Part 16

1178 Kata
Leo terkejut melihat Lita berdiri membeku di ambang pintu. Bukankah kakaknya bilang akan kembali nanti siang? “Kau sudah pulang?” Lita mengalihkan pandangannya dari tempat tidur mereka. Merasa begitu benci pada dirinya sendiri karena tak bisa menahan usikan di dalam hatinya terhadap sikap Leo. Pria itu meniduri Olivia di tempat tidur ini, setidaknya jika menginginkan kehangatan lainnya tak perlu di lakukan di kamar mereka. Di tempat tidur mereka. Mengabaikan pertanyaan Leo, wanita itu berjalan ke arah lemari pakaian, menyambar setelan kerja yang pertama dilihatnya. Berjalan melewati Leo dan masuk ke kamar mandi. Membanting pintu kamar mandi dan menguncinya. Melepas semua pakaian dan melemparnya ke keranjang pakaian kotor sebelum mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Ia keluar lima menit kemudian, duduk di meja rias dan mengeringkan rambutnya. Leo duduk  di sofa, sudah rapi meski tanpa dasi di kerah leher, menunggu sekaligus mengamati setiap pergerakan Lita. Saat Lita selesai, masih dalam kebisuannya menyeberangi kamar mereka. Sedikit pun tak mendaratkan pandangan ke arah tempat tidur mereka. Leo mengekor di belakangnya. Menahan lengannya di teras paviliun. “Kenapa denganmu?” Lita menepis tangan Leo. Melanjutkan langkahnya. “Sampai kapan kau akan marah padaku?” teriak Leo ke arah punggung Lita. Yang tak mengurangi kecepatan langkahnya sedikit pun. Menghela napas, ia setengah berlari mengejar Lita. Wanita itu tidak berjalan ke arah rumah utama untuk sarapan, melainkan langsung menuju gerbang rumah. Mempercepat langkahnya, Leo berhasil menangkap pergelangan tangan Lita di dekat gerbang. “Mau ke mana kau?” “Bukan urusanmu.” Lita menyentakkan tangan Leo lebih keras. Dari kejauhan, Olivia tersenyum puas melihat tampang muram Leo hanya mampu menatap Lita yang menghilang di balik gerbang tinggi.   ***   Hari itu Leo pulang lambat karena pertemuan makan malam bersama papanya. “Sepertinya hubunganmu dan Lita tidak berjalan baik,” gumam Tama memecah lamunan putranya. Sejak masuk ke mobil, Leo hanya termenung menatap ke arah jalanan. Leo menoleh ke samping dan mendesah pelan diikuti anggukan pendek. “Pernikahan pertamanya tidak berakhir baik, mungkin dia butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan dengan pernikahan kalian sekarang.” Leo menegakkan punggungnya. “Apa Papa tahu kenapa dia bercerai?” Tama memandang wajah putranya. Seolah menimbang-nimbang tapi memilih menggeleng. “Apa Lita sendiri yang meminta cerai?” Leo tak menyerah bertanya. Tama mengangguk. “Aku tahu Papa tahu lebih banyak tentang alasan pernikahan mereka gagal,” desak Leo. “Papa tak berhak menceritakannya. Kau bisa dapatkan jawabannya dari Lita.” “Papa bisa katakan apa saja yang Papa ketahui.” Tama tahu putranya itu tak akan menyerah. Mendesah pendek, ia pun menjawab, “Keluarga suaminya tidak memperlakukannya dengan baik. Papa mengetahui itu di persidangan. Lita hanya mengatakan bahwa mereka sepakat untuk tidak melanjutkan rumah tangga mereka karena Lita tak bisa menjadi istri yang baik. Tapi Papa yakin itu bukan alasan yang sebenarnya.” Leo terdiam, kedua alisnya bersatu.   Tidak bisa menjadi istri yang baik?’ ‘Apakah ini ada hubungannya dengan keperawanan wanita itu?’ “Papa tak ingin membuatnya semakin sedih, jadi kami pun tak akan mempertanyakan lebih lanjut.” Benak Leo masih bertanya-tanya tentang pernikahan Lita dan Samuel sepanjang perjalanan pulang. ‘Kenapa Samuel tak pernah menyentuh Lita?’ ‘Apakah pria itu memiliki wanita lain?’ ‘Apakah pria itu menyelingkuhi Lita?’ Pertanyaan itu membuat d**a Leo bergemuruh. Giginya bergemeletuk dan tangannya terkepal ingin menghajar mantan suami Lita jika memang hal itu sungguh benar adanya. Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Leo langsung melompat turun. Melangkah terburu ke paviliun, ingin segera melihat Lita. Namun, kamarnya di paviliun kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan Lita di sana. Ia pun ke rumah utama. Bertemu mamanya yang sedang membuat secangkir kopi untuk papanya. “Apa Lita sudah pulang?” tanya Leo. Amira mengangguk. “Ya. Dia di lantai atas bersama Riana. Sepertinya masih sibuk membahas pekerjaan.” Leo langsung naik ke lantai dua. Ruang kerja Riana kosong. “Di mana Lita?” “Lita?” Riana berkerut kening. “Sejak makan malam aku tidak melihatnya.” “Dia tidak ada di paviliun.” “Di ruang kerjaku?” Leo menggeleng. “Kau bisa menelponnya.” “Tidak diangkat.” Riana dan Leo saling pandang. Riana menangkap permintaan Leo yang menyuruh wanita itu menelpon Lita. Riana pun mengambil ponselnya dan langsung diangkat. “Ada apa, Riana?” Riana berdehem pelan. “Apa yang kaulakukan?” “Akan tidur.” “Hm, apa kau sudah memeriksa berkas dari tuan Dirja?” “Aku baru saja menyelesaikannya.” “Hm, baiklah kalau begitu. Selamat tidur.” Leo tampak berpikir keras. “Kau sudah memeriksa kamar tamu?” Leo teringat, dan langsung berbalik keluar. Benar saja. Lita ada di salah satu kamar tamu yang berada di ujung lorong. Sedang mencari posisi nyaman untuk berbaring ketika ia menerobos masuk. “Apa yang kaulakukan di sini?” Lita terkejut, tapi hanya sejenak. “Kenapa kau tidur di sini?” Lita menjawab. Geram, Leo mendekati tempat tidur. Menyingkap selimut dan menarik lengan Lita hingga terduduk. “Lepaskan, Leo!” “Kenapa kau tidur di kamar ini?” ulang Leo. “Kita kembali ke kamar.” “Aku tidak akan tidur tempat tidur menjijikkan itu,” sengit Lita mengempas kasar tangan Leo dari lengannya. “Apa yang kaukatakan?” “Jangan berlagak tolol.” “Apa kau masih marah karena malam itu?” Leo menggusur rambutnya. “Aku sudah mengatakan padamu aku sedang mabuk dan aku sudah meminta maaf. Apa yang kauinginkan untuk menebus kesalahanku itu? Setidaknya katakan sesuatu untuk memperbaikinya, Lita.” “K-kau memperkosaku dalam keadaan mabuk, dan di tempat yang sama kau meniduri mantan istrimu. Dalam keadaan sadar,” sengit Lita. “Aku tahu hubungan pernikahan kita tak seperti rumah tangga pada umumnya, tapi jangan perlakukan aku seperti pelacurmu, Leo.” “Aku tidak memperlakukanmu seperti itu. Dan apakah meniduri istri sendiri bisa dikatakan p*********n? Juga, kapan aku meniduri Olivia di tempat tidur kita? Aku tak mungkin melakukan hal setolol itu. Aku tak akan menidurinya. Di mana pun, apalagi di tempat tidur kita.” “Aku tak ingin mendengarnya. Keluarlah.” “Apa Olivia yang mengatakannya?” “Keluar, Leo.” Lita menunjuk pintu. Leo tak mendengarkan, benaknya sibuk mengingat. “Semalam aku memang mabuk, dan dia menungguku di paviliun. Ya, dia menggodaku, tapi aku masih cukup sadar untuk menanggalkan akal sehatku. Aku mengusirnya.” Lita ingin meneriakkan kata pembohong di depan muka pria itu. Dan kemudian tersadar sesuatu. Tak lama setelah Olivia keluar, Lita datang. “Tadi pagi, saat aku membuka pintu kamar, ternyata dia tidur di sofa. Aku membangunkannya dan menyuruhnya keluar. Apa kau berpapasan dengannya?”   Lita tak akan mengangguk. “Apa yang dikatakannya?” Lita juga tak akan menjawabnya. “Akui saja, Lita. Jika memang aku meniduri Olivia, kau juga tak menginginkan pernikahan semacam ini, kan?” Lita tak bisa menjawab. “Kalau begitu lakukan apa yang seharusnya kau lakukan untukku sebagai suamimu. Kau tahu aku tak akan mengkhianatimu.” Lita tersentak, menatap Leo. “Aku tidak akan melakukannya!” Leo mengerang frustrasi. “Kalau begitu katakan kenapa mantan suamimu tak pernah menidurimu?” Wajah Lita seketika memucat. “Atau kauingin aku mendatanginya dan mencari tahu sendiri permasalahan rumah tangga kalian?” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN