Mengetes Peluit Tersebut

3214 Kata
"Semua lenyap tak tersisa hanya darah yang berlumuran di sekitarnya." *****      Beberapa jam setelah itu, monster itu pergi. Mereka memutuskan untuk melihat keadaan di sana. Bau anyir sekaligus bau asap menyelimuti sekelilingnya. Mereka Semua menutup hidung mereka. Berjalan mengitari sekeling tempat manusia aneh itu.    "Sepertinya mereka semua sudah mati, lihatlah ini sudah sepi dan semuanya tertutup rapat. Tidak mungkin 'kan kalau ada yang bisa kabur? Apalagi monster tadi sempat datang dan mereka semua malah gaduh itu artinya mereka tidak ada yang di sini saat ini," ucap Estel. Mereka Semua masih mengelilinginya memang tidak ada satupun yang masih hidup tapi mereka tetap harus berjaga.    "Kalian tunggu di sini, biar saya yang masuk ke dalam lebih dulu. Harry tolong jaga cucu saya," ucap Tono yang memilih untuk maju melihat ke sana lebih dulu.   "Biar saya saja, Kek."   "Tidak usah. Kamu masih muda kalaupun ada sesuatu saya sudah tua, kamu bisa mencari cara lain untuk bisa menghancurkan Monster itu Dan jika ada manusia kanibal yang lain kamu bisa membunuh mereka lagi."   "Tapi...."   "Tidak apa kamu tetap berjaga di sini saya yang akan masuk, saya rasa kondisi juga sudah aman jadi kamu tinggal tenang aja di sini."    "Sudah tidak apa, Paman. Kakekku pemberani," ucap Jeromy memegang tangan Harry. Harry akhirnya setuju dia memilih untuk tetap diam di sini menjaga anaknya dan juga Jeromy.    Sedangkan Tono masuk ke dalam tempat manusia kanibal itu, persis seperti pada zaman primitif di mana di dalamnya hanya rumah-rumah dari dahan-dahan bekas tumbuhan Dan di tengah ya semacam Batu entah apa itu.   "Pi, Estel lapar," ucap Estel mengelus perutnya lagi.   "Sabar ya, nak nanti setelah ini kita cari makan lagi."   "Iya, Pi," jawab Estel. Mereka serius lagi melihat ke arah Tono yang masuk ke setiap tempat-tempat manusia kanibal yang sudah habis itu.      Beberapa menit kemudian Kakek Tono pun ke luar lagi Dari tempat manusia kanibal itu Dan menuju ke tempat Harry yang masih bersembunyi.   "Saya lihat semua sepertinya sudah mati Dan kepala suku mereka yang bertubuh kecil juga saya rasa sudah mati. Di dalam sana sudah tidak ada apapun lagi."   "Berarti musuh kita pada manusia kanibal itu sudah selesai ya, Kek?" tanya Harry lagi. Kalau selesai dia sudah menghembuskan napasnya lega itu artinya dia akan menyusul lagi ke keluarganya untuk gantian membasmi monster itu.   "Tidak juga. Walaupun kita tahu manusia kanibal itu sudah habis oleh monster itu tidak menutup kemungkinan ada yang kabur atau sebelumnya belum masu, berarti masih ada beberapa lagi manusia kanibal yang berkeliaran."   "Tapi, tadi kita sudah lihat semua sudah masuk, Kek." Tono mengangguk mengerti memang semua sudah masuk tapi 'kan kita tetap harus waspada.   "Tenang saja, kita akan tetap waspada untuk kemungkinan-kemungkinan yang bahaya nanti," ucap Tono berjalan lebih dulu entah ke mana.   "Oke kalau gitu."   "Sekarang kita akan ke mana lagi?" tanya Kakek Tono kepada Harry karena hanya Harry yang selalu punya rencana untuk membuat sesuatu.   "Kita ke sungai dulu untuk mencari ikan bagiamana, Kek? Karena anak-anak juga sudah lapar sekaligus kita mengambil minum, karena stock minuman kita juga sudah kritis."   "Yasudah kalau gitu ayo," ajak Harry menggandeng anaknya. Jeromy diambil alih Kakeknya yang menggandeng.    Di sisi lain setelah mereka pergi ada yang mengintip mereka dari jauh tapi mereka tidak sadar. Orang itu memandang dengan pandangan bengis. Entahlah orang itu manusia kanibal atau bukan. ....     Sampai di sungai arusnya sangat deras ketika kita berbicara kencang di sini pun tidak akan ada yang dengar. Jadi, mereka berbicara layaknya dulu belum ada apapun.   "Pi, berarti kita belum aman ya?" tanya Estel lagi.   "Kita waspada aja, Stel seperti yang diberi tahu Kakek Tono kamu harus yakin kalau kita akan baik-baik saja."    "Pi terus gimana sama Mami dan Kakak kita udah enggak hubungin mereka lagi," ucap Estel. Harry melihat ke arah Tono yang melihatnya serius. Benar juga dia sampai lupa dengan keadaan istri dan anaknya di sana.   "Nanti setelah kita kumpulkan ini ikannya lebih baik kamu hubungi istrimu itu."   "Iya, Kek." Mereka Semua akhirnya serius mengambil ikan lebih dulu baru nanti menghubungi Angelina Dan anak-anaknya. ...      Di sisi lain Angelina baru bangun dari istirahatnya, cukup lama karena memang dia sangat lelah. Steven dengan mata mengantuk masih setia menjaga adiknya.   "Steven kamu ngantuk?" tanya Maminya.   "Mami udah bangun?" tanya Steven lagi.   "Maaf ya, Mami tidur lama banget badan Mami rasanya capek banget. Adik kamu nangis?" tanya Maminya lagi.   "Enggak kok, Mi. Eveline dari tadi tenang tadi aku kasih minum air putih waktu mau nangis soalnya Mami masih tidur aku mau bangunin enggak enak," ucap Steven lagi.  "Yaudah sini gantian Mami aja yang jagain adek kamu. Kamu tidur aja ya." Steven menggelengkan kepalanya. Dia berfikir pasti Maminya lapar karena menyusui adiknya jadi lebih baik dia mencari makan untuk Maminya.   "Kenapa enggak? Bukannya kamu ngantuk banget," ucap Maminya lagi.   "Ngantuk sih, Mi. Tapi, Mami kan juga baru bangun pasti laper banget. Jadi, aku mau cari makanan dulu buat Mami." Angelina tersenyum haru dia jadi merasa bersalah karena menyusahkan anak pertamamya.   "Nanti aja, Stev kamu istirahat aja dulu kamu pasti butuh istirahat kan, dari tadi kamu jagain adik kamu pasti kamu capek."   Steven menggelengkan kepalanya tidak masalah, "Enggak papa kok, Mi lagian kalau udah cari makan jadi tenang juga. Nanti malah enggak ada makanan susah gimana?"  "Hemm kalau gitu ayo biar Mami bantu cari aja."   "No. Mami di sini aja, biar aku yang cari sendiri," ucap Steven lagi.    "Kenapa? Biar sekalian nemenin kamu juga 'kan," kata Angelina.   "Mami di sini aja jagain adek, nanti aku cepet balik lagi kok. Asalkan Mami di sini. Nanti kalau ada Mami terus adek nangis malah nimbulin suara monster itu lebih bahaya." Angelina melihat anaknya. Ya Eveline lagi tidak tidur matanya terbuka seakan anak itu minta diajak main. Angelina tersenyum dan mengecup Pipi anaknya.   "Kamu enggak papa sendiri? Kalau ada apa-apa gimana?"   "Enggak. Akukan anak laki-laki jadi harus bisa kuat dong. Udah Mami enggak usah pikirin aneh-aneh. Aku mau cari makanan dulu ya." Steven bangkit dengan membawa tombaknya. Entah Steven akan mencari makan apa karena setahunya daerah sini sangat jauh dari sungai itu artinya dia harus mencari makanan yang lain.   "Steven ini bawa kalau nanti ada sesuatu yang terjadi sama kamu," kata Angelina menyuruh Steven membawa peluit yang memang sudah dirancang suaminya.   "Oke, Mi."   "Kamu juga selalu kabarin, Mami ya kalau ada sesuatu langsung nyalain earphone kamu Dan hubungi, Mami."    "Mami tenang aja aku enggak bakal jauh kok. Nanti aku balik lagi buru-buru." Angelina mengangguk dia pun membiarkan anaknya mencari makanan dengan dia tetap di sini bersama buah hatinya. .....   Harry sedang membakar ikan sambil menghubungi istrinya Tapi belum juga bisa. Padahal alat ini dia rancang sedemikian rupa agar bisa tersambung ke sana tapi kenapa tidak bisa juga.   "Pi, gimana? Bisa enggak hubungin Maminya."   "Belum bisa, Stel mungkin Mami kamu lagi jalan atau alat itu ada ditas."  "Yaudah kita coba lagi nanti aja," ucap Estel lagi. Pikiran hari sudah ke mana-mana dia sebagai suami malah takut terjadi sesuatu dengan istrinya. Apalagi anak pertama Dan bayinya ikut ke sana bagaimana kalau mereka.   "Harry...." panggil Tono Dan duduk di sebelahnya. Sedari tadi Toni melihat Harry yang termenung karena tidak juga berhasil menghubungi istrinya.    "Eh Kakek ada apa?"    "Saya tahu pasti perasaan mu sangat khawatir memikirkan istrimu."   "Iya, benar, Kek saya takut terjadi sesuatu dengan mereka karena kami sudah kehilangan anak kedua kami." Tono mengerti perasaan Harry tapi dia hanya bisa mendukung Dan mendoakan agar istri Harry yang entah di mana itu tetap baik-baik saja.   "Kamu tenang aja lebih baik kita memikirkan cara selanjutnya apa yang kita lakukan."   "Kakek ini macam mana sih lebih baik kita makan dulu, kita habis menyelesaikan misi yang susah tadi," ucap Jeromy lagi. Estel pun tertawa dengan ucapan Jeromy.   "Iya benar kita makan aja dulu. Nanti baru kita pikirin rencana yang selanjutnya," ucap Estel lagi. Dua orang laki-laki dewasa itupun tersenyum dan menyelesaikan semua bakaran ikan itu. .....   Hari sudah malam tidak juga bisa menghubungi Angelina Dan juga anaknya sebenarnya mereka ke mana apa alat itu tidak berfungsi, kalau sampai tidak berfungsi bagaimana bisa mereka akan bertemu lagi.    "Pi, Papi belum tidur?" tanya Estel melihat ke Papinya. Mereka sedang beristirahat, Estel tidur di tangan Papinya.    "Belum kamu tidur aja. Kamu capek 'kan?"   "Iya, Pi. Tapi sama aku juga enggak bisa tidur aku pengen ketemu sama Mami."   "Sabar ya sayang. Besok kita cari, Mami tugas kita di sini sudah selesai besok kita bakal cari Mami lagi okey," ucap Harry menenangkan anaknya walaupun sama dia sendiri pun khawatir.    Mereka Semua akhirnya memilih tidur. Di sisi lain yang jauh di sana ada orang yang sedang mengamati mereka dengan segala raut wajah kebenciannya. Tidak ada yang tahu kalau ada orang lain yang memata-matai mereka. Tapi, tidak berani untuk di dekati.  ......    Di sisi lain, mereka harus makan sayuran karena tidak ada daging apapun yang bisa mereka makan. Mereka hidup seperti zaman purba yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.    "Stev kok earphone ini engga bisa menghubungi Papi ya. Kenapa ya, Stev?"    "Kayaknya enggak berfungsi deh, Mi tadi aku juga udah nyoba tapi sama sekali udah enggak bisa. Apa jangan-jangan rusak?" tanya Steven lagi. "Kalau rusak apa kita bakal bisa ketemu sama Papi kamu, Stev? Mana kita udah jauh dari mereka atau kita harus kembali lagi ke rumah lama kita?" Steven langsung menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Ibunya kembali ke rumah lama bisa saja manusia kanibal itu sudah mengepung rumahnya.   "Enggak, Mi itu bukan ide yang bagus aku enggak mau kembali ke sana lagi. Mami tidak ingat kah? Kalau kita kembali ke sana sama saja kita akan terkepung kalau manusia kanibal itu menunggu di sana." Angelina pun baru ingat, yasudah akhirnya mereka tetap diam di sini lebih dulu sambil berfikir rencana apa selanjutnya.    "Oekk...."   "Mi adek nangis."    "Shutt sayang tenang ya. Adek mau apa? Adek haus ya?" Seketika mereka jadi panik. Apalagi ini malam gelap takut monster itu datang atau manusia kanibal itu tahu keberadaannya. Walaupun, posisi mereka jauh dari asal manusia kanibal itu tetap saja mereka takut.   "Mi kita pindah aja dulu," ucap Steven. Angelina mengangguk menggendong anaknya lebih dulu. Sedangkan Steven membereskan barang-barang mereka.     Setelah semua masuk ke dalam tas Steven, dia langsung menyusul Maminya. Ternyata barang mereka ada yang jatuh yaitu earphonenya, tanpa mereka safari karena terburu-buru. Steven masih dengan bawaannya yang banyak pun berlari menyusul Maminya.    Maminya menutup erat anaknya. Satu sisi suara monster itu sudah mulai terdengar, rasanya monster itu tidak pernah beristirahat karena tiap kali mendengar sesuatu pasti langsung ada suara monster itu. Dan dia yakin beberapa saat lagi mereka pasti akan datang.   Angelina melihat sebuah pipa-pipa besar. Entah tempat apa itu, tapi dia berlari ke sana untuk menyelamatkan diri.   "Steven kamu masuk duluan habis itu bawa adik kamu."   "Enggak, Mami juga harus masuk udah Mami masuk duluan baru, Steven."   "Steven setidaknya kalau ada apa-apa kamu dan adik kamu sudah aman. Buruan kamu masuk ke dalam," ucap Angelina mengamati belakang sedangkan suara itu semakin dekat.   "Stev ayo buruan adek kamu makin kenceng nangisnya. Yang ada kita semua mati. Mami akan nyusul kamu. Kamu enggak akan bisa nanti nutup atasnya ini jadi kamu duluan bawa adik kamu ayo buruan." Angelina menyerahkan Eveline kepada Steven. Steven dengan berat hati pun membawa adiknya padahal dia takut, tapi akhirnya dia masuk bersama adiknya.   "Mami ayo."   "Udah kamu masuk aja duluan. Nanti, Mami nyusul."   "Tapi, Mi—"   "Stev dengerin Mami. Mami enggak bakal ninggalin kamu sendiri di sini. Jadi, kamu diam di dalam." Angelina menutup lorong atasnya itu.     Steven semakin takut kalau Maminya tidak kembali sedangkan dia hanya berdua dengan adiknya.   "Dek, tenang ya kita berdoa biar Mami enggak papa. Adek pinter kan?" ucap Steven menimang Eveline agar berhenti.merengek. Beberapa saat kemudian tangis Eveline pun diam. Tapi, dia masih khawatir Maminya masih belum masuk malah tidak terdengar suara apapun lagi apa jangan-jangan.... ....    Angelina sengaja menyuruh Steven dan anaknya masuk lebih dulu. Dia ingin mencoba alat yang diberikan suaminya. Moster itu sudah ada sepuluh langkah di depannya rasanya kakinya terasa lemas tapi dia tidak boleh lemah, dia juga tidak mau mati sia-sia.   "Ya aku harus bisa membuktikan alat ini untuk menghancurkan monster itu." Angelina berjalan mendekat, monster itu masih belum mengetahui ada Angelina. Angelina juga masihs sekuat tenaga menahan napasnya.    Setelah dia sudah berada di depan monster itu dia mengeluarkan peluitnya. Dengan mata terpejam dan doa dalam hati agar semua baik-baik saja.     "Semoga berhasil," batin Angelina.   Angelina mulai memencet peluit itu. Satu tangannya menutup telinga dia berjalan mundur dengan langkahnya. Ada perasaan Berkecamuk yang hadir dalam hatinya. Monster itu seperti kesakitaan tapi tetap berjalan maju ke depan. Sial kalau seperti ini Angelina bisa di makan oleh monster itu.   "Ngikkkkk...." Suara monster itu sangat keras di telinganya. Monster itu memegangi telingannya. Telinganya terbuka, benar-benar aneh monster yang ada di depannya itu. Angelina ingin menembakam sesuatu tapi dia tidak memiliki apapun. Pistolnya di bawa oleh Steven.   "Sial suara peluit itu kenapa semakin mengecil," ucap Angelina dengan pelan. Mau tidak mau Angelina lari menuju pipa yang tadi dia pun segera menyelamatkan diri untuk masuk Pipi itu. Sial kuncinya sangat keras dan berat.   Di dalam sana Steven seperti mendengar sesuatu, Maminya sepertinya ingin membuka itu tapi tidak bisa. Dia harus membantu Maminya. Jangan sampai Maminya kenapa-kenapa. Dengan susah payah dia mendorong ke atas walaupun susah.    Beban menggendong adiknya Dan juga tas yang berada di belakangnya membuat dia juga kewalahan. "Ayo dong terbuka Mami pasti lagi kesulitan di dalam. Ayo pasti bisa," ucap Steven mendorongnya sekuat tenaga. Sedangkan adiknya lagi-lagi menangis tapi dia biarkan sejenak. Sebentar lagi terbuka.    Beberapa saat kemudian itupun terbuka. Angelina langsung masuk ke dalam. Tadi dia sempat tercakar lagi oleh monster yang mengerikan itu. Setelah masuk ke dalam mereka segera.menutup penutup itu yang terbuat dari Batu besar. Pantas saja sangat susah.   "Mami enggak papa?" tanya Steven.   "Enggak papa kok, kamu enggak papa 'kan? Adik kamu enggak ada yang Luka atau kamu juga ada sesuatu?" tanya Angelina panik karena tadi dia mendorong Steven jadi takut anaknya itu terbentur sesuatu.   "Enggak kok, Mi aku baik-baik aja. Mami lengan Mami ke cakar," ucap Steven lagi.    "Iya, tidak apa yang penting kita semua sudah baik-baik saja di sini."   Steven mengangguk dan bersyukur tapi dia merobek bajunya sedikit. Darah terus mengalir dari lengan Maminya kalau dibiarkan bisa infeksi tapi kalau mereka caro obat sekarang enggak akan ketemu. Apalagi monster itu masih ada di atas.   "Stev memang benar alat ini mampu menghalau sedikit monster itu. Tadi monster itu ketakutan Dan akhirnya mundur tapi semakin lama malah peluit ini semakin habis suaranya."  "Masa iya, Mi? Setahu aku enggak kok. Kata Papi alat ini bisa dipakai kapaj saja juga untuk kita waspada."   "Entahlah atau tadi tertutup tangan Mami atau apa Mami juga enggak tahu. Ahhh...." Angelina menahan perih saat Steven membungkus lukanya. Tadi saat cakaran itu tidak begitu terasa. Tapi, sekarang cakaran itu semakin terasa.   "Tahan, Mi. Aku mau kasih air dulu," ucap Steven mengelap dulu Luka Maminya yang sempat dia lupa. Tadinya, dia mau langsung menyelimuti saja tapi takut Luka Maminya Infeksi jadi lebih baik dia elap sedikit menggunakan air.  "Perih ya pasti Violine waktu itu ngerasain sakit banget dicabik-cabik. Mami jadi orang tua yang jahat banget enggak bisa lindungin anak-anak Mami. Setiap kali Mami mimpi Violine rasanya Mami terus ngerasa bersalah terus."   "Kan Mami sama Papi yang bilang kalau Violine malah udah aman di sana. Udah takdirnya juga Violine pergi. Mungkin Tuhan lebih sayang sama Violine makanya Violine di ambil Tuhan supaya Violine aman. Nah, kita di sini masih diberikan kesempatan untuk hidup dan untuk menghancurkan monster itu mungkin, Mi," jelas Steven panjang lebar. Steven pun sudah selesai melilit lengan Maminya dengan kausnya. Kausnya robek sampai perut karena untuk menutup Luka Maminya.   "Baju kamu ganti habis ini, Stev nanti kamu malah masuk angin."   "Iya, gampang itu, mah Mi. Mi lihat deh ke dalam sana sepertinya masih bisa, Mi. Kita coba ke sana coba. Siapa tahu emang ada jalan ke luar atau bisa dijadikan tempat tinggal sementara lagi. Kalau kita jalan semakin jauh yang ada nanti malah pisah sama Papi." Steven menunjuk lorong itu yang akan berakhir. Mungkin dengan mereka berjalan ke arah sana bisa membuat mereka mendapatkan petunjuk.    "Yaudah kita jalan ke sana aja. Kamu enggak berat gendong adik kamu?" tanya Angelina yang merasa kasihan dengan anaknya. Belakang menggendong tas besar sedangkan depan menggendong adiknya.   "Enggak papa kok, Mi. Lagian tangan Mami juga masih sakit, biar Steven aja yang gendong adik." Maminya tersenyum dia pun bangga mempunyai anak sulung yang berani Dan juga kuat.   Steven berjalan dengan merangkak selain Karena lorong itu sangat sempit tidak mungkin mereka berdiri karena tidak bisa juga. Jadi, mereka berjalan dengan merangkak agar bisa sampai di sana.   "Steven kamu yakin lorong itu enggak ada apa-apanya nanti malah ada sesuatunya," ucap Maminya lagi. Steven terhenti, benar juga dari pada menjatuhkan diri ke masalah baru lebih baik mereka berbalik lagi.   "Iya, Mi mending kita ke luar lagi aja kayaknya monster itu udah pergi enggak papa 'kan, Mi?"   "Enggak papa sayang dari pada nanti malah terjadi sesuatu." Angelina pun memutar badannya ke depan, karena lorong itu hanya bisa satu orang jadi mereka harus berbaris untuk bisa ke luar lagi.   Angelina membuka penutup dari Batu itu agak berat, belum lagi tangannya jadi nyeri untuk membukannya. Steven yang melihat Maminya kesulitan pun berniat untuk membantunya, "Mi, sini aku bantu kayaknya susah banget," ucap Steven.    "Agak berat sih," ucap Angelina.   "Yaudah biar Steven aja yang buka, Mi," ucap Steven bertukar posisi memang kalau di atas agak luas berbeda semakin ke bawah malah semakin sempit.     Steven sekuat tenaga membuka tutup atasnya itu. Beberapa saat kemudian baru terbuka. Adik bayinya malah menangis.   "Shutt tenang ya dek," ucap Steven menutup sedikit lagi atasnya karena adiknya menangis.    "Maaf, Mi kayaknya adek kepentok sedikit."   "Shutt ... Maafin, Kakak ya Dek kakak enggak sengaja." Angelina mengelus kepala anaknya. Dia juga tidak menyalahkan Steven lagian dia tahu tidak mungkin Steven sengaja melukai adiknya.   Beberapa saat setelah adiknya tenang, mereka ke luar. Setelah sampai di atas keadaan sangat kacau, alas bawah yang tadinya tidak hancur jadi sedikit hancur. Memang monster itu sangat besar dan mengerikan. Pasti sangat sulit untuk menghancurkan monster tersebut.   "Mi, kayaknya kita udah aman? Tapi kita harus ke mana lagi?" tanya Steven lagi. Lalu, ada suara yang berasal dari perut Steven. Steven nyengir, perutnya sangat tidak bisa diajak bekerjasama malah berbunyi di saat seperti ini.   "Steven kamu laper ya?"   "Enggak kok, Mi."   Krucuk ... Krucuk....   Steven menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil cengengesan. Mulutnya memang mengatakan tidak tapi perutnya terus saja berbunyi.   "Maafin Mami ya, tadi kita enggak sempet makan karena adik kamu nangis."   "Enggak papa, Mi lagian kita juga udah bener, kalau kita tetap di sana yang ada malah bukannya kita yang makan malah kita dimakan," gurau Steven walaupun dia sudah lelah dan juga lapar, Steven tidak mau membuat Maminya jadi khawatir Dan kepikiran dengannya.   "Yaudah kita makan dulu aja yuk. Kita cari makan lagi," ucap Maminya.     "Besok aja, Mi waktu udah malam. Minum kita 'kan masih ada aku minum aja nanti kenyang kok."   "Enggak papa kok, Mami masih kuat." Steven meringis, dia yang sudah tidak kuat kepalanya sungguh pusing tidak mungkin untuk jalan lagi dia hanya butuh istirahat sekarang.   "Enggak papa kok, Mi aku mau istirahat aja. Besok aja kita cari makanan," ucap Steven lagi.   "Yakin enggak papa muka kamu pucat sekali, Stev. Mami malah takut kalau kamu kenapa-kenapa nanti."   "Enggak papa kok, Mi beneran aku cuma butuh istirahat aja jadi untuk malah ini kita istirahat di sini aja ya." Steven tetap memaksa untuk kita istirahat di sini. Angelina pun setuju mereka istirahat. Steven melepaskan gendongan adiknya Dan menaruhnya dengan alas gendongan di bawahnya. Setelah itu mereka beristirahat bersama di sana. .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN