"Aku pulang..."
Darian tersenyum kecil meski jantungnya sangat berdebar. Dia menepuk-nepuk punggung Helen penuh sayang.
"Selamat datang kembali," kata Darian dengan suara lembut yang menenangkan.
Helen mengangguk, masih tersenyum bahagia.
Sepuluh detik setelah kalimat Darian meluncur, Helen langsung mendorong anak itu menjauh. Keningnya mengernyit.
"Tidak sopan!" bentak Helen.
Darian menunduk, merasa terkejut, lalu sedikit takut. Dia sendiri tidak mengerti mengapa refleks membalas pelukan Helen, bahkan mengatakan kalimat tanpa rasa hormat yang bernada seolah mereka berada pada level yang setara. Yang dia lihat hanya seorang anak yang ingin disambut ketika pulang. Dia juga cukup senang karena akhirnya bisa melihat Helen lagi. Untuk sesaat, dia lupa kalau orang di depannya adalah tuan yang harus dia hormati.
"Maafkan pelayan yang hina ini, Tuan Yang Mulia."
Helen tidak bermaksud membuat takut Darian, tapi dia tadi tiba-tiba merasa kehilangan muka sebagai tuan di depan pelayan kecilnya. Sekarang dia merasa bersalah karena bertindak berlebihan. Padahal jelas sekali dia sendiri yang memeluk Darian, tapi malah menyalahkan anak itu.
Gavin yang memerhatikan dua anak ini pun hanya bisa tersenyum geli. Keduanya sama-sama pemalu, tapi dengan cara yang berbeda. Walau ada perasaan tidak nyaman karena gadis yang dia cintai dipeluk oleh lelaki lain, Gavin tetaplah berpikir logis untuk tidak mempertanyakan sikap Helen yang terkadang suka aneh kalau di sekitar Darian. Daripada itu, Gavin merasa jauh lebih senang karena perlahan Helen sudah seperti manusia yang punya perasaan.
“Hari ini dia tersenyum, mungkin suatu hari nanti dia akan bisa tertawa lagi,” pikir Gavin.
Helen melangkah masuk ke kediamannya, disusul Darian yang menunduk.
Baru beberapa langkah memasuki kediaman, Helen berhenti, lalu balik badan untuk melihat Darian dari kepala sampai kaki.
Menyadari kekhawatiran Helen dari netra itu, Gavin lantas berkata, "Pelayanmu sudah baik-baik saja, Yang Mulia. Tidak perlu mengkhawatirkannya."
Darian mendongak, mencari tahu apakah Helen benar-benar mengkhawatirkannya?
Helen menjawab, "Aku tidak mengkhawatirkannya."
Gavin tersenyum kecil melihat kebohongan di mata Helen. Sementara Darian menunduk sedih.
Ujung telinga Darian memerah. Apa yang dia harapkan? Tidak mungkin tuannya mengkhawatirkan pelayan rendahan sepertinya. Tuan Yang Mulia pasti kesal karena harus di penjara akibat pelayan bodoh sepertiku. Karena itu Tuan Yang Mulia terus melihatku. Apa dia sedang berpikir untuk membuangku?
Helen tertegun, tidak bermaksud membuat Darian sedih seperti itu. Dia hanya tiba-tiba merasa malu karena ketahuan mengkhawatirkan pelayan kecilnya. Gadis itu tidak terbiasa menunjukkan kekhawatiran. Itu perasaan yang sangat asing baginya. Namun, tidak bisa dipungkiri kalau dia memang mengkhawatirkan Darian.
Tidak mau repot-repot memikirkan perasaan anehnya, Helen hanya berkata, "Bodoh!" kepada Gavin, lalu masuk ke kamarnya.
Gavin tertawa kecil, merangkul bahu Darian. "Hei, teman kecil, kita harus minum malam ini."
"Saya tidak boleh minum, Tuan."
"Ckckck... Jangan panggil aku Tuan mulai sekarang. Panggil aku Gavin."
"Pelayan ini tidak berani, Tuan."
"Cih! Kau kaku sekali. Posisi kita ini sama; bawahan Yang Mulia Heli. Dengan kata lain, kita rekan. Aku menyukai kinerjamu yang bagus. Hari ini kau membuat Yang Mulia tersenyum. Di masa depan, kau mungkin bisa membuatnya tertawa. Aku ingin kau lebih sering membuat Yang Mulia menunjukkan berbagai emosinya, tapi kau tidak boleh membuatnya menangis. Yah, aku juga agak ragu kalau Yang Mulia Heli bisa menangis."
“Tuan Gavin tidak pernah melihat Tuan Yang Mulia menangis?”
“Ya. Di pemakaman orangtuanya saja Yang Mulia tidak menangis.”
Darian menatap pintu rumah yang telah tertutup itu dengan pandangan rumit. Tuan Yang Mulia pasti sangat menderita karena memendam perasaannya.
Gavin mengabaikan kebingungan di wajah Darian. Sudah dia duga, menyembunyikan 'sakit' Helen dari Darian memang yang terbaik. Kalau anak lelaki ini tahu betapa berbahayanya Helen, mungkin dia akan sama seperti pelayan lain yang telah mati. Sebenarnya karena ketakutan bodoh mereka sendirilah yang membuat mereka melakukan banyak kesalahan, yang akhirnya membuat Helen kesal. Sayangnya, orang-orang hanya melihat dari sisi kejam Helen, tanpa repot-repot mencari tahu penyebab Helen bersikap kejam.
***
Begitu saja, waktu berlalu selama sebulan. Sudah dua bulan Darian menjadi pelayan Helen. Selain kegiatan harian seperti membersihkan kamar, menyapu halaman, mencuci baju (ralat, membawakan pakaian kotor kepada Fuma) dan mengingatkan pelayan dapur membawa makanan ke kediaman Helen, Darian tidak banyak beraktivitas.
Helen bukan tipe yang suka bertemu banyak orang dan lebih senang menghabiskan waktu di kamar atau berlatih pedang dengan Gavin. Sesekali akan datang juga pria usia empat puluhan tahun yang sangat hebat dalam berpedang. Darian tidak tahu kalau nama pria yang dia maksud adalah Rezvan. Dia juga tidak berani dengan lancang bertanya kepada Helen atau Gavin.
Sesekali Darian akan memerhatikan teknik berpedang Rezvan. Meskipun dia sangat ingin belajar berpedang, tapi dia tidak berani meminta lebih. Dia hanya akan diam-diam meniru gerakan berpedang itu menggunakan ranting, dan berlatih di kamarnya. Tetap saja, dia tidak bisa belajar sendiri. Dia tidak tahu dasar-dasar posisi kaki dan tangan yang benar. Akhirnya, dia menyerah belajar, hanya memerhatikan Helen yang sangat anggun ketika menggerakkan pedang.
Darian tidak tahu mengapa menggunakan kata 'anggun' untuk menggambarkan teknik berpedang Helen, tapi begitulah yang dia rasakan. Teknik itu kuat dan terampil, tapi juga indah dan membuatnya sulit berpaling.
Dalam dua bulan ini, hubungan Darian dan Gavin juga menjadi lebih baik, tapi hanya Gavin yang menganggap mereka berteman. Darian tidak berani melewati batasannya.
Hari ini Darian membimbing pelayan dapur ke kediaman Helen untuk membawakan sarapan. Saat itulah dia mendengar obrolan tentang makan di aula kerajaan.
Darian bertanya kepada salah satu pelayan dapur, "Kenapa Tuan Yang Mulia tidak ikut sarapan di aula bersama anggota keluarganya yang lain?"
Pelayan dapur terkesiap, takut bicara.
"Katakan saja," kata Darian dengan senyum manis.
Pelayan dapur terkesima dengan senyum Darian. Itu sama baiknya dengan senyum Gavin yang meluluhkan hati wanita.
Setelah hidup dengan baik selama dua bulan sebagai pelayan Helen, Darian mulai menampakkan fitur wajahnya yang sebenarnya tampan. Pipi itu tidak lagi tirus, sudah diisi daging putih lembut yang membuat orang gemas ingin mencubitnya. Netra biru Darian yang setenang air membuat orang betah memandangnya, tapi juga menimbulkan riak gugup dan malu di waktu berikutnya. Bibir tipis Darian yang tersenyum ramah juga menyenangkan mata. Siapa yang bisa menolak ketampanan ini? Jika Gavin pria tertampan seantero kerjaan, memiliki fitur menawan ala cendikiawan, maka Darian yang kedua tertampan dengan fitur polos dan lembutnya ala malaikat.
"Itu karena Yang Mulia Heli 'sakit' dan Yang Mulia Raja tidak bisa membiarkannya makan bersama dengan keluarga kerajaan lain."
"Aku selalu melihat Tuan Yang Mulia baik-baik saja dan sehat. Sakit apa yang kalian maksud?"
"Itu─"
"Apa yang membuat kalian berhenti di tengah jalan?" Ini suara Gavin.
Para pelayan dapur segera membawa makanan ke ruang tamu rumah Helen. Mereka dengan hati-hati meletakkan piring-piring isi makanann itu di meja, lalu keluar kediaman sesegara mungkin, seolah berdiri semenit lebih lama di dekat Helen akan membunuh mereka.
Darian sudah memerhatikan tingkah para pelayan ini selama dua bulan belakangan. Dia sedikit tahu kalau semua orang takut dengan tuannya. Hanya mendengar nama tuannya, tubuh orang-orang itu gemetar. Awalnya dia menduga karena tuannya selalu memakai topeng perak dan membawa pedang ke mana pun dia pergi yang menyebabkan orang-orang takut, tapi semua pengawal juga membawa pedang, dan tidak seperti tuannya yang sangat ditakuti. Kemudian, dia berpikir itu mungkin karena tuannya sudah menaklukkan sabuah kerajaan dalam dua tahun terakhir ini pada usia yang masih sangat muda, tapi pemimpin pertempuran bukanlah tuannya, dan harusnya tidak perlu setakut itu. Tuannya hanya berpangkat Kapten di medan perang. Gavin jauh lebih hebat pangkatnya jika dibanding tuannya, tapi orang-orang malah lebih takut dengan tuannya dibandingkan dengan Gavin.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Gavin, mengambil tempat di sebelah Darian yang termenung.
"Sebenarnya Tuan Yang Mulia sakit apa?"
Gavin agak tersentak dengan pertanyaan itu, tapi dia tidak menunjukkannya. "Yang Mulia tidak sakit. Bukankah kau melihatnya baik-baik saja selama ini?"
"Tapi kenapa semua orang ketakutan melihatnya? Bahkan sekadar mendengar namanya saja mereka takut."
"Mungkin karena Yang Mulia sudah menjadi prajurit terbaik saat usianya masih sangat muda."
Gavin yang bahkan tidak berkedip ketika berbohong itu merasakan ketidakpuasan Darian dengan jawabannya, maka dia buru-buru menambahkan, "Apa kau juga takut?"
Darian tidak peduli apa kata orang, karena alasan dia bertanya seperti ini semata-mata karena peduli terhadap Helen.
"Saya tidak takut dengan Tuan Yang Mulia. Aku menghormatinya. Tapi, orang-orang takut kepadanya, dan itu membuat Tuan Yang Mulia selalu sendirian. Saya tidak suka melihat Tuan Yang Mulia kesepian."
***