Ketemu Dalam Keadaan Tewas

3024 Kata
"Hal yang dicari belum ketemu, sesuatu masalah terjadi lagi." ***     Octa memutar-mutar peluit Dan pistol yang berada di tangannya. Dia belum puas hanya mendapatkan barangnya saja. Mereka harus mati juga bukan hanya barang ini di tangannya. Tapi, Octa Juga tidak tahu harus hidup bersama siapa lagi. Asal kalian tahu Octa adalah saudara Werd. Pada saat itu dia menemukan sebuah foto kecilnya bersama Werd dia berusaha mencari keberadaan Werd pamannya tapi tidak juga ketemu. Hingga saat itu monster tersebut datang padahal mereka hampir bertemu.   "Ah sial. Ini semua gara-gara anak cowo yang menyebalkan itu. Karena menolong dia Paman Werd jadi naas." Semenjak kejadian itu Octa jadi kesal setengah mati dengan Steven makanya dia terus memata-matai keluarga Steven. Dia akan membunuh semua keluarga Steven supaya Steven merasakan kesendirian. Octa tersenyum licik. Semua akan terbalaskan nanti. .....     Steven dan keluarganya berusaha berpindah tempat lagi walaupun dia tahu tempat ini aman. Tetap saja mereka harus mencari keberadaan semua manusia yang masih hidup.    "Pi, kenapa kita pergi lagi? Padahal di sini udah aman?" tanya Estel yang melihat Papinya membereskan semua barang-barangnya.   "Estel kita harus tetep pergi, kita harus nemuin tempat di mana orang-orang itu masih pada berkumpul. Orang-orang di sana pasti bisa bantu kita."   "Pi, kita menetap aja di sini. Aku takut kalau kita ke luar keadaan membahayakan, Pi. Di sini kita tenang monster itu juga enggak nunjukin tanda-tanda kemunculan. Mungkin tempat ini jauh dari monster itu." Harry tersenyum dan mengelus kepala anaknya.   "Memang terlihat aman di sini, tapi Papi ingin kalian bisa hidup seperti dulu. Papi ingin kalian bisa sekolah lagi. Dengan keadaan seperti ini kita sama saja tidak ada perubahan Steven. Perubahan harus dimulai dari diri masing-masing."   "Aku tahu, Pi. Tapi aku enggak papa tinggal atau hidup kayak gini Kalau memang untuk keamanan kita."   "Steven ingat enggak pengen banget jadi pemain basket terkenal? Terus juga pengen banget adek-adek kamu jadi tim cheerleaders? Padahal Violine maunya Ballet. Hm?" Steven terdiam mendengar ucapan Angelina. Dia ingat waktu keadaan masih baik-baik saja. ~Flashback on~       Saat mereka semua sedang berkumpul, Steven mengatakan kepada orang tuanya ingin menjadi pemain basket terkenal lalu adiknya yang menjadi Tim cheerleaders.   "Lin, nanti kalau aku jadi pemain basket terkenal kamu yang semangatin aku pake Tali rapia gitu ya, Lin," ucap Steven saat mereka sedang menonton pertandingan basket bersama.    "Hah? Ngapain pake tali rapia segala?" tanya Violine yang berada di pelukan Papinya.   "Ituloh yang bawa Tali rapia semangatin masa enggak tahu."   "Ya kan semangatin tinggal semangatin ngapain juga bawa Talia rapia kakak suka aneh deh." Steven kesal sendiri dia tidak tahu namanya apa.   "Ituloh yang pake rok terus dandan yang cantik bawa taliap rapia terus dimainin gini-gini gitu. Masa kamu cewe malah enggak tahu." Steven berdiri mempraktekannya tapi sambil menggunakan remot Dan gelas di kanan kirinya.    Angelina mengerutkan keningnya sedetik kemudian dia baru tahu maksud anak sulungnya, "Oh cheerleader gitu ya, kak?"   "Emang namanya itu, Mi?"   "Yang dia bawa Tali rapia cuma kayak di rumbai gitu 'kan? Terus nanti dia sambil nari atau ada yang naik ke pundak temennya?"   "Nah iya, Mi kayak gitu. Tuhkan cuma, Mami aja yang tahu kalian tu emang enggak pernah nonton tv deh."  Angelina tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.   "Lah kakak bilang cuma bawa Tali rafia mana aku ngerti coba."   "Ya Kakak kan enggak tahu artinya. Pokoknya kamu belajar gitu, Lin sama Estel juga nanti kalau aku jadi pemain basket terkenal aku mau kalian semangatin kayak gitu."  Steven memaksa adik-adiknya untuk menjadi Tim cheerleaders.   "Enggak ah, Kak. Aku maunya Ballet. Iyakan, Stel," ucap Violine meminta dukungan kepada Estel.   "Iya, Kak. Ballet aja 'kan lebih anggun dari pada joget-joget kayak gitu."   "Ballet terlalu kalem entar enggak ada semangatnya dong. Ah kalian mah. Masa cuma ngasih semangat ke kakak sendiri enggak mau gimana coba." Steven pura-pura merengut.   "Bukan enggak mau, ya emang enggak bisa, Kak. Kan aku mah bisanya ballet."   "Ya makanya belajar kan kakak juga masih belajar buat bisa jadi pemain basket terkenal. Nanti kalau kakak udah terkenal kalian ikut terkenal. Wah ... Adiknya Steven cantik ya, pantes aja kakaknya juga ganteng."  Violine sudah ingin senang tapi mendengar akhiran kakaknya malah membuat Violine memutar bola matanya. Orang tua mereka hanya tertawa mendengar keributan anak-anaknya.   "Gimana, Lin, Stel ah kalian ni...."   "Iya-iya nanti aku belajar cuma bawa Tali rapia buat lompat-lompatan kalau kakak menang 'kan?" goda Violine. Steven membulatkan Matanya. Dia lalu bangkit, melihat kakaknya yang sudah pasti akan mengejarnya dia langsung kabur.   "Mami ... Papi ... Kakaknya tuh." Steven akhirnya menangkap adiknya dari belakang dia mengelitiki adiknya sampai adiknya mengatakan ampun baru dilepasnya.   "Iya-iya, Kak. Ampun ... Hahaha ... Kakak lepas kak geli...."   "Makanya jangan jail kalau kakak bilangin."   "Hahaha ... Iya-iya Kak enggak gitu lagi. Ampun-ampun."  Steven melepaskan adiknya. Violine tertawa dengan terengah-engah karena gelitikan Steven. Lalu, Estel malah tertawa melihat kakak-kakaknya itu. Steven dan Violine melihat ke arah Estel. Dia saling berpandangan licik.    Estel yang melihat senyum misterius kakaknya langsung hendak berlari ke Papinya. Tapi, dia kalah cepat, kedua kakaknya sudah menangkap dirinya dan memggelitikinnya.    "Kakak ... Ampun iya, Estel enggak ketawa lagi. Geli Kak hahaha.... Mami ... Papi ... Tolong...."   "Makanya jangan sukq ketawa-ketawa aja."   "Hahaha ... Iya-iya, Kak. Lepasin, Kak."   "Steven, Violine, Estel udah yuk bercandanya udah waktunya makan sekarang." Angelina memisahkan anak-anaknya. Dia menyuruh anak-anaknya untuk makan malam. Steven dan Violine pun melepaskan gelitikan dari adiknya.    "Iya, Mi...." ~Flashback off~     "Sekarang, Steven enggak jadi pemain basket terkenal enggak papa kok, Pi, Mi. Toh Violine udah enggak ada juga jadi buat apa."   "Steven, enggak boleh ngomong gitu dong. Kalau kamu punya cita-cita besar kejar cita-cita itu. Violine emang udah enggak ada sama kita. Tapi, kalau Violine lihat kamu berhasil pasti dia bahagia banget di sana."   "Tapi, kan sekarang ada aku, Stev. Aku bisa  kok jadi cheerleader." Lili bangkit dia melihat ke kanan Kiri. Lalu, dia menemukan sebuah akar gantung yang terdapat dalam pohon beringin. Dia menariknya lalu berlari lagi ke arah mereka semua.   Steven mengerutkan keningnya bingung. Dia melihat Lili tidak mengerti ingin melakukan apa. "Semangat, Steven aku bakal dukung kamu nanti kalau kamu ikut tanding basket terus menang," ucap Lili dengan suara pelan.   Steven dan yang lainnya tertawa. Melihat mereka tersenyum, Lili bangga. Sudah lama dia merasakan kehangatan keluarga ini. Semenjak kehilangan keluarganya karena penghianatan Lili benci orang-orang. Lili merasa kalau mereka semua adalah penghianat Dan tidak ada ketulusan di hati mereka tapi setelah bertemu dengan mereka Lili merasakan kehangatan itu lagi.   "Makasih ya, Li. Kamu sama seperti adikku. Aku kira kamu benar-benar egois." Lili berjalan ke mereka. Dia memeluk Steven.   "Aku yang seharusnya berterimakasih, selama ini aku enggak tahu kalau kalian ini sebaik ini."   "Udah yuk enggak usah melow-melowan lagi mending kita sekarang berangkat."   "Pi...."  Steven masih dengan berat hati.   "Enggak papa, Steven. Kita harus bisa mengakhiri monster itu. Bukan kita aja nantinya yang bahagia loh. Tapi, semuanya. Kalau kita bisa menyelamatkan itu artinya kita menyelamatkan semua orang. Banyak orang yang ingin hidup dalam keamanan dan kesejahteraan tapi banyak orang takut untuk memulai perubahan itu, mereka tidak mau berkorban Dan mencari aman saja. Kalau kayak gitu hidup kita hanya akan stuck disitu aja. Jadi, kalau bukan kesadaran diri sendiri siapa lagi?" Steven pun akhirnya menganggukan. Mereka membereskan barang-barangnya Dan mulai mencari lagi keberadaan beberapa orang yang masih berkumpul sesuai informasi yang didapatnya.       Setelah semua perlengkapan siap mereka membawa barang-barangnya, "Pi menurut aku kayaknya kita harus balik lagi deh ke tempat lama. Maksudnya enggak balik gitu cuma cari jalan lain gimana, Pi?"   "Ya coba aja lah yuk. Papi juga enggak tahu lagi soalnya arahnya ke sana tapi dibatasin sama jurang enggak mungkin 'kan kita lewatin sana. Sama aja bunuh diri."   "Iyasih bener."   "Yaudah yuk jalan dulu." Mereka pun akhirnya jalan lebih dulu. Masih belum tahu mereka akan ke mana. .....    Saat mereka sedang jalan mereka berhenti mendadak. Hingga Estel tidak melihat Dan menabrak punggung Papinya. "Aduh kenapa sih, Pi berhenti dadakan," ucap Estel kaget.     Harry mengisyaratkan kepada mereka diam. Tapi, Estel belum tahu kalau di depan mereka ada monster itu. "Pi, kenapa sih?" Monster itu sepertinya mendengar hingga dia mengeluarkan suara dan menengok ke arah mereka.    Estel yang mendengar itu Dan melihat ke arah depan pun terkejut. Mereka mundur. Angelina langsung memasukkan anaknya ke peti yang mereka bawa. Harry menggendong Estel karena melihat Estel yang sudah ingin menangis.   Steven dan Lili saling mundur juga. Monster itu sudah berada di depan Lili. Lili tidak tahu harus berbuat apa. Dia sangat takut melihat ada monster di depannya seperti waktu itu. Apalagi kini mereka semua tidak punya alat untuk membuat monster itu pergi.   Harry mengisyaratkan untuk menahan napas lewat matanya. Lili mengerutkan keningnya tidak mengerti monster itu membuat mulutnya hendak memakan Lili. Dengan cepat Steven menutup mulut Lili Dan membuatnya berjalan mundur pelan-pelan. Lili kaget, dia tidak bisa bernapas. Monster yang tadinya ingin memakannya itu lalu menutup mulutnya lagi. Dia mengendus sesuatu mencari lagi mangsanya.     Tapi, dia benar-benar tidak menemukannya sama sekali. Beberapa menit mereka harus mundur Dan sesekali bernapas. Monster itu masih berada di sekeliling mereka malah mengitari mereka.    Tadinya jumlah monster itu hanya dua kini ada tiga yang melingkari mereka. Rasanya hati mereka sudah mau copot. Mereka pun sangat sudah tidak kuat untuk menahan napas. Harry lalu menurunkan anaknya dari gendongannya. Estel tidak mau Papinya pergi. Tapi, dia tetap berjalan. Angelina menarik anaknya untuk dekat bersamanya. Harry pelan-pelan berjalan melewati monster yang besar itu.     Dia membuat sesuatu, di saat monster itu masih ada di dekat mereka semua. Mereka sudah pasrah masing-masing jika memang ini menjadi hari terakhir mereka.     Harry membuat sesuatu yang bisa menghasilkan bunyi. Dia memancing itu agar monster tersebut pergi. Sambil memantau keadaan keluarganya. Setelah jadi, dia langsung melemparnya. Seketika suara itu berbunyi keras mengundang monster itu untuk langsung pergi ke sana.    Harry bersembunyi di balik pohon saat monster itu dengan cepat berlari ke arah alat yang dia lempar. Padahal tadi hanya Batu yang dia bungkus oleh daun Dan dilempar mengenai sebuah aluminum yang memang sudah Harry lihat tadi. Kecerdasan Harry mampu membuat mereka selamat.     Harry langsung menghampiri keluarganya kala monster itu sudah pergi dari sana. Harry memeluk istrinya yang juga memeluk anaknya Estel.   "Kamu enggak papa 'kan?" tanya Harry sambil mengecuk kening Angelina. Dia melihat keadaan istri Dan anaknya Estel baik-baik saja.   "Enggak papa, Pi."   "Steven, Lili kalian enggak papa 'kan? Enggak ada yang luka kan?" tanya Harry gantian ke mereka.   "Enggak, Pi," jawab Steven.  Dia melihat Lili yang masih dalam syok berat.   "Li kamu enggak papa 'kan?" Lili hanya menggelengkan kepalanya. Dia tadi hampir saja tewas lagi kalau Steven tidak menariknya.   "Mending kita istirahat dulu di sana. Mungkin Lili masih syok.  Steven kamu gendong sama adik kamu aja. Biar Mami yang sama Lili." Angelina benar-benar seperti sosok Ibu yang pengertian kepada anaknya. Dia memang baru bertemu dengan Lili tapi seakan Lili merasa udah seperti orang tua kandungnya.   Angelina membantu Lili untuk bangun, Angelina tahu Lili masih syok. Mereka berjalan bersama Harry mengambil anak bayinya lagi Dari dalam peti Dan menggendongnya. Menggeret peti itu Dan membawa ke sana. ....   "Minum dulu, Li." Angelina memberikan minum kepada Lili. Untung saja tadi mereka membawa persediaan makan Dan minum yang cukup walaupun keadaan benar-benar dalam keadaan sulit. Lili meminum minuman yang diberikan oleh Angelina. "Udah agak tenang, Li?" tanya Angelina.   "Makasih, nyonya."   "Lili, seharusnya kamu tadi nahan napas kalau emang monster itu ada di deket kamu. Coba aja kalau tadi aku enggak narik kamu. Kamu udah habis sama monster itu," ucap Steven.   "Stev udah. Mungkin Lili juga panik tadi." Harry mengingatkan anaknya untuk tidak terlalu menyalahkan Lili. Walaupun Harry tahu maksud Steven khawatir dengan Lili.   "Iya, Maaf aku nyusahin kalian lagi." Lili merasa nyawanya dua kali diselamatkan oleh keluarga  Steven.  Kalau bukan karena Steven tadi dia tidak tahu nasibnya akan seperti apa.   "Yaudah yuk kita jalan lagi. Lili kamu enggak papa 'kan kalau kita jalan lagi?"   "Enggak papa nyonya. Aku udah enggak papa juga. Tadi cuma agak panik aja. Aku kira nyawa ku sudah berhenti sampai tadi karena aku pikir kita udah enggak punya alat itu buat bantu kita."   "Walaupun kita enggak punya alat itu kalau memang takdir kita belum berakhir pasti Tuhan akan selalu berikan kita keselamatan, Li. Jangan terlalu berharap banyak dengan alat itu. Tapi, kita juga harus tetap hati-hati." Harry memberikan petuah kalau memang benar alat itu tidak sepenuhnya berguna. Hanya saja melindungi diri kita kalau memang takdir kita meninggal alat apapun untuk menangkalnya akan tetap tidak berguna.   "Iya, sekali lagi aku mau bilang terimakasih. Aku enggak pernah bantu kalian tapi kalian selalu bantu aku."   "Udah tanggung jawab kita karena kita 'kan keluarga." Lili mengangguk mereka berjalan lagi untuk bisa cepat sampai menemukan tempat-tempat manusia yang memang masih hidup. ......    "Astaga...." Pertengahan jalan yang cukup jauh dari tadi kita berjalan mereka terkejut kala melihat mayat di depan mereka. Mereka berhenti sejenak, lagi-lagi mereka syok melihatnya.   "Kakek Tono," ucap Estel.   "Sudah meninggal." Saat Harry mengecek keadaan Kakek Tono dia sudah meninggal. Darah yang ada di sekelilingnya pun sudah kering bisa dipastikan Kakek Tono meninggal kemarin atau kemarinya. Bau busuk juga sudah sedikit tercium.    "Tapi kayaknya bukan karena monster," ucap Steven. Sedangkan Estel malah tidak peduli dengan mayat itu. Lagian dia juga salah sudah mencuri jadi untuk apa masih diperhatikan.   "Estel kamu ngapain?" tanya Lili yang melihat Estel sibuk sendiri membongkar tas Kakek itu.   "Aku cari peluit sama pistolnya Kak Lili ngapain juga ngurusin mereka. Mereka udah mati ini."   "Yaudah Kak Lili bantuin." Lili pun membantu mencari alat itu. Lagian benar kata Estel ngapain juga ngurusin mereka.   "Ada tusukan berkali-kali, Pi. Apa mungkin  dia dibunuh."   "Kayaknya seperti itu. Tapi, Luka si dahi Jeromy ini awalnya pasti benturan di Batu ini. Baru pembunuhnya menusuk mereka."   "Iya betul."   "Ahhh kenapa enggak ada sih alatnya." Estel mendumal kesal. Mereka menoleh ke arah Estel Dan Lili.   "Kamu ngapain, Stel?" tanya Steven.   "Aku nyari peluit sama pistolnya Kak tapi enggak ada. Mereka nyembunyiinya di mana sih."   "Kayaknya alat itu dicuri lagi. Soalnya melihat mereka udah meninggal enggak mungkin alat itu dia simpan di tempat lain kan?" tanya Angelina gantian.   "Ya mungkin bisa jadi," jawab Harry menganggukan kepalanya sambil melihat mayat mereka Dan tas yang sudah dibongkar oleh Estel Dan Lili tapi tidak ada apapun.   "Tapi siapa yang mencuri lagi? Memangnya ada yang tahu alat itu selain...." Steven terdiam.   Lili langsung menyahuti ucapan Steven, "OCTA...." cetus Lili. Ya mereka pun langsung menganggukan kepalanya.    Alat itu yang tahu Hany mereka semua Dan Octa tidak ada yang lain. Dan sekarang Octa enggak ada itu artinya Octa yang merebutnya.   "Ya di mana wanita itu. Wanita itu malah tidak ada. Mungkin emang benar Octa yang ambil barang itu. Kakek Tono merebut jadinya Octa bunuh Kakek Tono Dan cucunya," ucap Lili. Mereka menganggukan kepalanya alasanya memang benar logis.    "Ya mungkin benar. Mereka saling merebutkan alat itu makanya yang tega membunuh satu sama lain." Lili seketika mengingat waktu kedua orang tuanya dibunuh untuk dijadikan tumbal agar sodaranya tetap hidup. Saat itu Lili juga hampir menjadi tumbal mereka.   "Lili ingat waktu itu semua keluarga sodara Lili saling tamak ingin hidup sendiri makanya mengorbankan termasuk orang tua Lili Dan juga Lili hanya saja Kiki berhasil kabur waktu itu," ucap Lili lagi. Mereka jadi merasa kasihan dengan Lili. "Kamu sabar aja ya. Yaudah yuk sekarang bangun. Papi, mau makamin mayar mereka dulu."   "Enggak usah lah, Pi. Lagian ini juga salah mereka. Kenapa harus ditolongi." Estel merasa mayat itu biarkan saja disitu sampai hewah-hewan kecil memakan mereka.   "Enggak boleh gitu. Udah ayo Steven bantu Papi galih tanah itu untuk menguburkan mereka."   "Baik, Pa." Harry dan Steven menggali tanah dengan alat yang seadanya.mereka semua. Walaupun Tono telah mencuri barangnya tapi dia tidak mau dendam Dan tetap menguburkan Tono serta cucunya. .....     Steven meyenderkan punggungnya di batuan yang besar. Mereka sudah menajamkan Tono Dan Jeromy dengan seadanya. Harry juga menyenderkan badannya. Angelina lalu memberikan minum kepada keduanya terlihat sekali mereka lelah.    "Papi ngapain masih baik sama dia. Padahal dia udah jahat sama kita. Dia yang bikin kita susah sekarang jadi kita enggak tahu di mana alat itu." Estel kesal dengan Papinya aturan biarkan saja Tono Dan Jeromy membusuk disitu kenapa harus dibantu juga.   "Estel enggak boleh gitu. Kejahatan bukan untuk dibalas dengan kejahatan."   "Tapi dia kena karmanya, Mi coba aja dia mau sabar cari bareng-bareng kita pasti semua enggak akan kayak gini. Dianya aja yang tamak, serakah."   Angelina mengelus kepala anaknya sambil menggendong bayinya. Walaupun dia tahu banyak kesalahan yang diperbuat Tono Dan cucunya bagaimanapun mereka sudah tidak ada jadi tidak baik membenci orang yang sudah tidak ada.   "Kayaknya alat itu bener dibawa Octa deh. Soalnya sekarang jejak Octa enggak ada padahal mereka pergi barengan," ucap Lili.   "Iya sepertinya memang gitu. Mereka saling serakah. Jadi, tidak segan-segan saling mencelakakan," saut Angelina lagi.   "Tapi, masa Octa yang bunuh. Wanita itu terlihat tidak membawa barang."   "Ya kamu mungkin enggak tahu lah, Pi kalau dia sembunyiin. Kalau dia enggak sembunyiin terus kamu curiga yang ada dia enggak boleh ikut kamu." Angelina juga menyetujui ucapan Lili. Octa perempuan itu diam-diam berbahaya.    "Terus gimana dong? Sekarang alat itu udah enggak ada padahal dengan mereka mati aku kira alat itu bakal balik lagi ke kita," ucap Estel. Dia jadi kesal dengan Jeromy Dan kakeknya tapj sebenarnya bukan hanya Estel mereka semua kesal. Tapi, Harry yang berusaha untuk mengikhlaskan lagian kalau memang dia ditakdirkan bisa menghancurkan monster itu dengan apapun pasti bisa.   "Udah kita jalan lagi aja yuk. Enggak perlu alat itu asal kita waspada semoga aja kita bakal baik-baik aja. Toh, tadi lihat aja waktu Lili terancam kita enggak ada alat tetep bisa kan? Jadi enggak usah berharap banyak sama alat itu." Harry menanggapi semuanya dengan bijak dan ikhlas.    Beberapa saat kemudian mereka membereskan barang-barangnya mereka mulai berjalan lagi, setelah semuanya beres.  Hutan ini benar-benar kosong mereka tidak tahu harus ke mana lagi. Dia jalan dari ujung sampe ujung tetap saja belum ditemukan kumpulan manusia-manusia yang masih hidup.   "Sampai kapan kita jalan terus, enggak ada apapun juga yang bantu kita." Estel menundukkan kepalanya sambil berjalan lesu.   "Sebentar lagi, Stel. Kamu sabar ya. Pasti setelah ini sampai."   "Iya, Estel kamu 'kan anak kuat jadi sabar ya...." Lili ikut menghibur Estel walaupun dia tahu tidak membuat rasa lelah Estel hilang.   "Iya, Stel kamu kan pernah kakak Violine bilang kan dulu akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah air mata. Nah, semoga aja setelah rasa lelah kita ini nanti bentar lagi kita sampai ya," ucap Steven menyemangati Estel. Dia pun mengangguk. Kedua orang tua mereka tersenyum melihat mereka. ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN