One by one is gone

1385 Kata
               “Queen.”                “Queen?”                “Queen…” Ratu mengerjapkan matanya sebentar sebelum benar-benar membuka matanya dan menatao sang pemilik suara yang sejak tadi terus berusaha membangunkannya. Raja jongkok di sebelah kiri sisi kasur yang ditiduri oleh Ratu, ia sudah rapih dengan setelan kerjanya, di sampingnya ada sebuah koper kecil, di detik selanjutnya Ratu langsung paham mengapa Raja membangunkannya.                “Kamu mau kemana?” Tanya nya dengan suara serak. Ratu sekilas melirik jam di dinding kamarnya, masih pukul setengah enam pagi, dan Raja sudah siap untuk berangkat.                “Aku ada flight ke Malaysia dan Singapore, kalau gak sempat pulang besok pagi, mungkin aku bakal pulang besok malam.” Raja berjongkok di samping istrinya, berbisik pelan ke arah wanita itu.                “Tiba-tiba banget?” Ucapnya dengan suara parau. Raja mengangguk “Pinka baru ngabarin.”                “Is that okay?” Tanya Raja memastikan.                “Iya, mau di beliin apa?” Tanya Raja.                “Enggak tahu, nanti aku telfon kalau pengen apa-apa.” Jawabnya. Raja mengangguk, ia mengecup kening istrinya sebelum benar-benar berangkat “Aku jalan ya, kalau ada apa-apa kabarin aku.” *****                Sebenarnya di kehidupan rumah tangga mereka, tidak pernah ada kebiasaan makan bersama. Namun kedekatan mereka akhir-akhir ini dan semenjak ada Aleta yang juga turut tinggal di sana membuat Ratu dan Raja jadi lebih sering menghabiskan waktu mereka bersama, selain karena mereka harus berbagi kamar, mereka jadi lebih sering makan bersama juga. Pagi itu Ratu sendiri yang mengantar Aleta ke sekolah, ya sebenarnya Ratu bisa saja menitipkan Aleta kepada salah satu pelayan di rumahnya namun entah kenapa Ratu lebih senang berdebat dengan gadis kecil itu dengan pikiran-pikiran gila mereka di sepanjang perjalanan menuju kantor.                “Ratu kata bu guru aku nanti pulangnya lebih malam dari kemarin, hari ini aku ada kelas ballet.” Ucapnya sebelum menutup pintu mobil.                “Okay.” Jawab Ratu.                “Nanti kamu jemput aku kan?” Tanya nya. Ratu mengangguk “Iya Aleta.” Ratu kemudian mengeluarkan lima lembar pecahan uang seratus ribu lalu ia selipkan di samping tas gadis kecil itu. Sekolah Aleta memang mahal, tak seperti sekolah kebanyakan, semua di sekolah Aleta serba mahal sekali makan saja bisa seratus hingga dua ratus ribu, maka tak heran jika Raja ataupun Ratu memberi Aleta uang jajan yang agak berlebih.                “Terimakasih Ratu, dadaah kamu hati-hati yaa!” Aleta melambaikan tangan seiring dengan keluarnya mobil Ratu dari lobby utama sekolahnya. Hari itu Ratu tidak begitu sibuk, ia yang biasanya bahkan tidak sempat untuk makan siang, kini bisa menyempatkan diri untuk sekedar makan siang di salah satu restaurant sushi kesukaannya.                Seperti biasa, Ratu melakukan semua hal sendirian, di kantor barunya pun ia masih di pandang aneh oleh orang-orang. Ya sebenarnya tidak masalah, lagipula lingkungan kantornya bukanlah tipikal yang akan memaksanya untuk bergaul. Ratu berangkat untuk makan siang sendiri, waktu makan siangnya cukup banyak jadi ia tidak terlalu buru-buru. Sembari menunggu makanannya datang, Ratu sempat membuka roomchat nya, Raja tidak berkabar sama sekali, tapi Ratu menganggapnya wajar toh selama ini mereka juga tidak pernah intens bertukar kabar, kecuali dalam beberapa situasi yang menurut mereka penting. Setelah puas melihat isi w******p nya sendiri, ia kembali membuka aplikasi lain, berusaha mencari hiburan untuk mengisi waktu kosongnya, awalnya semua terasa membosankan hingga akhirnya ia menemukan sebuah postingan yang secara terang-terangan menandai suaminya di i********:. Ratu tersenyum kecut melihat bagaimana kedekatan mereka berdua, Ratu hanya sedikit tidak menyangka bahwa mereka berdua kenapa makin se terang-terangan itu? Tapi mungkin mereka seperti itu karena media terlalu mendukung mereka. Ratu meletakan ponselnya dengan perasaan yang sulit ia artikan, perasaan kosong dan hampa, yang membuatnya nampak tak b*******h melakukan hal lain selain diam, bahkan setelah makanannya datang pun Ratu tidak menghabiskan apa yang ia pesan.                “What’s wrong with me?!” Desis nya pada diri sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam kemudian berusaha membuat tenang dirinya sendiri. Ratu bahkan bisa memastikan bahwa ia tidak akan lagi bisa fokus bekerja dengan perasaan yang seperti itu. Setelah membayar makanannya, Ratu segera beranjak dari sana, tentu saja ia akan menemui Sarah, di banding kembali ke kantor dengan perasaan kacau, Ratu lebih memilih untuk kabur sebentar untuk menenangkan pikirannya.                “Nahh kannn gua udah tebak lo bakal balik, kenapa nengg? Udah lihat tag-an laki lo?” Sarah menertawakan wajah kusut yang di tunjukan oleh Ratu begitu wanita itu membuka pintu kamarnya. Di detik selanjutnya Ratu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, menenggelamkan wajahnya di bantal sembari meracau tidak jelas.                “Apaan sih lo, orang gua capek aja sama kerjaan.” Balasnya membela diri. Namun Ratu tidak bisa membodohi Sarah yang sudah berteman sejak lama dengan dirinya. Sarah hanya menggeleng pelan, melihat bagaimana Ratu menolak mengakui bahwa dirinya memang cemburu.                “Ngaku aja kali, kan laki lo sendiri kenapa harus malu? Patah hati kan lo?”                “Enggak, ngaco deh. Gua gak pernah fall in love sama dia.”                “Yakin?”                “Ya iya lah.”                “Tapi katanya Raina hamil, makanya nge cek nya di sana, kalau di sini bahaya.” Ratu diam sejenak, menelan salivanya dengan susah payah, ia bangun dari tidurnya, lalu duduk tegak di depan Sarah yang masih menatap ponselnya dengan santai.                “Lo bercanda ya? Gak lucu. Nyokap bokap nya Raja bakal bilang apa coba? Lo tahu dari mana?” Tanya Ratu, panik. Sarah kemudian melempar ponselnya kepada Ratu menunjukan bukti-bukti yang ia dapat tentang informasi yang baru saja di terima olehnya, Ratu membaca dengan seksama semua yang ada di ponsel Sarah, membacanya berulang-ulang kemudian menatap sahabatnya dengan tatapan terkejut, Ratu sampai di buat diam setelah membaca isi group w******p milik sahabatnya itu dengan orang-orang yang kebetulan bekerja di kantor Raja. “Hoax sih pasti.” Ucapnya menenangkan diri. “Kata gua sih enggak.” “Kenapa?” “Karena kita gak pernah tahu apa yang suami lo lakuin di luar sana. Sebenarnya gua gak mau ngasih tau lo sekarang sih, gua mau ngasih tau lo pas nanti Raja udah balik ke sini, tapi yaudah keburu lo pulang dengan muka kusut kayak gitu, yaudah mending lo tau sekarang aja. Gapapa ya? Lo gak usah marah ya? Lo gak usah buang-buang tenaga buat marah ke Raina atau Raja, bisa kan? Lo udah ngelewatin banyak hal berat belakangan ini, marah sama mereka juga bakal percuma kalau bener Raina hamil.” Ucapan Sarah barusan sukses membuat Ratu terdiam cukup lama, ucapan sahabatnya itu benar, tidak salah sama sekali, satu hal yang memenuhi pikirannya saat ini adalah, respon dari orang tua Raja apabila memang benar Raina hamil. “Gua juga gak punya hak buat marah.” Balas Ratu dengan suara pelan. “Nggak, lo itu istrinya. Selagi lo masih berstatus sebagai istrinya Raja, lo berhak buat marah sama dia!” Sarah geram sendiri, ia tahu betul bagaimana seluk beluk rumah tangga sahabatnya itu, selagi mereka masih ada ikatan suami istri, jelas Ratu bisa marah. “Nggak, gua udah jahat sama Raja selama ini. He deserve it, dia berkah bahagia sama pilihannya dan Raina adalah pilihannya.” “Waktu dulu lo sama Rio dia juga sering marah kan? Lo gak pernah ngapa-ngapain sama Rio, bahkan Rio sekedar cium kening lo aja, Raja ngamuk-ngamuk, lo nggak inget? Lo sebenarnya punya hak untuk marah, lo bisa, tapi gak usah, lo Cuma bakal buang tenaga. Now, prepare your self, mungkin dia bakal minta cerai.” Sarah mengelus pundak Ratu pelan, namun Ratu menepisnya. “Nggak, lo jangan giniin gua. Lo kira gua sedih? Enggak. Gua udah terbiasa kehilangan orang-orang yang ada di samping gua, Nyokap, Bokap, Rio, Kirana, bahkan Raja yang beberapa malam yang lalu masih janji kalau dia bakal ada terus buat gua, juga ninggalin gua, gua Cuma tinggal ngitung mundur Sar, kapan giliran lo buat ninggalin gua. Ayolah, udah takdir emang kayak gini, gak ada yang perlu di kasihani, gua bisa kok berdiri sendiri dengan kaki gua, selagi gua masih punya nyawa dan badan gua, gua bakal baik—baik aja.” Ratu tersenyum kecut, hatinya sakit, namun tidak ada lagi air mata yang bisa membasahi pipinya. “Nggak, the only one person that would never leave you, is me. Lo saudara gua, selagi gua masih bernapas, gua gak bakal ninggalin lo bahkan di saat lo terpuruk.” Tegas Sarah pada Ratu. Hati perempuan itu juga sakit, jauh lebih sakit melihat Ratu diam seperti itu. “Lo jangan janji apa-apa Sar, kalau lo janji terus lo ingkarin, lo nyakitin gua dengan cara terbaik yang lo punya.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN