1. Surat tanpa nama
Kita akan atur ulang jadwal pertemuan. Beritahu saja kapan waktu luang yang kau punya. Aku tunggu kabar darimu.
Pesan yang masuk ke ponsel Alif beberapa menit setelah permohonan maaf ia kirimkan. Pemuda itu tidak ingat bahwa ia harus menemui seseorang hari ini di sebuah restoran pukul dua belas siang. Namun, deadline pekerjaan menuntutnya untuk tetap berada di rumah.
Brigita berada di ruang kerja saat kaki Alif baru dua langkah menginjak lantai satu. Laptop yang sudah menyala selama tiga jam itu, baru dimatikan lima menit yang lalu. Pemuda itu berteriak memanggil Brigita untuk makan siang, tetapi perempuan itu berkata akan menyusul setelah selesai.
Perempuan itu menutup lemari kayu berpintu kaca, sebelum meninggalkan ruang kerja dengan dua buku Akuntansi tebal di atas meja –di sebelah laptop.
Keduanya diam beberapa menit, menikmati makanan yang tersaji di atas meja sejak jam sebelas siang. Hanya dentingan suara sendok dan piring yang bertemu karena ulah manusia di meja makan itu, hingga satu suara melenyapkan kebisingan dari peralatan makan tersebut.
“Surat untukmu, Alif. Sepertinya sesuatu yang penting.” Ayse muncul dari arah depan ruang tamu.
“Terima kasih, Teyze. Sepertinya memang yang ditunggu-tunggu Alif,” sahut Brigita tersenyum senang.
Alif menyantap makan siang dengan lahap. Laki-laki itu benar-benar lapar setelah duduk menggambar sejak pagi. Brigita melihat lima ekor udang besar goreng berada di piring Alif. Adiknya tidak juga jera memakan makanan tinggi kadar kolesterol yang pernah membuatnya terbaring kaku di rumah sakit.
Brigita memperingatkannya untuk mengurangi konsumsi makanan laut, tetapi Alif hanya mengangguk paham. Mulutnya tidak berhenti mengunyah. Tangannya bahkan sudah memindahkan tiga ekor lagi ke dalam piringnya. Peringatan keras juga datang dari Ayse yang melihat Alif abai.
Karena ingin istirahat akibat tubuh yang lelah, Ayse meminta Brigita mencuci piring setelahnya dan melayangkan teguran keras pada Alif sebelum menuju ke kamar. Perempuan muda itu memberi anggukan.
Brigita membolak-balik amplop surat berwarna cokelat. Rautnya terlihat kebingungan. Alif melihat kening Brigita mengerut menatap amplop tersebut. Tatapannya jatuh pada amplop dan Brigita bergantian.
“Berikan padaku, Abla,” katanya bernada cukup malas.
“Tapi, ini terlihat aneh, Alif. Tidak ada nama pengirimnya sama sekali. Let me see, wait!”
Brigita merobek amplop dan menarik selembar kertas putih polos yang terlipat dua, yang membuatnya terdiam penuh tanda tanya setelah membaca deretan huruf yang bertulis tangan dengan begitu rapi dan apik.
Kening Brigita semakin mengerut dalam. "Apa ini, Alif?” Brigita memekik setengah berbisik.
Alif menatap surat tersebut setelah merampasnya dari Brigita. Menghela napas dan meletakkannya di atas meja dengan malas, sebelum kembali melanjutkan makan siangnya.
“Entahlah. Enam bulan belakangan aku sudah beberapa kali mendapat surat seperti ini, dan ini yang ke empat. Entah siapa yang kirim dan apa maksudnya, aku tidak tahu. Dan, seperti yang kau lihat, tidak ada pesan apa pun di dalamnya, kecuali namaku.”
Brigita terkejut mendengar pengakuan Alif. Perempuan dewasa itu tidak tahu mengartikannya seperti apa dan bagaimana, tapi raut wajah benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Brigita seketika gelisah.
“Apa dayi dan teyze tahu?” Mata Brigita menatap nyalang Alif dan mulai panik.
“Yah … tapi aku tidak mau ambil pusing, selama belum membahayakanku dan keluarga kita. Aku tahu mereka resah, pun demikian, aku juga tak bisa menunjukkan rasa cemasku di hadapan mereka.”
Kelopak mata Brigita berkedip cepat, menghela napas, otaknya mendadak buntu. Ia membereskan meja makan, memandang Alif seperti sedang memikirkan sesuatu sebelum membawa piring-piring kotor itu. Brigita tidak menyangkal bahwa pikirannya mulai terusik. Ia tidak bisa berpikir yang lainnya.
Alif mengambil surat itu. Ia bangkit dari kursi menuju bagian dapur tempat mencuci piring. Langkahnya melambat, memperhatikan seksama Brigita yang mengenakan terusan hitam dengan ikat pinggang lebar senada hijab merah gelapnya.
“Ne oldu, Abla?” (Ada apa, Kak?)
Hening sesaat. Merasa tak digubris, Alif mengambil kuali yang masih bersabun dari tangan saudara kandungnya. Kembali, Alif menarik perhatiannya dengan memukul pelan pundaknya dua kali. Alif menatapnya bingung. Tepukan tangan di pundak Brigita membuat perempuan itu tersentak.
“Lain kali kalau melamun jangan di dapur, kau bisa mengubah rumah menjadi kolam ikan!” tegur Alif mematikan keran air.
“Maaf. Apa kau bicara sesuatu tadi?”
“Kalau kau ingin berkhayal sebaiknya di dalam kamar, supaya mimpinya semakin romantis!” ketus Alif meninggalkan Brigita setelah meletakkan kuali yang berbusa.
“Badan di bumi pikiran di langit!”
***
Khaled baru saja selesai berpakaian ketika Ayse menutup pintu kamar. Segelas teh Turki diletakkan di meja kecil bundar dekat sofa tunggal. Kamar yang besar itu sedikit redup karena pencahayaan yang memang tidak dimaksimalkan. Pria tua itu mengambil gelas teh sebelum duduk di pinggir kasur.
“Keputusannya untuk berkarir di Birmingham cukup membuatku cemas. Sekarang aku senang Brigita di sini bersama kita. Anak manis, seperti ibunya,” jelas Khaled usai meneguk teh.
Ayse mengangguk setuju. "Tapi, Alif juga seperti Harika. Kau jangan lupa itu, Sayang.” Ayse tersenyum bahagia melirik sang suami dengan kening terkerut ke atas.
"Tidak, Alif lebih banyak mewarisi ayahnya."
“Aku juga sangat khawatir kalau dia terus-terusan sendiri di sana. Kita tidak punya saudara atau kerabat untuk menjaganya. Cukup lima tahun dia di Inggris, aku tidak mau lagi dia jauh dari kita. Kecuali nanti setelah dia menikah,” lanjut Ayse.
"Apa sudah ada lelaki yang dekat dengannya?" Khaled berjalan ke sofa.
"Aku tidak tahu. Apa dia bicara denganmu?"
"Tidak. Aku bertanya karena kau menyebut 'setelah dia menikah', mungkin saja dia bercerita padamu."
Ayse mendekat ke sofa tempat Khaled duduk. Ia mengatakan hal serupa bahwa Brigita tidak bercerita apa pun padanya. Ide mencarikan jodoh melalui kolega mereka yang mungkin memiliki seorang pemuda lajang atau duda, tercetus dari mulut Ayse. Khaled menatap dalam-dalam mata Ayse yang menatapnya yakin. Ia termenung.
"Tidak. Aku tidak mau dia terluka dengan perjodohan. Biarkan dia menemukan cintanya," tolaknya berterus terang setelah jeda cukup lama.
"Maksudku kita hanya mengenalkan mereka, bukan menjodohkan. Kalau mereka tertarik untuk mengenal lebih dalam satu sama lain, mereka bisa lanjut."
Khaled meolak keras dengan gelengan pelan. "Sama saja, Ayse."
"Tapi, umur Brigita sudah 32 tahun, Sayang."
"Dengar, aku akan menyetujui calon pendamping hidup Brigita dan Alif selama jelas asal-usulnya dan seiman. Aku tidak masalah meski mereka berasal dari keluarga sederhana. Selama mereka bisa saling membahagiakan, bertanggung jawab, dan terutama laki-laki itu harus bisa melindungi Brigita."
Ayse menarik napas panjang tidak bisa membantah ucapan suaminya. "Lalu, apa rencanamu?"
"Biarkan dia menikmati hidupnya. Aku bukan tidak peduli dengannya yang sudah dewasa, tapi biarkan dia menikmati kenyamanannya."
Ayse menghela napas pasrah. Wanita tua itu benar-benar dibuat bungkam oleh suaminya. Khaled beranjak menuju kasur untuk istirahat. Kepulangan Brigita dari Birmingham dan tidak kembali ke sana, membuat Khaled bisa tidur jauh lebih tenang.
Ia menanyakan surat yang mungkin dikirim untuknya, tetapi Ayse mengatakan surat kosong ditujukan untuk Alif. Langkah Khaled berhenti, ia menoleh dengan kening berkerut.
***
Note:
Kisah ini berlatar belakang di Izmir, Turki, dan menggunakan nama panggilan dalam bahasa Turki.
Abla : kakak
Anne : ibu
Baba : Ayah
Dayi : paman (dari pihak ibu)
Teyze : bibi
Bayim : Tuan/paman secara umum
Erkek : abang