Ayse mengambil tempat untuk beristirahat. Posisi matahari yang hampir di atas kepala menghasilkan peluh keringat membanjiri wajah dan punggung tubuh. Wanita itu duduk di bawah bayangan pohon Mangga yang jatuh ke rumput hijau. Keduanya tengah berkebun di halaman belakang rumah.
“Kau lelah, Ayse? Kenapa tiba-tiba diam?” Khaled melirik sejenak istrinya tanpa menghentikan perhatiannya pada rumput yang sedang dipangkas.
Tak ada jawaban dari wanita yang sudah dinikahinya puluhan tahun, ia pun mendatangi Ayse sembari melepas sarung tangan, menaruh gunting rumput serta sarung tangan di atas tanah tempat mereka duduk.
“Sepertinya kau lelah, aku akan mengambil minum untukmu, sebentar.”
Belum berjalan dua langkah, kaki lelaki tua itu terhenti oleh tangan Ayse yang mengenggam tangan kirinya. Khaled berbalik, mendapati pandangan mata istrinya dengan tatapan keraguan.
“Ada apa, Ayse? Kau seperti ingin mengatakan sesuatu.”
“Apa Brigita sudah ke toko?”
“Ya, dia di toko. Alif juga menemaninya di sana karena hari ini dia tidak ada pekerjaan menggambar. Memangnya ada apa, Ayse? Katakan.”
Ia menggenggam kedua tangan Ayse, matanya bergerak-gerak memperhatikan sikap istrinya yang gugup dan gelisah. Ayse menghela napas panjang, membalas tatapan mata suaminya, ragu-ragu ia berbicara.
“Aku terbangun karena ingin buang air, dan akan ke dapur setelahnya. Tapi, saat keluar dari kamar mandi, aku seperti mendengar suara tangisan di ruang makan. Sayup-sayup. Pelan-pelan, kubuka pintu kamar sedikit, berdiri di sana, supaya bisa mendengar lebih jelas. Perlahan suara itu mereda.”
Ayse menarik napas sejenak mengambil jeda. Pendengaran dan penglihatan Khaled terpusat pada istrinya itu.
“Aku melihat Alif menggendong Brigita ke kamar atas. Aku keluar dan naik ke atas untuk melihat yang terjadi. Saat mendekati kamar Brigita, aku mendengar lagi suara tangisan. Aku berdiri di depan pintu kamarnya, dan – “
“Alif menangis... di kamar Brigita.”
Tubuh wanita tambun itu menangis dan berhambur memeluk Khaled. Lelaki itu memeluk Ayse serta mengusap punggungnya. Ia berusaha tegar meski rasa sakit di hatinya mendera, bibirnya bergetar, dan matanya memerah. Perlahan, pelukannya terlepas.
“Aku kuatir trauma itu menyerangnya lagi,” lanjutnya terisak.
Khaled membawa Ayse masuk ke ruang keluarga. Memberinya segelas air minum, duduk di sebelahnya saling berhadapan dan memeluknya. Lelaki tua itu pun tak lagi bisa menahan air matanya.
“Tidak ada yang tahu mengenai rencana Tuhan, tapi ini yang Allah gariskan untuk makhluknya. Kita kehilangan anak-anak kita, mereka kehilangan orang tua mereka. Hanya Dia yang tahu apa yang terbaik untuk kita,” ujarnya sesegukan.
“Tadi sewaktu mereka akan berangkat ke toko, aku melihat raut keduanya berbeda dari biasanya. Sempat terlihat mata mereka sembab, Brigita hanya pamit dari kejauhan. Seperti menghindar agar aku tidak bertanya. Aku mengerti, Ayse. Biarkan mereka menenangkan diri dengan cara mereka. Kita akan bicarakan setelah mereka lebih baik,” lanjutnya. Ayse mengangguk paham.
‘Kalau ini karena trauma masa kecilnya, kenapa bisa trauma itu kembali setelah dia sembuh?’
***
“Masha Allah, baiklah… baiklah… aku segera ke sana,” jawab Khaled gembira di ujung telepon.
Khaled menutup laptop dan menyusun arsip nota-nota ke dalam map folder, dan mengembalikannya ke lemari kayu. Seutas senyum lega dan bahagia tercipta dari bibirnya dengan hasil belajar Brigita yang lumayan singkat, namun cukup mampu melakukannya dengan baik. Tidak seperti di awal belajarnya yang nyaris merontokkan rambut tipis Khaled yang sudah memutih.
“Nasuh, ayo ikut aku ke peternakan Tn. Hasim,” tutur Khaled mengambil kunci mobil.
“Kalian tidak mengajakku? Aku sudah lama tidak ke sana bertemu Hafsah. Aku ingin berbincang dengannya sambil menunggu kalian,” sambung Efsun cepat.
“Ah, urusan lelaki. Wanita di rumah saja. Kami juga tidak akan lama,” sahut Nasuh mengerling pada Alif yang baru tiba.
Efsun dan Ayse melirik Nasuh dengan gaya jual mahal. Khaled terkekeh melihat adu mulut kedua iparnya itu. Alif terperanjat kaget akibat satu pukulan saat akan memeluk pundak Efsun.
“Kenapa Teyze memukulku? Apa salahku?” tanya Alif bingung.
“Sudah satu jam Teyze di sini, tapi kau baru menampakkan batang hidungmu. Kemana saja kau anak muda? Hmmmm? Kau berburu gadis? Kau tidak merindukan Teyzemu yang cantik ini?” serang Efsun berkacak pinggang.
Khaled dan Nasuh langsung berbalik badan menuju pintu keluar dengan wajah malas dan membuang napas kasar.
“Bisa panjang urusan!” tutur keduanya kompak.
“Aku di kamar, Teyze. Tidur! Semalaman menggambar design gedung proyek terbaru. Lagi pula kenapa Teyze tidak mencariku ke atas? Teyze tahu dimana kamarku,” protes Alif setelah melepas pelukannya.
Belum sempat Efsun menyahut, Alif sudah berlari mengejar kedua pamannya, lantas berhenti sejenak dan berbalik.
”Teyze, ini urusan lelaki. Maaf aku tidak bisa menjaga mereka. Aku cuma anak yang harus patuh perkataan orang tua!” ujarnya mengerling jahil lalu menghilang.
Kedua pasang mata kedua wanita tua itu spontan melotot dengan mulut sedikit menganga. Keduanya saling memandang lalu tertawa.
“Huhhhh… masih saja dia seperti itu. Aku takkan beri dia kari kambing masakanku,” ujar Efsun menepuk jidat, dan Ayse senyum tertahan di bibir yang rapat sambil berbalik badan.
“Dimana Brigita? Aku tidak melihatnya sejak tadi,” tanya Efsun celingukan.
“Teyze! Nasilsin?” (Halo Bibi, apa kabar?), sapa Brigita menuruni anak tangga.
Ia memberanikan diri turun untuk sekedar menyapa dengan senyum palsu demi menyembunyikan rasa hatinya yang gundah. Tertangkap basah oleh mata Ayse yang melihat dirinya sedang berdiri di pagar pembatas lantai dua, Ayse pun seperti berkata ‘turunlah sebentar, sapa Bibimu’ dengan mengedipkan mata sambil mengangguk satu kali, dan Brigita memahami itu. Efsun terbelalak kaget dan langsung merentangkan kedua tangannya untuk menerima pelukan Brigita.
“Oh, birtanem benim, Hamdulillah! Ben iyiyim, ya sen?,” jawan Efsun melepaskan pelukan eratnya.
“Cok guzel gonuruyorsun, Masha Allah,” sambungnya memperhatikan Brigita dari ujung kepala sampai ujung kaki.
(Oh, Sayangku, Alhamdulillah! Kabar Bibi baik, bagaimana denganmu? Kau terlihat cantik sekali, Masha Allah.)
Blouse broken white sutra yang melekat di badannya dan skinny jeans biru, membuat penampilannya sangat anggun dan mewah dibalik tubuhnya yang tinggi semampai dan padat berisi. Efsun tidak henti-hentinya menatap Brigita dengan bahagia yang membuncah di hatinya. Brigita hanya tersenyum kosong sambil menundukkan kepalanya sedetik, sebelum akhirnya mengalihkan pembicaraan.
“Hayir, Teyze. Cok fazle ovme,” Brigita tersenyum tenang. “Gonul nerede?” (Tidak Bibi, jangan terlalu memujiku. Dimana Gonul?)..Kepalanya berputar mencari keberadaan sepupunya itu.
“Dia di rumah, katanya ingin bersantai tanpa diganggu. Mungkin besok atau lusa dia akan mengajakmu minum teh.”
“Ah, baiklah,” balasnya ragu-ragu sambil memutar otak mencari alasan lain untuk kabur dari ruangan itu.
“Emmm… Teyze, aku permisi dulu, ada temu janji dengan teman kuliahku. Aku akan ke atas untuk berganti pakaian,” ucapnya tersenyum manis.
“Baiklah, silakan, Nak. Hati-hati di jalan,” ujar Ayse dan Efsun serentak.
Brigita menaiki anak tangga dengan sumringah, namun senyum itu seketika hilang saat dirinya berbelok melangkah ke tangga lantai dua. Langkahnya melambat bersamaan dengan otaknya yang berpikir kemana ia akan pergi dan siapa yang akan ia temui.