4. Pelayan Kecil Menangis

1175 Kata
"Tolong jangan buang saya, Tuan Yang Mulia..." ─Darian─   ***   "Apakah makanan sudah diantar ke tempat Tuan Yang Mulia?" Kepala koki tidak mau ambil pusing sama pelayan kecil yang kelihatannya masih baru ini. Dia berkata, "Aku tidak tahu." Darian menjadi bingung harus bagaimana. Kepala koki tidak akan menyuruh pelayan dapur mengantar makanan kalau tidak ada utusan dari kediaman, karena semua pengeluaran harus dicatat dan dilaporkan ke kas kerajaan. Darian tidak mau membuat tuannya kelaparan, tapi tidak bisa membujuk kepala koki untuk mengeluarkan makanan tanpa tahu nama tuannya. "Bolehkah aku mendapatkan satu mangkok makanan untuk Tuan Yang Mulia?" tanya Darian ragu-ragu. "Kalau Tuan Yang Mulia sudah mendapatkannya, aku akan mengembalikannya lagi ke dapur. Kalau belum, makanan itu akan menunda sebentar rasa lapar Tuan Yang Mulia. Nanti akan kutanyakan nama Tuan Yang Mulia agar pelayan dapur bisa mengantarkan makanan ke tempat kami." "Tidak bisa. Ada banyak pelayan di sini, bagaimana aku bisa mengingatmu? Bagaimana kalau kau kabur setelah mendapatkan makanan?" Darian tampak berpikir, lalu dari balik bajunya, dia mengambil gelang emas berukirkan gambar elang yang merupakan peninggalan ibunya. "Ini peninggalan ibuku. Jaminan kalau aku akan kembali ke sini." Mata kepala koki berkilau saat melihat gelang emas. Keserakahan nampak di matanya. Dia langsung mengambil gelang cantik itu dan mencoba memakainya. Darian menggigit bibir bawahnya karena memberikan satu-satunya peninggalan ibunya demi semangkok makanan untuk tuannya. Andai saja dia punya satu koin uang, dia tidak perlu mempertaruhkan gelang itu. "Nyonya, berjanjilah Nyonya akan menjaganya dengan baik. Aku akan mengambilnya saat kembali ke sini." Kepala koki mengabaikan perkataan Darian dan hanya memberinya semangkok bubur kentang. "Ya, ya, cepatlah pergi." Kepala koki mengagumi ukiran indah pada gelang itu, dan sepertinya dia pernah melihat lambang elang melebarkan sayap ini, tapi dia lupa pernah melihatnya di mana.   *   Darian menerima bubur, dengan hati-hati meletakkan di atas keranjang pakaian, lalu dia memeluk keranjang pakaian itu saat berjalan. Dia cukup senang karena akhirnya bisa melayani tuannya hari ini. Seminggu belakangan, dia bahkan tidak bisa melihat Helen karena Fuma. Jarak dapur dan kediaman Helen agak jauh. Darian yang sudah lelah hanya semakin berkeringat. Setibanya di kediaman Helen, Darian merasa malu. Pelayan dapur baru keluar rumah dengan membawa piring-piring kotor. Dia bahkan merasa lebih malu karena isi mangkok bubur yang dibawanya sudah tumpah sebagian ke pakaian bersih yang telah dia cuci. Sekarang dia bahkan tidak bisa mengembalikan mangkok ke dapur karena isinya tumpah, tapi juga tidak bisa memberikannya ke tuannya yang sudah makan. Entah bagaimana nasib gelang peninggalan ibunya. Dia merasa dirinya tidak berguna. Helen berdiri di ambang pintu rumah, memerhatikan anak lelaki yang menunduk dan menggigit bibir bawahnya seperti akan menangis. Dia tidak mengerti kenapa anak itu kelihatan sedih. Padahal Helen tidak memarahinya meski terlambat datang dan lupa ke dapur untuk meminta pelayan mengantarkan makanan. Dia bahkan tidak marah karena seminggu ini Darian hanya berjalan-jalan di istana tanpa melayaninya atau bahkan menemuinya. Penampilan Darian yang hampir basah di seluruh tubuh itu, membuat Helen tertegun. Dia mulai bertanya-tanya, apakah Darian sangat suka di tempat pencucian? Gavin yang baru muncul dari luar gerbang kediaman agak terperangah dengan dua anak yang berdiam diri itu. Menepuk pundak Darian, Gavin bertanya, "Ada apa, Darian?" Darian tersentak kaget, hampir menjatuhkan keranjang yang dipeluknya. "I-itu Tuan, saya terlalu lama mencuci..." Air matanya mulai membasahi pipi. Darian sedari tadi mengingat perkataan Layne tentang tidak stabilnya kehidupan di istana. Bisa disanjung hari ini, tapi mungkin akan dibuang pada hari berikutnya oleh tuannya. Dia sangat takut kalau tuannya akan membuangnya, kemudian dia dikembalikan ke tempat p********n itu. Dia juga sedih tidak bisa mengambil gelang peninggalan ibunya. Dia merasa sangat lelah, tapi bahkan tidak bisa mengadu betapa lelahnya dia. Ibunya sebagai tempat mengadu sudah tidak ada lagi, dan yang lebih menyedihkan, peninggalan ibunya sudah tidak di tangannya lagi. "Tidak masalah," jawab Helen, yang menyadari perasaan tertekan Darian. Darian semakin berlinangan air mata. Tuannya memang tidak pernah marah selama seminggu, tapi itu artinya tuannya tidak peduli kepadanya, kan? Sejak awal pun Helen memang tidak menginginkan seorang pelayan. Bukankah artinya, Helen akan segera membuang Darian? Tidak, tidak, Darian tidak ingin dibuang. Tidak ingin ditinggalkan. Dia tidak punya tempat kembali. Darian meletakkan keranjang cucian, lalu berlutut, memegangi kaki Helen sambil mendongak menatap tuannya. Dengan terisak-isak dia menceritakan apa yang dia alami seminggu ini. Semuanya dia ceritakan, tanpa melewatkan detail apa pun. Helen ingin menyingkirkan tangan Darian yang memegangi kakinya, tapi anak itu sangat keras kepala. Tiba-tiba saja dia tidak tega melihat bocah itu menangis, apalagi setelah mendengar ceritanya selama menjadi pelayan di istana. Helen anehnya malah merasa sakit hati untuk apa yang telah dialami Darian. Setelah merasa sakit, dia kesal, dan mulai marah. Beraninya orang-orang itu menggertak pelayanku! Di akhir penjelasan, Darian melepaskan kaki Helen dan malah bersujud di tanah, "Tolong jangan buang saya, Tuan Yang Mulia... Beri saya kesempatan untuk melayani Tuan Yang Mulia sekali lagi... Saya akan lakukan yang terbaik kali ini... Saya tidak ingin kembali ke tempat perbudakan..." Gavin tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya mendesah karena Darian benar-benar anak kecil yang menyedihkan. Tapi dia sama sekali tidak terlalu tersentuh karena ada banyak anak kecil menyedihkan di luar sana. Baginya, jika masih berguna, maka akan dia pertahankan. Jika tidak, akan dia singkirkan. Semua kini terserah Helen. "Bangun!" titah Helen. Darian, yang dahinya kotor karena tanah, kini berdiri tapi kepalanya menunduk. Dia bersiap mendengar tuannya mengusirnya. "Berikan kepadaku," kata Helen. Gavin dan Darian menatap Helen, bingung dengan perkataan gadis itu. "Bubur," kata Helen. Mata Darian yang berlinangan air mata itu berkedip-kedip, masih bingung. Helen tidak suka mengulang perintah, karenanya dia langsung ke keranjang pakaian, mengambil bubur yang hanya tersisa setengah mangkok. Dia duduk di teras rumah, lalu memakan bubur itu dengan santai. Dua lelaki terbengong. Sadar Tuannya tidak akan membuangnya, Darian segera menghapus air matanya dengan lengan baju. Dia masuk ke rumah, mengambilkan segelas air untuk tuannya, kemudian duduk di bawah dekat kursi Helen, menunggu tuannya meminta air. Matanya dipenuhi kebahagiaan saat tuannya memakan bubur yang dia bawa. Akhirnya dia bisa melayani tuannya. Air matanya masih sesekali menetes, tapi dia buru-buru menghapusnya. "Air," kata Helen setelah menghabiskan bubur kentang. Darian langsung menyerahkan gelas di tangannya. Senyumnya terbit. Helen menghela napas, lalu membersihkan dahi Darian menggunakan ujung lengan bajunya. Darian terdiam, berusaha menyembunyikan rasa malunya, dan berdoa dalam hati semoga debaran jantungnya tidak terdengar oleh tuannya yang cantik. "Ikut aku!" titah Helen. Darian mengangguk dengan patuh, lantas berdiri di belakang Helen. "Bawa pakaian dan mangkok." Meski tidak mengerti, Darian menuruti perintah Helen. Dia memeluk keranjang yang pakaian di dalamnya telah kotor semua karena tumpahan bubur. Mengikuti tuannya yang berjalan gagah dengan dua tangan di belakang punggung. Gavin memerhatikan pelayan kecil yang memeluk keranjang, berjalan mengikuti tuannya. Dia mengikuti keduanya pula, menunggu apa yang ingin dilakukan Helen. Jarang-jarang, kan, Helen peduli sama masalah sepele seperti ini. Lagipula, dia memang harus mengikuti Helen, kalau-kalau 'sakit' Helen kumat. Tapi Helen lupa sesuatu. Gavin segera mengambil topeng perak dari balik bajunya, menghalangi jalan Helen. Dia menyerahkan topeng perak itu. "Yang Mulia lupa memakainya. Beruntung saya selalu membawa topeng cadangan." Helen agak tersentak. Dia tidak pernah lupa mengenakan topeng kalau keluar kediamannya, tapi hari ini dia bertingkah berbeda karena terburu-buru ingin membela pelayan kecilnya.   ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN