Part 17

1333 Kata
“Itu sama sekali tak ada hubungannya denganmu, Leo,” desis Lita. “Salah satunya harus menjadi urusanku. Jadi kau pilih yang mana?” “Aku tak akan memilih,” tegas Lita. “Kau harus memilih.” Leo duduk di pinggiran ranjang. Lita bergerak menjauh tapi pria itu segera menangkap kedua pundaknya. Memastikannya tetap di tempat. “Tatap mataku, Lita.” Lita berpaling, hanya untuk mendapatkan dirinya dipaksa menghadap wajah Leo. “Aku serius menginginkan pernikahan ini.” “Tidak.” Bibir Lita menipis tegas. “Kau menikahiku hanya untuk memprovokasi Olivia. Dan aku tidak tahu kenapa dia merasa harus terprovokasi denganku.” “Bagaimana jika bukan itu alasannya?” “Aku pun tak perlu peduli, Leo. Kau menginginkan pernikahan ini dan kau mendapatkannya. Kau selalu mendapatkan apa pun yang kauinginkan, kan?” “Omong kosong,” decih Leo. “Kau ingin menikahi Olivia kau mendapatkannya, kau kembali ke rumah ini sesuka hatimu semua menerimamu, termasuk dengan syarat konyol yang kauberikan pada kami. Menikahiku.” “Kaupikir begitu?” Lita membuang mukanya. Leo menangkap rahang Lita, memaksa menatapnya. Lita menggelengkan kepalanya dengan keras. Kedua tangannya memukul tangan Leo agar pria itu melepaskan wajahnya. Pemberontakannya malah membuat Leo menarik wajahnya dan menyentuhkan bibirnya di bibir pria itu. Leo melumat kelembutan bibir Lita. Mendorong wanita itu hingga berbaring dan ia menindihnya. Kedua tangannya memaku tangan Lita di samping kanan dan kiri. Tubuhnya yang setengah menindih tubuh Lita meredam segala bentuk pemberontakannya. Pada akhirnya Lita menyerah dan tak memberontak lagi, membiarkan bibir Leo menjelajahi seluruh wajahnya, kemudian turun ke leher, lebih turun lagi. Wanita itu sudah pasrah. Namun, tiba-tiba ciuman Leo berhenti, wajah pria itu naik tepat di atas wajah Lita. Lita merasakan pakuan tangan Leo di kedua tangannya sudah melonggar, tangannya sudah bisa bergerak melayangkan tamparan di wajah Leo. Tapi ia tidak melakukannya. Ia pun tak akan menangis lagi di depan pria itu. “Kau lihat, aku bisa melakukan apa pun terhadapmu sekalipun kau menolaknya. Tidak bisakah kau sedikit berusaha untuk pernikahan kita?” Dada Lita naik turun, bernapas keras antara oleh rasa marah dan tak berdaya.   “Aku tak pernah main-main dengan pernikahan ini.” Keseriusan yang tersirat dalam tusukan tatapan Leo tak bisa Lita pungkiri. “Aku bersungguh-sungguh menginginkan pernikahan ini.” ‘Kenapa?’ Pertanyaan itu sudah di ujung lidah Lita, tapi ia menolak untuk melepaskannya. Leo menarik tubuhnya berdiri. Masih dengan tatapan yang melekat erat ke arah Lita, ia berkata, “Malam ini aku akan membiarkanmu tidur di sini.” “Hanya malam ini,” tegasnya lagi sebelum benar-benar berbalik dan berjalan keluar kamar. Lita masih berbaring dalam posisi yang sama beberapa saat setelah kepergian Leo. Napasnya masih tersengal, oleh ciuman Leo juga oleh perasaannya yang campur aduk. Matanya menyalang menatap langit-langit kamar tamu yang dicat putih, dengan berbagai kecamuk berkelebat di kepalanya. ‘Tidak bisakah kau sedikit berusaha untuk pernikahan kita?’ ‘Aku bersungguh-sungguh menginginkan pernikahan ini.’ Kenapa? Kenapa Leo menginginkan pernikahan ini?   ***   “Bangun ... Lita ...” Samar-samar kesadaran Lita datang menjemput dengan suara merdu dan keibuan yang membangunkannya dari tidur. Lengannya digoyang pelan. “Sudah siang.” Lita mengerjap beberapa kali sebelum matanya terbuka sempurna. Melihat wajah mamanya yang duduk di sisi ranjang. Menatapnya dengan senyum. “Kau bisa terlambat ke kantor.” Lita menggeliat sebentar sebelum bangun terduduk. Matanya masih ingin melekat kembali, entah jam berapa ia baru bisa tertidur. Rasanya baru beberapa menit yang lalu. “Jam berapa?” tanya Lita suaranya serak. “Jam 7” Lita memaksa tubuhnya bangkit terduduk tapi tidak turun dari tempat tidur. Mamanya yang duduk di sisi ranjang juga tidak segera berdiri, menandakan meskipun ia harus bergegas ke kantor, mamanya masih ingin bicara sejenak. “Kenapa kau tidur di sini?” tanya Amira. Pertanyaannya tak menuntut jawaban, hanya mencoba menawarkan bantuan. “Bertengkar dengan Leo?” Lita tak mengangguk, memajukan tubuhnya dan memeluk mamanya. Matanya terpejam dan desahan panjang lolos dari kedua lubang hidungnya. “Apa yang harus Lita lakukan, Ma?” bisiknya lirih nyaris tak terdengar. Amira mengelus punggung dan menepuk pundak putrinya dengan lembut. “Haruskah Lita mencobanya kali ini?” Amira masih terdiam. Menunggu Lita mengeluarkan semua ganjalan di hati. “Leo ingin membuat pernikahan ini menjadi pernikahan yang sesungguhnya.” Lita menarik tubuhnya. Wajahnya tertunduk muram, menahan air mata yang sudah berkaca di bola matanya. Amira membawa kedua tangan Lita ke dalam genggamannya. “Bukankah itu bagus? Artinya dia tidak main-main dengan permintaan dan keinginannya untuk menikah denganmu.” “Tapi ini Leo, Ma.” “Kenapa dengan Leo?” “D-dia sudah seperti adik Lita sendiri.” Amira tersenyum. Satu tangannya terangkat, menyelipkan helaian rambut putrinya ke belakang telinga. “Dia memang adikmu, juga suamimu.” “Lita hanya menyayanginya.” “Begitu pun dia.” “Lalu bagaimana kami bisa saling menjadi suami istri?” “Kau tak akan menemukan caranya jika tidak mencobanya.” Telapak tangan Amira menangkup sisi wajah Lita. “Kalian hanya perlu menjalaninya saja.” “Apakah harus?” “Kalian sudah menikah.” “Bagaimana jika kali ini Lita gagal lagi? Bagaimana jika kami gagal? Bagaimana jika pada akhirnya pernikahan kami berakhir sama dengan pernikahan pertama kami?” “Lalu, bagaimana jika berhasil?” Lita terdiam. “Kalian perlu melangkah lebih jauh untuk tahu apakah akan berhasil atau tidak. Jika gagal, apa salahnya mencoba lagi. Belajar dari kegagalan itu untuk menjadi lebih baik. Mama dan Papa juga pernah mengalami kegagalan dalam pernikahan pertama kami. Kami mencobanya, kami terus belajar dan belajar dan akhirnya berhasil. Kau lihat, kami memiliki tiga anak yang menyayangi kami. Melihat kalian tumbuh besar dan penuh kasih sayang. Ya, meskipun Leo sempat meninggalkan keluarga ini, tapi sekarang dia sudah kembali.” “Dan menjadi seseorang yang berbeda.” “Sedikit. Terkadang lingkungan memang bisa merubah seseorang.” Lita diam lagi. “Bertengkar dalam rumah tangga memang sudah biasa terjadi. Tapi jangan sampai salah satu dari kalian berhenti berjuang. Kalian harus saling mempertahankan satu sama lain. Mama yakin pernikahan ini pasti berhasil.” Lita masih diam. “Dan mengenai Olivia, apa kau merasa tak nyaman dengan keberadaannya?” Lita tampak berpikir sejenak. Keberadaan Olivia memang tak menjadi ancaman untuknya. Selain kekesalannya yang menganggap dirinya menjadi bayang-bayang hubungan Olivia dan Leo. Amira tersenyum dengan gelengan kepala Lita. “Baguslah. Olivia akan menjadi urusan Leo. Begitu pun anak mereka. Hanya saja, jika dia sudah kelewatan kau perlu sedikit tegas dan memperingatkannya. Sebagai istri Leo. Jangan terlalu abai. Mama takutnya itu akan menjadi celah bagi Olivia untuk masuk di antara hubungan kalian.” Lita hanya mendengarkan. Ialah yang memang tak terlalu peduli dengan hubungan Olivia dan Leo. “Sekarang, kaulah yang istri Leo. Kau harus mempertegas posisimu. Untuk dirimu dan untuk Leo. Tindakan itu akan sangat berarti untuk Leo.”   ***   Lita masuk ke kamar dan melihat Leo yang merapikan pakaiannya di depan cermin. Gerakan pria itu terhenti sejenak dan pandangan mereka bertemu. Kata-kata mamanya kembali terngiang. ‘Haruskah ia mencoba?’ “Cepatlah mandi,” ucap Leo melihat Lita yang hanya membeku di ambang pintu. Meski masih menatap dengan datar, raut mukan wanita itu sudah terlihat sedikit melunak. Lita mengerjap, kemudian berjalan masuk ke kamar mandi. Saat ia keluar, Leo masih berdiri di depan cermin. Mengulurkan dasi ke arahnya. “Aku ada pertemuan penting pagi ini. Bisakah kau sedikit membantuku?” Lita menatap dasi itu, ‘Haruskah ia mencoba?’ tanyanya lagi dalam hati. Butuh beberapa detik sebelum tangannya tergerak mengambil dasi itu dan melingkarkannya di leher Leo. Dalam diam, Leo mengamati ekspresi wajah Lita dari atas. Ada kelegaan dengan sikap Lita yang tak hanya melunak padanya, juga mendengarkan permintaannya. Yang artinya Lita sudah tidak marah padanya. “Apa kau sudah memaafkanku?” Lita tak menjawab. Ia menarik ujung dasi, merapikan segitiga buatannya dan selesai. “Apa kauingin mencobanya?” Lita masih terdiam. Masih menimbang-nimbang keputusannya. “Aku butuh jawaban, Lita.” Leo menahan tangan Lita yang hendak turun dari pangkal lehernya. Menarik pandangan wanita itu ke arahnya. “Katakan.” Lita menatap lurus mata Leo, satu detik, dua detik, tiga detik, dan mengangguk pelan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN