Saling Menjaga Satu Sama Lain

3006 Kata
"Ternyata ada orang lain yang sama." *****      "Estel ingat kita tidak tahu di sini aman atau tidak. Tapi, kamu harus tahu untuk selalu berjaga-jaga. Kamu paham 'kan? Jangan melakukan sesuatu yang bodoh," jelas Harry serius menatap Estel. Bukan dia marah. Namun, rasa khawatirnya lebih besar takut terjadi sesuatu dengan anaknya.   "Maaf, Pi." Estel menundukan pandangannya. Dia tahu dia telah melakukan kecerobohan. Kakaknya meninggal juga karena dirinya jangan sampai Papinya juga terjadi sesuatu karena dirinya.     "Ingat, Estel kamu cukup diam atau di dekat, Papi saja kamu mengerti?"    "Mengerti, Pi," ucap Estel lagi. Kemudian dia mengangguk dan mendekat ke arah Papinya. Harry pun bangkit untuk mencari segala kebutuhan untuk bayinya. Mereka harus cepat kembali sebelum malam. Kalau Malam mereka terpaksa harus menginap lebih dulu agar tetap aman.    Harry memasukkan semua yang mereka butuhkan. Estel pun mencoba untuk membantu dengan pelan-pelan. Di memasukkan makanan-makanan yang bisa dibawa. Padahal, dia tidak tahu masih bisa dimakan atau tidak apalagi sudah ditinggal cukup lama.      "Shut, pelan. Toko ini sepertinya yang masih lengkap ayo masuk," ucap seseorang entah siapa. Estel pun menoleh ke arah belakang. Tidak ada siapapun tapi dia jelas mendengar tadi suara seseorang. Estel melihat ke Papinya lagi masih sibuk mencari sesuatu.      Takut, Papinya tidak percaya lebih baik dia berjalan lebih dulu untuk mendekat Dan mengikuti sumber suara. "Bawa saja semuanya apapun itu. Untung sekali kota ini sangat sepi kayaknya memang tidak ada yang ke sini."   Estel membulat matanya kala ada empat orang yang masuk juga ke tokonya Dan mengambil beberapa barang di tokonya, "Siapa kamu?!" ucap Estel kepada mereka.    "Ngapain kamu anak kecil di sini!" Mereka pun sontak terkejut kala ada anak kecil yang menghampirinya. Karena menurut informasinya tidak ada lagi yang hidup di Kota ini makanya dia datang ke sini.    "Kalian yang ngapain ini toko ku," bisik Estel sangat pelan sambil matanya melotot ke arah mereka.    "Udah enggak usah dengerin anak itu buruan ambil barang yang kalian perlukan."   "Hey ini toko ku."   "Heh anak kecil diem ya kamu! Mending kamu pergi sana atau aku bunuh." Orang itu sepertinya bukan dari kota mereka atau bukan dari Negara mereka. Kulit hitam mereka yang sangat pekat membuat Estel takut sebenarnya.   Harry yang sadar anaknya hilang lagi pun langsung mencarinya. Bisa-bisanya anaknya itu hilang lagi padahal dia baru saja mengatakan kalau untuk diam.   "Estel...." panggil Papinya pelan. Estel tidak kunjung kembali entah di mana anak itu. Hingga dia mendengar seseorang dari balik lemari besar. Dia pun langsung menghampirinya.   Harry mengerutkan keningnya kala ada dua orang yang tidak dia kenal ada di tokonya, "Siapa kalian?!"    "Kamu sendiri siapa ha? Aku udah sering ke sini ngapain kamu ke sini," ucap laki-laki itu tidak mau kalah.   "Ini toko ku kamu mencuri kan!" Pemuda itupun sontak saling tertawa dengan lumayan keras. Harry semakin panik kalau monster itu datang dan anaknya tidak sedang bersamanya.   "Enggak usah ngaku-ngaku ya. Ini kota udah lama enggak ada yang nempatin asal lo tahu kita sering ke sini." Harry tidak menggubrisnya laki-laki malau.mencari masalah hingga dia melihat ke alat Pendetec di tangannya. Ada sinyal buruk. Dia harus mencari anaknya.    "Bro suara apaan tuh?"    "Udahlah paling suara angin."    "Tapi, gemerusuk kok mendadak juga jadi mendung di luar."    "Udahlah santai aja cari barang yang banyak lagian katanya ini kan kota Mati jadi santai aja lah." Harry semakin was-was kala mereka semakin berisik. Terdengar suara monster-monster yang biasanya.   "Estel kamu di mana?" panggil Harry dengan cepat. Tapi, masih dengan suara pelan. Dia tidak mempedulikan orang asing yang entah dari mana datangnya.   "Lep ... phas...." Sekuat tenaga Estel mencoba melepaskan cengkaraman orang itu tanpa menimbulkan suara. Seharusnya tadi dia memanggil Papanya. Sekarang dia malah terperangkap dengan mereka semua. Tidak Estel tidak akan menyerah.   "Estel!!!!" ucap Papanya.    "Siapa kamu?" tanya orang asing itu. Harry langsung meninju orang Asing itu. Orang asing itu yang tidak siap langsung terjatuh. Dia mengambil anaknya dari cengkaraman laki-laki itu. Laki-laki itu jatuh Dan menyenggol lemari hingga terjatuh. Suara monster itu dengan cepat langsung datang. Harry langsung saja menggendong Estel Dan berlari lewat pintu belakang. Dia bersembunyi dulu di balik pintu yang ada di ruangan sana.    "Pi, maaf Estel melakukan kebodohan lagi."    "Sudah diam saja." Harry melihat monster itu datang. Dia memeluk Estel erat. Jantungnya sangat berdegup kencang.    "Woi Bro temen kita itu."    "Udah ayo kita pergi aja biarin."   "Tolong!!!!"   "Ayo udah pergi lo mau di makan juga." Salah satu dari mereka pun memilih langsung kabur kala monster itu datang. Tapi, naas di depannya muncul lagi satu monster mereka saling berteriak. Tapi, tidak ada satupun yang bisa membantunya. Mereka tercabik-cabik oleh tiga monster yang datang menghampiri mereka. Ternyata tempat ini belum aman. Harry masih harus hati-hati. Lalu, di mana semua orang tinggal jika di sini saja masih sepi dan tidak ada seorang pun. Harry memastikan kalau orang itu pasti bukan dari negaranya. Mereka pasti penyeludup di tengah tidak adanya penjagaan di Kota ini semenjak munculnya monster-monster itu.   Setelah monster itu menghabiskan mangsanya. Dia mencium lagi bau-baunya. Padahal bau darah yang anyir masih nyengat di hidung mereka. Monster itu seketika mendekat.   Harry berbisik kepada Estel, "Apapun yang terjadi kalau keadaan kita mendesak tahan napas. Kalau kamu takut peluk Papi jangan mengeluarkan suara ataupun napas mengerti?" bisik Harry super pelan. Estel mengangguk. Dia menutup matanya kala monster itu sedang mencari-cari entah sadar atau tidak keberadaan mereka di dalam.    Tapi, apapun yang terjadi dia berusaha untuk tetap tidak takut. Dia menggengam baju Papinya. Sedangkan Harry sambil bergeser perlahan-lahan. Agar semakin menjauh Dan bisa masuk ke rumahnya yang tersambung dengan toko. Entah itu akan menjadi tempat yang aman atau sebaliknya. Sepertinya akan lebih mudah nanti.     Monster itu kian mendekat. Air liur yang menetes di setiap lantai-lantai mengeluarkan bau yang sungguh mencolok. Estel ingat bau itu selalu saat dia selalu hampir saja terancam dengan monster mengerikan itu. Tapi, dia percaya Papinya akan selalu melindunginya.   "Hoakkkkk...." Monster itu seketika berbalik arah. Saat mendengar sesuatu yang lain. Suara yang entah apa membuat monster itu langsung mengalihkan arahnya dari Harry dan Estel. Mereka menghembuskan napas lega. Di   "Estel kamu enggak papa 'kan?" tanya Harry lagi.   "Enggak, Pi."   "Estel ini peringatan terakhir. Kalau sampai kamu melakukan kesalahan lagi Papi akan tinggal kamu di sini bersama monster itu kamu paham kan?!"    "Paham, Pi." Harry bangkit berdiri. Dia ke luar melihat empat pemuda tewas secara naas. Harry kembali lagi masuk ke dalam ada beberapa yang dia lupa bawa karena harus mencari Estel tadi.   "Kita mau apa lagi, Pi?" tanya Estel lagi.    "Ada alat yang lupa Papi bawa. Kamu ikut Papi aja takut terjadi sesuatu lagi nani."   "Tapi, hari sudah semakin sore nanti kita kemaleman, Pi."     "Kalau kemaleman kita akan menginap di rumah lama kita dulu saja."   "Itu artinya kita sudah menghabiskan waktu kurang lebih empat hari di sini bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Mami di sana. Aku mau pulang, Pi."  "Estel kamu nurut aja sama, Papi kamu tetep mau kita baik-baik aja 'kan?" Estel mengangguk dia pun ikut lagi bersama, Papinya menghadap ke belakang Dan melihat darah yang mengalir. Mengingat itu secara jelas jadi membuat berfikir tentang kakaknya waktu itu.    Harry memasukkan barang yang sudah ditemukan. Setelah itu memasukkan ke dalam ranselnya. Ransel Estel pun dia buka untuk.memasukan beberapa barangnya.   "Estel kamu enggak berat 'kan? Papi mau masukin beberapa barang lagi." Estel menggelengkan kepalanya.     "Oke, kalau gitu Papi isi lagi tas kamu. Nanti sesekali Papi akan bantu kamu untuk membawa tas ini."   "Iya, Pi." Harry memasukkan itu semua ke dalam. Setelah itu dia menggandeng Estel Dan mengajaknya ke luar. Hingga tidak ada lagi yang tertinggal mereka ke luar.     "Tolong...." ucap seseorang dengan pelan. Estel Dan Harry menengok ke arah belakang.    "Pi udah ayo kita pergi. Siapa tahu dia masih orang yang jahat." Harry yang tadinya ingin membantu pun langsung berjalan lagi.   "Tolong, saya sudah tidak kuat," ucap orang itu lagi. Harry pun berhenti lagi berjalan.        "Udah ayo, Pi kita pulang aku takut. Aku mau pulang sekarang ayo, Pi."    "Estel kamu tunggu di sini, Papi ingin membantu nenek itu." Harry melihat perempuan tua itu dengan kaku berlumuran darah pun merasa kasihan.   "Pi, sebentar lagi dia akan mati tinggalkan saja ayo kita pergi." Estel menarik tangan Papinya lagi. Dia tidak mau ditinggal. Rasa takutnya lebih besar. Tidak dia biarkan orang tuanya itu pergi lagi.   "Ayo, Pi."    "Estel kamu tenang di sini kalau ada monster itu datang kamu ngumpet di bawah mobil ini kalau Papi belum datang ya, nak," ucap Papinya. Estel menggelengkan kepalanya dia tidak mau rasanya takut. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Papinya memaksa untuk tetap di sini.   Harry melepaskan tangannya dari anaknya. Kemudian dia segera menghampiri nenek itu.   "Ibu tidak apa-apa?" tanya Harry saat sudah di dekat Ibunya. Ibunya pun menunjuk ke arah Kakinya. Harry menduga suara orang tadi yang mengalihkan suara monster itu adalah Ibu ini.    "Suami Dan anak saya. Suami Dan anak saya mati di sana." Ibu itu menunjuk ke arah belakang. Tidak ada apapun apa jauh dari sini? Tapi, kenapa Ibu ini secepat itu datangnya.   "Ibu ikut saya aja ya. Biar saya obatin kaki Ibu."   "Tidak perlu saya ingin mati juga. Kamu bunuh saya saja. Saya sudah tidak punya keluarga."   "Ibu tenang ya. Ibu bisa tinggal sama keluarga saya. Saya akan obatin kaki Ibu." Tetap saja Ibu itu menggelengkan kepalanya sambil menangis. Kalau suara itu semakin kencang yang ada Monster itu malah datang lagi ke sini.   "Saya ingin mati buruan bunuh saya saja. Kamu punya pisau kan. Saya sudah tidak sanggup hidup kalau harus sendiri di sini. Saya tidak berani."   "Shut ... Bu tenang ya. Ibu masih bisa selamat jika bersama kami jadi Ibu tidak perlu takut. Ayo ikut kami saja." Harry mencoba untuk membantu Ibu itu berdiri. Ibu itu malah marah dan mendorong Harry.   "Saya bilang saya mau ikut suami Dan anak saya. Saya mau mati kamu bunuh saya buruan," teriak Ibu itu dengan tidak tahu dirinya.    Dia menengok ke arah anaknya. Anaknya sudah mengkode untuk tinggalkan saja wanita ini, Harry awalnya ragu tapi suara monster itu yang berlari ke arahnya membuat Harry langsung saja berlari ke arah anaknya.   Harry mengayunkan tangannya. Dia menyuruh Estel untuk masuk ke bawah mobil. "Masuk , Estel," ucap Harry dengan pelan.  "Hoaaaaaaa...." teriak wanita itu. Seketika monster itu datang. Harry tepat datang di depan Estel Dan langsung menarik anaknya masuk ke bawah mobil. Untuk bawah mobil itu bisa untuk mereka masuk kedua.   "Ngik... " ucap suara monster itu yang sangat besar. Lagi-lagi mereka harus melihat korban mati naas oleh monster itu. Tubuh satu orang di hantam oleh dua monster.   "Pi takut...."    "Tidak papa, Papi akan tetap bersama kamu," ucap Harry sambil berbisik di terlinga Estel. Estel ingin menangis tapi dia tahan. Monster itu masih lumayan dekat darinya kalau terdengar bisa mereka ikut menjadi mangsa juga.      Setengah jam kemudian montser itu baru pergi. Cukup lama Estel Dan Harry berada di bawah mobil sambil menunggu monster itu pergi. Karena tidak bisa mereka kabur kalau monster itu berada di dekat mereka.    Estel sampai tertidur hari sudah semakin petang. Harry haru berjalan Dan membawa anaknya ke rumah lamanya saja. Semoga saja rumah di sana masih aman. Angin berhembus menerbangkan benda-benda ringan. Entah ke mana semua orang berada.     Estel berada di gendongan Harry. Pundak Harry terasa sangat sakit sebenarnya sudah menggendong anaknya membawa dua tas yang sangat besar pula. Tapi, kalau dia membangunkan Estel pasti sulit karena anaknya terlihat sangat kelelahan.   Harry sama sekali tidak bisa mengabari istri dan anaknya yang jauh dari sini. Semoga saja tidak terjadi apapun di sana. Karena kalau sampai terjadi sesuatu akan sia-sia Harry ke sini.       Estel merasa tidurnya tidak nyaman dan terbangun, "Pi kita udah sampe rumah?" tanya Estel sambil mengucek matanya.    "Hari ini kita pulang ke rumah lama kita dulu ya, nak. Kita tidak bisa pulang pada malam hari. Kalau sampai monster itu datang yang ada kita yang akan termakan."   "Iya, Pi." Estel hanya menurut saja ucapan Papinya. Berkali-kali tadi dia harus melihat manusia terkoyak dengan monster yang menyeramkan itu. Dia berharap kalau tidak akan terjadi sesuatu dengan mereka.   "Pi, aku jalan aja, Papi pasti capek," ucap Estel lagi. Harry mengangguk. Dia memang lelah karena menggendong anaknya.   "Maaf ya, Papi bawa kamu ke situasi yang membahayakan."   "Tidak apa, Estel juga tidak mau Papi sendiri. Maaf kemarin menolak untuk ikut Papi." Harry tersenyum. Awalnya dia mengajak Estel memang untuk mengurangi beban istrinya. Agar istrinya tidak terlalu lelah karena hanya Estel yang sulit untuk diatur. Tadi Dan kemarin pun mereka hampir selalu dalam bahaya jadi Harry sunggu harus memperhatikan anaknya.    