Pelayan Kecil Menangis (2)

1321 Kata
... hari ini dia bertingkah berbeda karena terburu-buru ingin membela pelayan kecilnya. Darian merasa bingung, kenapa Helen harus memakai topeng? Dia sudah mendengar beberapa hal dari pelayan cuci tentang orang menyeramkan yang memakai topeng perak, tapi tidak pernah menyangka kalau itu tuannya. Dia pikir raja punya banyak adik, dan mungkin memang ciri khas para pangeran untuk mengenakan topeng. Dia tidak menyangka kalau adik raja yang selalu diceritakan sebagai orang yang harus dijauhi itu, tidak lain adalah tuannya. Kalau saja Darian menyimak dengan benar dan memakai sedikit kecerdasannya, bukan hal sulit untuk menebak kalau pelayan cuci menceritakan tuannya. Bukankah dia sudah tahu, kalau raja tiran membunuh semua adik lelakinya dan hanya menyisakan 'Heli'? Dia juga tahu kalau adik spesial sang yang baru pulang dari medan perang. Mungkin, Darian terlalu muda untuk berpikir sejauh itu. Gavin tidak ingin menjelaskan kepada Darian kalau wajah feminin Helen tidak boleh diketahui orang lain karena Helen memalsukan identitasnya sebagai wanita. Kalau identitas Helen terungkap, dia akan dicap 'penipuan publik'. Menurutnya, Darian belum bisa dipercaya sepenuhnya untuk berbagi rahasia soal identitas Helen. Lagipula, Gavin tidak ingin ada lelaki lain yang tahu tentang Helen, tidak terkecuali anak kecil lemah seperti Darian. Helen segera mengenakan topeng, dan berjalan ke dapur kerajaan. Semua pelayan di pintu masuk dapur ketakutan melihat ‘pria’ bertopeng perak yang hanya tampak bibirnya saja itu. Mereka mundur dan memberi jalan, ada pula yang melarikan diri diam-diam. Darian tidak memedulikan situasi sekitar, dia hanya mengikuti tuannya dengan senyum tersungging. Kepala koki berdiri gemetar saat Helen yang tidak pernah menginjak dapur tiba-tiba ada di depannya. "Ya-Yang Mulia Heli di sini? A-apakah ada masakan yang tidak menyenangkan Yang Mulia?" Helen mengambil mangkok kosong di keranjang pakaian yang dipeluk Darian, lalu menyerahkan kepada kepala koki. "Aku memakannya." Hah? Kepala koki kebingungan, saat itulah dia melihat Darian. Anak itu benar-benar pelayan Yang Mulia Heli? Kepala koki berkata, "Saya senang jika Yang Mulia memakannya." Helen berdeham pelan, membuat kepala koki mendongak. Kepala koki melihat arah pandang Helen pada tangannya. Kepala koki pun buru-buru melepas gelang emas di tangannya dan menyerahkan kepada Darian. "Ini milikmu. Ma-maafkan aku," kata kepala koki dengan suara bergetar. Darian belum menerima gelang. Pertama-tama dia melirik tuannya. Saat Helen mengangguk, Darian pun tersenyum lebar, lalu mengambil kembali gelang peninggalan ibunya itu. Sudut matanya sedikit berair ketika dia mengucapkan, "Terima kasih, Tuan Yang Mulia." Helen mengangguk pelan, balik badan, meninggalkan dapur kerajaan. Dia puas melihat senyuman lebar Darian. Ada kebanggan tersendiri saat dia melakukan ini. Biasanya, prajurit yang dia bantu di medan perang, hanya mengucapkan terima kasih dengan wajah ketakutan. Selain Gavin, hanya Darian yang berani tersenyum kepadanya dalam jarak sedekat itu. Apalagi sekarang Darian tersenyum sangat senang atas apa yang dia lakukan, jadi bagaimana mungkin dia tidak ikut senang? Kebanggaannya sudah seperti seorang suami yang memberikan sesuatu kepada istrinya. Darian membungkuk hormat kepada kepala koki yang kakinya sudah gemetaran karena berpikir Helen akan memenggal kepalanya terkait gelang emas. "Kepala koki, maaf, sebenarnya sebagian bubur itu tumpah ke pakaian," kata Darian, sembari menunjukkan pakaian yang kotor di keranjang. "Jangan menyalahkan Tuan Yang Mulia sepenuhnya karena mendapat makanan lebih, ya? Tuan Yang Mulia mengatakan memakan semuanya hanya untuk membelaku. Tuanku memang sangat baik. Eum, begini saja, anggap itu sebagai hutangku. Aku akan membayarnya saat nanti mendapatkan upah." Kepala koki dalam pikirannya: Meskipun tuanmu memakan lima mangkok bubur lagi, itu masih lebih baik daripada aku kehilangan kepala. Oh, Nak, apa kau tidak tahu seperti apa tuanmu? Dia sangat menyeramkan! Dari sisi mana dia sangat baik? Kepala koki─yang takut Helen kembali mengahadapnya─buru-buru berkata, "Jangan memikirkannya. Lupakan saja." Darian semringah. "Benarkah?" Kepala koki menganggukkan kepalanya. "Benar, itu benar. Cepat sana susul tuanmu, jangan sampai membuatnya marah." Cepat pergi! Jangan sampai dia kembali ke sini lagi! "Terima kasih banyak, Kepala Koki." Darian pun menyusul Helen yang sudah keluar dapur lebih dulu. Kepala koki bersandar ke meja, menopang tubuhnya yang agak lemah setelah bertemu Helen. Dia kemudian berkata kepada para pelayan yang sejak tadi berdiri diam ketakutan, "Kalian sudah melihat anak itu, kan? Mulai sekarang, kalau dia datang, tidak perlu bertanya nama tuannya, atau meminta plakat, langsung antar saja makanan ke kediaman Yang Mulia Heli. Juga, tambahkan satu mangkok bubur kentang dalam makanan yang akan kalian antar." "Baik, Kepala Koki!" ujar mereka serentak. Kepala koki mengelus-elus dadanya, melakukan respirasi beberapa kali. Siapa yang menyangka kalau Yang Mulia Heli akan memberikan gelang mahal itu kepada pelayan kecilnya. Untung saja aku belum menjual gelang itu, kalau tidak, kepalaku mungkin sudah dipenggal. Gavin yang berjalan di sisi Helen melirik gadis itu sambil tersenyum manis. "Saya tidak menyangka kalau Yang Mulia akan mengancam kepala koki demi pelayan kecilnya." Helen hanya melirik Gavin sekilas, tidak menjawabnya. Gavin menghela napas. Susah sekali berkomunikasi dengan gadis ini. Bagaimana dia bisa mengatakan perasaannya suatu hari nanti? Lalu bagaimana nanti kalau Helen diam saja setelah dia mengatakan peraasaannya? Masa dia harus berspekulasi sendiri apa jawaban dari diamnya Helen? Darian menyusul belakangan. Dia berjalan riang di sebelah Helen, di sisi lain Gavin, memandang Helen penuh kekaguman. Bukankah tuannya sangat hebat? Hanya dengan berdeham pelan, semua orang tunduk kepadanya. "Tuan Yang Mulia, terima kasih banyak. Gelang ini peninggalan terakhir ibuku." "Hemm... " jawab Helen. "Tuan Yang Mulia, bolehkah Pelayan Kecil ini bertanya sesuatu?" "Hemm... " Gavin mengernyit. Kenapa Helen menjawab singkat percakapan Darian, tapi bahkan tidak bersuara atas komentarnya tadi? Perlakuan bias macam apa ini? "Bolehkah Pelayan Kecil ini tahu nama Tuan Yang Mulia?" Kalau Gavin sedang minum saat mendengar pertanyaan ini, dia pasti akan tersedak. Begitu terkenalnya Helen, tapi pelayannya tidak tahu namanya? Keterlaluan! Jangan bilang, dia juga tidak tahu namaku? "Heli," jawab Helen. Darian maju beberapa langkah lebih cepat untuk menatap Gavin. "Kalau Tuan yang di sana?" "Gavin," jawab Helen, bahkan sebelum Gavin protes dengan pertanyaan tak tahu malu Darian itu. Darian dengan langkah kecilnya berlarian untuk menyusul Helen yang melangkah dengan langkah-langkah besar. Dia agak kesulitan karena harus membawa keranjang pakaian. Meski begitu, dia tetap kelihatan bahagia saat mengikuti Helen. "Heli... Gavin... Aku akan mengingatnya..." gumam Darian. "Oh, ya, Tuan Yang Mulia, apa jabatan Tuan Gavin?" "Mayor." "Oh? Bukan Tuan Yang Mulia yang jabatannya mayor?" "Bukan." "Lalu apa jabatan Tuan Yang Mulia?" "Kapten." "Antara Mayor dan Kapten, siapa yang lebih tinggi?" "Mayor." Helen kemudian berhenti melangkah. Gavin waspada, khawatir Helen marah karena merasa memiliki jabatan yang lebih rendah darinya. Dia harusnya memperingatkan Darian untuk bicara dengan baik di depan Helen. Duk Darian yang tidak memerhatikan jalan malah menabrak punggung Helen. Helen balik badan, memerhatikan pakaian Darian yang basah. Dia kemudian melepas jubah luarnya dan memberikan kepada Darian. "Pakai," katanya. Mata Darian berkedip-kedip bingung. "Pelayan Kecil ini tidak berani menggunakan pakaian Tuan Yang Mulia." Helen yang tidak suka mengulang perintah, langsung menyampirkan jubah ke bahu Darian. Pelayan kecil tersipu, ujung telinganya memerah. Gavin yang memandang keduanya: Siapa yang wanita sebenarnya? Bukankah peran mereka terbalik? Hei, kenapa mereka beradegan romantis di sini? "Terima kasih, Tuan Yang Mulia." "Hemm..." Helen lanjut jalan lagi. Darin menyusul setelah benar-benar memakai jubah dengan rapi. "Tuan Yang Mulia, kita mau ke mana?" "Tempat pencucian."   ***   Sesampainya di tempat pencucian, semua orang ketakutan dengan kehadiran Helen, tapi juga bingung. Kenapa seorang tuan muncul di sini? Mereka awalnya ingin mengabaikan, tapi ingat kalau satu-satunya orang yang memakai topeng perak─dengan ukiran huruf GF pada ujung kanan topeng─di seluruh kerajaan hanya Helen. Maka semua langsung menghentikan aksi mencuci, lalu berbaris rapi di depan kolam pencucian. Fuma, Layne dan semua pelayan yang semula mencuci kini berdiri menunduk, ketakutan. Siapa di negeri ini yang tidak tahu kegilaan Helen? Mungkin cuma Darian! Layne ingin bersuara untuk menanyakan kepentingan Helen, tapi saat melihat Darian di sana, dia paham situasinya. Fuma, memberanikan diri berbicara, "Pelayan menghadap Yang Mulia. Apakah ada yang diperlukan Yang Mulia di tempat rendahan ini?" Helen melirik wanita usia tiga puluhan yang wajah jelek berbintik-bintik hitamnya membuat mual. Dia mengeluarkan pedangnya, mengangkat tinggi, mengayunkan langsung ke bahu Fuma tanpa keraguan, tapi kemudian berhenti tepat beberapa senti di atas bahu Fuma. Fuma seketika terduduk, matanya melebar, dan air mata mengalir ke pipi. Seluruh tubuh gemetar ketakutan.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN