"Ketenangan adalah kunci utama dalam menghadapi situasi yang darurat."
****
Harry terbangun dari tidurnya dengan terkejut. Karena pergerakan Papinya Estel pun ikut bangun, dia mengucek matanya. Dan melihat ke arah Papinya dalam keadaan remang-remang.
"Papi kenapa?" tanya Estel.
"Eng ... enggak papa kok. Estel tidur lagi ya."
"Papi mimpi buruk ya?" tanya Estel lagi.
"Enggak kok. Yuk bobo lagi masih malem." Harry menidurkan tubuhnya kembali dan anaknya. Lengannya dijadikan bantal untuk anaknya. Estel pun yang masih mengantuk memutuskan untuk kembali tidur lagi.
Harry masih bisa belum terpejam lagi. Dia barusan mimpi istri dan anak-anaknya dalam bahaya. Istrinya minta tolong dari kejaran seseorang entah siapa sedangkan Harry tidak bisa membantu sama sekali karena jauh. Harry menggelengkan kepalanya. Lalu, dia berfikir kalau itu hanya mimpi jadi tidak mungkin terjadi sesuatu. Istrinya pasti baik-baik saja walaupun sampai sekarang Harry masih belum bisa menghubunginya.
......
Keesokan harinya mereka semua sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan untuk mencari istrinya lagi. Malam yang panjang tadi malam membuat Harry benar-benar kepikiran terus dengan istrinya.
"Ayo kita jalan lagi, supaya lebih cepat sampai."
"Buru-buru banget, Pi?" tanya Estel.
"Tugas kita di sini sudah selesai, nak. Kita harus buru-buru untuk cari Mami dan Kakak kamu. Kamu enggak kasihan mereka cuma berdua belum lagi adik kamu yang bayi jadi kita harus buru-buru cari mereka." Estel pun yang paham langsung mengangguk.
"Kek, sudah siap? Kita harus segera pergi lagi sekarang."
"Iya ayo." Mereka pun mulai berjalan mencari lagi tempat yang baru. Sekaligus mencari keberadaan istrinya. Harry menyesal kenapa dia tidak membuat sebuah alat saja untuk tahu keberadaan istrinya. Earphone yang mereka rancang pun tidak berguna sama sekali. Harry sudah mencobanya berkali-kali tapi tetap saja tidak mendapat suara apapun.
.....
Di sisi lain seseorang yang melihat Angelina tertidur di tempat dia berada pun langsung mengguyur mereka. Angelina dan Steven pun terkejut langsung saja bangun.
"Astaga...."
"Kalian ngapain di sini! Ini daerahku. Baru saja aku tinggal semalam tapi kalian sudah berada di sini!"
"Em ... maaf. Kami hanya numpang bermalam di sini." Padahal tempat ini hanya tempat pipa-pipa kosong. Angelina pikir tidak siapa pun yang tinggal di sini.
"Kericuhan ini pasti karena kalian 'kan. Pasti monster itu masuk ke sini gara-gara kalian iyakan?!"
"Kemarin memang monster itu masuk ke sini. Tapi bisakah Bibi lebih sopan untuk tidak teriak-teriak kepada Mami ku. Kami juga kemarin hampir mati karena monster itu. Lihat tangan Mamiku saja lagi-lagi kenapa cakaran itu."
"Halah! Saya enggak peduli ini tempat berlindung saya kalau kalian mau tinggal itu izin dulu!"
"Gimana bisa izin kalau di sini saja tidak ada siapapun. Lagian tempatnya masih luas kenapa harus diperdebatkan kalau cuma kamu yang sendiri di sini!" Steven tidak terima Maminya dibentak oleh wanita di depannya ini. Terlihat sekali kalau wanita itu lebih muda dari Maminya seharusnya dia sopan bukan malah membentak Maminya yang notabennya lebih muda.
"Heh kamu anak kecil tahu apa sih tentang sopan santun ingus kamu aja masih belom bisa dilap yang bener. Sok-sok an kamu nyeramahin saya." Wanita itu tidak terima dengan Steven yang membentaknya itu.
"Tenang. Sebelumnya maafkan kami karena tidak izin dulu dengan kalian. Tapi, kemarin memang dalam bahaya makanya kami langsung lari ke arah sini setelah itu masih ke Pipa besar itu. Setelah monster mengerikan itu pergi barulah kita kembali lagi untuk tidur di luarnya takut kalau di dalam lebih bahaya," jelas Angelina. Dia mengakui salah karena dia juga tidak tahu kalau tempat tinggal itu sudah ditempati karena tidak ada suatu tanda apapun yang tertinggal kalau tempat itu ada pemiliknya.
"Halah alesan aja. Pergi sana dari sini dan bawa semua barang kalian nyampah aja di sini." Angelina menendang tas itu tapi malah sesuatu berbunyi. Suara monster itu dari jauh sudah terdengar. Mereka Semua menengok. Dia harus segera masuk ke Pipa lagi.
Wanita itu masuk lebih dulu saat Steven dan Maminya ingin masuk wanita itu langsung saja menutup pintunya, "Mau ngapain kamu ini tempatku."
"Biarkan kami masuk sebentar, nak. Kami juga takut."
"Halah tidak! Ini tempatku cari aja sana tempat sendiri." Wanita itu langsung masuk ke dalam dengan menutup Pipa itu.
"Mi gimana ini? Suaranya makin dekat."
"Tenang sayang. Kita diam aja di sini. Kamu pegang peluit ini. Saat monster itu datang arahkan ke telinganya. Sedangkan Mami akan langsung menembak mata atau telinganya. Kita coba cara ini okey." Angelina langsung memasukkan anaknya ke dalam sebuah peti agar suara tangis anaknya nanti tidak terdengar. Peti itu sudah diberi sebuah selang oksigen jadi aman jika anaknya ada di dalam.
"Ayo kita coba. Monster itu sudah datang. Tapi, kita harus tahan napas dulu jangan Bergerak."
"Mi apa sebaliknya kita enggak pergi aja aku takut, Mi."
"Steven percaya sama Mami. Mami akan tetap jagain kamu. Kamu tahu 'kan. Mami enggak pernah ninggalin Steven jadi percaya kita pasti bisa. Minimal enggak usah bunuh dia tapi buat dia pergi saja. Kamu arahin peluit ini ke tiitik yang Mami bilang. Setelah itu biar Mami yang tembak monsternya." Monster itu sudah terlihat. Steven yang ingin menjawab ucapan Maminya ia urungkan. Steven berdiri dengan kaki gemetar. Monster besar itu sudah ada di depannya.
Sedangkan Angelina sudah bersiap dengan pistol yang ada di tangannya. Steven menutup matanya takut. Tapi, Maminya langsung menyenggol Steven. Steven membuka matanya dan melihat ke Maminya. Maminya meyakinkan kalau mereka benar-benar akan baik-baik saja asalkan yakin.
Monster itu semakin dekat. Mereka berusaha untuk tenang. Steven merasa kakinya tidak kuat menopang tubuhnya. Tapi, setelah melihat tangan Maminya yang lagi-lagi mengeluarkan darah sepertinya membuat keberaniannya langsung muncul. Luka Maminya saja yang belum kering sudah membuat Maminya yakin untuk melawan monster itu lalu apa alasan Steven untuk menyerah.
Monster semakin dekat, Angelina langsung memberikan kode kepada Steven untuk mengarahkan peluit itu ke monster itu. Steven pun mengangguk. Peluit itu berbunyi dengan otomatis saat dipencet tombolnya. Monster itu langsung kesakitan. Monster itu mundur sedangkan Steven masih berada di tempatnya.
Angelina menarik tangan Steven dan menyuruh Anaknya maju tapi masih dengan memegang pistol itu. Steven yang tadinya menahan pun akhirnya memilih ikut dengan Maminya.
Beberapa saat kemudian monster itu langsung pergi. Mereka menghembuskan napas lega. Akhirnya mereka baik-baik saja. Walaupun membutuhkan waktu yang lama untuk menghancurkan monster itu.
"Mi, kenapa Mami tadi enggak jadi tembak monsternya? Jadi monsternya enggak mati Dan malah tetap hidup gimana kalau malah monster itu memangsa Papi yang saat ini entah di mana." Angelina memang tidak memakai pistol itu karena dia memikirkan itu akan makin bahaya.
"Sebenernya tadi Mami mau gunakan pistol ini. Tapi, kamu tahu akan menimbulkan suara yang keras pistol ini sedangkan peluru dari pistol ini tidak banyak."
"Ya tapi 'kan cukup untuk membunuh monster itu, Mi," ucap Steven lagi.
Angelina mengajak Steven untuk mundur. Dia mengambil bayinya dulu dari dalam peti. Memastikan kalau bayinya itu baik-baik saja.
"Anak Mami baik-baik saja 'kan?" ucap Angelina walaupun dia tahu Eveline belum paham. Tapi, bayi itu masih tenang dalam tidurnya dengan jarinya yang dimasukkan ke mulut.
"Stev kalau tadi Mami pake pistolnya pasti akan ada suara keras Dan mengundang monster yang lain sedangkan kita belum bersama Papi kamu. Itu yang tadi Mami pikirkan."
"Ya setidaknya 'kan monster itu mati."
"Tidak bisa kalau cuma mati satu sedangkan yang lainnya malah muncul lebih banyak itu malah membuat bahaya." Steven pun baru mengerti jadi niat Maminya hanya mengusir bukan untuk membunuh karena mereka bisa lebih dalam bahaya.
"Yaudah yuk sekarang kita jalan lagi," ucap Angelina. Steven pun mengangguk dia membawa semua barangnya untuk pindah lagi. Setelah itu mereka bersiap jalan.
Wanita yang didalam tadi mengetuk dari dalam tapi tetap saja Steven dan Angelina tidak sadar jadi memilih pergi. Wanita di dalam pun sekuat tenaga membuat penutupnya tapi sangat susah.
"Apa mereka sudah mati di makan monster itu." Sekuat tenaga wanita itu ingin membuka tapi tidak bisa juga.
"Sial enggak mungkin 'kan gue tetep ada di sini. Bisa-bisa mati gue. Tapi, gimana caranya bisa kabur ini berat banget lagi dj bukannnya. Kalau gue teriak yang ada monster itu datang Dan ngancurin mati dong gue...." Wanita itu frustasi dia merehatkan sejenak tangannya merah akibat membukanya dengan paksa.
.....
Harry berjalan bersama yang lainnya. Saat berjalan Estel menginjakkan sesuatu karena memang kakinya tidak menggunakan alas apapun.
Estel berhenti dan menunduk mengambil benda kecil itu, "Stel kenapa berhenti?"
"Pi, ini 'kan earphone, Mami," ucap Estel setelah mengambil benda itu Dan ternyata itu milik istrinya. Pantas saja istrinya tidka bisa dihubungin ternyata earphonenya terjatuh. Tanpa, Harry sadari bahwa sebelum jatuh pun earphone itu tidak bisa digunakan.
"Harry artinya mereka melewati sini kemarin."
"Iya, Kek. Sepertinya mereka melewati sini. Tapi, ke mana lagi mereka?"
"Kita cari aja, Paman. Tidak perlu terburu-buru Jeromy yakin mereka tidak apa-apa kok."
"Iya, Jer." Mereka melanjutkan jalannya lagi. Semoga saja Angelina belum jauh dari sini. Tidak ada jejak apapun untuk memudahkan jalannya. Tapi, beberapa langkah di depan kemudian ada jejak kaki monster itu. Harry berhenti sejenak.
"Kenapa berhenti, Harry?" tanya Tono yang sedang berjalan malah menabrak Harry yang berhenti tiba-tiba.
"Iya, kenapa Papi berhenti tiba-tiba?" tanya Estel lagi. Harry tidak menjawab tapi dia berjongkok. Dia mengamati jejak kaki monster itu Dan melihatnya ke depan.
"Angelina Dan Steven pasti lari terburu-buru karena dikejar monster itu. Terlihat ada jejak di tanah yang sedikit basah ini. Tercetak kaki manusia dengan monster itu. Jadi, ada kemungkinan monster itu mengejar istri saya." Tono salut dengan Harry karena bisa memprediksi Hal sekecil itu. Sedangkan dulu untuk menyelamatkan istrinya saja tidak bisa.
"Ayo kita ikutin langkah ini kayaknya arahnya ke sana."
"Tapi, jalannya sepertinya agak serem. Paman."
"Jeromy kamu tenang saja di sini 'kan kita saling membantu satu sama lain. Jadi, percaya aja kalau kita akan baik-baik saja," ucap Harry lagi. Jeromy pun akhirnya mengerti mereka jalan lagi.
Tanpa di sadari seseorang yang kemarin memata-matai tanpa ketahuan pun masih tetap memantau Harry hari ini. Tono yang sadar diikuti pun melihat ke belakang.
"Kenapa, kek?" tanya Jeromy yang digandeng kakeknya tapi kakeknya terhenti Dan menengok ke belakang. Harry masih saja berjalan tanpa mempedulikan Tono di belakangnya.
"Kamu tunggu sini ya. Kakek mau ngelihat dulu sepertinya ada orang yang mengikuti kita."
"Tapi, Paman Harry sudah berada di depan bagaimana kalau kita tertinggal sudah ayo kita susul aja."
"Sebentar doang, Jeromy."
"Enggak mau, Kek aku udah enggak punya siapa-siapa lagi jadi enggak mau kehilangan kakek udah ayo kita jalan lagi." Jeromy pun menarik tangan kakeknya untuk lanjut berjalan. Tono yang tadinya penasaran pun memilih berjalan lagi.
Beberapa meter setelah mereka berjalan mereka menemukan sebuah tempat. Tempat pipa-pipa besar di dalamnya. Monster itu sepertinya sampai di sini terlihat dari jalanan yang hancur di disini.
"Kita kenapa arahnya ke sini, Har?" tanya Tono lagi.
"Entahlah, Kek tapi jejak kaki itu mengarahkan kita ke sini."
"Tapi tidak ada siapapun di sini itu artinya Mami sudah pergi lagi." Harry melihat semua tempat memang sudah kosong tidak ada apapun.
"Paman, tunggu. Lihat Pipa itu bergerak-gerak apa mereka da di dalam sana?" tanya Jeromy lagi sambil menunjuk ke Pipa yang sedang Bergerak tapi tidak juga terbuka.
"Harry lebih baik tidak usah dibuka kita tidak tahu di dalamnya isi apa," ucap Tono lagi apa yang dikatakan Tono memang ada benarnya.
"Tapi, Kek kayaknya itu manusia tadi aku lihat ada tangan gitu kok yang mau buka cuma kesusahan." Harry dan Estel.pun mengerutkan keningnya dia juga ragu ingin membantu tapi takut kalau itu monster atau manusia kanibal yang masih ada.
"Masa sih. Masa manusia di dalam sana?"
"Mending kita coba lihat aja dulu. Kalau kita nebak enggak tahu di dalamnya apa. Coba yuk untuk memastikan dulu," ucap Estel lagi.
Harry yang tadinya tidak yakin pun setuju dengan ucapan Jeromy. Dia berfikir takut kalau memang Angelina Dan anaknya di sana. Sebelum dia menerka-nerkanya.
Sampai di depan Pipa itu dengan. Tutup di atasnya sudah persis seperti sumur, Harry pun memegang ujungnga. Ingin membuka tutupnya itu.
"Ayo, Pi buka," ucap Estel lagi.
"Yaudah Harry ayo kita buka bersama," ucap Tono. Harry yang tadinya takut pun mencoba memberanikan diri untuk membukanya.
"Pi hati-hati."
"Kakek hati-hati juga." Dengan sekuat tenaga akhirnya tutup Pipa itu terbuka. Tapi, ternyata bukanlah Angelina Dan keluarganya. Tapi, di dekat Pipa itu ada seperti jatuhnya manik-manik milik bayinya. Apa jangan-jangan mereka sudah sampai sini hanya saja monster itu mengejarnya lagi. Tapi, siapa wanita ini?
.....
Di sini lain Angelina sedang berjalan menyusuri sebuah hutan lebat. Namun, seketika dia mendapatkan petunjuk baru lagi. Di sana terlihat ada orang lain juga, lebih baik dia segera menghampirinya bersama anak-anaknya.
......