8. Tangisan mereka

1001 Kata
Aku tahu beratnya rasa merindu. Tapi, aku bisa apa kalau semua adalah jalan mutlak yang tidak bisa diubah? Kau sumber kekuatanku yang membuatku tegar berdiri. Kau hidupku. Meski kau dan aku tahu, rasa itu hanya akan menguap begitu saja tanpa pernah bisa dilampiaskan. ~Alif Kozan~ Kamar berukuran luas yang terletak di lantai dua itu terlihat kacau. Remasan kertas bertinta tampak berserakan di lantai. Karton besar berwarna, pensil gambar, penggaris, penghapus, dan sejumlah pena berwarna serta spidol, berada di atas meja kerja untuk menggambar. Lampu di meja itu masih menyala. Tubuh Alif terbaring di sofa di depan ranjang lajang miliknya. Ia termenung dalam suasana temaram kamar, akibat lampu utama yang sudah dipadamkan. Pemuda itu kehilangan suasana hati untuk menggambar rancangan gedung sebuah proyek konstruksi incarannya. Kredibilitasmu sangat diperhitungkan di proyek ini, Alif. Kau punya kemampuan yang tak bisa dipandang sebelah mata untuk setiap ide dan rancanganmu. Meskipun kau pendatang baru di proyek-proyek besar karena usiamu. Kata-kata ini terus terngiang di telinga Alif sejak lima hari silam. Sangat serius diucapkan oleh salah seorang senior dari Asosiasi Arsitek Turkey tempat Alif bernaung. Posisinya sebagai Arsitek muda dengan sejumlah penghargaan yang berhasil diraih, mampu menancapkan dirinya sebagai Arsitek Muda Berbakat Turkey selama tiga tahun berturut-turut. “Abla, kau tidak tidur? Kenapa di sini?” tanya Alif ketika turun ke lantai dasar untuk mengambil minum, ketika matanya menangkap sosok bayangan sedang duduk melamun di meja makan. Alif membuka lemari pendingin mencari minuman yang mungkin bisa membantu sedikit memperbaiki suasana hatinya yang runyam. Brigita tak menggubris pertanyaan Alif. Pikirannya berkecamuk atas bayangan masa lalu yang kembali saat ia mulai akan terlelap. Alif menyodorkan sekaleng minuman soda halal yang dingin, lalu menaruhnya di atas meja. “I can’t sleep,” ucap Alif. Menyadari ada seseorang sudah duduk di sampingnya, Brigita menoleh ke samping tanpa menatap Alif. Ruang makan itu gelap, namun mendapatkan penerangan yang cukup dari lampu tempat cuci piring yang dinyalakan Alif. Cukup jelas untuk memperlihatkan raut wajah Brigita yang lesu, terduduk lemas dengan punggung bersandar di kursi. Keduanya duduk dalam hening, seperti sedang menikmati kesunyian malam. Seperti memikirkan sesuatu, yang mereka sendiri pun tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan. “Alif….” Suara itu terdengar bergetar, rapuh, dan pasrah di telinga Alif. Membuatnya seketika menoleh ke pemilik suara tersebut. Tatapan mata itu kosong, sejurus matanya yang memandang kursi kosong di hadapannya. Alif mengubah posisi duduk menghadap Brigita, memperhatikan wajah itu dengan seksama. “Kau… menangis?” Alif hanya diam memandang. Bola mata abu terang yang sudah merah itu perlahan bergerak menatap Alif, bibirnya sedikit terbuka dan bergetar. Alif sontak menyambar tubuh Brigita yang bergetar ke dalam pelukannya, saat suara itu berubah menjadi serak dan terbata. “I miss them….” Tangisnya pecah di pelukan Alif. Air matanya jatuh deras tak terbendung membasahi kaos katun di tubuh Alif. Tersedu, Brigita menangis membalas pelukan Alif yang memeluknya erat. Alif meletakkan kepalanya di atas kepala Brigita, menciumnya, dan membelai kepala itu dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya memeluk punggung Brigita. Alif menangis dalam diam. *** Rasa sakit yang bergumul dalam d**a, perih hati yang tak terobati, rasa rindu yang tak terlampiaskan, berubah menjadi air mata kepedihan yang terlempar keluar dari kedua bola mata Alif. Pemuda gondrong itu duduk meringkuk di bawah jendela, menangis pilu melepas seluruh gejolak dalam dirinya. Gorden jendela kamar Brigita terbuka, seolah membiarkan sinar bulan masuk menerangi kamarnya yang gelap tanpa pencahayaan. Brigita terlihat pulas tidur di atas kasur, seolah tak terganggu oleh isakan tangis suara Alif yang sejak tadi tertahan saat memeluknya. Namun, setetes air masih terseret keluar jatuh di sudut matanya. Alif tampak mulai tenang setelah satu jam berlalu. Ia duduk pasrah di lantai. Dinginnya udara malam seakan tidak lagi dirasa oleh kulit tubuh Alif. Kaos hitam yang dipakainya tergeletak di atas paha. Kotor–akibat cairan yang keluar dari hidungnya saat menangis. Kedua matanya masih memerah dan basah karena tetesan air mata itu sesekali masih menetes. Napasnya sesekali tersengah, bibirnya kering dan sedikit terbuka. Bergetar, pelan dan lirih, bibirnya berucap, “Anne, baba, aku rindu kalian ….” *** Alif melipat sajadah setelah berdzikir dan bersujud menyampaikan isi hatinya, yang merindukan dua orang dalam hidupnya yang tak pernah ia lihat, ia rasakan pelukannya, ciumannya, dan kasih sayangnya. Wajah dua orang yang hanya bisa ia kenal dari beberapa photo kenangan, yang tersimpan rapi di laci meja kerjanya. Kedua lutut Alif bertemu di lantai yang dingin, menopang tubuhnya yang jongkok di samping kasur Brigita. Membelai lembut kening dan pipi Brigita. Menatap sendu wajah polos itu. 'Apa yang membuatmu tiba-tiba merindukan mereka, Abla? 'Apa karena teyze Nesli? Aku mendengarnya, Abla. Aku mendengarnya.' Alif berhenti sebentar, melegakan diri yang juga terasa sesak. Seperti hidupnya yang sesak sejak lama. ‘Tapi, ini garis takdir kita. Nasib yang harus kita terima, yang tertulis untuk kita bahwa kita adalah anak yatim piatu. Anak yang tidak pernah merasakan hangatnya pelukan baba dan anne, mendengar bisingnya suara mereka saat membangunkan anaknya di pagi hari, dicium oleh mereka, dibelai sebelum tidur di malam hari, dicubit, dimarahi, dibela oleh mereka saat bertengkar. Kita tidak pernah merasakan itu semua....' Alif terisak di dahi Brigita. 'Orang tua kita adalah dayi dan teyze, Abla. Aku sangat berharap Allah akan mengabulkan doaku. Memberimu laki-laki yang menyayangimu sepenuh hatinya, melakukan apa pun untukmu karena besarnya rasa cinta untukmu, berkorban untukmu, menjagamu dan melindungimu, seperti aku memperlakukanmu, dan mertua yang menyayangimu selayaknya putri kandung mereka. Ini doa terbesarku untukmu setiap hari.’ Setetes air mata Alif kembali membasahi pipinya. Isak tangisnya masih terdengar. Alif bangun dari jongkok dan mencium hangat kening Brigita beberapa detik sambil menutup mata, membiarkan pipinya  bersentuhan dengan dahi Brigita untuk sesaat. 'Kau harus kuat, Abla. Kau harus kuat. Aku tidak suka kau menjadi orang lemah. Jangan menangis lagi. Tolong, bertahanlah untukku. Kumohon, demi aku adikmu....' Alif mengelus anak rambut kakaknya dan mengusap pipi sebelum kembali mencium dahi Brigita. Ia melangkah gontai menuju pintu, sejenak berdiri memandang kembali Brigita sebelum menutup pintu kamar kakaknya itu, dan kembali ke kamarnya untuk bersiap Shubuh di Masjid. ‘I love you, Abla. I’ll be there for you, will always be.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN