-Just a bad day, not a bad life-
-Batas Suci-
Duduk sendirian di taman saat jam sekolah mungkin bukan hal yang baik, kalau ketahuan satpol PP, pasti aku sudah kena ciduk lantaran bolos sekolah. Pikiranku tersita oleh kepergian Fiersa kemarin. Aku melepasnya pergi, dan tidak tau apakah dia akan kembali. Bodoh, mungkin. Tapi tidak ada yang bisa ku lakukan selain membiarkan dia pergi untuk menemui mama nya yang sekarang tengah sakit keras.
Flashback on.
Hari ini Fiersa tidak masuk sekolah, dari pagi dia juga tidak memberiku kabar. Padahal biasanya, dia selalu memberi kabar padaku entah itu hanya sekali atau dua kali. Jam pulang sekolah tiba, dan sebuah pesan masuk dari Fiersa. Dia memintaku untuk datang ke Bandara, karena hari ini dia akan pergi.
Langkah kaki ku terhenti saat tiba di terminal 1. Fiersa menyuruhku untuk menunggu disana. Aku menyapukan pandangan, mencari sosok yang begitu cantik diantara lautan manusia. “Ren!” panggilan itu membuatku menoleh.
“Fiersa”
Seperti adegan FTV Indonesia, aku berjalan dan langsung memeluknya dengan sangat erat. Fiersa adalah segalaku, meski statusnya bukan siapa-siapa bagiku. "Kenapa lo kasih tau mendadak kayak gini sih?" aku masih belum mau melepaskan pelukan itu.
Fiersa pun tak menolak, dia justru semakin mengeratkan pelukannya dan menenggelamkan kepalanya pada d**a bidangku. "Sori, semalem gue sibuk beberes dan ngurus barang-barang yang mau gue bawa. Jadi nggak sempat kasih kabar ke lo"
Pelukan kita berdua akhirnya terlepas saat aku menyadari kalau sedari tadi kita berdua jadi tontonan. "Adegan tadi kayak rangga sama cinta nggak sih?" Fiersa terkekeh geli.
Aku mengerutkan kening. "Siapa tuh rangga sama cinta?"
Fiersa memukul ku. "Masa lo nggak tau sih siapa mereka?"
"Nggak."
"Makanya nonton film"
"Ngapain? Hidup gue udah banyak settingannya."
Fiersa menaikan alisnya seraya tersenyum mengejek, aku mendengus, tak pelak lama-lama ikut tersenyum juga. Jemariku reflek bergerak, menyelipkan anak rambut Fiersa yang mencuat ke belakang telinga. Wajah oval dengan taburan bedak tipis dan liptint serta goresan pensil alis yang sangat-sangat tipis selalu menjadi ciri khas Fiersa.
Dia mungkin salah satu dari banyaknya gadis yang tidak suka memakai make up tebal.
“Kemana?” tanyaku setelah mengagumi keindahan wajah Fiersa.
“Mama di pindah rawat, kondisinya makin memburuk, Ren” ucap dia tanpa aku minta. “Gue juga nggak tau kemana, tapi papa minta gue buat terbang ke Korea dulu”
“Sampai kapan?”
“Nggak tau.”
Tatapan kita berdua bertemu, sekaan aku bisa menyelami isi hati Fiersa lewat tatapan mata itu. Bagaimana ketika gadis yang ada di depanku ini terlihat begitu khawatir sekaligus takut. Wajar saja sebenarnya, mengingat siapa yang sedang sakit saat ini.
Dan entah mendapatkan dorongan dari mana, tiba-tiba saja aku sudah menempelkan bibirku pada bibir ranum Fiersa. Tanganku menahan pinggangnya agar tidak jatuh. Permainan lidah yang begitu lembut, aku memejamkan mata sejenak, butuh keberanian besar untuk melakukan hal semacam ini.
Fiersa melepaskan ciuman kami. "Lain kali jangan kayak gini lagi, ini di bandara, tempat umum."
"Tapi lo suka, kan?"
"s****n"
Tawa kita berdua mengudara. Aku merangkum wajah gadis itu. “Kalo gue kangen sama lo gimana?”
Fiersa mengelus pipiku, tangan yang tadinya ku gunakan untuk merangkum wajahnya kini berganti memegang jemarinya. “Kan bisa telepon, kalo gue nggak sibuk pasti gue angkat kok” jawab dia dengan suara yang begitu menenangkan.
“Ren” panggil Fiersa lagi. “Mungkin freak banget kalo gue bilang… selama ini gue sayang sama lo. Meski gue juga sayang sama Kelvin. Rasa sayang ke elo sama Kelvin itu beda, beda banget”
"Ini maksudnya lo lagi mengungkapkan perasaan sebelum pergi?"
Fiersa hanya mengangkat bahunya. "Fier, kalo someday gue nembak lo, bakal lo terima nggak?"
Gadis itu tampak mikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab. "Kalau Kelvin masih ada di hati gue, kemungkinan enggak. Gue juga nggak mau bikin lo sakit hati, Ren. Lo itu sahabat terbaik gue"
"Kelvin ya..."
"Jangan cari masalah sama Kelvin dengan menjadikan gue sebagai alasan. Gue juga nggak tau sampai kapan hati gue masih berlabuh di dermaganya Kelvin"
Aku mengangguk, mencoba mengerti posisi Fiersa. Lagipula, tidak ada yang baik dengan mencintai seseorang yang jelas masih mencintai masa lalunya. Kalau aku nekat, sama saja seperti ular yang menghampiri tongkat.
“Ngomong-ngomong soal, Kelvin. Lo udah bilang ke dia kalau mau pergi?"
Gelengan kepala Fiersa menjawab semuanya. “Gue nggak pengen bikin dia khawatir, Ren. Biarin kayak gini, dia nggak tau apa-apa tentang gue.”
Dan gue yang tau segalanya ini, nggak pernah lo kasih posisi yang sama dengan Kelvin.
Meski nyeri di d**a aku rasakan, tetapi tetap senyum manis ku kembangkan untuk Fiersa seorang. “Kembali ya, Fier. Meski itu bukan buat gue”
“Gue nggak janji, tapi gue bakal usahain, Ren”
“Makasih”
Flashback off
Aku mengantarkan Fiersa sampai dia masuk ke dalam pesawat. Dan setelah itu aku menghubungi Kelvin, dia datang meskipun terlambat. Aku menceritakan semua hal kepada Kelvin perihal apa yang terjadi dengan Fiersa dan alasan kenapa dia memutuskan hubungannya dengan Kelvin.
Tapi reaksi cowok itu justru di luar prediksiku. Dia marah pada dirinya sendiri karena merasa tidak berguna saat masih menjadi pacar Fiersa. Hubungan mereka terlalu bebas, saling tidak ingin tau apa yang terjadi satu sama lain. Aku belum pernah melihat Kelvin sekacau ini, dan parahnya di tengah kekacauan itu dia harus ikut om Nat ke Spain.
Dari postingan sosial media Kelvin yang di close friend, dia semakin sering menghabiskan waktu untuk pergi ke club, menari dan minum alkohol untuk merusak dirinya sendiri. Bahkan Kelvin yang selama ini begitu membenci rokok, disana dia menjadi pecandu.
Sudah tiga hari ini, aku terus memantau keadaan Kelvin setelah di tinggal pergi oleh Fiersa lewat Nana.
“Gue nggak tau harus gimana lagi, kak” malam itu, Nana menelponku dan memberitahuku tentang keadaan Kelvin selama di Spain. “Untung aja papa nggak curiga sama kelakuan Kelvin disini”
“Kapan kalian pulang?”
“Gue harap jangan dalam waktu dekat ini, biarin Kelvin menggila disini dulu” begitu jawab Nana. Kelvin dan Nana, mereka dikenal publik karena kegiatan positif nya, kalau sampai publik tau kelakuan Kelvin sekarang, maka nasib Trasquad di pertaruhkan. Di sini, Kelvin tidak jalan sendiri, melainkan bersama Nana dan Riki.
Aku yakin sekali Nana pasti kerepotan saat menghadapi Kelvin disana, cowok itu benar-benar jauh berbeda dari Kelvin yang biasa aku kenal selama ini. Dan semua itu gara-gara Fiersa.
“Aku tak menangisimu, hu hu hu.. lebih baik ku tertawa ha ha ha… walau kau telah lukai aku… nenek bilang kuat-kuat...” genjrengan gitar serta suara fals milik pengamen cilik itu memenuhi indera pendengaranku. Lamunanku tentang kejadian beberapa hari terakhir ini langsung buyar.
Menatap pakaian pengamen cilik yang lusuh dengan tas selempang kecil itu, aku jadi tidak tega. Ku keluarkan uang sepuluh ribuan lecek dari saku seragam. “Nggak sekolah, dek?” tanyaku penasaran seraya mengulurkan uang sepuluh ribuan.
“Kalo gue sekolah, ya nggak bakal ngamen disini lah, bang” jawab dia seraya mengantongi uang sepuluh ribuan dariku.
“Sekolah itu penting, dek, jangan disepelekan"
“Anjir, abang aja pake seragam sekolah malah ngetem disini. Mendingan gue lah, pake baju lusuh tapi ngais rejeki”
Sialan banget nih bocah, nggak tau apa orang lagi galau.
“Sekolah, dek. Biar bisa jadi orang pas gede nanti”
“Dikira sekarang gue bukan orang kali ya, aneh” bocah itu duduk di sampingku seraya mengeluarkan sebungkus roti sisir dan air mineral dalam kemasan gelas. Dia sarapan dengan nikmat tanpa menawariku.
“Abang kenapa bolos? Cari duit susah, bang. Jangan dibuang-buang” katanya seraya mengunyah roti.
Aku mendengus, ini anak kecil kenapa suka banget memberi nasehat sih. “Lagi galau dek” jawabku jujur.
“Cinta ya?”
Anggukan kepala aku berikan sebagai jawaban. “Galaunya orang kaya karena cinta, galaunya orang susah kayak gue karena takut besok gak bisa makan.” dia menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak adil banget”
“Paham banget kayaknya” cibir ku seraya menatap geli ke arah pengamen cilik itu.
“Pengalaman yang ngajarin gue, bang.” Setelah selesai makan, dia meneguk airnya hingga tandas. Bocah itu menatapku sejenak, sebelum berucap. “Maap ye, bang. Tadi nggak nawarin, orang kaya biasa makannya sandwich, bukan roti sisir”
Setelah itu dia melenggang pergi begitu saja. Aku menatap punggung bocah itu, dia kembali menggenjreng gitar kecilnya seraya bersenandung. Aku jadi ingat Redy, mereka pasti seusia. Redy hidup terjamin dirumah, sandang, pangan, papan tercukupi dengan baik. Sementara banyak di luaran sana anak-anak yang kekurangan.
Aku jadi malu sendiri sekarang, karena nekat bolos hanya karena suasana hati sedang tidak baik-baik saja.
Kedatangan pengamen tadi cukup menghibur, meski sekarang pikiranku kembali melanglang buana. Memikirkan Fiersa yang masih belum memberiku kabar, bahkan pesanku saja tak ada yang dibaca. Juga Kelvin, dia hanya membaca pesanku tanpa membalasnya.
Iseng, aku menelepon Nana dengan panggilan Video.
“Kak” wajah Nana langsung memenuhi layar, “Ada apa? Ini dini hari loh” kata dia.
“Lo belum tidur ya, Na?”
“Belum, habis jemput Kelvin dari club”
“Berulah lagi dia?”
Nana menghela nafas, dia mengangguk. “Semalem papa marah-marah, dia tau Kelvin suka ke club kalo malem dan pulang pagi terus”
“Terus gimana?”
“Besok malam gue sama Kelvin bakalan pulang. Papa takut kelakuan Kelvin bisa merusak citra nya di perusahaan. Jadi ya mendingan di pulangin”
Selama beberapa hari ini, Nana sering curhat kepadaku perihal kelakuan buruk Kelvin. "Terus lo sendiri gimana? Bukan nya kemaren lo pengen Kelvin jangan pulang dulu"
"Nggak tau deh, ntaran lagi dipikirin. Udah dulu ya, kak. Gue ngantuk mau tidur"
“Oke”
-Batas Suci-
Jujur saja, semua terjadi begitu tiba-tiba, saat aku tengah merenung di taman tiba-tiba ponselku bergetar dan nama wali kelas Redy menelepon. Ini bocah kenapa dah, baru masuk sekolah beberapa hari saja, wali kelasnya sudah menelepon.
"Selamat pagi, saya Ainun wali kelas Redy Alfarizi."
"Iya, saya Reno kakaknya Redy"
"Jadi begini, mas Reno. Tadi Redy kesakitan dan sekarang sudah diberi obat dan istirahat di UKS. Bisa mas Reno ke sekolah untuk menjemput Redy? Takutnya dia perlu dibawa ke rumah sakit"
"Baik, bu. Saya kesana sekarang"
Aku tiba di sekolah Redy dalam waktu yang cukup singkat, pikiranku sudah tidak bisa positif lagi mengingat akhir-akhir ini Redy memang sering mengeluh tentang perutnya yang sakit. Sampai disana aku dibawa menuju UKS, dimana Redy tengah berguling-guling di atas bangkar menahan sakit.
“Red!”
“Mas…”
“Redy. Kamu kenapa? Mana yang sakit?"
“Perut ku sakit, Mas”
“Kita kerumah sakit sekarang, ya”
Tanpa kata-kata lagi, aku membopong tubuh Redy dan membawanya keluar. Sialnya, aku menggunakan motor dan bukannya mobil. Kalau menunggu ambulance jelas lama, aku tidak tega melihat wajah adikku yang kesakitan seperti ini lebih lama lagi.
"Red, naik motor nggak apa-apa kan? Tahan ya?"
"Cepet, Mas. Sakit banget ini"
Redy masih mengerang kesakitan, dia bahkan menangis sekarang. “Mas sakit banget perutku”
“Bentar, Red. Mas udah ngebut ini”
Jalanan sore hari macet parah karena bersamaan dengan jam pulang kerja. Aku memaksakan diri untuk menyalip sana sini, ada untungnya juga membawa motor. s****n, kenapa jarak tempuh rumah sakit yang biasanya hanya lima belas menit kini jadi dua puluh menit. Untung saja akhirnya kendaraan roda duaku sampai.
"Sus! Tolongin adik saya!" mungkin karena aku berteriak seperti orang kesetanan, para perawat langsung datang dan membawa Redy masuk ke dalam.
-Batas Suci-
Mama papa pulang setelah aku memberitahukan kondisi Redy, cowok itu tengah tertidur pulas efek dari obat yang diberikan dokter. Dokter juga bilang kalau Redy kena usus buntu dan harus segera di operasi.
“Apa memungkinkan dok kalau saya bawa Redy ke luar negeri agar mendapatkan perawatan yang lebih maksimal?"
"Maaf, Pak. Kondisi pasien tidak memungkinkan untuk di bawa pergi apalagi ke luar negeri. Rumah sakit ini bisa memberikan pelayanan maksimal untuk anak bapak. Tapi sekarang ada yang lebih penting, pasien harus segera melakukan operasi"
"Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dokter."
Mama masih menangis di sampingku, dia syok karena mendapatkan kabar kalau Redy masuk rumah sakit dan sekarang harus melakukan operasi pula. "Ma, udah ya tenang. Redy bukan anak yang lemah, dia pasti kuat"
"Setelah ini mama nggak akan kemana-mana, Ren. Mama akan dirumah nemenin kamu sama Redy"
"Iya, itu keputusan yang baik, Ma"
Papa mengusap wajah kasar, "Pa" panggil ku.
"Maafin, papa, Ren. Gara-gara pekerjaan, papa jadi abai ke kalian berdua." papa duduk di sampingku juga. "Ini jadi teguran buat papa"
Seharusnya aku sedih kan? Tapi entah kenapa aku merasa bahagia mendengar kesadaran yang keluar dari mulut kedua orang tuaku. Dari sakitnya Redy, ternyata ada hikmah yang bisa di ambil. "Lebih baik kita berdoa, agar operasi Redy berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan"
"Makasih ya sayang, kamu udah jadi kakak yang baik buat Redy. Mama berterima kasih banget karena tuhan udah titipin anak-anak baik seperti kalian. Mama sayang banget sama kalian"
"Kita juga sayang sama Mama."
Hari ini juga, Redy akan langsung di operasi, dokter dan para perawat tengah menyiapkan ruang operasi. Mama papa pamit untuk mengurus administrasi di depan. Ponselku bergetar, nama Fiersa ada disana. Aku menggeser tombol hijau, menempelkan benda pipih itu di telinga.
"Reno"
"Hai"
"Sori baru bisa hubungi lo sekarang, gue baru sampai setelah penerbangan dari Korea..se..se..rang.."
Aku mengerutkan kening, "Halo, Fier. Kenapa putus-putus" s****n, jaringan di rumah sakit ini sepertinya buruk. Aku hendak keluar, namun sambungan terputus. Dan kalian tau, itu adalah telepon terakhir dari Fiersa, sebelum akhirnya dia menghilang bak ditelan bumi. Bahkan aku tidak tau dimana dia sekarang berada.