Beberapa saat lagi mereka sampai di rumah lamanya. Ternyata rumahnya pun sudah hancur walaupun masih bisa untuk mereka menginap sehari malam ini.        "Estel malam ini kita tidur di sini dulu." Estel mengangguk. Mereka masuk ke dalam rumah lama mereka. Keadaan sungguh sangat berantakan, hancur. Dia ingin berjalan ke atas. Kamar mereka dulu tapi Papinya menarik Estel.   "Di sini aja," ucap Harry lagi.   "Tapi, aku mau lihat kamar Kakak. Aku kangen."   "Estel suasana yang kita hadapi bukan seperti dulu. Kakak kamu udah tenang jadi kamu diam dan ikuti saja di sini." Estel pun dengan raut wajah kecewa akhirnya pun menuruti ucapan Papinya.    "Papi, mau istirahat dulu. Badan Papi sangat lelah ingat. Kamu jangan melakukan apapun," ucap Harry lagi. Matanya memang sangat lelah sekarang. Dia membutuhkan istirahat sejenak sekarang sebelum mereka pulang lagi Dan menempuh perjalanan yang lumayan jauh lagi besok.      Estel tetap diam duduk di bangku. Papinya sudah terlelap, dia merebahkan tubuhnya lagi tapi tetap saja matanya tidak bisa untuk tidur. Tadi, dia sudah tertidur. Makanya sekarang dia tidak bisa tidur lagi.   Estel bangun lagi Dan duduk. Dia melihat ke arah Papinya. Mendekatkan tangannya ke hidung Papinya.    "Papi, udah pulas sepertinya," ucapnya pelan. Estel masih penasaran ingin ke kamar kakaknya. Kali saja dia masih menemukan kenang-kenangan barang kakaknya. Atau baju ballet ya g sejak dulu Estel impikan. Tapi, semua itu musnah kala Kakaknya harus tewas karena menyelamatkan dirinya.   Estel berjalan sangat pelan. Dia melihat ke dapur dulu, dapurnya sangat kacau, persis seperti korban gempa. Benar-benar kacau. Tapi, dia tidak tahu kapan ini akan kembali dan apa kelemahan monster itu.    Dia berjalan lagi ke lantai atas. Tangganya sudah agak hancur agak susah kalau mau naik ke atas. Estel harus sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Ada tangga yang sudah kopong juga. Tapi, karena rasa penasarannya lebih besar jadi dia tetap naik dengan lompat. Pelan-pelan tapi pasti dari pada nanti dia menimbulkan suara keras Dan montser itu datang menghampirinya. ......   Di sisi lain, Angelina sebenarnya was-was. Suaminya tidak pulang lagi. Karena dia khawatirnya anaknya yang paling kecil pun jadi rewel. Terpaksa mereka harus tetap menutup rapat agar tidak menimbulkan suara.   "Mi, besok aku ke kali yang biasanya, Papi ke sana saja ya. Aku mau mencari ikan lagi. Besok pagi kita tidak makan lagi."   "Jangan, Steven berbahaya, Mami tidak apa kok tidak makan. Kita bisa minum saja," jawab Angelina sambil menganyukan anaknya.   "Tapi, Mi kalau kita menunggu sampai, Papi pulang nanti adek makin rewel karena ASI, Mami tidak ada gizinya Dan membuat dia tidak kenyang." Angelina hanya bisa menangis. Fikirannya ke mana-mana sejak suaminya itu tidak kunjung pulang juga. Rasa takutnya selalu mengghantui dirinya. Tapi, dia tidak bisa bertingkah apapun.   "Steven, adek kamu enggak papa kok minum ASI terus toh dia belum bisa bicara juga."   "Mi—"   "Oke gini aja. Besok, Mami yang akan cari sendiri. Kamu di sini jagain adik kamu. Mami akan segera pulang untuk mencari makanan." Angelina lebih baik mengalah dan dia yang mencari makanan dari pada dia harus kehilangan anaknya lagi. Cukup Violine yang pergi karena monster yang entah datangnya dari mana itu.   "Mi, aku enggak bisa jagain adek. Aku malah takut terjadi sesuatu."    "Kamu akan lebih aman kalau di sini sama adek kamu Dan jagain dia," ucap Angelina lagi.   "Kalau aku aman gimana sama, Mami?" tanya Steven lagi.   "Tenang, Mami akan hidup untuk anak-anak, Mami. Udha sekarang kamu tidur aja."   "Aku enggak bisa tidur, Mi. Itu adik masih nangis juga," ucap Steven yang tidak tega. Angelina sesekali menutup mulut anaknya agar tidak terlalu keras. Angelina sambil mencari cara agar anaknya tetap diam.      Dia pun memberikan sebuah mainan yang biasanya digigit-gigit oleh anaknya. Dia berikan kepada anaknya. Tapi, tetap saja anaknya menolak Dan menangis.    "Sini, Mi biar Steven aja coba." Angelina pun memberikan Eveline kepada Steven mungkin bisa dia menurutnya. Karena dari tadi dia sudah mengayunkan tetap saja anaknya masih menangis.   "Adek sayang diem ya. Ini sama Kakak," ucap Steven lagi dengan nada yang mengajak berbicara.    "Ooekk...." Sesekali Steven pun menutup mulut adiknya kalau suaranya makin keras. Dia tidak takut juga kalau suara itu bisa menghadirkan monster menyeramkan itu datang.   "Eveline diem dong sayang nanti monster itu datang."   "Mami, tenang ya. Biar Steven yang coba diemin adek. Kalau, Mami panik Evelinenya makin rewel. Mami tenang ya. Mending, Mami minum aja dulu," saran Steven. Steven tahu, Maminya terlihat sangat panik. Tapi, Eveline akan semakin menangis kalau semua orang jadi panik. Jadi, Steven pun mencoba untuk tetap tenang agar semuanya baik-baik saja.   "Iya, Steven," jawab Maminya. Setelah itu Maminya ke luar dari kamar sederhana ini Dan mengambil minum. Peluh di dahinya sudah bertetesan karena raut khawatir.    Beberapa menit kemudian pun Eveline akhirnya tenang. Memang kalau merawat anak kecil haruslah tenang kalau kita semakin panik yang ada dia pun menangisnya semakin keras. Harry benar-benar memutuskan keputusan yang tepat untuk Steven berada bersama Maminya. Dia tidak tahu kalau Estel yang bersama Maminya pasti Maminya akan semakin kerepotan.   "Eveline sudah diam, Kak?"    "Udah, Ma. Mending, Mama istirahat aja. Ini biar aku aja yang gendong."     "Kamu enggak capek?" tanya Maminya lagi.   "Steven nanti bakal taruh adik kalau dia sudah pulas, Mi. Kalau dia belum pulas takutnya nanti bangun lagi malah repot lagi, Maminya." Angelina pun mengangguk. Badannya juga terasa pegal. Angelina merebahkan badannya di tikar. Membiarkan Steven menggendong adiknya.   "Kamu sudah pulas adiknya taruh aja, Steven. Kamu juga perlu istirahat. Dari siang sudah membantu, Mami." Steven tersenyum dia mengangguk, "Mami tenang aja nanti kalau aku udah ngantuk dan Eveline udah pulas aku taruh kok. Yang penting, Mami istirahat aja. Mami yang kelihatan lebih lelah."   "Iya, nak. Nanti kalau Papi kamu udah pulang sama adik kamu. Kamu bangunin Mami aja ya." Steven mengangguk. Angeline pun mulai memejamkan Matanya. Rasanya kantuk sudah melandam sedangkan Steven masih mengayunkan adiknya yang sudah tertidur. Tapi, dia masih belum menaruh adiknya. Dia menunggu, Maminya sampai terlelap Dan dia yang akan mencari ikan saja untuk makan Maminya besok. Tanpa, harus bilang ke Maminya kalau dia pergi.  .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN