"Saya tidak ingin menyusahkan Tuan saya. Saya akan menanggung hukumannya sendiri."
─Darian─
***
Seluruh tubuh gemetar ketakutan.
Semua pelayan di sana tak mampu menopang tubuh. Semua tahu, membunuh selusin manusia di sini hanya masalah kecil bagi Helen. Setelah membunuh semuanya, Raja hanya akan memaafkannya dengan alasan Helen ‘sakit’. Selalu begitu sejak lima tahun lalu. Siapa di istana yang tidak tahu ini?
Helen mengelus pedangnya dengan mata menyipit, sesekali memerhatikan reaksi ketakutan Fuma.
Darian dan Gavin di belakang sana diam saja. Tadinya Gavin ingin mencegah Helen, tapi saat Helen menghentikan pedangnya, dia tahu gadis itu tidak dalam mode 'sakit'. Gavin merasa tenang, dan dengan senang hati ikut bermain juga.
Fuma masih menstabilkan pernapasan dan detak jantungnya, saat suara lembut Gavin kembali memacu detak jantungnya.
Gavin berkata, "Pedang Yang Mulia mungkin tumpul karena terlalu sering dipakai di medan perang. Kalau digunakan sekarang, itu akan membuat kematian yang menyakitkan. Apakah Yang Mulia membutuhkan pedang saya?" Pria tampan ini pun mengeluarkan pedangnya dan menyerahkan kepada Helen.
Fuma terkencing di celana, mencengkeram baju bagian dadanya karena merasa sesak napas.
Helen melirik Gavin. "Tidak perlu."
Gavin bilang, "Kalau begitu, kita harus mengasah pedang Yang Mulia lebih dulu. Mari kembali." Gavin memasukkan kembali pedangnya ke sarung di pinggang.
"Hemm.... " jawab Helen, memasukkan pula pedang ke sarungnya.
Helen balik badan, mengambil keranjang yang dipeluk Darian sejak tadi. Dia tidak bisa mengabaikan tatapan kagum Darian. Bukankah harusnya dia ketakutan sekarang? Kenapa malah menatapku seperti itu?
Darian tersenyum, menundukkan kepala ketika netranya bertabrakan dengan netra Helen. Anehnya, jantungnya berdebar cepat saat ini. Tuanku sangat keren!
Helen mengambil keranjang Darian, lalu meletakkan di depan Fuma yang kondisinya sangat memprihatinkan. Wanita itu bahkan sedikit mundur ketika Helen mendekat. Saat inilah, Fuma melihat Darian, dan akhirnya sadar apa yang sudah dia lakukan.
Meski Fuma sangat ingin mengatakan beberapa kata penyesalan, tapi lidahnya kelu karena sangat ketakutan.
Helen juga tidak menunggu Fuma bicara, dan langsung meninggalkan tempat pencucian.
Gavin mendengkus melihat Fuma. "Darian merupakan pelayan Yang Mulia. Satu-satunya pelayannya. Apa kalian sudah mengerti maksud kedatangan Yang Mulia ke sini?"
Semua pelayan menjawab serentak dengan suara gemetar ketakutan, "Kami mengerti, Mayor."
Gavin tersenyum ke arah Layne yang masih sempat-sempatnya menyeringai karena penderitaan Fuma. Gavin pikir anak ini menarik.
"Apa kau yang bernama Layne?" tanya Gavin.
Layne segera menyingkirkan senyumnya, dan menjawab, "Benar, Mayor. Pelayan ini bernama Layne."
Gavin mengambil satu koin emas dari sakunya. Meraih tangan kanan Layne, lalu meletakkan koin di sana. "Hadiah kecil dari Yang Mulia Heli." Dia kemudian mengerling.
Jantung Layne berpacu cepat karena senyuman Gavin. Tangan yang menerima koin itu sedikit gemetar. "Te-terima kasih, Mayor."
Gavin tersenyum kecil, menyembunyikan kekecewaan. Semua reaksi gadis yang dia temui selalu sama; penuh pemujaan terhadap dirinya. Membosankan! Hanya Helen yang menatapnya dingin dan merendahkan. Yah, mungkin karena itu Gavin menyukai Helen.
Darian menyusul Helen. Dia tersenyum senang dan sedikit bersenandung ketika berjalan di belakang Helen. Sesekali dia akan memegang erat jubah besar Helen di badannya, dan menghidu wangi Vanila dari jubah tersebut. Saat melakukannya, dia akan tersipu malu, lalu merutuki kebodohannya karena memikirkan tuannya seperti seorang wanita yang sedang kasmaran.
Gavin menyusul paling akhir, tapi mengambil tempat di sisi Helen saat berjalan. Darian tidak berani berjalan di sisi Helen setelah dipelototi Gavin.
Perasaanku saja atau Tuan Gavin seperti kesal kepadaku?
Gavin tidak marah dengan Darian, hanya merasa tidak nyaman saat pelayan itu berjalan di sisi Helen. Lagipula, Darian hanya pelayan. Dia harus sadar tempatnya.
Dalam perjalanan kembali ke kediaman, Darian melihat kebun dengan banyak pohon apel berbuah lebat. Dia belum makan sejak pagi, dan ketika melihat apel merah yang menggoda, perutnya pun berbunyi nyaring.
Helen menyadari Darian melambat. Menoleh, dia melihat anak itu berdiri diam memegang perutnya sambil menatap kebun apel. Mendekati Darian, Helen lalu memerhatikan ekspresi terkejut bocah itu, seolah tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang.
"Tu-Tuan Yang Mulia...?"
"Kau mau apel?"
Mata Darian berkilauan penuh harap, tapi ucapannya justru, "Memangnya itu boleh dipetik, Tuan Yang Mulia? Bukankah semua buah di sana milik Yang Mulia Raja?"
Sebenarnya itu tidak boleh dipetik atau dimakan oleh sembarang orang tanpa izin raja, tapi melihat mata berbinar Darian yang penuh harap, Helen malah berkata, "Boleh."
Lagipula Brian sangat memanjakan Helen. Jangankan apel, jika Helen meminta istana pun, mungkin akan diberikan kepadanya.
Darian tersenyum lebar. "Kalau begitu, saya akan memetiknya untuk Tuan Yang Mulia."
Darian tidak serakah dengan memetik untuk dirinya sendiri, karena dia tahu statusnya. Dia hanya berharap, kalau tuannya tidak menghabiskan satu buah, dia akan mencicipi sisanya.
Dengan semangat, Darian mengikuti Helen ke kebun.
Penjaga kebun, dan beberapa pelayan di sana terkejut atas kedatangan ‘pria’ bertopeng perak. Mereka tidak pernah menduga kalau Helen yang selalu menghabiskan waktu di kediamannya atau medan perang itu akan menginjak kebun.
Pria tua beruban membungkuk di hadapan Helen. "Apakah ada yang diinginkan Yang Mulia?"
Menurut Helen itu pertanyaan bodoh. Apalagi yang diinginkan seseorang yang datang ke kebun apel selain apel? Meski pertanyaan itu dianggapnya sangat bodoh, Helen tetap menjawab, "Apel.”
Pria tua melirik bawahannya, meminta mereka mengambilkan satu untuk Helen.
Darian buru-buru berkata, "Jangan repot-repot. Saya akan mengambilkan untuk Tuan Yang Mulia."
Pria tua tidak yakin anak kecil ini bisa mengambil apel, atau apakah bisa memilih apel yang sudah matang, tapi saat melirik Helen yang mengangguk ringan, dia pun hanya bisa mengizinkan.
