Kinara merasa lega ketika para preman tersebut melepaskan cengkraman tangan mereka dari bahu Zeline.
Dari jarak yang masih cukup jauh, Kinara bisa melihat jika Zeline menangis, tubuhnya lemas dan ia terjatuh di tanah karena tidak sanggup menahan berat badannya sendiri.
Dareen melangkahkan kakinya dengan perlahan, pria itu mencoba mendekati Zeline yang sampai saat ini masih ia kira sebagai Kinara.
Di sisi yang lain, ibunya juga tampak mulai dilepaskan. Wanita itu berjalan dengan wajah pucat untuk segera mendekati Zeline yang masih duduk dengan lemas di atas tanah.
Lalu tanpa bisa Kinara perkirakan sebelumnya, Dareen merangkul bahu Zeline, mencoba untuk menenangkan wanita itu. Terlihat dengan jelas jika awalnya Dareen tampak ragu ketika akan menyentuh bahu seorang wanita yang ia sebagai Kinara, tapi begitu tangan Zeline melingkari pinggangnya, tanpa sadar Dareen juga ikut mengeratkan pelukannya.
Deru napas Kinara semakin tidak beraturan. Ia tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri ketika melihat Zeline menangis di dalam pelukan Dareen.
Bagi Zeline, kejadian tadi pasti membuatnya sangat ketakutan. Bukan hanya Zeline, kalaupun Kinara berada di posisi tersebut, ia pasti juga akan menangis karena ketakutan. Seumur hidupnya Kinara belum pernah diseret dengan kasar oleh seorang pria asing yang datang untuk menagih hutang orang tuanya.
Kinara menelan ludahnya dengan susah payah ketika melihat rombongan preman tersebut berjalan melewatinya. Beberapa dari mereka menatap Kinara naik turun dengan pandangan mengejek, ada juga yang secara terang-terangan memberikan siulan sambil menatap tubuhnya.
Langkah kaki Kinara bergerak dengan perlahan ketika ia melihat ibunya sedang duduk di samping Zeline sambil menangis tanpa suara. Wanita itu pasti merasa sangat terkejut dengan kejadian yang baru saja menimpa mereka. Apalagi saat ini sepertinya tidak ada ayahnya. Entah dimana pria itu berada, tapi Kinara benar-benar tidak bisa menahan tangisannya ketika melihat raut wajah ibunya yang tampak sangat kacau.
Kinara mulai mendekati wanita itu lalu memeluknya dengan gerakan ragu. Air matanya mengalir begitu saja ketika melihat ibunya mulai menangis.
Oh Tuhan, apa yang selama ini telah ia lakukan?
***
Kinara duduk dengan kaku di ruang tamu rumahnya sendiri. Tidak banyak yang berubah dari rumah ini selain beberapa hiasan yang sengaja dipasang untuk mempercantik dinding. Kinara tidak tahu apa yang terjadi, tapi kemungkinan besar perubahan tersebut disebabkan oleh Zeline.
Zeline juga duduk di seberang Kinara, perempuan itu tampak masih shock dengan apa yang baru saja terjadi. Ibunya memeluk Zeline dan mengusap bahu perempuan itu dengan lembut. Beberapa kali ibunya ikut mengusap air mata karena melihat keadaan putrinya yang menyedihkan.
Selama ini Kinara tidak pernah melihat bagaimana perlakuan ibunya dari sudut pandang orang lain. Dulu, setiap kali dipeluk dan diperhatikan oleh ibunya, Kinara merasa geli dan malu. Tapi kini Kinara sadar jika tidak ada yang salah dengan perhatian ibunya. Bahkan tanpa bisa dicegah, Kinara mulai menginginkan pelukan ibunya. Dia mulai merasa iri dengan perhatian yang didapatkan oleh Zeline.
Kehidupan Kinara juga cukup berat beberapa hari ini, tapi ia tidak pernah mendapatkan pelukan. Sekalipun tidak pernah.
Perlahan Kinara mulai menemukan alasan mengapa Zeline menerima tawaran tentang pertukaran kehidupan.
“Terima kasih karena sudah membantu kami. Entah apa yang terjadi jika kalian tidak datang.” Ibunya berbicara sambil tetap mendekap Zeline di dalam pelukannya. Wanita itu menampilkan sorot khawatir yang tidak bisa ia tutupi.
Dareen menolehkan kepalanya dan menggenggam tangannya dengan perlahan.
Tidak ada satupun kata yang bisa Kinara ucapkan sejak ia datang ke rumahnya dan melihat kejadian mengerikan tersebut. Satu-satunya hal yang menarik perhatian Kinara adalah tatapan sendu yang ditampilkan oleh ibunya, wanita terlihat menahan kekecewaan terhadap dirinya sendiri.
“Tidak masalah, kami kebetulan ingin datang mengunjungi Kinara.” Dareen berbicara sambil terus menatap ke arah Zeline.
Selama ini Dareen tidak pernah memberikan perhatian lebih kepada Kinara, pria itu selalu duduk dengan tenang dan membiarkan Zeline yang berbicara.
Kinara kembali menatap ke arah Zeline, dia masih menangis di dalam pelukan ibunya. Ibunya.. wanita itu adalah ibunya. Tapi kenapa dia tampak lebih dekat dengan Zeline?
“Maaf, bibi tidak bisa memberikan apapun kepada kalian. Kinara masih terlihat sangat ketakutan saat ini..” tangan ibunya bergerak untuk mengusap rambut Zeline dengan lembut.
Dulu Kinara sering mendapatkan perlakukan seperti itu, tapi Kinara selalu menolak. Ia merasa tidak nyaman jika ibunya mulai menyentuh kepadanya. Kinara juga hampir tidak pernah membiarkan ibunya memeluk dirinya.
Namun entah kenapa, ketika melihat Zeline yang tetap diam di dalam pelukan ibunya dengan nyaman, Kinara mulai merasa iri.
“Tidak bibi, jangan memikirkan kami. Saat ini kami tidak sedang haus ataupun lapar.” Dareen tersenyum samar.
Kinara tidak bisa berbohong dengan mengatakan jika ia tidak memahami situasi canggung saat ini. Semua merasa tidak nyaman dengan keadaan. Apalagi Zeline yang tampaknya sengaja menghindari tatapan dengannya.
“Oh Tuhan, apa yang terjadi pada kalian?”
Kinara menolehkan kepalanya, ia menatap ayahnya yang berjalan dengan tergopoh-gopoh. Raut wajahnya menjelaskan jika ia sedang sangat khawatir.
“Mereka sempat menyeret Kinara, oleh sebab itu Kinara menangis karena ketakutan.” Ibunya bangkit berdiri dan memberikan penjelasan singkat kepada ayahnya.
“Kenapa kamu tidak memanggilku? Jangan menghadapi mereka sendirian!”
Kinara semakin menundukkan kepalanya.
Rasa bersalah kembali menguasai hatinya.
Selama ini Kinara mengira jika ayahnya adalah seorang pria pengecut yang dengan sengaja menghindar dari para penagih hutang. Tapi begitu melihat pria itu datang dengan tatapan gusar, Kinara tahu jika ayahnya sangat khawatir denga keamanan keluarganya.
“Bagaimana caraku memanggilmu? Mereka berusaha menarik Kinara!”
Tangisan ibunya kembali pecah.
Kinara melihat sendiri bagaimana para preman tersebut memperlakukan Zeline dengan sangat kasar. Mereka menariknya dengan cengkraman kuat sehingga saat ini Kinara bisa melihat bekas lebam di bahu kanan Zeline.
“Kinara? Kamu baik-baik saja?” Ayahnya berbicara dengan lirih dan mendekati Zeline dengan tatapan khawatir.
Kinara mengusap air matanya. Ayahnya berjalan ke arah yang salah! Kinara ada di sisi kanan, perempuan yang sedang menangis di hadapannya bukanlah Kinara, melainkan Zeline.
“Aku sangat takut..” Zeline mengangkat kepalanya dan memeluk ayahnya dengan erat. Wanita itu kembali menangis untuk menumpahkan ketakutannya.
Secara tiba-tiba Kinara bangkit berdiri. Ia menatap Zeline dan ayahnya dengan pandangan yang tidak terdefinisikan. Ada rasa sesak, sedih.. dan juga iri ketika melihat Zeline memeluk erat seorang pria yang biasa ia sebut sebagai ayah.
“Zeline..” Dareen menarik tangannya dengan lembut.
Suada Dareen membuat Kinara kembali ingat pada posisinya saat ini. Zeline, dia adalah Zeline, bukan Kinara. Lalu perempuan yang sedang menangis di hadapannya bukanlah Zeline, melainkan Kinara. Mereka sedang bertukar posisi. Kinara seharusnya mengingat identitas dirinya sendiri. Ia adalah Zeline, ia sedang menjadi Zeline dan harus bersikap seperti Zeline.
“Aku—kurasa kita harus pergi.” Kinara berusaha untuk menahan air matanya.
“Duduklah sebentar.” Dareen kembali menarik tangannya dan membawa Kinara untuk duduk di sisinya.
“Jika tidak ada Dareen dan Zeline, sepertinya Kinara akan diseret hingga ke jalan.” Ibunya berbicara dengan suara pelan.
Ayahnya mendongak, menatap Dareen dan Kinara secara bergantian. “Entah sudah berapa kali kalian membantu Kinara. Terima kasih.” Pria itu menundukkan kepalanya seakan sedang menunjukkan rasa hormat.
“Paman, mungkin sebaiknya kita tidak perlu membahas masalah yang sudah berlalu. Kinara akan merasa tidak nyaman jika mengingat kejadian yang membuatnya sedih.” Dareen menjawab dengan tenang.
“Tunggu di sini sebentar, bibi akan membuatkan minuman untuk kalian.” Ibunya tersenyum samar sambil berjalan menuju ke dapur.
“Jangan terlalu repot, bibi.”
“Tentu saja tidak repot. Kalian sudah membantu kami untuk yang kesekian kalinya.”
***
Jalan ibu kota selalu dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang. Kesibukan kota ini membuat orang-orang seperti Kinara merasa semakin dikucilkan. Di tengah kota yang sibuk, Kinara masih tetap diam di tempatnya tanpa mengetahui apa saja yang harus ia lakukan.
“Ada apa denganmu? Kamu hanya diam saja sejak kita pulang dari rumah Kinara.” Dareen mengulurkan tangannya, menyentuh kedua tangan Kinara yang terpilin di pangkuannya sendiri.
Keadaan Zeline sangat kacau. Dia hanya menangis tanpa mau berbicara dengan siapapun.
Beberapa kali mereka saling menatap, tapi tidak ada satupun yang membuka suara.
“Apa yang harus aku katakan?” Kinara bertanya dengan enggan.
“Kamu juga selalu diam saat berada di rumah Kinara padahal biasanya kamu selalu menceritakan betapa senangnya dirimu karena merasakan teh yang dibuat oleh ibunya Kinara.” Dareen tersenyum geli.
Kinara tertegun, ia tidak pernah tahu jika Zeline sangat menyukai the buatan ibunya.
Hal-hal kecil yang selama ini Kinara benci ternyata berharga bagi orang lain. Kinara tidak suka perhatian orang tuanya karena ia menganggap kedua orang tuanya terlalu berlebihan, tapi tidak dengan Zeline. Perempuan itu tidak pernah mendapatkan perhatian dari orang tua kandungnya sehingga dia merasa kagum ketika melihat orang tua Kinara.
Sampai saat ini Kinara tidak mengerti kenapa orang tua Zeline tidak terdengar khawatir setelah mendengar berita tentang keadaannya yang baru saja pulang dari rumah sakit satu pekan yang lalu.
“Apakah ada sesuatu yang membuatmu merasa tidak nyaman?” Tanya Dareen.
Kinara mengerjapkan matanya, perubahan sikapnya pasti membuat Dareen merasa penasaran. “Aku hanya bertanya-tanya mengenai apa yang kamu katakan pada preman tersebut sehingga mereka melepaskan Zel—Kinara dan ibunya.” Kinara hampir salah berbicara, tapi ia segera mengoreksi kesalahan tersebut.
“Entah kamu percaya atau tidak, tapi jujur saja aku sempat menyelidiki keluarga Kinara.” Dareen menjawab dengan ragu.
Kinara mengangkat kedua alisnya. “Apa yang kamu selidiki?”
“Entahlah, aku hanya merasa penasaran dengan keluarganya. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mencampuri privasinya, tapi jujur saja keluarga mereka membuatku prihatin.”
Kinara hampir membelakkan matanya.
“Aku semakin merasa penasaran karena menemukan fakta bawah mereka terjerat hutang salah satu renternir.” Dareen menghembuskan napasnya, ia masih fokus mengemudi sehingga tidak melihat raut terkejut yang Kinara tampilkan. “Dan sayangnya aku mengenal renternir yang berkuasa di wilayah rumahnya.”
“Apa?” Kinara bersuara dengna ragu.
“Ada beberapa hal yang tidak kamu ketahui tentang bisnis. Mungkin kamu harus mulai belajar suatu saat nanti..” Dareen tersenyum dan mengusap puncak kepalanya.
“Dari mana kamu mengenal renternir tersebut?” Tanya Kinara.
Ia tidak pernah menyangka jika Dareen mengetahui seluk beluk keluarganya. Jadi selama ini pria itu diam-diam sudah tahu jika Kinara dan keluarganya memiliki hutang yang besar?
Rasa malu, kesal, dan marah bercampur jadi satu. Tapi tidak ada yang bisa Kinara lakukan selain mencoba bertanya dengan suara tenang.
“Saat membangun sebuah properti, aku mengenalnya sebagai seseorang yang membantu membebaskan lahan yang ingin kudapatkan. Bisa dikatakan jika aku sempat bekerja sama dengannya.” Dareen terkekeh pelan.
Jadi… selama ini Dareen bekerja sama dengan renternir untuk membebaskan lahannya?
Jadi rumah dan tanah orang-orang sengaja disita oleh renternir tersebut demi bisa menjualnya kepada Dareen?
Oh Tuhan, bisnis macam apa yang sedang dijalani oleh pria itu?
“Jangan berpikiran buruk mengenai aku. Aku membeli semua tanah yang dibebaskan oleh renternir tersebut. Aku tidak ada hubungannya dengan proses hutang dan penyitaan harta yang dilakukan oleh mereka. Lagipula, ketika aku sudah berhasil mendapatkan tanahnya, aku tetap mendatangi beberapa pemilik tanah sebelumnya untuk memberikan kompensasi kepada mereka. Mungkin jumlahnya tidak terlalu besar, juga tidak sepadan dengan tanah yang disita oleh renternir, tapi setidaknya mereka bisa memulai hidup baru dengan uang tersebut.”
“Jadi secara tidak langsung kamu membeli tanah tersebut dari dua pihak?”
Sekalipun merasa sakit hati ketika mendengarkan penjelasan Dareen, Kinara tetap berusaha memberikan respon yang sewajarnya. Ia tidak pernah tahu bagaimana dunia bisnis dijalankan. Orang kaya memiliki cara tersendiri untuk memperkaya diri mereka. Dan sebagai seseorang yang sempat terbuai dengan kekayaan, Kinara merasa tidak pantas jika harus menghujat cara hidup mereka.
“Renternir menjual dengan harga yang lebih murah karena mereka sudah mengambil banyak keuntungan sebelumnya. Jadi aku memutuskan untuk memberikan kompensasi pada pemilik yang sebelumnya. Sangat sulit untuk mendapatkan tanah yang luas di ibu kota jika tidak melalui jual-beli yang rumit.” Dareen menjelaskan dengan rinci.
“Tapi Dareen.. pernah kamu berpikir jika selama ini para pemilik tanah tersebut tidak menginginkan uangmu?”
Dareen menolehkan kepalanya. “Lalu apa yang mereka inginkan?”
“Tanah mereka. Mereka tidak menginginkan uangmu, mereka menginginkan tanah mereka kembali. Karena dari yang tahu, renternir menarik pengembalian hingga 3 atau 4 kali lipat dari hutang yang mereka ambil. Asumsi itu membuatku sadar bahwa secara tidak langsung, renternir tersebut menarik tanah dari pemiliknya padahal mereka sudah mengembalikan pokok hutang yang mereka pinjam.”
Entah apa yang merasuki Kinara, tapi tiba-tiba ia berbicara seakan sedang menyuarakan rasa marahnya kepada para renternir yang sering membuat keluarganya mengalami masalah.
Bertahun-tahun mereka hidup dengan sengsara, tapi hutang mereka tetap belum sepenuhnya terbayar karena para renternir terus menaikkan bunga hutang setiap bulan.
“Aku sedikit tidak mengerti mengapa kita tiba-tiba membicarakan tentang pekerjaan orang lain.”
“Bukankah kamu yang memulai? Kamu sendiri yang mengatakan jika kamu menyelidiki keluarga Kinara dan kamu menemukan fakta jika keluarga mereka memiliki hutang pada renternir yang bekerja sama denganmu.”
“Hei, hei.. kurasa kamu salah memahami penjelasanku. Tentu saja aku tidak bekerja sama dengan mereka.” Dareen menatapnya sekilas.
Kinara mengendikkan bahunya.
“Zeline, kita tidak pernah membicarakan hal seperti ini sebelumnya. Wajar jika kamu langsung salah paham padaku. Tapi.. memang seperti inilah dunia yang sebenarnya. Aku tidak bisa memberantas usaha para renternir tersebut, bukan?”
Kinara kembali menundukkan kepalanya. Sekalipun masih merasa marah, Kinara menyadari jika kalimat terakhir Dareen sepenuhnya benar sehingga dia tidak bisa mendebat lagi.
Dareen tidak bertanggung jawab atas usaha para renternir yang sering kali membuat leher keluarga menengah bawah seperti keluarganya harus tercekik ketika sedang mencicil p********n hutang. Dareen sama sekali tidak bersalah, begitu juga dengan para orang kaya lainnya yang turut menikmati hasil perampasan yang dilakukan oleh para renternir.
Dareen masih jauh lebih baik karena ia mau memberikan kompensasi pada pemilik tanah sebelumnya padahal secara tidak langsung, mereka sudah bukan pemilik yang sah setelah tanah mereka disita.
Ya, beginilah dunia yang sebenarnya.
Dunia kejam yang sering menekan orang miskin seperti keluarganya. Namun sekali lagi, tidak ada yang bisa disalahkan atas keadaan tersebut. Jika bisa memilih, semua orang juga pasti memilih untuk lahir di keluarga kaya.
Ah, Kinara kembali menjadi sosok munafik yang menganggungkan uang dan kekayaan.
Satu pekan berlalu sejak ia terbangun dalam tubuh Zeline, dan hari ini menjadi saat pertama dalam hidupnya ia menyadari jika selama ini presepsinya tentang kekayaan ternyaa salah besar.