Adalah hal biasa bagi penduduk Izmir untuk merasakan udara panas, mengingat Izmir sendiri berada di pinggiran laut Aegea. Namun, panas udara kali ini benar-benar membuat warga kota tersebut berpeluh keringat, akibat suhu yang mencapai 39 derajat Celcius.
Beberapa penumpang yang baru naik, terlihat menghempas napas lega karena kesejukan pendingin udara di dalam Eshot. Seorang pemuda berkisar 22 tahun terlihat mengusap keringat, mengibas baju dan menyisir rambut ke belakang.
Seorang perempuan dengan perut membesar dengan usia kehamilan tujuh bulan, duduk memangku sebuah kantong kertas berisi belanjaan, memegang perutnya dan sesekali mengusap calon bayinya itu. Sedang penumpang lain tampak tenang dan abai menikmati perjalanan singkat mereka. Supir melajukan bus kota itu dengan kecepatan sedang.
Tampak seorang mahasiswi membawa beberapa buku tebal di pangkuannya. Memandang keluar jendela menikmati alunan suara yang terdengar dari earphone berwarna hitam miliknya. Buku kalkulus berbahasa Inggris berada di posisi paling atas, yang memiliki ketebalan sekitar 500 - 600 halaman–mungkin.
Penumpang Eshot siang itu didominasi oleh para mahasiswa yang sedang menuju kampus Vezir Universitasi. Sebuah universitas besar yang memiliki banyak mahasiswa asal Indonesia. Dan, di kampus inilah awal mula Brigita belajar Bahasa Indonesia.
Bus kota itu perlahan melambat. Supir Eshot menurunkan penumpang di tempat pemberhentian yang tidak jauh dari kampus, setelah 60 menit melaju di jalanan pusat kota. Satu persatu mahasiswa turun, berjalan kaki meneruskan perjalanan mereka menuju tempat mengenyam ilmu.
Seolah mengerti suasana hatinya, semesta mengubah kondisi langit yang cerah menjadi berawan gelap yang mengandung banyak air. Belum terlalu gelap untuk dilepaskan jatuh ke permukaan Bumi.
Sunyi, tak ada suara seorang manusia pun di sana. Hanya suara langkah kaki lunglai memijak tanah yang kejatuhan daun-daun kering yang menguning dan kecoklatan. Gesekan itu menimbulkan suara yang cukup nyaring dan keras karena keheningan di tempat itu.
Duduk bersimpuh memanjatkan doa untuk yang terkasih, yang memberinya dunia dan segala isinya. Mata dan pipinya basah, mulutnya komat-kamit merapalkan Al-Fatihah, serta beberapa surat pendek lainnya setelah membersihkan satu tempat itu.
Harika Dolunay Ekber bint Sulayman Ekber.
Di depan batu nisan itu, Brigita menangis sejadi-jadinya melepas kerinduan yang bergemuruh di dalam hati. Rindu akan belaian dan kasih sayang dari perempuan yang melahirkannya, yang tak lagi ia dapatkan sejak 25 tahun silam.
Suara tangisnya seakan lenyap seiring deruan suara hujan yang turun deras mengguyur tanah tempat ia berpijak. Tubuhnya yang basah kuyup tak lagi dihiraukan. Ia hanya ingin ibunya. Berharap Tuhan mengabulkan keinginannya, untuk bisa ibunya pulang walau sesaat agar memeluknya yang tengah nelangsa.
"Anne..." ucapnya lirih sesegukan.
Jika selembar daun lepas dari rantingnya, jika sebuah Jeruk jatuh ke permukaan tanah harus dengan izinNya, maka makhluk mana yang bisa membantah takdir Tuhan tentang kematian? Makhluk bernyawa yang sudah berada di peraduan abadinya tidak akan pernah bisa kembali.
Pun yang berada di sebelahnya, hanya diam membisu. Di tengah hujan deras dan suara gemuruh guntur di langit, Brigita beranjak ke makam yang bersebelahan dengan makam sang Ibu. Mengusap batu nisan itu, melantunkan doa dan menciumnya.
“Baba..." lagi, suaranya nyaris tak terdengar.
Gelapnya langit karena tertutup awan, membuat hari seperti tak bergerak untuk berganti. Brigita larut dalam duka di pemakaman itu. Dering telepon yang berbunyi sejak tadi, tak terdengar olehnya. Hingga saat beranjak pulang, ia mendapati sosok berpayung telah berdiri tak jauh darinya. Berdiri terpaku dengan raut wajah yang bercampur aduk. Brigita berjalan pelan dan gontai menuju sosok yang sudah menunggu, sembari menghapus air matanya, menormalkan tarikan napas. Alif menuntun Brigita keluar pemakaman.
****
Mobil Alif memasuki pekarangan rumah, perlahan melambat seiring tekanan pedal rem yang dipijak kakinya. Menormalkan gear, mematikan mesin, melepas seatbealt, Alif mengambil payung yang basah di kursi belakang. Bergegas turun membukakan pintu untuk Brigita, memayunginya hingga tiba di teras rumah.
Lantai ruang tamu menjadi basah dan becek akibat tetesan air yang jatuh dari tubuh dan pakaian Brigita yang basah kuyup dan kedinginan. Keduanya langsung menuju ke kamar mereka masing-masing di lantai atas.
Keduanya membisu sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Alif memahami benar karakter Brigita yang cukup tertutup untuk mengutarakan perasaannya. Ia pandai menyimpan isi hati, namun tak cukup pandai meluapkan rasa hati. Diam seribu bahasa, atau sedikit bicara, dan bahkan menangis adalah cara terbaik Brigita mengungkapkan segala isi hatinya.
Karim memutar kepala saat terdengar suara pintu kamar Alif terbuka. Matanya mengikuti gerakan Alif yang berjalan menuju kamar mandi sembari melepas kaus hijau polosnya yang lumayan basah, setelah melempar kunci mobilnya ke ranjang. Mengambil handuk dan mengeringkan tubuhnya setelah melepas jeans dan celana dalamnya.
“Aku menunggumu sejak tadi. Kau sudah temukan Brigita?”
Alif mengangguk, membuka lemari dan mengambil pakaian gantinya. “Di pemakaman,” Alif menutup lemari pakaiannya.
Melangkah menuju sofa tempat Karim duduk, menjatuhkan bokongnya di sebelah Karim. Pakaian diletakkan di dekatnya.
“Sejak kepulangannya dia belum ke sana, karena biasanya selalu mengajakku. Tapi, sepertinya bukan itu alasan dia berada di sana. Aku tidak melihat taburan bunga di pemakaman ayah dan ibu,” mata Alif bergerak tak tentu arah.
“Maksudmu, dia tidak berencana ke sana?” Karim berusaha mencerna perkataan sepupunya itu.
Alif menoleh dan mengangguk. “Beberapa malam lalu dia juga menangis di ruang makan saat aku ke dapur, dia bilang dia merindukan mereka. Awalnya kupikir begitu. Tapi, sewaktu aku melihatnya di pemakaman tadi, seperti ada sesuatu yang lain yang disembunyikan.”
Karim menyerongkan posisi duduknya.
“Aku jadi ingat perkataan Edine. Dia bertanya padaku apa yang terjadi dengan Kakakmu. Aku sungguh tidak tahu. Dia bilang Brigita tampak berbeda sewaktu di toko. Mukanya murung, matanya bengkak dan kehitaman, bahkan dia terlihat melamun. Apakah itu?”
Alif mengangguk pelan sembari memakai bajunya. Mengibas dan menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari. Matanya menangkap bungkusan plastik berwarna putih di atas meja kerjanya.
“Kau bawa apa?”
“Hanya cemilan. Karena hujan dan mungkin aku menginap di sini, jadi aku butuh banyak makanan. Buka saja. Ada roti sayur juga, mungkin Brigita akan suka karena rasanya pedas.”
“Oh ya?” Alif berlalu dari sofa dan membuka bungkusan itu.
“Sepertinya enak. Aku ambil ini saja, burger dan roti sayur,” Alif langsung memakan roti sayur itu.
“Emhhh… enak. Aku akan mengantar ini ke kamarnya nanti. Terima kasih.”
“Welcome,” Karim merebahkan dirinya di sofa.
”Apa yang terjadi dengannya menurutmu, Lif? Aku mengerti situasinya dan aku tidak mau menghakimi, tapi…”
Karim menghela napas dan menoleh pada Alif yang duduk di pinggir ranjangnya.
“Apa dia mimpi buruk lagi?”
“Kalau memang demikian, seharusnya bukan terjadi sekarang. Melainkan sudah terjadi, karena kakakku beberapa tahun tinggal di Birmingham, kan?”
“Masuk akal," Karim tampak berpikir.
“Sebentar, apa dia punya hubungan dengan seseorang? Siapa tahu selama di sana dia terlibat hubungan emosional dengan seseorang, dan… dia sedang patah hati mungkin? Kau tidak lupa kalau di Inggris banyak lelaki muslim, kan?”