Darian mengikuti pria tua ke pohon apel yang buah-buahnya sangat lebat dan warnanya merah semua. Dia ingin langsung mengambil satu yang terdekat dalam jangkauan, tapi yang terdekat pun masih tidak mampu dia jangkau. Setelah melompat-lompat beberapa kali, dia tetap tidak bisa memetik apel.
Helen tersenyum kecil karena tingkah konyol pelayannya. Senyuman ini tertangkap netra Gavin. Sang pengawal pribadi pun dibuat berdebar karena senyumannya, tapi tindakan Helen berikutnya malah membuatnya murung.
Helen mendekati Darian. Dia sedikit berjongkok, memeluk pinggang pelayan kecil itu, kemudian mengangkatnya.
Semua orang yang menyaksikan aksi itu seketika terbelalak. Bahkan Darian juga terkejut dan hampir berontak kalau tidak ingat siapa yang mengangkatnya.
“Tu-Tuan Yang Mulia...?”
“Ambil apelnya.”
Tidak punya pilihan, Darian pun secepatnya memetik sebuah apel.
Setelah Darian memetik, Helen menurunkannya. Dia tidak menduga kalau pelayan kecilnya akan dengan malu-malu menyerahkan apel itu kepadanya.
Darian menunduk, khawatir Helen akan melihat wajahnya yang memerah kalau menatap langsung tuannya itu. Dia cukup senang mendengar Helen mengunyah apel pemberiannya.
Setelah degup jantungnya cukup normal, Darian memberanikan diri untuk melihat Helen. Dia merasa puas karena tuannya itu terlihat makan dengan lahap. Pelayan kecil pun menunggu sampai Helen kenyang memakan apelnya.
Tapi, bagaimana kalau Tuan Yang Mulia menghabiskannya? Aku tidak bisa mencicipinya, kan? Berpikir begitu, Darian kembali menunduk sedih.
Helen merasa bingung karena Darian hanya melihatnya makan, lalu tiba-tiba anak itu menunduk sedih. Apa dia merasa malu untuk mengambilnya sendiri? Berpikir begitu, Helen memetik satu, membersihkannya ke bajunya, lalu memberikan kepada Darian.
Darian menolak. "Maaf, Tuan Yang Mulia. Pelayan tidak boleh makan makanan yang sama dengan tuannya, kecuali sisa makanan tuannya."
Sejak dulu, Helen tidak memerhatikan norma-norma pelayan karena dia tidak peduli. Apalagi setelah kematian orang tuanya, dia lebih tidak peduli lagi. Karena itu, dia mengikuti saja apa kata Darian yang katanya norma seorang pelayan. Selama pelayan kecilnya bisa makan apel itu, dia akan lakukan norma aneh ini.
Helen menggigit satu gigitan apel yang baru dipetiknya, lalu memberikannya kepada Darian. “Itu sudah sisa.”
Darian mendongak, tersenyum senang, tapi masih bertanya, "Apakah saya benar-benar boleh memakannya?"
"Hemm..."
"Sebanyak ini?"
"Hemm..." kata Helen.
Darian tidak ragu lagi untuk memakannya.
Melihat Darian sangat menyukai apel, Helen mengambil tiga apel lagi, menggigit satu gigitan di masing-masing apel, lalu memberikannya kepada Darian.
Darian menampung tiga apel dengan bajunya yang basah, tidak berani menampung dengan jubah lembut Helen yang dia pakai. Dia tampak sangat bahagia.
"Bolehkah Pelayan Kecil ini menyisakan dua apel untuk besok, Tuan Yang Mulia?"
Helen pikir apelnya tidak akan segar lagi kalau harus menunggu sampai besok, makanya dia berkata, "Tidak. Harus habis hari ini."
Darian merengut. Padahal dia ingin merasakannya lagi untuk besok.
Menyadari kesuraman ekspresi Darian, Helen tersenyum kecil. "Kalau besok mau lagi, katakan kepadaku. Aku akan menggigitnya lagi."
Darian langsung tersenyum. "Terima kasih, Tuan Yang Mulia."
***