Part 15

1208 Kata
“Kenapa suamimu tak pernah menyentuhmu?” Leo melangkah maju, berhenti di depan Lita yang mematung. “Kenapa kau bercerai dengannya?” Lita segera menguasai ekspresi wajahnya. Mengunci rapat-rapat emosi apa pun yang bisa tercium oleh Leo. “Itu bukan urusanmu.” “Apa karena hal ini kalian bercerai?” “Hentikan, Leo!” Suara Lita naik lebih tinggi. Menepis tangan Leo dari lengannya dengan kasar dan berjalan masuk ke kamar. Leo masih tertegun di tempatnya berdiri. Menatap pintu kamar mereka. Kemarahan wanita itu terlihat serius, dan mendadak membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan pernikahan Lita sebelumnya. Seharian penuh Lita mengabaikannya. Kelengangan di antara mereka terasa lebih mencengangkan daripada biasanya. Wanita itu sepenuhnya menganggap dirinya seperti makhluk tak kasat mata. Dan selama empat hari penuh, ia pergi ke kantor tanpa menggunakan dasi. Di hari kelima, Leo terbangun dan melihat Lita sibuk mengemas pakaian di lemari. “Mau ke mana kau?” Leo langsung turun dari tempat tidur. Tak mendapat jawaban, ia bangkit dan menghadap Lita seraya menutup lemari pakaian wanita itu. “Minggir, Leo,” sergah Lita. “Untuk apa kau berkemas?” Lita mendesah keras. “Aku akan keluar kota dengan Riana.” Leo pun membiarkan tubuhnya di dorong ke samping oleh Lita. “Berapa lama kau pergi?” “Tidak tahu,” jawab Lita dingin. Mengambil setelan terakhirnya dan memasukkannya ke dalam koper. Leo tak bertanya lagi. Hanya mengamati setiap pergerakan Lita yang menutup koper, kemudian menurunkannya, dan menariknya keluar kamar. Wanita itu masih marah. Tak lama setelah kepergian Lita, saat Leo baru keluar dari kamar mandi, ia melihat Olivia masuk. Dengan nampam berisi makanan pagi untuknya. Seakan belum cukup wanita itu membuat masalah. “Keluar dari kamarku, Olivia!” peringat Leo. Olivia tak menggubris, berjalan masuk dan meletakkan nampan di meja. “Sepertinya istrimu akan pergi selama beberapa hari.” Leo tahu Olivia tak akan semudah itu menuruti perintahnya. Kebebalan wanita itu memang tiada tandingannya. “Hubungan kalian tak terlihat baik-baik saja akhir-akhir ini. Apakah hubungan ranjangmu juga seperti itu? Atau memang tak pernah baik-baik saja?” “Tutup mulutmu!” tuding Leo ke wajah Olivia. Olivia hanya tersenyum. Malah berjalan semakin dekat ke arah Leo. Dengan pandangan menggoda, menatap tubuh Leo yang setengah telanjang. “Tubuhmu masih seindah dulu.” Leo segera menangkap tangan Olivia yang berusaha menyentuh dadanya. Sedikit menekannya sengaja membuat wanita itu kesakitan. Bukannya meringis wanita itu malah tersenyum. Mengejeknya. “Kau masih tak berubah, Leo. Sisi buruk yang hanya kau perlihatkan padaku. Tidakkah itu berarti sesuatu bagi kita berdua?” “Kaulah sisi terburuk di hidupku, tidakkah kau melihatnya dengan sangat jelas?” Wajah Olivia memias. Menarik tangannya dengan kasar dari cengkeraman Leo. “Aku tak akan pernah melepaskanmu. Seumur hidupku. Karena kau hanya milikku.” Leo menyeringai. “Bukan diriku. Hanya Sinagalah yang kainginkan dariku, Olivia. Jangan malu bersikap munafik di depanku.” Olivia tersenyum tipis. “Dan aku akan mendapatkannya.” “Apa karena anak itu?” Olivia tak mengangguk, tapi seringainya masih tertambat di sudut bibirnya. “Aku tak merasakan apa pun pada anak dalam kandunganmu. Sayangnya aku masih tak mempunyai cukup bukti untuk membuktikan seluruh dustamu.” Secercah emosi melintasi bola mata Olivia. Sangat cepat hingga Leo pun tak menyadarinya. “Itu karena anak ini memang ada. Darah dagingmu. Tak ada dusta seperti yang ada di pikiranmu.” “Kita akan melihatnya nanti,” balas Leo penuh keyakinan. “Kalaupun memang kau hamil, dan anak itu anakku. Aku akan memastikan hak asuh anak itu berada di tanganku.” “Aku bersumpah tak akan membuatnya menjadi semudah itu, Leo,” senyum licik Olivia. Memutar tumit dan berjalan pergi. “Dan jangan lupa bawa pergi makananmu,” kata Leo sebelum Olivia sampai di pintu. “Aku tahu apa yang kau letakkan di sana.” Langkah Olivia terhenti, wajahnya memucat. Tapi segera berubah ketika berbalik dan mengambil nampan tersebut. “Kau memang selalu mencurigaku,: dalihnya tanpa rasa bersalah. Olivia berhenti di depan pintu. Tangan satunya menyentuh perut. Leo tak merasakan apa pun. Tidak, pria itu tak boleh tahu bahwa dirinya memang tidak hamil. Ia harus hamil sebelum Leo menemukan bukti kebohongannya. Malam ini adalah kesempatannya. Lita sedang pergi keluar kota dengan Riana.   ***   “Home sweet home,” desah Riana setelah berhasil memarkirkan mobil di carport. Ia mematikan mesin, meregangkan otot ditubuhnya seraya menengok ke samping dan menggoyangkan pundak Lita yang tengah terlelap. Lita mengerang pelan. Menyentuh lehernya yang terasa seperti patah. Matanya perlahan membuka, menatap sekeliling dengan sisa kantung di kedua maniknya. “Kita sudah sampai.” “Hari ini aku akan ke kantor jam sebelas. Aku benar-benar ingin mengistirahatkan mataku.” Lita hanya menggumam mengiyakan. Riana sendiri yang bersikeras menyetir mobil untuk pulang. Ingin sampai di rumah sebelum jam enam pagi karena jam sebelas ada pertemuan dengan klien besar mereka. “Karena kau sudah tidur, setidaknya kau tetap bisa berangkat pagi, kan?” Lita mengangguk tanpa membantah. “Kau bisa berangkat bersama Leo.” Wajah Lita segera menjadi dingin. Riana yang menyadari perubahan itu, segera menelengkan wajah ke arah Lita. “Apa kau masih belum baikan dengannya?” “Aku tak ingin membicarakannya.” “Sudah berapa hari kau mendiamkannya?” Lita tak ingat.   “Kau tahu Olivia memang selicik itu. Tak seharusnya kau ...” “Ini bukan tentang Olivia.” “Lalu?” Lita berpaling sambil mendesah ringan. “Aku akan turun.” Riana tak menuntut lagi. Membiarkan Lita turun dari mobil dan mengambil koper di bagasi kemudian berjalan ke jalan setapak di samping rumah. Lita menyeret koper kecilnya menuju paviliun. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Olivia. “Dari mana kau sepagi ini?” Lita seharusnya tak melontarkan pertanyaan itu. Pandangannya menjelajahi Olivia dari atas ke bawah. Rambut kusut khas bangun tidur, lingerie seksi di balik jubah yang warnanya senada. Tubuh indah Olivia membayang di kain tipis itu. Seringai di bibir Olivia naik lebih tinggi. Jemarinya yang terangkat di sisi wajah memutar-mutar rambur panjangnya yang bergelombang. “Apakah aku harus memberitahumu?” Lita bergegas menguasai air mukanya. Untuk apa ia perlu tahu hubungan Leo dan Olivia di belakang pernikahan mereka. Toh, pernikahan mereka tak berarti apa pun baginya.   ‘Kau tak mungkin membuatku menjadi pria selibat seumur hidupku. Selama ini aku tak menyentuhmu, itu karena aku menahan diri. Aku tahu pernikahan ini terlalu mengejutkanmu. Aku hanya memberimu waktu.’ Kembali kata-kata Leo terngiang di kepalanya. Ia tahu dirinya tak bisa memenuhi kebutuhan biologis Leo sebagai pria dewasa. Dalam pernikahan mereka tak ada hak dan kewajiban. Jadi sudah tentu ia tak perlu peduli hubungan Leo dan Olivia di belakangnya. Jika Leo ingin mencari kesenangan dengan siapa pun, ia pun tak seharusnya peduli. “Tubuhku rasanya sakit semua, dia tak membiarkanku istirahat semalaman. Aku iri padamu yang selalu bisa tidur nyenyak di sampingnya.” Olivia meregangkan seluruh badannya seraya berjalan melewati Lita. “Sepertinya seharian ini aku akan tidur.” Lita melanjutkan berjalan menuju paviliun. Langkahnya sempat meragu ketika hendak membuka pintu paviliun. Ia terus berjalan masuk, lagi-lagi tersendat ketika hendak membuka pintu kamar. Dua tiga kali ia meyakinkan diri bahwa ia tak perlu peduli pada Leo dan Olivia, ia pun memantapkan hati mendorong pintu kamar. Dan seharusnya ia sudah siap dengan pemandangan ini.   Leo yang setengah telanjang keluar dari kamar mandi dan tempat tidur yang berantakan. Tapi ternyata ada sudut hatinya tiba-tiba merasa tak siap.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN