sepupunya Paman Werd tapi Paman Werd sendiri yang lebih memilih mati. Bukan karena aku." Steven menarik peluit itu tapi Octa mendorongnya hingga terjatuh.
"Tetep aja kamu pembunuh, Steven cuma dia yang aku punya. Aku cari ke sana kemari tapi kamu dengan santainya menumbalkan Pamanku dari monster itu."
"Stev, ambil buruan."
"Iya, Paman." Gorge dan satu orang memegangi tangan Octa. Octa meronta dan berteriak tapi sayang suara radio lebih besar. Sehingga teriakan mereka tidak begitu di dengar oleh monster tersebut.
Steven mengambil itu dari Octa, "Lepasin. Steven kamu jangan pergi. Kamu harus mati karena udah bunuh Paman aku. Steven."
"Kita apain dia?"
"Iket dia aja terus tutup mulutnya." Octa terus meronta tapi dari pada dia menganggu. Gorge dan yang lainnya mengikat Octa dan menyumpal mulutnya dengan kain.
"Dah tinggalin aja dia dulu dari ngurusin dia." Gorge menyuruh rekannya untuk meninggal Octa sendiri.
Setelah itu mereka langsung membantu teman-teman mereka yang kesulitan. Steven memberikan peluit itu kepada Papinya.
"Pi, ini peluitnya." Harry langsung mengambilnya menyuruh Steven menjaga adiknya.
"Jagain adek kamu."
"Iya, Pi." Harry langsung bangkit dan menyetting alat-alatnya.
"Kelemahan monster ini ada di Telinga, hidung dan matanya. Kalian tidak perlu menyerang yang lainnya kalau ingin cepat membunuh. Kalian hanya serang titik-titik kelemahannya." Mereka Semua mengangguk beberapa orang dari mereka sudah terkapar berjatuhan. Darah mengalir. Monster itu malah semakin banyak.
Tapi, Harry sama sekali tidak menyerah. Dia akan membuat semua ini berakhir kali ini. Dia ingin anak-anaknya bisa meraih masa depannya.
"Estel kamu enggak papa?" tanya Kakaknya.
"Enggak, Kak. Kak tadi aku nemuin pistol.
"Di mana?" tanya Steven lagi. Dengan pistol itu pasti mereka bisa menyerang semua monster itu.
"Hancur. Diinjak monster itu tadi aku udah mau ambil tapi keadaan semakin riuh." Steven melihat Luka di tangan adiknya. Dia merobek ujung bajunya lalu melilit tangan adiknya.
"Awh ... perih, Kak."
"Estel kamu diam di sini ya, Kakak enggak mungkin biarin Papi di sana sendiri. Kakak enggak mau kalau Papi kenapa-kenapa."
"Aku ikut, Kak."
"Estel tangan kamu masih sakit enggak usah ikut nanti malah makin parah."
"Tapi, aku enggak mau kalian kenapa-kenapa. Pokoknya aku mau ikut." Estel menolak araha Steven dia tetap ingin ikut bersama Kakaknya. Di sana Papinya sedang kesulitan. Dia bingung harus bagaimana. Dia harus membantu tapi adiknya.
"Udah, kakak enggak usah pikirin itu. Ayo buruan kita bantu, Papi." Estel tanpa takut langsung saja mengambil tongkat tajam yang ada di sebelahnya.
.......
Angelina makin merasa panik. Walaupun beberapa orang sudah berusaha mencari suaminya. Tapi, beberapa orang yang lain malah mencacinya.
"Ini semua karena kamu, Angel."
"Udah kalian enggak usah saling menyalahkan, semoga saja mereka semua segera kembali dengan selamat." Bu Minah menenangkan mereka saat semuanya selalu menyalahkan Angelina.
"Iya, bener kata Bu Minah kalian jangan nyalahin Angel. Belum tentu juga Angel yang salah kalian enggak boleh main Hakim sendiri." Riska membantu membela Angelina. Walaupun, suaminya pada akhirnya memilih untuk ikut pergi.
"Duh kalian itu gimana sih. Kenapa malah belain si Angel. Ini jelas karena keluarga Angel. Kalau aja keluarga Angel enggak aneh-aneh dan bilang kalau mau ngalahin monster itu pasti mereka enggak akan nyusul." Angelina memeluk anaknya erat. Dia hanya bisa menangis. Padahal, Angel tidak memaksa mereka untuk menyusul suaminya dia malah ingin menyusul sendiri, ingin mencari keadaan suaminya.
"Kalian mau hidup kayak gini terus. Kalian mau anak kalian enggak punya masa depan."
"Kita bisa nungguin pemerintah pasti mereka datang bantu kita."
"Tahu apa kalian, udah berapa tahun ini lewat tapi enggak ada apapun. Kalian jangan berharap banyak." Riska akhirnya membiarkan suaminya untuk ikut karena dia juga tidak yakin sampai kapan mereka akan hidup di sini terus menerus. Tidak ada perubahan. Harry dan anak-anaknya saja pemberani tetap pergi walaupun mereka tahu bahaya.
Mereka langsung pergi satu persatu percuma kalau berbicara dengan Angelina. Angelina hanya bisa menangis dan tidak mikir kesalahannya bisa membuat seorang menderita. Ternyata, rasanya tidak ada yang sia-sia sebenernya. Angelina paham, seandainya dia bisa melarang, suami dan anak-anaknya pergi pasti kejadiannya tidak akan seperti ini.
"Angel udah kamu enggak usah pikirin omongan mereka ya. Mereka cuma enggak suka aja lihat kamu bahagia."
"Tapi, apa yang diucapkan mereka sebenernya bener, Ris. Aku bikin keluarga mereka dalam bahaya. Kalau aja aku bisa ngelarang keluargaku untuk tidak pergi kita bisa aman di sini." Riska menggelengkan kepalanya.
"Tadinya aku mikir juga kayak gitu, Angel. Tapi, waktu Gorge kasih penjelasan ke aku buat aku sadar kalau apa yang mereka lakuin sebenernya udah bener. Mereka mau kehidupan kita kembali seperti itu. Percuma mengharapkan pemerintahan kita enggak tahu sampai kapan Hal itu terjadi."
"Tapi kan bisa aja mereka dateng lagi ke kita. Kalau mereka semua mati malah gimana, Ris? Aku takut."
"Berdoa aja, Angel. Kita enggak tahu gimana nantinya mereka. Yang penting doa aja." Angel mengangguk dia pun berusaha untuk tidak mengambil hati ucapan mereka. Tapi, tetap saja rasa bersalah pasti menghinggapi perasaan Angel.
"Ris kenapa kamu bolehin suami kamu untuk ikut? Bukannya kamu cuma punya suami kamu aja?" tanya Angelina.
"Aku awalnya berat juga biarin suami aku pergi, Angel. Karena aku juga udah enggak punya siapa-siapa. Tapi, setelah aku pikir-pikir Gorge bisa bantu suami kamu untuk kembali. Gorge meyakinkan aku kalau semua akan baik-baik aja jadi aku biarkan dia ikut."
"Ini semua pasti karena aku ya, Ris. Aku yang bikin suami Mutusin untuk pergi?" Riska tersenyum, "Enggak kok aku ngerasa emang udah waktunya aja. Kita semua adain perubahan percuma kalau gini-gini terus. Aku juga pengen kehidupan kayak dulu lagi, Angel. Lagian anak-anak kamu yang masih kecil aja berani kenapa, suami aku yang niatnya baik malah enggak aku bolehin." Angelina tersenyum, "Makasih banyak ya, Ris kalau bukan karena suami kamu ataupun kamu aku enggak akan sampai di sini. Aku malah berhutang Budi sama kamu," ucap Angelina yang merasa memang dia lah penyebabnya.
