“Hari ini dia tersenyum, mungkin suatu hari nanti dia akan bisa tertawa lagi,”
─Gavin─
***
"Yang Mulia!" teriak semua orang di kediaman sang putri, lantas mereka jatuh berlutut.
Semuanya ketakutan melihat Helen datang. Bahkan Rane juga berlutut meski sebenarnya status sosialnya di kerajaan lebih tinggi daripada Helen.
Helen melihat pelayan kecilnya terkapar dengan baju robek dan punggung luka akibat cambukan. Sekalipun sekarat, anak bodoh itu masih memanggilnya dengan nada putus asa.
"Tuan Yang Mulia..."
Helen tertarik dengan suara itu, dan segera mendekat. Dia mengangkat pelayan kecilnya, dan melupakan kemarahan yang sempat memuncak beberapa detik sebelumnya. Saat ini, gadis itu hanya ingin menyelamatkan pelayannya.
Darian yang dalam gendongan ala putri itu mengerang kesakitan, tapi di tengah rasa sakitnya, dia masih bisa berkata, "Maaf, Tuan Yang Mulia, pelayan ini membuat Anda malu."
"Bodoh!"
Darian kemudian kehilangan kesadarannya.
***
Helen melihat tabib menaruh obat hijau ke punggung Darian, tapi yang menjadi fokusnya justru Darian yang tidur telungkup. Pelayan kecil itu menggigit bibir bawahnya sambil mencengkeram erat seprai. Terdengar isakan pelan tangisnya dan erangan tertahan.
Entah mengapa, Helen seolah merasakan sakit juga saat melihat penderitaan Darian. Tidak tahan diam saja, dia meletakkan pedangnya yang masih bersarung ke bahu si tabib. Seketika tubuh tabib gemetaran, dan tangannya yang mengoles luka menjadi berhenti.
"Buat perlahan," kata Helen dengan nada dingin, dan tatapan tajam.
Tabib menelan ludah kala melihat pria bertopeng perak ini menatapnya tajam. Sungguh, dia sudah sangat pelan menaruh obatnya. Mau sepelan apa lagi? Luka ini bahkan terasa perih hanya terkena air, apalagi herbal. Bagaimana dia menjelaskan itu kepada Helen? Bagaimana dia berani menjelaskan itu?
Darian tidak tahu harus tertawa atau menangis melihat perhatian kecil Helen. "Ini bukan salah tabib, Tuan Yang Mulia."
Melihat senyum kecil Darian, barulah Helen melepaskan bahu tabib.
Gavin yang bersandar di dekat pintu tersenyum jahil, lalu berkata, "Tangan tabib itu mungkin kasar, makanya Darian kesakitan. Bagaimana kalau Yang Mulia yang melakukannya?"
Darian dan tabib menatap Gavin di saat bersamaan, lalu menatap Helen. Keduanya sama-sama berpikir seperti ini: Apa Yang Mulia percaya omong kosong itu? Tangan Yang Mulia jauh lebih kasar karena selalu memegang pedang.
Helen mengangkat tangan kanannya, dengan serius memandang tangan putih itu.
Suara hati tabib: "Jelas itu kasar, Yang Mulia!"
Suara hati Darian: "Aku akan sangat gugup kalau Tuan Yang Mulia melakuan itu. Tapi... Tapi... Aku juga penasaran dengan tangan Tuan Yang Mulia... "
Helen akhirnya bereaksi setelah cukup lama menatap tangannya. "Ambilkan air hangat dan handuk lembut,” katanya kepada tabib.
Tiga lelaki di dalam ruangan berteriak di dalam hati: Tidak mungkin!
Gavin menyesali kelakuan nakalnya menggoda Helen, tapi tidak bisa mencegahnya karena dia sendiri yang menyarankan itu.
Jantung Darian berdebar cepat. Dia mengubur wajahnya di bantal karena menahan gugup. Tuan Yang Mulia selalu sangat baik kepadaku. Setelah sembuh, aku akan melakukan yang terbaik untuk melayani Tuan Yang Mulia.
Tabib segera keluar kamar untuk mengambil handuk lembut dan air hangat.
Helen mengelap tangannya beberapa kali dengan handuk lembut yang telah dibasahi air hangat, seolah-olah tangannya yang kasar akan bisa lembut seperti handuk itu jika dia melakukannya beberapa kali lagi.
Darian yang semula bersemangat dan gugup, kini ragu-ragu, dan malah berkata, "Tuan Yang Mulia tidak perlu memedulikan perkataan Tuan Gavin. Pelayan Kecil ini akan baik-baik saja dengan perawatan tabib."
Sayangnya, yang diajak bicara ini Helen. Jika dia sudah memutuskan sesuatu setelah pertimbangan matang, dia akan melakukannya, dan tidak ada yang bisa menghentikan.
Helen meraih mangkok kecil isi salep berwarna hijau yang kaya akan bahan obat-obatan. Mengambilnya dengan jari-jarinya, lalu perlahan-lahan mengoleskan ke luka cambuk di punggung Darian.
Darian mengerang pelan, tapi segera menutup mulutnya. Mau siapa pun yang mengoles lukanya, itu tetaplah pedih, tapi melihat ketulusan Helen, dia harus menahan suaranya. Apalagi Darian bisa merasakan tangan tuannya ini sedikit gemetar dan ragu-ragu ketika menyapukan obat ke punggungnya. Tuanku yang cantik, apa yang harus kulakukan untuk membalas semua kebaikanmu ini?
Melihat Darian agak rileks, Helen tersenyum kecil. Dia bersyukur tangannya tidak sekasar itu untuk menyakiti Darian.
Setelah mengoles luka, Helen membalut punggung Darian dengan perban atas bimbingan tabib.
Tabib berkata kalau setiap dua hari sekali harus ganti perban dan oleskan salep hijau lagi.
"Aku yang akan melakukannya," kata Helen.
Ada kebanggaan dalam suara Helen ketika dia mengatakan kalimat itu. Seolah dia berkata, "Lihat! Pelayan kecilku tidak mengerang sakit di bawah perawatanku. Aku Tuan yang baik."
Gavin tersenyum geli melihat kebanggaan di wajah Helen. Biar bagaimanapun, Helen masihlah anak-anak yang mudah puas saat bisa melakukan sesuatu. Padahal Helen sudah memenangkan pertempuran dan berhasil mengalahkan lawan di medan perang, tapi kebanggaan itu tidak lebih besar daripada ketika dia merawat pelayannya. Mungkin karena Darian spesial, anak kecil dan lemah itu tidak takut dengan Helen.
***
Setelah hari itu, Darian demam tinggi. Dia tidak sadar selama tiga hari. Pada hari keempat dia sadar, kabar pertama yang dia dapat tentang Helen yang membantai dua puluh pelayan di kediaman Rane. Tuannya itu hampir membuat nyawa putri raja itu melayang andai Gavin tidak bergerak lebih cepat. Karena masalah ini, raja menghukum Helen di penjara.
Gavin membantu Darian duduk, lalu memberinya minum.
"Tuan, apakah Tuan Yang Mulia baik-baik saja?"
Gavin memberi senyum menenangkan. "Yang Mulia baik-baik saja. Sebenarnya, Yang Mulia sendiri yang minta dipenjara untuk mencegah banyak nyawa melayang."
"Ini salahku," kata Darian.
Gavin menepuk kepala anak itu. "Ini bukan salahmu. Yang Mulia memang selalu seperti itu. Apa kau tidak mendengar tentang 'peyakit' Yang Mulia?"
Darian memandang bingung Gavin.
Gavin menghela napas. "Mungkin cerita itu tidak sampai pada beberapa pelayan rendahan di luar istana."
Darian mengabaikan gumaman tidak jelas Gavin, malah bertanya, "Kapan Tuan Yang Mulia akan bebas?"
"Harusnya hari ini."
Darian bangkit susah payah, coba meraih bajunya. "Saya akan menyambut kedatangan Tuan Yang Mulia."
Gavin tersenyum, tidak memaksa anak itu untuk beristirahat. Dia tahu, pelayan kecil ini meniru keras kepala Helen.
***
Ketika dalam perjalanan pulang, Helen masih memikirkan Darian yang belum sadar. Dia juga khawatir kalau amarahnya akan meledak lagi saat melihat anak itu koma. Dia sempat memutuskan kembali ke penjara saja untuk mencegah tragedi, tapi sebelum balik badan untuk kembali ke penjara, dia terdiam sesaat ketika anak lelaki kecil dalam pikirannya sedang berdiri sambil melambaikan tangan.
Wajah anak itu pucat, dan cara berdirinya pun seperti masih sangat kesulitan, tapi ada senyum kebahagiaan saat dia melihat kedatangan Helen, seolah sakit di punggungnya tidak ada apa-apanya.
Kapan terakhir kali Helen disambut hangat ketika pulang? Benar, itu lima tahun lalu. Ketika itu ibunya merentangkan tangan dan menyambutnya ke pelukan seusai dia pulang dari akademi kerajaan. Ibunya akan dengan bangga memujinya sebagai pria terbaik di Akademi, meski sebenarnya dia seorang wanita. Setelah hari itu, hanya sorak-sorai dari rakyat yang menyambutnya pulang. Bahkan dia yakin, sorakan itu berasal dari keluarga para prajurit yang menyambut kepulangan keluarga mereka, bukan menyambut kedatangan seorang monster sepertinya.
Brian yang menyambut kedatangan Helen saja harus menjaga jarak aman dalam radius lima meter, dan selalu ada sepuluh prajurit yang menyertainya setiap kali mereka bertemu. Apalagi rakyat biasa yang lemah. Mana mungkin sambutan meriah itu untuk Helen. Dengan kata lain, tidak ada yang benar-benar menyambutnya pulang.
Hanya ada dua orang yang berani dekat dengan Helen; Gavin dan Rezvan. Kini muncul orang ketiga, yang entah dia tidak kenal rasa takut atau terlalu bodoh untuk tahu bahwa Helen sangat berbahaya.
Darian masih melambaikan tangan sambil tersenyum cerah saat Helen berhenti melangkah. Tiba-tiba senyumnya hilang dan tubuh kecil itu membeku kala detik berikutnya Helen malah datang berlari ke arahnya sambil tersenyum lembut. Gadis itu kemudian memeluknya.
Gavin juga tertegun, tapi gesturnya siaga kalau-kalau Helen dalam mode 'sakit' untuk beberapa detik berikutnya.
Helen memejamkan mata, memeluk lelaki yang lebih pendek darinya itu. Seolah lupa siapa yang dipeluk, dia malah bergumam, "Aku pulang..."
***