“... Terima kasih, Tuan Yang Mulia."
Helen berjalan pergi, dengan dua tangan di belakang punggung. Darian yang memeluk apel berlarian kecil menyusul tuannya. Gambaran menyenangkan mata itu, dengan latar pohon-pohon apel, benar-benar seperti sebuah lukisan indah. Gavin mengabadikan momen ini dalam ingatannya, lalu wajahnya menjadi suram. Bisa-bisanya dia berpikir mereka bagai lukisan indah.
***
Seminggu berjalan baik di kediaman Helen. Darian mulai menikmati pekerjaannya sebagai pelayan. Dia sebenarnya tidak banyak bekerja. Ditambah sudah ada yang khusus mencuci pakaian Helen (Fuma dan antek-anteknya), dia hanya perlu membersihkan kamar Helen dan halaman. Selebihnya, Darian akan duduk diam melihat Helen berlatih pedang dengan Gavin, atau Helen yang tiduran di kursi depan rumah di bawah pohon Tabebuya.
Meski sudah dilarang oleh Gavin untuk tidak tiduran di luar rumah dalam cuaca dingin, Helen tetap saja keras kepala. Tapi untungnya hari ini cuaca cerah, dan salju belum turun sejak kemarin. Jadi, Gavin tidak terlalu khawatir.
Kalau sudah melihat Helen tiduran dengan poni putihnya yang sesekali tertiup angin, Darian hanya bisa diam-diam merapikan anak rambut Helen tersebut agar tidak menusuk mata gadis itu. Seperti sekarang. Darian menyingkirkan bunga pohon Tabebuya yang jatuh di kepala Helen, lalu merapikan anak rambutnya.
Darian tersenyum melihat wajah damai Helen yang sebenarnya feminin untuk ukuran seorang pria. Tiba-tiba saja, menatap tuannya itu dalam jarak dekat, membuat Darian berdebar. Entah pikiran dari mana, ibu jarinya mengelus pelan bibir Helen. Itu lembut dan hangat dari napas Helen yang berembus. Darian tersipu.
Merasakan kehadiran seseorang di depannya, Helen segera bangun, dan menangkap tangan yang menyentuh bibirnya. Dia biasanya selalu waspada, tapi karena sudah seminggu ini ditemani Darian, dia sedikit menurunkan kewaspadaannya. Tapi lihat, ada pengganggu sekarang.
Darian terkejut karena tangannya ditangkap oleh Helen dan dicengkeram kuat. Dia merasa malu, pipinya panas dan ujung telinganya memerah.
Helen mengerjapkan mata untuk melihat sosok di depannya. Dia menghela napas lega setelah menyadari kalau orang ini adalah Darian. Melepaskan tangan Darian, kemudian Helen mengubah posisinya menjadi duduk.
"Apakah sudah waktunya makan siang?" tanya Helen.
Darian yang mendapatkan kembali kewarasannya segera berdiri. "Ya, Tuan Yang Mulia."
***
Beberapa hari belalu seperti itu. Pagi ini, Darian membawa kembali keranjang pakaian kotor untuk dicuci. Di perjalanan, dari arah berlawanan, seseorang berlarian, dan menabraknya, menyebabkan tumpukan pakaian kotor terjatuh.
Sial bagi Darian, karena yang menabraknya adalah putri raja yang baru berusia sepuluh tahun. Namanya Rane Malkia Abner Caidan. Karakternya yang arogan dibentuk karena Brian sangat memanjakannya.
Darian segera berlutut saat melihat gadis kecil yang ditabraknya mengenakan gaun sutra mahal. Sayangnya, gaun itu kini kotor karena pemiliknya terjatuh paska tabrakan.
"Maafkan saya," ujar Darian penuh ketakutan.
Plak
Salah satu pelayan Rane menampar pipi Darian. "Beraninya kau menabrak Yang Mulia Putri! Kau pikir permintaan maaf cukup untuk mengganti gaun rusak Yang Mulia?"
Rane yang tidak tahu kalau Darian adalah pelayan Helen, merasa puas saat melihat pelayannya menampar Darian. Dia selalu menyukai perasaan superioritas ini.
"Katakan, dari kediaman mana pelayan rendahan sepertimu berasal?"
Darian menunduk, masih berlutut ketakutan sambil menyentuh pipinya yang panas. Dia tidak ingin memberi tahu nama tuannya karena menurutnya, tuannya bisa terkena masalah juga jika terlibat dengan anak raja. Menurutnya, antara adik dan anak, orang akan lebih memilih anak. Maka Darian diam saja agar Helen tidak terseret masalahnya. Aku tidak boleh merusak nama baik Tuan Yang Mulia. Tuan Yang Mulia sudah sangat baik kepadaku selama ini.
"Jangan diam saja! Aku harus tahu nama Tuanmu agar dia mengganti rugi kerusakan gaun Yang Mulia Putri!" bentak pelayan putri, kali ini dia menendang Darian.
Darian yang tersungkur, buru-buru kembali berlutut meski harus menahan sakit di perutnya. "Saya tidak ingin menyusahkan Tuan saya. Saya akan menanggung hukumannya sendiri."
"Beraninya kau membantah!"
"Momo," panggil Rane, membuat pelayan yang akan menampar Darian itu berhenti bergerak.
"Ya, Yang Mulia?" tanya Momo dengan nada lembut.
"Mungkin dia pelayan baru dari salah satu saudaraku. Jangan merusak reputasi saudaraku hanya karena pelayan rendahan. Kita bisa mengajari pelayan ini tata krama di istana. Kenapa repot-repot melibatkan saudara-saudaraku?"
"Yang Mulia sangat rendah hati." Momo kemudian menatap dua pengawal di belakang tiga pelayan lain di sana. "Bawa pelayan ini ke kediaman Yang Mulia Putri."
Kedua pria segera menyeret Darian.
***
Darian tidak tahu kalau hukuman di istana sangat kejam. Dia pikir, karena masalahnya ringan, dia hanya akan mendapatkan pemukulan di p****t atau di telapak tangan seperti di rumah b***k, tapi ternyata menggunakan cambuk. Dia dihukum cambuk sepuluh kali, tapi baru dua kali punggungnya dicambuk, seluruh tubuhnya sudah mati rasa.
Cambukan ketiga mengenai punggung Darian.
"Arrghh!" teriak Darian, dia memegang kuat tali yang mengikat tangannya ke atas.
Air mata membasahi pipinya, Darian tampak sangat kesakitan. Meski tampilan dan tubuhnya menyedihkan, dia menatap tajam gadis cantik yang menyesap teh di depannya. Dia membenci gadis itu.
Semua tuan seharusnya seperti tuannya yang baik hati. Yang bahkan tidak memukul meski dia beberapa kali melakukan kesalahan. Padahal pakaian tuannya juga terkena noda bubur beberapa waktu lalu, dan bekas itu belum hilang sepenuhnya. Sudah jelas pakaian itu mahal, tapi tuannya sama sekali tidak memarahinya. Sementara gadis ini, hanya ujung gaunnya yang kotor, yang itu pun bisa dibersihkan dengan mudah, tapi menyiksanya seperti ini.
Seorang pelayan menyiramkan air ke wajah Darian saat anak lelaki itu kehilangan kesadaran.
Cambukan keempat kembali mendarat di punggung Darian.
Hanya rintihan putus asa yang keluar dari mulut Darian. Untuk merengek atau memohon pun sudah tidak bisa dia lakukan.
Rane mengangkat tangannya, menghentikan sejenak pria yang akan mencambuk Darian. "Aku tidak tega membuatmu lebih menderita. Begini saja, katakan nama tuanmu, dan aku akan menyerahkanmu kepadanya untuk pendisiplinan."
Dalam kepala Rane sudah ada skema untuk mempermalukan saudara-saudarinya yang tidak becus mendisiplinkan pelayan ini. Akan lebih baik kalau anak ini pelayan dari kediaman bibinya, karena dia membenci sepupunya yang beberapa waktu lalu maraih peringkat pertama dalam bermusik dan puisi.
Darian tetap menunduk, karena sulit sekali mengangkat kepala saat ini. Kalau bukan karena tangan yang terikat di atas kepala, dia mungkin sudah ambruk ke tanah sekarang juga.
Rane merengut karena tidak bisa mendapatkan nama tuan dari pelayan ini. Sebelum dia memerintah kembali pria pemegang cambuk, seorang pelayan berlari masuk, dan langsung berlutut di halaman.
"Yang Mulia, tolong hentikan hukumannya demi kebaikan Yang Mulia Putri!"
Rane melirik tidak suka pada pelayan yang berlutut.
Momo berteriak, "Beraninya pelayan menentang perintah Yang Mulia Putri!"
Pelayan itu berkata, "Ampun, Yang Mulia. Saya tidak menentang Yang Mulia Putri. Tapi pelayan itu berasal dari kediaman Yang Mulia Heli."
Rane menjatuhkan cangkir di tangan, wajahnya sangat ketakutan. "Pa-paman kerajaan punya pelayan...? Sejak kapan?" Dia menatap tajam Momo.
Momo segera berlutut. "Ampun, Yang Mulia, hamba tidak tahu kalau itu benar. Yang Mulia Heli baru pulang dari medan perang beberapa hari lalu, makanya tidak mungkin mendapat pelayan, apalagi pelayan kecil dan lemah seperti ini. Hamba pikir itu hanya berita bohong yang disebarkan para pelayan dapur dan pelayan cuci."
Rane mengernyit, bibirnya menipis karena menahan marah pada Momo. "Apa yang masih kalian tunggu?! Bebaskan dia!"
Darian merasa sikap Rane sedikit lucu. Dia tidak tahu kalau hanya dengan menyebut nama tuannya bisa membuat putri yang sombong ini ketakutan. Kalau tahu begitu, sejak awal dia sebutkan saja nama tuannya. Sayangnya, dia tidak bisa menertawakan sang putri, bukan saja karena kondisinya yang mengerikan, tapi juga karena kehadiran tuannya.
"Yang Mulia!" teriak semua orang di kediaman sang putri, lantas mereka jatuh berlutut.
***