Bagian 12 II Arga Pov

2336 Kata
-Jangan kembali jika kehadiranmu untuk menorehkan luka yang sama.- -Batas Suci- Kalian tau kan aku sudah memutuskan untuk ikut Nana pergi ke London? Itu artinya, aku harus bekerja lebih keras seperti kata Mama. Bekerja lebih keras, dimana pagi sampai siang aku harus sekolah, di lanjut berkeliling ke minimarket papa setelah pulang sekolah. Kalau hari biasa, aku hanya mengecek 1-2 minimarket, sekarang aku langsung melakukannya sampai 5 minimarket. Tak berhenti di situ, aku juga harus mengontrol semua persediaan juga jumlah barang hampir exp untuk melakukan diskon sekaligus mempertimbangkan keuntungan yang didapatkan. Pokoknya, aku merasa jadi manusia paling sibuk sedunia. Kalian pikir, kegiatanku hanya sampai disitu? Oh tidak. Biasa aku sampai rumah pukul 7 malam. Bergegas mandi dan makan, lanjut mengerjakan laporan dari lima minimarket tadi, setelah selesai lanjut mengerjakan tugas sekolah. Aku baru bisa tidur sekitar pukul dua dini hari dan akan bangun kembali pukul enam pagi hari. Malam itu.. “Huh.” Aku menggosok-gosokan telapak tangan, netraku berbinar saat menatap indomie rasa ayam bawang dengan sayur pakcoy ditambah dua butir telur berkolaborasi menjadi semangkuk makanan mewah pada pukul setengah dua dini hari. Baru saja aku ingin menggulung mie menggunakan garpu, sebuah panggilan memasuki indera pendengaranku. “Ga” aku secepat kilat mendongak, menatap Papa yang berdiri dibawah remangnya lampu dapur. “Papa, ngagetin aja” “Makan lagi?” “Tadi nggak sempet makan, Pa” “Papa juga sih, boleh ikut?” Aku menatap papa dan mie ku bergantian. “Bentar, papa mau goreng beberapa sosis” mengangguk, aku mengiyakan saja keinginan papa. Tak lama, sepiring sosis yang papa goreng siap. Kita akhirnya makan mie semangkuk berdua dan sepiring sosis. “Kemarin, mama bilang katanya kamu mau liburan ke London, bener?” “Kalo papa kasih izin—“ “Bener apa tidak?” Perlahan aku mengangguk. “Bener.” “Kamu tau, waktu yang kamu pilih untuk liburan itu tidak tepat. Akhir tahun, papa dan karyawan papa sibuk di kantor. Jadi, papa mengandalkan kamu untuk merekap closing data akhir tahun dari semua market yang ada di Jakarta.” Aku mendesah dalam hati. Apa yang papa ucapkan memang benar, akhir tahun adalah puncak kesibukanku dimana aku harus menyelesaikan laporan pada tahun yang tengah berjalan. Bahkan kadang, aku membantu menghitung profit serta pembayaran pajak nya. “Kalau papa nggak kasih izin, aku—“ “Apa kamu masih belum paham sampai disini, Ga?” papa menatapku sejenak, dia meletakan garpu yang sedari tadi dipegang ke dalam mangkuk. Papa melipat tangan di atas meja. “Papa tau selama ini kamu juga sibuk dengan pendidikan dan membantu pekerjaan papa, papa senang kamu bisa diandalkan. Tapi papa juga takut, kamu akan merasa terbebani dengan semua ini” Kalian tau, papa terlalu bertele-tele. Padahal dia bisa mengatakan langsung boleh atau tidak. Karena aku tak berani membantah, akhirnya aku hanya diam seraya mendengarkan ucapan papa. “Kamu boleh pergi, asal….” Senyum di wajahku yang semula mengembang, kini perlahan meluntur saat ada kata ‘asal…’ “Yah, bekerjalah lebih keras. Apapun yang bisa diselesaikan, segera selesaikan supaya tugas akhir tahunmu nanti tidak menumpuk. Papa juga tau kamu mungkin butuh sedikit liburan. Berapa hari?” “Papa serius???” Wajah papa yang tadi serius, kini kembali santai, bahkan papa kembali memakan satu sosis nya dengan nikmat. “Serius, Arga.” “Makasih, Pa” aku meraih tangan papa, menggenggam nya dengan begitu erat. “Aku pergi cuma seminggu, setelah itu aku janji bakalan beresin semua pekerjaan dengan baik dan tepat waktu." “Iya, papa percaya sama kamu. Habisin makan nya. Kamu butuh asupan yang lebih bergizi. Jangan lewatkan makan sama minum vitamin karena kamu harus jadi pria yang kuat dan sehat untuk menggantikan papa nanti” Tak ada pembicaraan lebih lanjut, kita berdua meneruskan makan dini hari hingga tandas, setelah itu sama-sama naik ke lantai atas untuk tidur. “Good nite, Pa” “Nite” -Batas Suci- “Permisi, pak” “Arga, duduk dulu” Tiba-tiba sekali aku dipanggil ke ruang guru oleh pak Aslan, apa aku sudah berbuat salah selama di sekolah? Tapi rasa-rasanya tidak. Seraya menjatuhkan b****g ke sofa, aku membenarkan letak kaca mataku. “Jadi begini Arga…” pak Aslan menjeda ucapannya. “Bapak ingin kamu ikut Olimpiade menggantikan Kelvin hari sabtu besok di Universitas Indonesia” “What? Bapak nggak salah? Sabtu besok??” sumpah. Apa-apaan pak Aslan ini. Dia kira Olimpiade itu apa anjir. Bagaimana dia bisa menawariku bahkan tanpa bimbingan, pengarahan dan segala persiapan lainnya? “Iya. Kelvin mengundurkan diri jauh-jauh hari, dia bilang akan pergi ke luar negeri bersama orang tuanya. Tapi sampai sekarang bapak belum menemukan penggantinya. Jadi, bapak minta data rekap nilai anak-anak, dan nama kamu ada di urutan ke lima” “Pak, maaf sebelumnya. Bapak tau nama saya ada di urutan kelima kenapa bapak malah milih saya? Kemana si urutan kedua sampai keempat?” Pak Aslan membuka dokumen yang ada di depannya. “Di urutan kedua ada Aluna, dia juga akan mengikuti Olimpiade bahasa bersama Febia adik kelasmu, ketiga dan keempat di kirim ke luar negeri untuk pertukaran pelajar.” Aku menghela nafas. “Bapak bercanda? Bagaimana kalau saya kalah? Bahkan tidak ada persiapan sama sekali” Kali ini giliran pak Aslan yang menghela nafas. “Bapak nggak berharap kamu bisa menang, Arga. Yang penting ada perwakilan dari sekolah kita selain Aluna dan Bia. Kamu paham kan maksud, bapak?” “Harus saya banget ya, Pak?” Guru berusia 49 tahun itu mengangguk. “Iya” “Baiklah kalau begitu.” Pak Aslan mengangguk seraya memegang pundakku. “Terima kasih Arga” “Sama-sama, Pak. Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan, saya izin keluar” Setelah dari ruangan pak Pandu, aku tak berniat pergi ke kelas, jadi ku putuskan untuk pergi ke kantin saja membeli minuman. Netraku menyipit kala melihat sosok yang tengah berdiri di depan kasir. “Itu yang namanya, Bia nggak sih?” Karena penasaran, jadi aku mendekati sosok itu. “Hei” tegur ku, cewek berambut panjang itu menoleh menatapku. Mata kucing yang lucu. Aku segera menggeleng, s****n, jiwa laki-laki ku keluar saat berhadapan dengan cewek cantik. “Lo yang namanya Bia, kan?” Cewek itu mengangguk meski ragu. “Kenalin, gue Arga, kelas 12. Kata pak Aslan lo ikutan Olimpiade juga hari sabtu di UI. Kebetulan, gue yang gantiin Kelvin buat Olimpiade Astronomi” Apa aku terlalu banyak bicara sampai membuat cewek yang ada di depanku ini syok? Bahkan uluran tanganku saja tak dia terima. “Em.. iya.” “Iya? cuma itu?” aku membeo tak percaya, bagaimana bisa dia hanya mengucapkan kata em dan iya saja? “Oke, oke, sori kalo gue buat lo takut.” akhirnya aku putuskan untuk membayar minumanku  di kasir dan segera pergi meninggalkan Bia yang tengah mematung di tempatnya. Entah ada apa dengan cewek itu, aku bergidik ngeri, 'kan, jadinya.  Berjalan santai menuju kelas seraya bersenandung pelan, tiba-tiba saja pergelangan lengan ku ditarik dan tubuhku didorong ke dinding. “Apa-apan sih lo?!” teriakku tak terima. Riki menatapku dengan wajah datar. “Gue peringatin sama lo ya, Kak. Jangan harap lo bisa dapetin Nana atau coba deketin dia pas di London nanti. Gue akan awasi lo 24/7 kalo perlu.” kata Riki seraya memperagakan hendak mencolok mataku. Aku memegang bahu Riki, dan sekali sentak kini posisi kita terbalik. Sekarang Riki yang meringis karena punggungnya menatap tembok, aku segera mengurung cowok itu menggunakan kedua tangan, menatap manik matanya dengan erat. Siapapun kalau melihat adegan kita pasti akan mikir bahwasannya aku dan Riki sama-sama menyukai batang. “Lo siapa? Pacar Nana? Bukan. Kakak Nana? Bukan. Orang tua Nana? Bukan juga. Lo itu cuma sahabat. Sa.Ha.Bat. Lo tau kan arti sahabat itu apa?” aku menaikan sudut bibirku singkat, sebelum kembali melanjutkan. “Jangan terlalu posesif menggenggam Nana, Rik. Dia bisa lepas dengan mudah kalo lo terlalu erat menggenggam dia. Sadar diri kadang juga perlu, lo itu siapa dimata Nana.” Aku melepaskan tanganku yang tadinya menempel di tembok, lantas menatap Riki yang sekarang diam seraya memalingkan wajah. “Gue percaya lo cowok gentle. Kita akan bersaing buat dapetin Nana dengan cara yang sehat, paham?” Dan setelah itu, aku pergi begitu saja. Aku bisa mendengar Riki meninju tembok mungkin untuk melampiaskan kekesalannya. Tapi aku tidak peduli, selama ini aku hanya diam saat terang-terangan Riki mengumbar ketidaksukaannya padaku. “Dasar bocah labil.” -Batas Suci- “Wiih gillaaaa, siapa tuh” “Gilaaa, cantik banget” “Buseet, kalo senyum gigi kelincinya nongol lagi” “Pipinya, gemes banget jadi pengen remess” Aku menggosok telinga saat mendengar pujian-pujian yang dilontarkan teman-temanku. Jam pelajaran hanya disuruh untuk mengisi soal-soal di lembar LKS, sementara guru ada rapat mendadak. Sekarang aku bisa melihat leher-leher cowok sekelas yang terjulur mulai dari deretan jendela hingga ke pintu. Mungkin disini yang masih waras hanyalah…Reno, Kelvin dan aku. Serta cewek-cewek yang  mendengus geli saat melihat cowok-cowoknya kegatelan. “Anak baru ya?” “Anak baru gak sih?” “Bukan t***l!” maki salah satu diantara mereka. “Gue kayak nggak asing sama mukanya, bentar.” aku menatap punggung cowok yang tengah bergosip ria itu. Lantas kembali menggeleng-gelengkan kepala. Daripada sibuk menatap cewek lebih baik segera menyelesaikan tugasku dan setelah itu aku akan istirahat sejenak. “GILA! Itu kan Altha!” Altha? “Altha, anak IPS yang sempat pindah pas kelas satu?” “Iya! Gila, makin bening aja tuh anak” Jantungku berdetak lebih cepat, nama Altha jelas bukan nama yang asing di telingaku, juga..di hatiku. Karena nama itu pernah singgah cukup lama sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pindah ke Luar Negeri entah apa alasannya. Mendadak tubuhku gemetar, telapak tanganku bahkan basah oleh keringat. “Nggak, ini nggak mungkin. Altha nggak mungkin kembali” Netraku bergerak liar, mencoba mengendalikan diri serta emosi. Aku berjuang dan tertatih sendirian untuk bangkit setelah dikecewakan begitu dalam oleh Altha, dan kini sosok itu muncul lagi. Tentu bukan sebuah kabar baik. “Arga! Mantan lo balik ke sini lagi?” salah satu dari mereka menerjang ke arahku. “Apaan sih, pergi, pergi” aku mendorong lengan mereka agar tidak menggangguku. “Nggak ada urusan nya juga sama gue, pergi.” “Lo serius nggak mau lihat dia? makin cakep loh, Ga. Dulu aja udah cakep banget kan, sekarang malah mirip sama cewek-cewek Korea” Aku mendengus. Lantas terkekeh sinis. “Gue udah nggak ada rasa apapun ke Altha, karena sekarang gue udah suka sama cewek lain.” “Arga.” Suara itu, suara yang begitu aku kenali masuk ke indera pendengaranku. Aku menoleh, berdirilah sosok cewek berseragam putih abu-abu, dia tengah menatap penuh tanda tanya ke arahku. Dia hanya diam, namun aku yang justru gemetar. “Gue kembali, Ga” Aku segera berdiri, menatap manik mata Altha dari tempatku. Sungguh, tidak bohong saat temanku tadi bilang Altha tambah cantik seperti cewek Korea. Dia bahkan mirip seperti Lia Itzy. “Gue kembali, buat lo. Karena selama gue pergi, gue selalu dihantui rasa bersalah” Aku mengepalkan tangan kuat, kedatangan Altha menjadi tontonan seluruh isi kelas, dan aku tak suka jika privasiku terusik seperti ini. Ku putuskan untuk mendekat dan menarik Altha keluar kelas. Setelah sampai di lorong yang cukup sepi, aku menyentakan lengan Altha. “LO GILA?!” “Ngapain lo buat drama kayak gitu, hah? Mau cari perhatian? Sensasi biar viral?” cecar ku, bentar, aku masih ingin marah, melampiaskan sesakku karena kepergiannya selama ini. “Lo tau gue benci jadi tontonan, kan? Oh, nggak heran kalo lo udah lupain semua tentang gue, Al.” “Kenapa diem aja? Jawab—“ Altha memelukku, dia menenggelamkan wajahnya pada dadaku. Diam selama beberapa menit, aku pun sama, sudah lama sekali aku tidak merasakan hangatnya pelukan Altha. Cewek itu akhirnya membuka mulut. “Gue kangen sama lo. Gue datang dengan harapan lo bisa kasih gue kata-kata manis dan perhatian kayak dulu, bukan makian kayak gini, Arga. Lo tau gue kangen banget sama lo, bahkan gue hampir gila karena tiap hari mikirin lo. Gue takut lo pergi ninggalin gue.” Aku melepaskan pelukan dia, terkekeh sinis. “Lo takut apa? Lo takut gue pergi ninggalin lo? Lantas apa kabar sama gue setahun yang lalu, Al? Lo ninggalin gue pas lagi sayang-sayangnya! Bahkan lo nggak pamit ke gue! Apa itu adil buat gue? Nggak!” “Maaf…” “Cuma itu? Apa dengan kata maaf aja lo bisa balikin perasaan gue yang dulu, Al?” Altha menatapku, tak ada air mata disana, tatapannya sendu. “Jadi, perasaan lo udah bener-bener nggak ada buat gue? Sedikitpun?” Jujur saja aku tidak tau dengan perasaanku saat ini. Jantungku berdetak kencang saat berhadapan dengan Altha, sama seperti ketika aku berhadapan dengan Nana. Sepenuhnya aku akan bilang kalau aku suka Nana. Tapi untuk Altha… aku tidak tau. “Ya.” Altha menghela nafas. “Oke.” “Oke? Hanya itu? Lo nggak berniat jelasin apapun ke gue tentang kepergian lo selama ini, hm??” “Nggak ada yang perlu gue jelasin, bukan nya semua sudah selesai? Hubungan kita, perasaan kita, ah lebih tepatnya perasaan lo yang udah selesai. So, for what?” Aku berdecak pinggang seraya mengusap wajah. Gemas mendengar jawaban yang baru saja di lontarkan oleh Altha. s**l, kenapa jadi aku yang uring-uringan tidak jelas begini. “Arga?” Kita berdua sama-sama menoleh, dan mendapati Nana berdiri tak jauh dari tempatku. “Sori ganggu acara berantem lo” Aku menatap Nana dan Altha secara bergantian, sebelum akhirnya aku mendekati Nana dan menarik cewek itu. Aku merangkul bahu Nana. “Al, posisi lo di hati gue udah nggak ada, sekarang di gantiin sama Nana” “What??” Nana segera melepaskan rangkulan ku. “Lo gila ya, Ga?!” “Nggak, Na. Gue nggak gila, gue suka sama lo.” Nana menggelengkan kepalanya dengan raut wajah bingung. “Jangan jadiin gue sebagai alat buat manas-manasin cewek ini, Ga. Gue gak suka” dan setelah itu Nana pergi. “Jadi?” senyum di wajah Altha mengembang. “Seorang Argarendra Casanova baru aja di tolak sama cewek?” s****n! Sekarang Altha malah tertawa terbahak. Dan sialnya lagi, tawa itu bagai candu untukku. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN