Selesai aku dan Arvin beribadah bersama kami melanjutkan untuk karokean. Lagu yang sangat ingin aku nyanyikan adalah lagunya Dewa 19 yang kangen. Pasti kalian tahu apa maksud dari lagu itu, so pasti karena aku sangat merindukan Mas Barra.
Aku gatau apakah Mas Barra juga merasakan hal yang sama sepertiku atau tidak. Tetapi kali ini aku benar-benar merindukan Mas Barra. Ingin sekali rasanya saat ini aku berharap Mas Barra berada di hadapanku sekarang.
Aku merekam diriku saat menyanyikan lagu ini, aku ingin mengirimnya pada Mas Barra. Maksud aku mengirim itu agar Mas Barra peka dengan perasaanku, setelah merekamnya aku langsung mengirim video itu pada Mas Barra.
Tak butuh waktu yang lama untuk menunggu balasan dari Mas Barra sepuluh menit yang lalu aku mengirimnya pada Mas Barra kini Mas Barra menelvonku. Aku pamit pada Arvin untuk mengangkat telvon Mas Barra di luar karena saat ini Arvin yang sedang bernyanyi.
“Hal…”
“Kamu dimana?” Belum selesai aku mengucapkan perkataanku Mas Barra sudah memotong. Aku menghela nafas malas dari suara Mas Barra aku tahu bahwa kini Mas Barra sedang dalam fase mood yang ga baik.
“Seperti yang Mas lihat di video tadi, aku sedang karokean dengan temanku.”
“Buat apa kamu karokean dan buat video kayak gitu, Mas ga suka. Itu ga berfaedah sama sekali Aluna.” Ya Mas Barra selalu bilang lakukanlah sesuatu hal yang berfaedah jangan habiskan uang dan waktumu untuk melakukan hal yang sia-sia.
“Aku hanya…”
“Kamu tahu Mas ga suka kamu lakukan hal yang sia-sia, kamu pikir dengan kamu lakuin kayak gitu Mas bakalan pulang kesana sekarang. Mas punya tanggungjawab disini dan ga semudah itu. Jadi jangan lakukan hal yang aneh-aneh sampe nyanyi ga jelas kayak gitu. Itu ga ada manfaatnya sama sekali, pulang ibadah bukannya di rumah mala keluyuran buat kayak gini.”
“Kenapa sih Mas Barra ga pernah coba buat ngertiin jadi aku gimana? Kenapa Mas Barra terlalu sibuk dengan urusan Mas Barra sendiri dan pandangan Mas Barra sendiri tanpa tanya bagaimana dengan perasaanku. Mas Barra bilang bahwa perasaanku saat ini ga berguna dan ga bermanfaat iya? Mungkin menurut Mas Barra aku terlalu kekanakan saat ini.” Akhirnya aku mengeluarkan isi hatiku, aku tidak lagi bisa memendam semuanya sendirian. Aku ingin Mas Barra tahu apa yang sedang kurasakan saat ini, perkataan Mas Barra kali ini benar-benar menyakitiku, apa ia tidak menghargai perasaan rinduku?
“Lalu apa bedanya kamu sama Mas saat ini? Bukankah kita sama-sama sedang jauh saat ini, apa Cuma kamu aja yang jauh? Apa Cuma kamu saja yang punya perasaan? Kita sama-sama Aluna tapi Mas tidak begini.”
“Karena Mas Barra ga serius sama aku, Mas Barra ga punya perasaan sama kayak yang aku rasain. Mas Barra punya kehidupan sendiri tanpa pernah melibatkan aku. Aku juga jadi beban Mas Barra bukan, karena Mas Barra hanya menelvonku saat aku sedang bermasalah. Aku emang bukan yang Mas Barra inginkan!” Akhirnya aku menangis dan menyuarakan isi hatiku. Benar bukan Mas Barra tidak mempunyai perasaan yang sama sepertiku.
“Pulanglah, Mas ga mau kita lebih berdebat karena ini. Kamu butuh istirahat dan menenangkan pikirkan kamu. Nanti Mas telvon lagi kalau kamu udah lebih tenang. Jangan melakukan hal-hal aneh lagi, Mas ga ada disana untuk tolong kamu. Mas minta tolong pengertian kamu kali ini.” Aku mendengar nada rendah Mas Barra tetapi aku terus menangis dan tidak menjawab.
“Hati-hati ya, jangan nangis lagi.”
Setelah mengatakan itu Mas Barra mematikan telvonnya, semakin membuat tangisku semakin pecah. Bukannya menenagkan atau membujukku tetapi Mas Barra membiarkanku begitu saja. Mas Barra benar-benar tidak menganggapku dengan serius dan mempermainkan perasaanku.
Arvin keluar dan menemuiku sedang terduduk menangis, ia membawaku ke dalam pelukannya dan menenangkanku. Kenapa mala orang lain yang menghiburku? Kenapa harus orang lain yang ada saat aku butuhkan bukan Mas Barra orang yang benar-benar ku harapkan. Kenapa harus Arvin yang selalu ada untukku? Aku takut goyah karena rasa ini terlalu nyaman.
*****
Saat ini aku dan Arvin sedang makan mie setan kesukaanku, setelah menangis cukup lama aku jadi lapar. Maka aku memesan dua porsi sekaligus dengan cabe yang banyak, aku ingin melampiaskannya dengan makan makanan yang pedas.
“Kamu nangis karena pacarmu?”
“Darimana kamu tahu soal pacarku, aku ga pernah bilang sebelumnya sama kamu.” Aku sedikit kaget Arvin tahu.
“Aku tahu dari teman-temanmu, mereka bilang kalau kamu udah punya pacar karena itu kamu cukup dikenal.” Aku menganggukkan kepalaku perkataan Arvin benar karena aku pacaran dengan Mas Barra bukankah aku dikenal banyak orang?
“Dia nyakitin kamu?” Aku menggelengkan kepalaku, aku ga ngerti sebenernya dari nyakitin yang dimaksud oleh Arvin bagaimana.
“Lalu kenapa kamu nangis?” Aku menghela nafas dengan berat.
“Aku hanya merindukan Mas Barra. Hampir setahun kami tidak bertemu.”
“Wanita memang seperti itu, menangis mungkin salah satu solusi terbaik bagi mereka.”
“Kamu gatau apa yang sedang kurasakan. Aku seperti berjuang sendiri.”
“Kalau kamu merasa tidak ada hal yang bisa dipertahankan lagi maka akhiri, daripada jadi beban pikiran dan buat kamu terus menangis.” Aku kaget dengan perkataan Arvin, ga ada sedikitpun aku ingin megakhiri hubunganku dengan Mas Barra walaupun sikap Mas Barra begitu padaku.
Aku tahu bahwa tadi aku sedang emosi dan mengeluarkan kata-kata yang belum tentu benar, karena emosi yang lebih mendahuluiku dan membuatku berkata aneh, tetapi sampai mengakhiri hubungan tidak pernah sama sekali terbesit.
“Ga ada sedikitpun aku berpikir seperti itu.”
“Jalan kamu masih panjang dan kamu masih bisa dapatkan yang benar-benar berjuang untuk kamu. Kamu sendiri yang bilang bahwa kamu merasa berjuang sendiri, hubungan jarak jauh itu emang sulit. Maka banyak yang gagal saat LDR yah saat ini itu diperhadapkan sama kamu.”
“Aku tahu, ini bukan yang pertama bagiku. Tapi kali ini sangat berat menurutku. Komunikasi kami juga tidak berjalan dengan baik.”
“Kunci LDR ada dikomunikasi. Lalu kalau komunikasi kalian tidak baik bagaimana?” Aku menggelengkan kepalaku karena saat ini aku bingung.
“Coba pikirkan sebelum kamu semakin tersakiti. Aku berharap kamu tidak salah dalam mengambil keputusan.”
“Makasih.”
“Jarang ada pria yang LDR bisa berkomitmen pada satu wanita. Kamu tahu kami kaum pria membutuhkan sosok yang bisa menolong kami. Kamu tahu juga bagi kami sebelum menikah untuk mencari yang lebih itu hal biasa sebelum berkomitmen.”
Aku diam terpaku dengan perkataan Arvin. Aku tahu bahwa Mas Barra tidak akan selingkuh ataupun memiliki wanita lain disana. Aku percaya pada Mas Barra dan aku yakin kepercayaanku pada Mas Barra besar dan tidak salah. Dekat pada wanita saja ia sulit mau bermain api? Aku yakin Mas Barra tidak mudah untuk membuka hati pada wanita lain.
Tetapi setan yang lain berbicara bahwa bisa saja wanita lain yang mengejar maka Mas Barra akan luluh? Tidak! Aku yakin Mas Barra tidak seperti itu. Aku yakin pada Mas Barra, hanya saja aku tidak tahan dan biasa dengan sikap woles Mas Barra pada hubungan kami.
Mas Barra terlalu santai pada hubungan kami aku merasa seperti terlalu putih tanpa ada warna-warni. Apalagi Mas Barra mempunyai cara yang berbeda menanggapi hubungan kami yang tidak biasa bagiku dan aku sulit untuk beradaptasi.
Aku gabisa mengikuti seperti yang diinginkan oleh Mas Barra. Terlalu berat menurutku sehingga aku bingung harus bagaimana. Tapi aku tahu cintaku ga berubah saat ini, aku takut. Aku yang takut pada diriku sendiri sampai akhirnya nanti aku akan menyerah. Wajar bukan ketika menjalin hubungan tetapi takut dengan peraaan sendiri. Maka saat ini itu yang sedang kurasakan, aku terlalu takut sampai akhirnya berpikir dengan sendirinya yang belum tentu itu yang akan di alami.