Bagian 12 II Riki Pov

2160 Kata
-Kalian itu seperti Laut dan Langit. Semakin jauh kalian pergi, semakin kalian tidak dapat dipisahkan. Karena hakikatnya kalian adalah saudara- -Batas Suci- Jujur saja, aku tidak suka ketika Nana memuji cowok lain. Katakanlah aku tidak tau diri karna ya, aku siapa gitu loh. Cuma teman, yah bisa dikatakan juga sahabat. Aku juga tidak berhak mengatur mau Nana memuji siapa atau dia menyukai siapa. Tapi gimana, aku juga tidak bisa menahan untuk tidak menunjukan sisi ketidak sukaan ku itu. “Nih, gue nggak suka pangsit” Nana seperti biasa menyodorkan pangsit goreng ke depanku. Siang ini, kita sudah ada di kantin untuk mengisi perut. Sebenarnya hari ini aku cukup lelah, letih, lesu, dan letoy. Bahkan saat upacara tadi aku hampir saja pingsan. Alasannya? karena tubuhku kelelahan setelah perjalanan dari kepulauan seribu. Apalagi, aku kena angin malam laut, beh, mabok, mabok dah tuh. “Na” Kegiatanku memindahkan pangsit terhenti saat sebuah suara muncul dari balik punggungku, aku menoleh dan mendapati kak Arga berjalan mendekat ke arah meja kami. Aku mendengus, please deh, aku sedang tidak ingin bertengkar dengan siapapun hari ini. “Eh, Arga.” “Gue mau kasih jawaban untuk penawaran lo yang liburan kemarin” Nana tersenyum, s**l, manis banget lagi. Aku memejamkan mata, berdoa agar jawabannya adalah tidak bisa. Tuhan, ku mohon, kalau kau mengabulkan doa anak malang ini, maka anak malang ini akan lebih giat datang ke gereja untuk ibadah. “Gue ikut.” SIALAN! Nafsu makan ku langsung menguar. Kali ini Nana bukan hanya tersenyum melainkan terkekeh, argh! Dia cantik banget, ditambah matanya yang berbinar. “Yes! Gitu dong, kan gue nggak nyesel udah ngajak lo. Thanks ya” “Lagian siapa sih yang bisa nolak ajakan liburan youtuber kayak lo” “Dih, basi” Keduanya tertawa, sementara aku hanya memasang wajah cemberut. “Kalo gitu gue duluan ya, kabari kalo ada info atau apapun” “Sip deh, aman” “Duluan, Rik” Aku tak menjawab saat kak Arga menepuk pelan pundakku. Netra Nana menatapku yang sedari tadi memasang wajah datar. Cewek itu menyuapkan kuah soto ke dalam mulut. “Kenapa dah, butek amat tuh muka” “Soto nya asin.” Nana kembali mencicipi kuah sotonya sekali lagi, lantas mengerutkan kening. “Nggak kok, enak gini loh” Hih. Kenapa sih dia tidak pernah peka denganku? “Yaudah, lanjut makan aja kalo enak, gue kenyang.” “Kenyang? Lo baru makan buah satu potong, Riki. Makan atau gue bakalan ngambek seminggu sama lo” Nana kalau sudah mengancam itu tak pernah hanya omong kosong, jadi demi keselamatanku sendiri, aku segera meraih sendok dan garpu, lantas mulai makan. “Nah gitu dong, anak pintar” Nana menepuk kepalaku pelan, lantas melanjutkan makannya. “Na, Rik, kita duluan ya.” Rosa berdiri, diikuti kembarannya yang mengangguk. “Cepet amat lo makannya” cibir Nana menatap nampan si kembar yang sudah kosong. “Ho oh, menu nya enak sih, makanya cepet” kali ini Risa yang menjawab. Setelah mendapatkan anggukan kepala dariku dan Nana, si kembar langsung berjalan pergi menuju tempat meletakan nampan kotor. Aku memiringkan sedikit tubuhku untuk melihat sosok yang tengah makan dengan tenang di belakang Nana. Sosok itu adalah Febia alias Bia. “Na” panggilku sedikit berbisik, Nana menatapku. “Lo jadi temenan sama si Bia?” “Maksud lo jadi temenan itu gimana anjir” “Ya gitu, lo sekarang temenan sama dia” Nana hanya mengangkat bahunya singkat. “Gue sih santai aja, welcome ke semua orang yang mau berteman. Tapi untuk kasus nya Bia, kayaknya dia emang gak niat punya temen deh” Aku memukul Nana, “Apaan sih?!” “Jangan keras-keras b**o! Anaknya di belakang lo tuh” Spontan Nana menoleh, dia dan Bia, saling melakukan kontak mata. Ku lihat Nana tersenyum canggung. “Hai, Bi.” lantas kembali menoleh ke arahku lagi. “Mampus” aku tergelak, sementara Nana menatapku dengan  tatapan kesal. -Batas Suci- Mungkin sudah takdirnya kali ya, entah kenapa aku selalu terjebak di timeline yang sama dengan seorang Febia Anggraeni. Jangan tanya darimana aku tau nama itu karena guru yang tiap pagi mengabsen nama muridnya beserta buntut-buntutnya. Pulang sekolah tiba-tiba Nana diculik oleh Kelvin, oke, sebenarnya bukan diculik karena mereka saudara. Katanya, Kelvin ada urusan yang harus mengikutsertakan Nana. Mereka saat ini sudah pergi menuju bandara, Om Nat menunggu disana. Dan ya, sudah bisa kalian duga kalau aku pulang sendirian. Tapi saat aku baru keluar dari gerbang, netraku tak sengaja menatap seseorang yang tengah berjalan sendirian di trotoar. Aku yakin seseorang itu tengah menuju ke halte. “Bia nggak sih? Iya kayaknya, gue hafal sama ubun-ubunnya si Bia” melajukan motor, berhenti tepat di samping Bia, dia langsung berhenti melangkah. Aku membuka kaca helm, mataku menyipit karena dibalik masker yang aku kenakan, bibirku mengkurva. “Hai” “Siapa?” Heeeehhh? Masa dia tidak mengenali wajahku? Meskipun tertutup masker gitu loh, apalagi kita udah sekelas cukup lama, hitungan minggu. Aku menurunkan masker dan kembali mengumbar senyuman. “Oh..Riki.” “Mau nebeng nggak? Gratis deh gue anterin sampe rumah” “Nana mana?” Bukannya menjawab dia malah bertanya. “Biasanya lo bareng dia terus” lanjut Bia. “Lagi ada urusan sama bapaknya. Jadi, mau nggak gue anterin?” Bia nampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. “Nah, gitu dong. Gue nggak suka penolakan soalnya” aku menyodorkan helm yang biasa dipakai Nana, sementara tadi Nana memakai helm entah punya siapa yang dibawa oleh Kelvin. “Pegangan, Bi! Mau ngebut nih” Mungkin aku hanya salah dengar, tapi dibelakang Bia tengah terkekeh. Dan pernyataan itu ku tepis saat dari kaca spion aku melihat senyum manis yang terukir di wajah Bia, si cewek paling kalem yang beneran kalem. Bia tak membantah, mungkin dia ingat kata-kataku tempo hari saat memperingatkan dia agar pegangan kalau tidak ingin berguling di aspal jalanan. “Pundak aja ya, Rik.” “Iya terserah” Rumah Bia ada di jalan Mas Putih, masuk ke pemukiman warga. Rumah Bia letaknya tak jauh dari jalan raya, rumah minimalis berpagar hitam itu nampak sangat terawat. Setelah sampai, Bia langsung turun serta menyerahkan helm nya kepadaku. Ngomong-ngomong, perjalanan sedikit macet, tapi tak terlalu parah untungnya. “Makasih ya, udah mau nganterin gue” “Nggak masalah kok” “Em.. Rik.” “Ya?” “Gue… boleh minta tanda tangan lo nggak?” hah? “Anu, itu buat adek gue, Fahri, dia ngefans sama lo. Dia juga suka tonton konten traveling lo sama Nana” Entah bagian mana yang lucu, mendengar itu aku langsung tertawa. Bentar, bentar, baru kali ini ada yang meminta tanda tanganku. Bahkan ketika teman-teman lain tau aku seorang youtuber, belum pernah mereka meminta tanda tanganku. Bahkan aku meragukan kalau mereka menonton konten milikku karena yah, pasti mereka lebih suka nonton  konten luar negeri. Aku tidak mempermasalahkannya, toh aku juga sering. Bia entah sejak kapan sudah mengeluarkan buku juga bolpoin. “Kalo tanda tangan di buku udah biasa gak sih, Bi?” “Hah?” Gemas. Aku mengusap kepala Bia pelan, lantas terkekeh. “Lo ada barang kesayangan adik lo itu nggak? Biar gue tanda tangan disana” “Ada sih,.. tapi.. di dalem rumah.” “Yaudah ambil aja, gue tungguin” “Eh? Serius?” Aku mengangguk. “Kalo lo tawari masuk juga gue nggak nolak, haus” terlihat jelas Bia nampak salah tingkah, demi apapun wajah, Bia terlihat semakin imut. “Tapi.. tapi di luar aja ya, di rumah nggak ada siapa-siapa soalnya” “Iyaaa, lagian nggak bakal juga gue apa-apain lo, Bi” “Lo cowok normal kan?” kita berjalan masuk, Bia membuka gerbangnya. Aku mengangguk, pertanyaan denial macam apa itu. “Cowok tulen, Bi” Bia mengangguk. “Kalau cowok, nggak menepis kemungkinan lo bakal apa-apain gue didalem nanti. Kita nggak tau berapa banyak setan yang senang lihat manusia berduaan… duduk dulu. Mau minum apa?” “Nggak usah deh, Bi. Denger ucapan lo tadi gue nggak jadi haus” aku meringis canggung. “Sori, gue banyak bicara ya?” “Nggak kok, justru gue seneng lo sekarang banyak omong daripada diem mulu kek orang lagi sariawan” “Oh, oke. Gue ke dalem dulu” Setelah, Bia pergi, keheningan menyelimutiku, netraku dimanjakan oleh bunga-bunga hidroponik yang Bia tanam. Bahkan aku bisa tau kalau ada pohon anggur hijau di pekarangannya, gila! Bahkan sayur-sayuran seperti lombok dan tomat juga ada. Terdengar sebuah notifikasi pesan, pesan itu dari Nana. ‘Rik, lo dimana? Bisa jemput gue di depan Senayan nggak? s****n, Kelvin tiba-tiba ninggalin gue nih’ “Aduh” aku berdecak, melongok ke dalam rumah, belum ada tanda-tanda, Bia akan keluar dari sana. Tapi, Nana tengah butuh aku. Jadi tanpa pikir panjang aku mendial nomor telepon cewek itu. “Gue kesana, lo jangan kemana-mana” Motorku melesat meninggalkan pekarangan rumah Bia tanpa berpamitan, biarlah, aku bisa minta maaf besok. Menuju ke arah Senayan yang membutuhkan waktu mungkin sekitar lima belas menit. Dari jarak beberapa meter aku bisa melihat Nana tengah berdiri di trotoar. “Nana” “Rik” Nana langsung menghampiriku, dia merebut helm yang belum sempat ku sodorkan. “Gue benci banget sama Kelvin, lo bawa gue pergi deh, Rik, gue males ketemu Kelvin Setan Bagaswara Dajjal Bima” “Heh, heh, bentar. Lo di apain sama Kelvin, kenapa bisa terdampar disini? Katanya tadi mau ke Bandara?” Nana menghela nafas. “Tadi emang beneran mau ke bandara, tapi di tengah jalan Kelvin dapet telepon kayaknya urgent banget. Dia juga sebut-sebut nama Fier.. Fier siapa ya tadi, pokoknya itu, terus dia turunin gue di pinggir jalan.” “Terus lo kesini?” “Naik ojol” “Kenapa nggak sampe rumah langsung?” Nana berdecak. “Gue nggak mau pulang kerumah, mau nginep di rumah lo aja. Atau hotel lah semalam” Aku menggelengkan kepala pelan. “Yaudah naik, ke rumah gue aja” Nana langsung naik, tanpa perlu aku minta cewek itu sudah melingkarkan tangannya di perutku. “Udah makan?” “Belum.” “Oke, makan dirumah aja ya?” “Iya.” Motorku melesat menuju rumah. -Batas Suci- Pukul sembilan malam, aku tengah duduk di ruang keluarga bersama papa dan mama. Sementara Nana tengah bermain di atas dengan Sasa, atau entah sekarang mereka sudah tidur karena selepas makan malam tadi Nana mengeluh ngantuk. “Tumben lantai dua nggak berisik” papa mendongak, menatap pintu kamar Sasa yang tenang. “Udah tidur kali, Pa” jawab Mama yang tengah menyenderkan kepalanya di pundak Papa.  Pemandangan seperti ini sudah sering aku lihat, dan bisa ku jadikan contoh untuk keluarga kecilku kelak. Mau sesibuk apapun suami, waktu untuk istri harus tetap ada. Bercengkrama dengan anak-anak juga perlu. “Nana lagi berantem sama Kelvin ya, Rik?” “Iya, Ma.” Atensi ku masih fokus pada game yang ada di ponsel. “Orang tuanya kemana?” “Biasalah.” “Kasihan ya mereka, besar tanpa di dampingi sama orang tua.” Entah kenapa aku tidak suka saat mendengar Nana di kasihani. Justru orang kayak Nana dan kak Kelvin itu patut dijadikan contoh karena bisa tumbuh besar sendirian. “Nana nggak suka di kasihani, Ma” Tepat saat ucapanku selesai, bel rumah berbunyi, kita bertiga saling tatap. “Siapa malem-malem gini bertamu” “Biar aku aja yang buka, Ma” Aku meletakan ponsel di sofa, lantas berdiri dan menuju ke depan. Sudah bisa ku tebak kalau itu adalah kak Kelvin. Mesku cuek-cuek b*****t gitu, Kelvin sebenarnya peduli sama Nana. “Lo mau cari, Nana?” Dia mengangguk. “Dia dimana?” “Udah tidur” “Biar gue bawa pulang, Rik” Aku menahan tubuh kak Kelvin saat hendak menerjang masuk. “Nggak usahlah, biarin dia disini. Lagian lo nggak kasihan sama dia ntar kebangun ngamuk” Kak Kelvin terdiam sejenak, seperti tengah memikirkan sesuatu. “Nggak, gue mau bawa Nana pulang sekarang” aku tak lagi mencegah, membiarkan kak Kelvin masuk mendahuluiku. Segera setelah menutup gerbang aku berjalan menyusul kak Kelvin. “Rik, si Kelvin mau jemput Nana?” tanya Mama. “Bentar, Ma” aku naik ke atas, aku berhenti tepat didepan kamar Sasa, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Kelvin duduk di samping, Nana yang tengah berbaring memunggungi nya. Cowok itu mengelus surai hitam Nana. “Sori, Na. Gue nggak maksud ninggalin lo” ucap Kelvin dengan suara tertahan. “Ada hal yang nggak seharus nya lo tau, jadi terpaksa gue ninggalin lo. Gue minta maaf” Sial. Aku lebih suka saat melihat kak Kelvin dan Nana bertengkar sambil adu bacot daripada ada di situasi mellow seperti ini. Dan aku yakin, Nana pun berpikir sama denganku. “Na…” panggil Kelvin pelan. “Pulang yuk” Nana bergerak gelisah, perlahan cewek itu membuka matanya. “Kelvin, lo ngapain disini?” “Pulang, lo punya rumah sendiri.” “Hm.. gendong” Kelvin berjongkok, perlahan Nana bangkit dan kembali terkulai di atas punggung kak Kelvin. Mereka berdua keluar. “Sori udah gangguin lo malem-malem gini” “Nggak masalah” Kelvin tersenyum sebelum akhirnya berjalan keluar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN