Bandung

1352 Kata
Hartawan menyerahkan tumpukan dokumen ke hadapan Ratu dengan raut wajah yang sulit di artikan, Ratu masih tetap pada posisinya, menatap dokumen-dokumen itu dengan tatapan kosong, masalah apa lagi ini? tanya nya dalam hati. “Aku gak suka ikut campur.” Ucapnya tanpa membuka dokumen di hadapannya. “Papa bangkrut.” Detik pertama mendengar kata itu, Ratu membelakan matanya tak percaya. Ia terkejut bukan main, bagaimana bisa seorang Hartawan mendeklarasikan dirinya bahwa ia bangkrut setelah berdiri tegak selama puluhan tahun, menggeser para konglomerat lama di daftar sepuluh orang terkaya di Indonesia, bagaimana mungkin ia bisa bangkrut dalam sekejap?! “Lucu deh, aku suka jokes papa.” Balas Ratu, ia melipat kedua tangan di depan d**a, bersandar di kursi, matanya mulai mengantuk, walau tak melakukan apa-apa, entah kenapa ia merasa bahwa ia perlu tidur untuk sekarang ini. “Papa sedang tidak melucu. Erika bangkrut, dia rugi ratusan tirlyun, dan papa gak bisa diam aja, papa harus bantu Erika, Rumah ini papa jual, semua aset ibu kamu dengan terpaksa papa jual, papa jual delapan puluh persen aset papa, dan… aset yang semula mau papa kasih ke kamu, maaf papa harus tarik.” Ratu sampai menahan napasnya begitu mendengar bahwa papa nya menjual aset berupa rumah dan aset lain atas nama mendiang ibu nya, Ratu tidak peduli ia kehilangan warisannya, Ratu tidak peduli jika papa nya menjual semua hal miliknya demi Erika, Ratu hanya kecewa karena Hartawan seperti melukainya dengan sengaja. “Papa tahu kalau papa sudah keterlaluan sama kamu, tapi di satu sisi juga papa percaya, tanpa ada campur tangan dari papa pun pasti kamu bisa berdiri di kaki kamu sendiri, papa yakin kamu bahkan bisa jauh lebih hebat daripada papa, dan Raja tidak akan meninggalkan kamu bagaimana pun kondisinya. Berbeda dengan Erika, tanpa papa dia tidak bisa apa-apa dan saat ini hanya papa yang bisa membantunya, papa tahu ini berat, tapi papa harap kamu bisa mengerti.” Bagaikan pisau yang sengaja di tusukan ke dalam jiwa Ratu, kali ini ia benar-benar hancur bersamaan dengan setiap kata yang terucap dari bibir papa nya, matanya menatap kosong ke arah papa nya, rasa kecewa itu hadir lagi, rasa yang sudah lama ia kubur, rasa yang membawanya menjadi Ratu yang sekarang. “Yasudah.” Di luar ekspektasi Hartawan, jawaban Ratu sungguh membuatnya kebingungan. Padahal Hartawan sudah bersiap apabila Ratu mengamuk, sekarang Ratu malah bersikap biasa saja, tidak marah, tidak menunjukan ekspresi apa-apa, Ratu bahkan dengan santainya membakar sebatang rokok miliknya di depan Hartawan tanpa rasa bersalah. “Aku gak butuh papa, aku juga gak butuh Raja, aku gak butuh siapa-siapa. Aku bisa berdiri di kaki ku sendiri, aku bisa hidup tanpa kalian. Jual semua yang bisa papa jual, aku gak seperti mereka, pengemis dan penjilat, lemah, aku gak butuh kalian sama sekali, aku kira aku kesini karena hal penting, ternyata papa cuma mau ngomong hal bodoh, ayolah, belajar menghargai waktu orang lain, sialan.” Umpat Ratu kurang ajar. Ia berdiri mengambil cardholder dan juga ponselnya, berjalan keluar tanpa pamit kepada papa nya sendiri. Hartawan bahkan tidak lagi melihat kehangatan dalam sorot mata Ratu kepadanya, Hartawan berharap bahwa ia tidak akan salah langkah dalam mengambil keputusan. Ratu berjalan menuju parkiran rumahnya, sekilas ia menatap megahnya bangunan itu, tempat dimana ia tumbuh. Ayunan di sudut taman yang dulu ia gunakan bermain bersama ibu nya, kolam ikan di tengah taman juga menjadi saksi bisu bagaimana Ratu tumbuh dengan baik di tempat itu, bayangan-bayangan tentang masa kecilnya yang hangat, bagaimana keluarganya yang harmonis, bahkan Ratu masih dapat melihat dirinya di masa kecil, berlari berhamburan memeluk Hartawan setiap kali pria itu pulang dari bekerja, Ratu juga masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana ia selalu menangis tersedu-sedu setiap kali Hartawan akan berangkat ke luar kota, di pintu itu, di tempat itu, di segala sudut rumah itu ada masa kecil Ratu yang tidak dapat di beli dengan apapun. Ratu menarik napas dalam-dalam, begitu ingatannya memaksanya kembali mengingat hari dimana ia melihat bagaimana ibunya hancur di tahun-tahun terakhir sebelum beliau meninggal, Ratu kehilangan segalanya mulai saat itu, keluarganya hancur berantakan, Ratu hidup di tengah dua hati yang dingin, dan puncaknya ketika ibunya meninggal dan Melinda datang untuk pertama kali memperkenalkan diri sebagai istri dari papa nya. Ratu tersenyum getir, sudah banyak kekecewaan yang ia lalui namun ia masih bertahan di titik ini, Ratu memang kuat, ia begitu mengandalkan dirinya untuk melewati masalah apapun. “Bangsat.” Desis nya ketika melihat ponselnya tiba-tiba mati karena kehabisan batre, ia melirik ke kiri ke kanan, namun ia tidak menemukan kabel charger ponselnya itu. Ratu bisa saja pulang, namun ia tidak mau. Sekarang ia sedang kacau, ia bisa saja menangis kalau saja ia pulang ke rumah. Ayolah, Ratu masih malu setelah menangis di hadapan Raja pagi tadi, ia benar-benar tidak mau mengulang kejadian yang sama lagi, ia tidak akan mempermalukan dirinya untuk yang kedua kali. Ratu membawa dirinya entah kemana, hembusan angin malam yang menerpa kulitnya setelah ia membuka sunroof mobilnya, melewati pintu tol dengan kecepatan penuh, pikirannya kosong melayang-layang, perasaannya hampa begitu saja, ia tidak tahu mau kemana, ia tidak punya tujuan, katanya di saat-saat terkacau kita harus pulang ke rumah, tapi rumah mana yang mereka maksud? Ratu bahkan tertawa begitu mengabsen daftar rumah miliknya yang sekarang hampir di jual oleh papa nya, rumah pemberian ibunya, sudah tak tersisa lagi. Begitu sampai di hotel Ratu langsung merebahkan tubuh nya di atas kasur, ia begitu lelah karena telah menyetir tanpa henti selama empat jam lamanya, punggungnya terasa berat, matanya seakan di paksa untuk tidur, entah karena efek obat tidur yang ia konsumsi lima belas menit yang lalu atau karena memang ia merasa begitu lelah karena keadaan, entahlah, yang jelas kurang dari lima menit Ratu sudah tenggelam dalam dunia mimpinya sendiri. Ratu hampir tak percaya begitu ia terbangun dan melirik jam di dinding kamar hotel tempatnya tidur, sudah pukul delapan malam yang berarti ia tidur selama delapan belas jam tanpa terbangun terlebih dahulu, kini matanya segar, ia menatap dirinya yang bagaikan singa di pantulan cermin, sekilas Ratu mengecek ponselnya yang masih mati total, namun ia sama sekali tidak berusaha untuk membuat ponsel itu menyala, ia sudah terlanjur tenang tanpa adanya gangguan apa-apa dari orang-orang itu. Ratu mandi lalu kembali berangkat menjelajahi kota Bandung, tidak lupa mampir ke mall untuk membeli beberapa baju yang akan ia kenakan selama ia berada di sana, oke Ratu memang tidak salah pilih tempat, di hari pertamanya berada di bandung, pukul sepuluh malam ia sudah berada di lembang, menikmati sejuknya tempat itu dengan segelas kopi hangat di tangannya, ia berhenti di tepi jalan, melamun cukup lama hingga akhirnya ia merasa cukup, kulit mulusnya sudah tidak bisa merasakan dingin lebih lama lagi, ia harus kembali ke hotel. Naasnya, di tengah-tengah perjalanannya untuk kembali ke hotel, bensin mobil Ratu habis, ia juga tidak berdaya sebab ponselnya mati total, ia berharap seseorang akan berbaik hati menolongnya. Oh ayolah Ratu benci meminta pertolongan, namun kali ini berbeda, kali ini jika ada seseorang yang menolongnya ia berjanji akan membayarnya sepuluh atau bahkan dua puluh kali lipat, atas bantuannya, asal jangan menganggap Ratu meminta bantuan. Selama berdiri di sana selama setengah jam, akhirnya sebuah pria dengan motor jenis Harley berhenti beberapa meter sebelum mobilnya, pria itu turun dan menghampiri Ratu yang terlihat diam dan melipat d**a di atas kursi kemudi mobilnya. “Sorry, tapi kamu ngapain di sini? Kamu gak tahu kalau di sini daerah texas ? bahaya buat perempuan.” Pria itu nampak baik, Ratu dapat menilai seseorang hanya dari sorot matanya. “Bensinnya habis, tadi gak merhatiin bar bensinnya, and I don’t know disini pom bensin terdekat ada di mana.” Balas Ratu. Pria itu mengangguk, ia berjalan menuju motornya dan mengambil sebuah helm lagi yang akan di serahkan kepada Ratu. “Ayo, saya antar cari bensin, tinggain mobilnya di sini, nanti kita kembali lagi.” Entah bagaimana, disitulah awal pertemuan konyol Ratu dengan seorang pria bernama Althaf, Altahf Daffa Alfarizky pengusaha tambang, yang kebetulan tengah berlibur ke bandung, pantas saja melihat motor yang ia kendarai memiliki plat nomor daerah yang berbeda, malam itu Althaf membantu Ratu dan membawa Ratu mengelilingi kota Bandung, membuang penat di kepala wanita itu dalam sekejap, Ratu senang, setidaknya ia bertemu dengan orang yang berguna untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN