Bab 44

1824 Kata
Hampir dua jam berlalu, tapi Zeline masih belum menenangkan dirinya sendiri. Setiap kali ia mendengar sesuatu, maka kepalanya akan menoleh dengan cepat dan mencari sumber suara dengan tatapan ketakutan. Jujur saja, masih teringat dengan jelas bagaimana para preman tersebut menarik pergelangan tangannya dengan kuat. Zeline juga masih mengingat bagaimana tatapan mengerikan mereka ketika melihat Zeline menangis dan berusaha memberontak. “Kinara? Ada apa?” Ibunya berjalan mendekat dan meraih tangan Zeline untuk ia genggam. Zeline tidak ingin menyalahkan siapapun. Keluarga Kinara pasti juga tidak bermaksud membiarkan putri mereka diperlakukan dengan buruk. Zeline melihat dengan jelas jika ayah dan ibu Kinara tampak sangat sedih dan kecewa pada diri mereka sendiri. “Aku hanya sedang duduk dan bersantai di halaman rumah.” Zeline menjawab sambil mencoba untuk tersenyum. Setelah kejadian dimana ia diseret oleh para preman, ibu dan ayah Kinara melarang Zeline pergi ke pasar. Untuk hari ini mereka akan menutup toko dan tinggal di rumah bersama-sama. “Kamu mau teh?” Ibunya mendekat sambil membawa secangkir teh yang selalu menjadi favorit Zeline. “Tentu saja aku mau.” Zeline menggeser posisi duduknya agar ibunya Kinara bisa duduk di sisinya. “Kamu masih memikirkan kejadian tadi?” Zeline menganggukkan kepalanya. “Tentu saja aku masih memikirkannya. Tapi jangan khawatir, aku baik-baik saja.” Kata Zeline. “Maafkan ibu karena tidak bisa menjagamu, Kinara. Ibu benar-benar tidak tahu harus melakukan apa untuk melawan mereka.” Zeline kembali menganggukkan kepalanya dengan tenang. “Aku mengerti, ibu sudah berusaha keras untuk melindungiku. Lagipula, pada akhirnya aku tetap baik-baik saja.” Zeline mengingat saat ia melihat Dareen datang untuk menyelamatkannya. Pria itu berhasil membuat para preman pergi dari rumah padahal ia sama sekali tidak memberikan perlawana secara fisik. Sejak awal melihat Dareen, Zeline sudah khawatir apabila Dareen akan dilukai oleh para preman tersebut. “Temanmu itu.. apakah dia orang kaya yang sangat berkuasa?” Zeline mengerti siapa yang dimaksud oleh ibunya Kinara. Dareen Leonardo Alvares, dia seorang pewaris dari perusaha properti keluarganya. Nama keluarga Dareen cukup terkenal di kalangan pebisnis karena mereka memiliki usaha turun temurun yang selama beberapa dekade terakhir terus mengalami peningkatan. Sangat wajar jika hanya dengan menyebutkan namanya saja, orang-orang akan tunduk kepadanya. Tapi biasanya Dareen hanya bisa menggunakan kekuasaan nama keluarga di dalam dunia bisnis dan pekerjaannya. Zeline tidak pernah tahu jika nama keluarga pria itu juga mampu membuat para preman tertunduk kepadanya. “Mereka keluarga orang kaya. Wajar jika namanya terkenal.” Jawab Zeline. “Apakah temanmu memiliki hubungan dengan renternir?” Zeline menyipitkan matanya. Selama ini Dareen dan keluarganya menjalankan bisnis yang bersih. Ayahnya sendiri yang mengatakan jika salah satu faktor yang membuatnya mendukung hubungan asmara Zeline dan Dareen adalah latar belakang keluarga pria itu yang terkenal jujur dan bertanggung jawab, mreka bukan tipe keluarga yang bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Dareen lahir dan dibesarkan di keluarga yang berintegritas tinggi, tidak mungkin keluarga mereka memiliki bisnis dengan renternir. “Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hal itu. Kurasa urusan Dareen bukan urusan kita.” Zeline mencoba untuk menghindari topik pembicaraan yang masih belum ia ketahui kebenarannya. Zeline tidak ingin menerka-nerka hubungan antara Dareen dengan para renternir, sebab segala hal yang berkaitan dengan bisnis renternir pasti akan bernilai negatif. Jujur saja selama ini Zeline masih belum pernah menemukan penilaian negatif di dalam diri Dareen. Pria itu jujur dan berintegritas, memikirkan hal yang buruk tentang Dareen hanya akan membuatnya merasa bersalah. “Kamu benar. Ibu sudah keterlaluan karena ingin mengetahui kehidupan pribadi temanmu. Maafkan ibu.” “Tidak masalah, wajar jika ibu ingin tahu. Sejujurnya aku juga cukup penasaran, tapi kurasa tidak pantas jika aku memikirkan spekulasi yang tidak benar tentang Dareen dan keluarganya.” “Ayahmu akan segera menemui renternir itu. Dia akan membayar cicilan hutang lebih awal, tapi tentu saja kita tidak bisa melunasi semuanya. Jangan khawatir, kejadian buruk tadi pagi tidak akan terjadi lagi kepada kita.” Tangan Zeline bergerak meraih cangkir teh yang ada di hadapannya. Uap yang mengepul di atasnya menandakan jika teh tersebut masih cukup panas. Oleh sebab itu Zeline meniupnya dengan pelan sebelum meneguk secara perlahan. “Setelah ini.. bagaimana jika kita menjual toko yang ada di pasar untuk membayar semua hutang?” Gerakan Zeline terhenti ketika ia mendengarkan kalimat yang diucapkan oleh ibunya. Toko yang ada di pasar adalah satu-satunya aset yang mereka miliki selain rumah ini. Jika toko tersebut dijual, bagaimana cara mereka mencari uang? “Kenapa kita harus menjualnya, bu?” Zeline bertanya dengan raut serius. “Tidak ada pilihan lain. Jika salah satu renternir sudah berani datang dan berlaku kasar kepada kita, tidak menutup kemungkinan jika renternir lain akan melakukan hal yang sama.” Berapa banyak renternir yang meminjamkan uang kepada keluarga Kinara? “Kita mungkin akan mengalami masalah yang lebih besar jika renternir itu datang di saat yang bersamaan.” Zeline menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Belakangan ini kita mendapatkan banyak pelanggan. Kita akan mampu membayar hutang kepada semua renternir jika kita berhasil mendapatkan banyak keuntungan.” “Tapi kapan kita akan mendapatkannya, Kinara? Kita membutuhkan uang saat ini juga.” Zeline merasa bersalah karena ia masih belum bisa membantu keuangan keluarga Kinara secara maksimal. Mereka tidak memiliki pilihan lain, saat ini keadaan sedang sangat kacau sehingga mereka harus membuat keputusan secara cepat sebelum semuanya semakin berantakan. Zeline yakin jika keluarga Kinara tidak ingin kejadian tadi pagi terulang lagi, terlihat jelas dari sorot mata mereka jika mereka sangat khawatir. Zeline menghargai perasaan cemas dan khawatir tersebut, tapi menurutnya mereka tidak perlu menjual toko untuk mendapatkan uang demi bisa membayar sisa hutang kepada para renternir. “Bu, kalaupun toko itu berhasil dijual, apakah ibu bisa menjamin jika para renternir akan berhenti meneror kita? Bagaimana jika ternyata mereka akan tetap datang ke rumah dan mengganggu kita? Sepanjang yang aku tahu, renternir tidak akan benar-benar melepaskan kita sekalipun hutang kita sudah dibayar lunas.” Zeline tidak pernah mengambil pinjaman dari renternir, tapi keluarganya sering berurusan dengan hutang bank dan sebagainya. Suntikan dana yang didapatkan oleh ibunya biasanya berasal dari kerja sama dengan suatu bank swasta, lalu modal dan pinjaman besar serta pemilik sebagian saham di perusahaan ayahnya juga biasanya berasal dari kalangan pemilik bank. Zeline tahu bagaimana cara kerja pinjaman di bank, tapi ia tidak pernah benar-benar tahu bagaimana sistem pinjaman di renternir. Dari beberapa cerita yang pernah ia dengar, renternir akan selalu memiliki cara untuk melipat gandakan hutang beserta bunga pinjaman. Oleh sebab itu Zeline merasa tidak yakin dengan keputusan yang ingin diambil oleh orang tua Kinara. “Lalu menurutmu, apa yang harus kita lakukan?” Zeline terperanjat, ia merasa cukup terkejut ketika mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh ibunya Kinara. Seumur hidupnya, sebagai seorang anak Zeline tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk memberikan pendapat mengenai keputusan orang tuanya. Bahkan saat orang tuanya memutuskan untuk mengurus berkas perceraian, Zeline sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Ya, meski saat itu ia benar-benar merasa kecewa dan terkejut di saat yang bersamaan hingga membuatnya kehilangan kata-kata, Zeline tidak munafik dengan mengatakan jika ia tidak merasa keberatan terhadap keputusan orang tuanya. Sejujurnya, Zeline sangat keberatan. Sekuat apapun ia meyakinkan dirinya jika keputusan berpisah adalah yang berbaik, Zeline tetap merasa tidak rela ketika membayangkan jika suatu saat nanti dia akan berdiri sendirian tanpa keluarga yang utuh. Kesalahan ayahnya memang sangat fatal, bahkan sampai saat ini Zeline masih belum bisa mengkonfirmasi langsung mengenai kebenaran berita perselingkuhan ayahnya, tapi jujur saja.. Zeline masih berharap jika orang tuanya mengubah keputusan mereka. Memaafkan kesalahan pasangan memang hal yang sulit, tapi memutuskan sebuah hubungan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan. “Kinara? Kamu memikirkan apa?” Zeline mengusap wajahnya lalu mencoba untuk tersenyum agar ekspresinya terlihat lebih tenang. “Aku.. hanya sedang memikirkan apa yang harus kita lakukan. Jika ada cara lain, bisakah ibu mempertimbangkan untuk tidak menjual toko itu?” Tanya Zeline. “Apakah kamu menemukan cara untuk membayar hutang para renternir itu? Jika tidak, mungkin kita harus mulai merelakan toko itu agar—” “Bu.. tolong, biarkan aku mencoba lebih lagi.” Zeline menggenggam tangan ibunya Kinara dengan tatapan meyakinkan. Zeline juga menampilkan senyuman agar membuat ibunya lebih tenang. Kejadian tadi pagi merupakan kejadian mengerikan yang tidak akan pernah Zeline lupakan seumur hidupnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, apakah ia tetap terjebak di dalam tubuh Kinara dan menikmati sisa hidupnya dengan berusaha bersikap seperti Kinara atau mungkin ia akan mendapatkan kesepatan untuk kembali pada kehidupan lamanya. Karena jujur saja, Zeline mulai merindukan kehidupan lamanya. Ia merindukan studio foto dan semua keributan yang terjadi ketika sedang peragaan busana, ia merindukan Alina dan teman-teman modelnya sekalipun mereka sering membuatnya merasa kesal, lalu yang terakhir.. Zeline merindukan Dareen. Namun di balik semua itu, Zeline tetap merasa senang dengan kehidupannya saat ini. Ia senang karena memiliki keluarga baru yang jauh lebih perhatian kepadanya, ia juga senang karena untuk yang pertama kalinya berhasil menggambar sketsa bajunya sendiri, seperti sebuah mimpi yang melengkapi mimpi-mimpinya yang lain, Zeline benar-benar tidak menyangka jika akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ia sukai di luar kepentingan karirnya sebagai model. “Kita tidak bisa menjamin apapun, Kinara. Kita orang biasa dengan kemampuan yang sangat terbatas, khusunya kemampuan ekonomi. Jika tidak segera mengambil keputusan, bisa saja terjadi masalah lainnya.” Ibunya Kinara menghembuskan napasnya dan menyelipkan anak rambut yang berada di wajah Zeline. Wanita itu menatapnya dengan lembut, mengirimkan semangat kepada Zeline hanya lewat tatapan matanya. Rasanya Zeline semakin menyayangi wanita itu. Dia seorang ibu yang sangat baik. Ya, Zeline tahu jika semua ibu menginginkan hal yang berbaik untuk anaknya, tapi banyak diantara mereka yang tidak mengertahui apa saja yang dibutuhkan oleh putrinya. Dan ibunya Kinara adalah salah satu ibu yang memahami kebutuhan seorang anak selain dukungan secara finansial seperti yang dilakukan oleh orang tua pada umumnya. “Tapi jika kamu memutuskan sebaliknya, maka ibu tidak akan menghentikanmu.” Lanjutnya sambil tersenyum. “Aku akan berusaha keras untuk membuat toko kita semakin dikenal. Jika bisa, aku akan membuka toko dari pagi buta hingga malam hari. Kita bisa bergiliran untuk menjaga toko agar semakin banyak mendapatkan pelanggan.” Zeline menjelaskan rencananya dengan semangat. Ia tidak sabar untuk segera pergi ke pasar dan membuka tokonya kembali. Hari ini mungkin dimulai dengan kejadian yang buruk, tapi Zeline tidak ingin terlalu larut di dalam ketakutan. Ia ingin kembali bangkit dan membuktikan pada orang-orang di sekitarnya—Ah, Zeline lupa jika sekarang ia sedang menjadi Kinara. Dia tidak memiliki orang tua yang menekan karirnya, juga tidak memiliki teman-teman kompetitif yang saling tersenyum ketika bertemu tapi mencoba menjatuhkan satu sama lain saat mendapatkan kesempatan, Zeline juga tidak memiliki lingkungna pekerjaan yang penuh dengan persaingan satu sama lain. Ya, mungkin Zeline tidak perlu membuktikan pada orang lain. Dia hanya perlu membuktikan kemampuannya pada dirinya sendiri. Kadang manusia terlalu sibuk untuk memenuhi ekspektasi orang lain hingga lupa pada diri sendiri. “Kamu semakin berubah, Kinara. Ibu benar-benar senang melihat semangatmu.” Ibunya Kinara tersenyum dengan bangga. Zeline merasa senang dengan pujian tersebut, tapi entah kenapa sebagian dirinya merasa tidak rela ketika ia harus mendapatkan pujian atas nama Kinara. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN