Hubunganku dengan Arvin semakin hari semakin dekat, tapi jangan salah sangka. Karena hubungan yang kupunya dengannya hanyalah sebatas teman dan tidak lebih. Kami juga tidak melakukan hal yang berlebihan. Kami memang sering pergi berdua tetapi tidak benar-benar berdua karena kami perginya bareng-bareng dengan teman yang lain lalu kami berpisah sejenak dan akan kembali bergabung saat urusan kami sudah selesai.
Contoh menemani Arvin ke toko buku untuk mata kuliahnya dan di saat aku sedang memintanya saran untuk mencari hal yang dibutuhkan untuk konsep panggung yang akan digunakan untuk acara kami. Kami juga sering bernyanyi bersama dia yang mengiringi maka aku yang akan bernyanyi, bahkan tim kami selesai acara akan sepakat untuk piknik bersama.
Arvin juga terus mengantarkan aku pulang, bahkan aku tidak lagi bawa motor karena Arvin dengan senang hati untuk mengantar jemputku. Ada rasa nyaman ketika aku bersama dengan Arvin ia mampu menghiburku disaat aku sedang kepikiran dengan Mas Barra. Aku bersyukur mempunyai teman seperti Arvin.
Lalu bagaimana hubunganku dengan Mas Barra? Sebentar lagi Mas Barra akan wisuda darimana aku tahu? Yang pasti bukan dari Mas Barra siapa lagi yang kasih tau kalau bukan Bunda Tania. Mengenai sidang kemarin aku tidak mempersalahkannya pada Mas Barra, aku hanya mengucapkan selamat padanya. Aku tidak ingin menambah beban Mas Barra dan aku tidak ingin kami akan bertengkar nantinya.
Balik lagi ke wisudaan Mas Barra apakah aku akan datang kewisudanya? Entahlah, karena Mas Barra tidak menyuruhku untuk datang. Bunda Tania juga tidak memintaku untuk ikut bersamanya ke Bandung untuk wisuda Mas Barra. Aku ingin Mas Barra memintaku untuk datang maka aku akan dengan senang hati untuk datang.
Mas Barra tidak pernah meminta sesuatu padaku kecuali memintaku untuk datang setiap hari selasa datang kerumahnya dan menemaninya Bundanya. Aku ingin Mas Barra juga meminta sesuatu padaku. Ketika ditanya kenapa Mas Barra gabilang mengenai waktu wisudanya ia hanya bilang “Jangan kasih kado apapun, cukup doa kamu aja cukup.”
Aneh bukan? Emang! Itulah Mas Barra! Aku bingung sebenernya dengan proses hubungan kami ini jujur. Kami mempunyai hubungan bukan? Tetapi kenapa Mas Barra ga pernah sampaikan suatu hal yang penting tentang dirinya padaku? Apakah aku ga dianggap atau bagaimana? Bahkan komunikasi kamu juga tidak baik dengan semestinya.
Saat tiba di hari wisuda Mas Barra, aku hanya mengucapkannya selamat dan beberapa-beberapa harapan yang di aminin oleh Mas Barra. Aku sudah menyiapkan kado pada Mas Barra hanya aku akan memberinya ketika Mas Barra balik ke Malang. Aku tidak ingin memberitahu pada Mas Barra karena pesannya terakhir mengenai wisudanya.
Mana mungkin aku tidak memberi kado pada Mas Barra sedangkan teman-temannya saja memberi kado. Pacar macam apa daku, walaupun bukan hadiah yang begitu mahal sampai merogoh kocek tabunganku, tetapi ada niat hati dan tulus memberinya kepada orang yang special pula. Wajar bukan?
Malamnya ketika sampai di rumah aku menelvon Mas Barra tetapi tidak di angkat. Maka aku memutuskan untuk mandi, selesai mandi aku makan dengan sate kacang yang sudah ku beli tadi sebelum pulang. Aku ingin memberikan asupan yang ku sukai untukku memberikan kekuatanku pada hari ini.
Bagaimanapun aku tetap sedih karena tidak bisa bersama dengan Mas Barra dalam hari bahagia dalam hidupnya. Hello itu sekali dalam seumur hidup bukan maka harus dirayakan bersama. Saat aku sibuk dengan pikiran dan makananku Handphoneku berbunyi dan aku melihat Mas Barra menelvon. Oh iya satu lagi Mas Barra tidak mau ku ajak untuk video call, katanya dari telvon saja cukup ia malu pada teman-temannya saat video call katanya.
Apa maksudnya? Entahlah aku tidak tahu. Balik lagi akhirnya aku mengangkat telvon Mas Barra. “Iya Mas?”
“Tadi kamu telvon, kenapa?”
“Mas Barra dimana?”
“Lagi makan sama Ayah dan Bunda. Kamu udah makan?”
“Ini lagi makan, sama sate kacang.”
“Ohh gitu.”
“Mas Barra ikut balik sama Bundakan besok?”
“Enggak Aluna. Mas pernah bilangkan sebelum selesai kemarin Mas dapat tawaran kerjaan? Nah Mas udah pertimbangkan dan pilih salah satunya. Udah kontrak juga jadi lusa Mas udah masuk kerja.” Aku menghela nafas bagaimanapun aku menginginkan Mas Barra balik walaupun sebentar. Bahkan sebentar lagi kami akan merayakan satu tahun hubungan kami.
“Aku pikir Mas Barra bakalan pulang sebentar. Aku udah rindu sama Mas Barra.”
“Mas usahain pulang waktu natal nanti ya.”
“Masih lama.”
“Enggak cepat kok kalau di lalui.” Aku kembali menghela nafas, selalu saja begitu responnya.
“Terserah Mas Barra aja deh, udah dulu ya.”
“Jangan ngambek-ngambek ga jelas, kamu tau Mas gabisa hibur atau temani kamu. Nanti Mas titipin oleh-oleh sama Bunda ya.”
“Emang Mas Barra kasih apa?”
“Lihat aja nanti. Yaudah kamu istirahat ya. Jangan lupa saat teduh, kayaknya kamu udah jarang bagi saat teduh sama Mas. Kamu telat bangun ya makanya ga saat teduh?”
“Iya Mas.”
“Kamukan tahu saat teduh itu….”
“Sangat penting, kebutuhan kita dan kewajiban kita. Aku tahu Mas Barra.”
“Makanya jangan …”
“Nonton drama dan lama tidur supaya bangun cepat.” Aku sangat hafal dengan kata-kata Mas Barra. Karena ini bukan sekali dua kali tetapi wajib Mas Barra katakana sampai aku tahu dengan ucapannya beserta dengan intonasi nadanya.
“Yaudah kamu baik-baik disana. Mas tutup ya. Selamat malam.”
“Malam.” Aku langsung mematikan telvonnya.
Jujur aku tidak mood untuk melanjutkan makanku, untung saja tinggal sedikit lagi kalau tidak bisa rugi Bandar daku. Maklumlah jiwa anak kosnya keluar. Tapi aku gabisa paksain lagi kalau aku emang udah ga nafsu untuk menghabiskannya.
Mas Barra berhasil membuat nafsu makanku hilang. Tapi kenapa aku masih jatuh hati pada Mas Barra? Aku tahu bahwa Mas Barra sangat cuek, tapi sekarangkan aku bukan orang asing baginya. Kenapa masih seperti itu lagi?
Aku langsung menekan nomer Arvin dan menelvonnya. Aku butuh refreshing aku bersyukur besok minggu, maka aku bisa menghilangkan sejenak kejenuhanku.
“Hallo Vin, besok siang kemana?”
“Kenapa ada yang mau dicari?”
“Butuh refreshing nih Vin, lagi pengen karokean. Temanin yuk.”
“Boleh, besok dari pagi aja aku jemput. Besok pagi kita ibadah bareng setelah itu kita pergi gimana?”
“Wahh ide yang bagus tuh, sekalian makan mie setan ya. Lagi pengen makan yang pedes-pedes nih.”
“Iyee terserah deh besok mau kemana.”
“Oke ditunggu ya.” Aku mematikan sambungannya dan membawa piring bekas makanku ke dapur. Senyumku tercetak jelas diwajahku, aku sudah ga sabar menunggu hari besok.
Aku ingin makan mie pedas kesukaaanku dan aku ingin segera berteriak-teriak mengeluarkan isi hatiku. Aku berharap setidaknya mampu membuatku menghilangkan kepenatan ini.