"Enggak papa, Angel udah ah kamu cuma perlu berdoa aku juga sama enggak usah pikirin yang aneh-aneh. Kasihan anak kamu jadi rewel terus." Angelina melihat ke anaknya Eveline. Anaknya semakin tumbuh besar, semoga saja setelah anaknya bisa berjalan nantinya, semua masalah akan selesai. Semua akan kembali normal tanpa adanya monster itu.
"Yaudah aku mau bantuin masak dulu ya kamu di sini aja udah."
"Aku mau bantuin kamu aja enggak enak aku di sini enggak ngapa-ngapain."
"Enggak usah, Angel. Badan kamu baru mendingan dari sakit 'kan? Udah kamu fokus sama kesehatan kamu aja. Kamu tunggu sini ya nanti aku bawain makanan buat kamu dan anak kamu." Angelina pun mengangguk. Banyak orang yang sinis kepadanya tapi masih ada Riska dan Bu Minah yang membantunya. Semoga saja suaminya segera kembali dan mereka bisa berhasil.
"Yaudah, makasih ya." Riska mengangguk dan segera untuk membantu memasak yang lainnya.
"Bu Minah," panggil Angelina yang melihat Bu Minah di sampingnya hanya bengong.
"Kenapa, Angel?" tanya Bu Minah.
"Enggak papa, saya lihat Ibu bengong aja soalnya saya kira kenapa."
"Saya cuma kangen sama anak dan cucu saya. Kenapa enggak mereka aja yang hidup kenapa harus saya. Padahal, saya hidup pun udah enggak ada gunanya. Kalau anak dan cucu saya pasti mereka akan lebih bahagia." Angelina tahu persis apa yang dialami keluarga Bu Minah. Semua keluarganya mati oleh monster itu. Tapi, hanya Bu Minah yang selamat. Rasanya memang terdengar tidak adil sama saat dirinya tidak bisa menyelamatkan anaknya Violine.
"Hidup terlalu keras di saat ini, Bu. Makanya Tuhan mengambil anak dan cucu ibu agar mereka bahagia di sana. Tidak ketakutan seperti kita. Kalau kita masih hidup sampai saat ini artinya kita mampu." Angelina bisa menasihati orang lain tapi dia masih tidak mampu mengendalikan perasaan khawatirnya pula. Dia paham semua orang merasakan ketakutan tapi hanya orang-orang yang beranilah yang menghadapi itu.
.....
Beberapa monster sudah berjatuhan, mereka menghela napasnya masing-masing dia tidak tahu kalau ternyata monster itu bisa mati tumbang. Tadinya, mereka kira itu hanyalah bualan omong kosong dari keluarga Harry.
"Harry kita tidak menyangka kalau alat itu benar-benar menghancurkan monster tersebut."
"Gorge awalnya aku juga tidak yakin dengan itu tapi tekadku agar anak-anak bisa meraih masa depannya membuat saya yakin untuk herani melawan monster itu." Gorge sangat kagum dengan Harry,keberaniannya akhirnya membuat mereka semua berhasil menghilangkan rasa takutnya.
"Kalian semua kenapa bisa ada di sini? Jujur saya merasa bersalah karena harus banyaknya korban juga dari penduduk kita." Harry menundukkan pandangannya dia baru saja memakamkan meraka yang tidak bisa selamat dari monster tersebut.
"Harry, tidak apa. Mereka semua sudah melakukan yang terbaik. Semoga saja kematian mereka memberikan kenangan tersendiri." Bukan itu yang Harry pikirkan pasti semua orang setelah ini menyalahkannya.
"Tapi, tetap saja kenapa kalian semua bisa ada di sini. Kenapa kalian tahu kita ada di sini?" tanya Harry lagi.
"Harry tekad kamu kuat makanya saya berencana untuk ikut mereka pun sama."
"Lalu, istri saya bagaimana?" tanya Harry lagi.
"Istri kamu baik-baik saja hanya saja anak kamu sempat sakit," ucap Gorge.
"Sakit? Terus sekarang gimana sama keadaan mereka?" tanya Harry. Jelas setelah Gorge mengatakan itu dia jadi khawatir dengan istri dan juga anaknya.
"Mereka semua sudah baikan kok. Besok kita semua akan kembali lagi ke desa kita. Kita ajak semuanya untuk pindah ke kota kita." Harry menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Kenapa kita belum bis pindah padahal 'kan keadaan sudah aman. Lihatlah semua monster sudah mati di tangan kita," ucap yang lainnya.
"Iya, benar kenapa kita masih tidak boleh pindah ke kota. Apa lagi yang kamu sedang rencanakan, Harry. Apa kamu mikir untuk menguasai kota itu sendiri?" tanya orang-orang yang masih saja membenci Harry. Padahal, Harry yang sudah banyak membantu mereka.
"Bukan gitu. Kita harus memastikan dulu ke sana apakah tempat di sana sudah aman. Baru kita pindah ke saja dan memulai kehidupan kita lagi yang baru." Harry bukan ingin menguasai wilayah sana sendiri. Tapi, dia butuh untuk memastikan bahwa di sana mereka aman.
"Pi...." panggil Estel dengan suaranya yang melemah. Tangannya terasa perih.
"Kenapa, sayang?"
"Tangan,Estel makin perih, Pi. Estel mau pulang."
"Pi, badan Estel juga panas," ucap Steven lagi. Harry memegang tangan dan kepala Estel. Ya, badan anaknya panas sekali sudah dipastikan kalau anaknya demam. Dan dia baru sadar kalau tangan anaknya pun luka akibat monster tadi yang mencakarnya.
"Harry lebih baik kita bawa anak kamu pulang dulu. Mereka di sini pun kekurangan makan bukan? Kalian selama pergi makan tidak benar kan lebih baik kita pulang dulu." Harry mengangguk. Dia pun setuju dengan Gorge untuk membawa mereka semua pulang dan berisitirahat. Baru setelah itu mereka akan kembali ke kota.
"Hari sudah malam untuk malam ini kita akan bermalam di sini lebih dulu. Kita cari makanan di sekitar sini dulu." Harry memberikan usul untuk mereka di sini lebih dulu. Hari sudah semakiin malam jadi lebih baik mereka beristirahat di sini.
"Iya, ayo semua kita cari kayu untuk dibakar dan juga makanan yang bisa kita makan lagian kita tidak mungkin berjalan lagi. Kita sudah sangat lelah melawan monster itu. Dan beberapa dari kalian pun ada yang terluka jadi lebih baik kalian istirahat terlebih dahulu,"ucap Gorge. Mereka semua setuju, bagi mereka yang tidak terluka berat mereka membantu mencari makan dan kayu bakar. Toh, ini semua juga untuk kebaikan mereka.
"Ayo kita cari berpencar," ucap Gorge. Mereka semua mengangguk dan setuju.
"Steven, Lili kamu jagain Estel aja ya. Badannya panas. Papi mau cari sesuatu dulu,"ucap Harry. Harry tidak akan membiarkan anaknya sakit jadi dia harus mencari daun obat-obatan untuk anaknya.
"Aku ikut aja, Paman. Semoga saja di sini ada tumbuh-tumbuhan yang bisa mengobati luka di tangan Estel dan juga obat untuk diminum, Estel."
"Kamu tahu emangnya?"
"Saya pernah bilang kalau Ibu saya suka meracik obat, Tuan jadi saya rasa saya masih ingat tumbuh-tumbuhan yang bisa menyembuhkan atau mengurangi panas, Estel." Harry pun mengangguk dan setuju dengan Lili.
"Steven berarti kamu jaga adik kamu sendiri ya kalau ada apa-apa langsung panggil, Papi."
"Iya, Pi." Steven menganggukan kepalanya. Harry dan Lili bangkit untuk mencari tumbuh-tumbuhan untuk obat. Lili mencari daun yang masih dia ingat kalau daun tersebut bisa dijadikan obat.
Sedangkan Steven merasa khawatir dengan adiknya, Luka yang di tangan Estel pasti sakit sekali sampai adiknya demam. Dia lagi-lagi tidak becus menjadi adiknya.
"Estel maafin, Kakak ya. Seharusnya kakak yang kayak gini bukan kamu. Gara-gara kakak teledor kamu jadi kena sama monster itu."
"Mami...."
"Estel kamu bangun?"
"Mami...." Steven melihat mata adiknya terpejam. Adiknya menginggau mencari Maminya.
"Sabar ya, Stel sebentar lagi kita akan ketemu, Mami kok. Kamu sabar aja ya."
"Mami...." Steven menidurkan dirinya di samping Estel. Lalu, dia memeluk adiknya. Setelah itu adiknya diam, mungkin dia merasa kalau Steven adalah Maminya.
"Estel jangan tinggalin Kakak ya. Maaf kakak enggak bisa ngelindungin kamu." Estel hanya menggeliat di pelukan Steven. Steven pun merasa kalau badan adiknya makin panas.
Beberapa saat kemudian Lili datang, "Lili kamu dapet? Papi mana?" tanya Steven saat melihat Lili hanya jalan sendiri.
"Papi, kamu masih cari makan buat kita. Gimana panasnya udah turun?" tanya Lili sambil meracik obat-obatan itu, di tempat makan sederhana.
"Belum, tadi dia ngigo manggil, Mami, Li. Itu gimana?" tanya Steven yang sangat khawatir adiknya kenapa-kenapa.
"Enggak papa kok. Kalau panas wajar aja sering manggil orang yang disayangnya. Cuma aku khawatir aja lukanya infeksi makanya aku baru sempet nemu tumbuhan ini setidaknya ini kayaknya bisa ngurangin, Stev." Steven mengangguk dia hanya melihat tangan lihai Lili meracik obat-obatan tersebut.
Adiknya dengan wajah pucat masih sangat membuat Steven khawatir. Semoga saja dengan ini adiknya bisa agak sembuh.
"Stev kamu buka kain yang lilit tangannya. Aku mau bersihin dulu." Lili membasahkan syal yang dia gunakan untuk membasuh tangan Estel. Terlihat lukanya cukup dalam.
"Li ini enggak papa pasti Estel ngerasa perih banget," ucap Steven lagi.
"Ya mau gimana lagi. Harus nahan, Stev kamu mau tangan adik kamu malah infeksi lukanya malah nyebar." Steven menggelengkan kepalanya. Bahkan melihat Luka adiknya saja dia ngilu gimana Estel yang merasakan Luka itu.
"Semoga aja ini bisa sembuh ya, Stel." Lili pun dengan tidak tega mengelap tangan Estel. Estel yang tangannya sedang di lap pun terbangun.
"Awhh ... Perih...."
"Maaf ya, Estel kamu kaget ya," ucap Lili mengangkat tangannya saat sedang mengelap tangan Estel.
"Perih, Li." Estel tidak kuat merasakan perih di tangannya. Walaupun cuma kain basah.
"Lukanya harus dilap, Stel biar enggak infeksi kamu tahan ya."
"Iya, Li," Estel berusaha menahan lukanya. Walaupun dia tahu rasanya sangat amat perih. Steven mengelus kepala adiknya. Meminta adiknya untuk menahan sakitnya.
"Bentar, Li. Perih," ucap Estel menyuruh Lili mengangkat kainnya.
"Iya, Stel pasti perih banget emang. Tapi, kamu tahan ya. Kamu kan anak yang kuat." Lili berusaha menenangkan perasaan Estel. Walaupun, tidak mudah juga. Dia pernah mengalami seperti Estel dan itu rasanya amat sangat perih. Estel termasuk anak yang kuat dan berani.
"Lili juga pernah kayak kamu, Stel tapi Lili tahan walaupun rasanya perih banget."
. "Lili juga pernah dicakar, Monster?" tanya Estel lagi.
"Iya, waktu itu." Estel pun mengangguk dan membiarkan Lili mengobati lukanya lagi.
......