"Ketika masalah yang satu belum selesai. Namun, masalah baru muncul."
****
Steven masih termenung di atas bebatuan rumahnya. Kondisi saat ini benar-benar sepi. Hari juga sudah senja. Jangankan untuk memilihat burung-burung. Kupu-kupu saja tidak ada. Wilayah ini sudah sangat menyeramkan. Steven tidak pernah berfikir kalau dia akan hidup di zaman seperti ini.
"Steven kamu ngapain belum masuk?" tanya Angelina yang datang menghampiri anak laki-lakinya.
"Aku teringat Paman Werd. Aku baru bertemunya sekali, tapi bahkan dia menyematkan nyawaku dengan menyerahkan dirinya sendiri," ucap Steven memandang lurus ke depan.
"Sayang mungkin Paman Werd punya alasan untuk kamu hidup," ucap Angelina mengelus kepala anaknya.
"Kenapa aku selalu mengorbankan orang lain Dan tidak berguna Mi, aku juga yang menyebalkan Violine meninggal. Kenapa enggak aku aja." Angelina duduk di samping anaknya. Dia paham sekali perasaan Steven tapi kita semua juga tidak tahu ini semua bisa terjadi.
"Kamu berguna kok. Buktinya Steven bisa cari makan untuk kita. Bawa ikan banyak lagi."
"Itu, Paman Werd yang bawa, Mi. Tadinya, aku ingin mengenalkan Paman Werd ke kalian tapi yang ada Paman Werd malah termakan dengan makhluk aneh itu. Mereka manusia tapi kenapa memburu manusia juga, Mi. Tidakkah berfikir kalau kita sama-sama bertahan hidup dari monster itu tapi kenapa malah manusia-manusia itu membunuh sesama." Angelina tersenyum pias. Dia juga bahkan belum tahu makhluk apa yang telah dilihat anaknya. Karena setahunya pun hanya ada monster yang menyeramkan itu.
"Memang yang Steven lihat seperti apa?"
"Mereka manusia, Mi. Awalnya aku kira mereka sama seperti kita sebelum akhirnya Paman Werd menyuruhku untuk lari. Tadinya, Paman Werd juga akan lari saat dia mengatakanmya kepadaku tapi apa dia malah mengorbankan dirinya untuk aku tetap hidup. Padahal.kita baru bertemu," jelas Steven sedih. Satu sisi Angelina bersyukur anaknya masih diselamatkan tapi melihat Steven yang murung pun membuat dia kasihan.
"Mi, kenapa kita enggak pindah aja? Kita cari tempat yang aman lagi, Mi. Di sini terlalu bahaya untuk kita semua. Aku enggak mau nantinya kehilangan kalian satu persatu," ucap Steven lagi. Sudah hampir setahun mereka di sini dengan keadaan yang benar-benar kota Mati. Tidak ada lagi yang lain selain keluarganya.
"Kalian kok belum masuk? Hari sudah semakin malam. Monster itu lebih bahaya saat malam," ucap Harry menghampiri anaknya dan Angelina sambil menggendong Estel yang sudah membaik.
"Pi, kenapa kita tidak pindah Negara aja. Kita ke Bandara, Pi. Aku udah enggak berani di sini lama-lama," ucap Steven bangkit dan menghampiri Papinya.
"Steven seandainya, Papi juga mau seperti itu. Tapi, Papi juga belum dapet petunjuk apapun. Di rumah malama kita saat kesaja pun sepi. Walaupun, sempat ada orang juga tapi dia pencuri. Sepertinya bukan dari Negara kita. Mereka masuk secara illegal. Tapi, sayang Papi tidak bisa menemukan petunjuk apapun."
"Aku takut, Mi, Pi. Aku enggak mau melihat kematian di depan ku lagi. Apalagi mereka mengorbankan dirinya untuk aku. Aku enggak mau, Pi."
"Mungkin ini seleksi alam, nak. Mereka yang kuat akan bertahan. Tapi, ketika Kamu lemah Dan mengeluh kamu akan habis juga." Steven terdiam. Dia tidak ingin mati. Bahkan Steven takut untuk mati tapi dia tidak bisa melihat kematian yang ada di depannya terus menerus.
"Kamu sabar ya. Mami dan Papi akan tetap mencari jalan aman untuk kalian bisa bertahan. Mami dan Papi akan berusaha untuk mencari informasi," ucap Maminya lagi. Steven mengangguk. Setelah itu Papinya menyuruh mereka masuk ke dalam. Masuk melalui pintu tapi masih harus Turun ke ruang bawah tanah. Ruang yang menurut mereka kedap suara tapi belum tentu juga. Moster itu bisa datang kapan saja.
......
Mereka Semua makan malam sekarang. Makanan yang mereka makan pun tidak seenak dulu. Tanpa ada rasa apapun karena memang sudah tidak ada lagi bahan penyedao rasa. Makan mereka pun juga tidak bisa semewah Dan selezat dulu. Sekarang tetap hidup adalah pilihan yang utama.
"Kalian lanjutin makan aja. Adik kalian bangun," ucap Angelina saat mendengar anak bungsunya Eveline menangis. Mereka mengangguk dan melanjutkan makan mereka.
......