"Dia adalah dewi penolong bagiku. Dia membawaku ke sini memberi pekerjaan saat aku pupus harapan tentang hidupku karena lilitan utang."
"Tuan Sulaiman tidak menyetujui keputusannya, karena sudah ada beberapa pelayan yang mengurus rumah ini. Karena itu, awalnya aku hanya bekerja untuknya. Aku menjadi pelayan pribadinya. Cukup membuat pelayan-pelayan di sini menjadi iri, walaupun saat makan siang aku akan bergabung dengan mereka."
"Keluarga ini tidak memandang siapa aku yang orang miskin ini, yang datang ke rumah ini dengan pakaian lusuh dan kumal. Membawa harapan baru bahwa hidupku akan berubah, meninggalkan asaku yang sudah putus di pasar sana. Setidaknya aku bisa membayar utang-utangku hingga lunas, dan bebas dari rentenir yang setiap hari mengejarku. Itu saja cukup–pikirku waktu itu."
"Aku berdiri di depan toko-toko yang banyak didatangi orang-orang kaya. Membantu membawakan belanjaan mereka ke mobil dan mendapat sedikit upah. Tapi, tidak. Tidak banyak dari mereka bersedia. Mereka takut aku membawa kabur barang-barang mahal mereka."
"Aku yang masih berusia empat belas tahun, tidak sekolah, dan anak yatim dengan dua orang adik yang masih kecil, harus mengurus mereka sebelum pergi bekerja menawarkan jasa kuli barang di komplek pertokoan mahal itu."
"Uang yang kudapat tidak banyak, akan lumayan bila hari hujan karena orang-orang kaya itu akan sangat membutuhkanku dan payungku. Karena itu, aku sangat senang bila hari hujan. Bahkan, aku berdoa bahwa hujan akan turun setiap hari."
"Dengan begitu, kami bisa makan dua kali sehari walaupun hanya roti. Karena kami makan hanya satu kali sehari. Beberapa Lira bisa untuk membayar utang di toko tempat aku mengutang makanan. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar Dia mempertemukanku dengan malaikatnya yang berwujud manusia. Termasuk di hari itu."
"Hari dimana aku sudah berdiri di emperan toko selama tiga jam. Belum ada yang berbaik hati padaku–memintaku membawakan barang belanjaan mereka dan memberi sedikit uang sebagai imbalan. Aku sangat lapar. Aku belum makan sejak tadi malam. Uang yang kudapat kemarin sudah habis kubelikan makanan dan obat untuk ibuku yang lumpuh, akibat kecelakaan kerja sebagai buruh kuli di tempat pembangunan gedung bertingkat. Aku tidak punya uang untuk membeli makanan walau hanya sepotong roti sisa kemarin."
"Dua jam berlalu, artinya lima jam sudah aku di sana. Menawarkan jasa kuliku pada orang-orang kaya yang keluar dari toko. Tapi, nasibku masih sama. Perutku sakit karena sampai siang belum terisi sedikit pun makanan. Aku hanya membawa air minum di dalam botol. Duduk di emperan toko melihat orang lalu lalang. Tidak ramai hari itu, tidak seperti biasanya."
"Hingga mataku tanpa sengaja, berhenti pada sosok yang sedang berjalan menuju ke toko lain. Dia baru keluar dari sebuah toko. Dia tidak membawa tas belanjaan, hanya buku dan sebuah tas berukuran sedang. Aku tertegun melihatnya. Dia sangat cantik. Tidak sama dengan wanita cantik dan kaya lainnya."
"Mataku tidak mau berhenti memandangnya. Di wajahnya, aku melihat aura kebaikan yang terpancar. Wajahnya terlihat begitu bersinar. Sempat terpikir olehku, mungkin dia mau berbelas kasih memberiku pekerjaan di rumahnya sebagai tukang kebun atau cuci piring. Tidak masalah. Yang penting aku bisa membawa pulang uang setiap hari."
"Hingga dia lewat di depanku dengan santai dan anggun. Tanpa sadar, aku mengikutinya di belakang. Aku terus memandanginya, memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pakaiannya sangat bagus, terlihat sangat mahal. Caranya berpakaian sangat modis. Topi yang dipakainya juga sangat cocok dengan warna pakaian yang sedang dipakainya."
"Aku menjaga jarak di belakangnya. Dia berhenti di depan toko sepatu, melihatnya sebentar, lantas masuk ke dalam. Tidak lama kemudian, dia keluar. Mungkin dia sedang mencari sesuatu, tapi belum menemukan. Aku masih memperhatikannya.
"Dia mengambil sesuatu dari dalam tas. Dan, bukunya terjatuh. Aku segera mendekat mengambilkan bukunya. Belum sempat dia menunduk, aku sudah mendapatkan buku itu.
Ini buku Anda, Nyonya.
Dia terkejut, aku melihat ekspresi wajahnya yang bingung. Di saat itu pula aku bisa melihat dengan lebih jelas bahwa dia bukan hanya sangat cantik, tapi memang benar-benar cantik. Dia melihat buku yang kupegang, Aku terkejut dengan reaksinya saat mengambil buku itu.
Terima kasih.
Dia tersenyum. Bahkan sebelum mengambil buku itu dari tanganku. Aku semakin terkesima dibuatnya. Caranya tersenyum saat berucap terima kasih, caranya mengucap terima kasih, caranya melihatku saat berucap terima kasih. Dia benar-benar sangat baik. Sampai aku ingin bertanya apakah di rumahnya membutuhkan pelayan, tapi lidahku kelu."
"Setelah pertemuan itu, aku tidak pernah lagi melihatnya. Berhari-hari aku menunggunya. Bahkan, hampir setiap malam aku kembali lagi ke emperan toko setelah pulang ke rumah, mungkin saja dia datang pada malam hari–pikirku."
"Tapi, tidak. Dia tidak ada. Pagi itu, aku datang seperti biasa. Membawa payung, sebotol air minum, dan sepotong roti Kebab sisa–pemberian pemilik kedai roti tadi malam. Dia memberiku 5 potong Kebab saat aku lewat di depan kedainya."
"Aku berdiri di sana sampai mataku melihat rentenir itu berjalan ke arahku. Aku segera berlari saat kuyakin dia ke arahku dan semakin dekat. Aku berlari sekuat yang aku bisa, dan bersembunyi di balik mobil mewah yang sedang parkir."
"Benar, dia memang mencariku. Aku duduk ketakutan di belakang mobil yang aku tidak tahu mobil itu mesinnya hidup atau tidak. Aku berdoa dalam hati agar Tuhan lagi-lagi menyelamatkanku darinya. Aku gemetar sekujur badan."
"Aku hanya fokus pada rentenir itu, tidak peduli yang lain. Sampai aku sadar, seseorang sudah berdiri di depanku. Aku tidak berani mengangkat kepalaku untuk melihatnya, mataku hanya tertuju pada sepatu yang di kakinya. Dia perempuan."
"Dia menunduk, menyentuh bahuku yang masih menunduk karena kebingungan dan sesekali mengintip agar tidak terlihat oleh rentenir itu."
Kenapa kau duduk di sini? Apa yang terjadi? Apa seseorang mengejarmu? Kau terlihat ketakutan.
"Aku mengangkat kepala dan melihat sosok wanita yang berbicara kepadaku. Aku terkejut melihatnya. Dia kembali. Tuhan mempertemukanku dengannya lagi. Aku hanya terdiam melihatnya yang menatapku dengan tatapan bingung."
Di... Di... Dia... Dia akan berbuat jahat padaku, Nyonya.
Memangnya apa yang dia lakukan padamu?
Dia... Dia beberapa kali berusaha memperkosaku, Nyonya.
"Aku terus memeluk diriku dengan berbagai cara. Aku benar-benar takut kalau dia menemukanku, dan membawaku pergi seperti waktu itu."
"Ibumu menatap prihatin padaku yang menangis. Tanpa jijik menarik tubuhku yang kotor ini. Dia memelukku, dan membawaku masuk ke dalam mobil."
Air mata Brigita berderai menyimak penuturan Nesli yang berdiri tegar di ruang tengah–menatap foto Harika.