Bagian 9 II Reno Pov

2183 Kata
-Aku tidak tau kemana hati ini akan berlabuh, pada kamu? Atau justru pada dia?- -Batas Suci- Semuanya terjadi begitu cepat, tiba-tiba saja aku sudah menyetujui untuk ikut liburan ke London akhir tahun nanti setelah mendapatkan tawaran dari Kelvin. Anak itu memang sering banget mengajakku, namun waktunya selalu tidak tepat karena aku harus menemani Redy di rumah. Lagipula, aku belum pernah liburan ke eropa selama 18 tahun terakhir ini. Yah, intinya mah belum pernah wkwk. Suara bu Sri yang tengah menjelaskan tentang Region Complementary atau bahasa gampangnya wilayah yang saling melengkapi dalam Zona Interaksi membuat kelopak mataku tergoda untuk tertutup, suara bu Sri sudah seperti dongeng pengantar tidur. Bukannya aku tak mau berusaha untuk tetap terjaga, tapi apa daya, dari tadi kepalaku sudah terkantuk-kantuk, dan penjelasan bu Sri tidak ada yang masuk di otakku. “Haaaah” aku menguap, kegiatan ini sudah kulakukan sejak tiga puluh menit terakhir. “Gue mau tidur aja ah, ngantuk banget” Kelvin memukul kepalaku menggunakan bolpoin. “Belajar lo, malah tidur” cowok itu menarik kerah bagian belakang ku, memaksaku untuk kembali menegakkan badan. “Yee, gue nggak paham, percuma juga kalo gue dengerin bu Sri,.. haaaahhh” “s****n bau mulut lo!” Kelvin mengibas-ibaskan telapak tangannya, sementara aku tak peduli dan kembali menelungkupkan wajah pada lipatan tangan, bersiap untuk tidur. Tempat duduk ku dan Kelvin yang ada di belakang menguntungkan diriku jika terjebak dalam situasi seperti ini. “Vin” aku memanggil Kelvin dengan suara pelan, cowok itu hanya berdehem. “Fiersa bilang, lo udah putus sama dia, bener?” Mataku masih terpejam, jadi aku tidak tau ekspresi apa yang Kelvin tunjukan saat ini. “Bener.” jawabnya singkat. “Alasannya?” “Emangnya dia nggak bilang ke elo alasan kenapa kita sampai bisa putus?” “Nggak.” Terdengar hembuskan nafas Kelvin pelan, kita masih mengobrol dalam mode suara lirih. Kalau dalam mode suara biasa, sudah pasti akan di semprot oleh bu Sri yang umurnya sudah hampir memasuki kepala lima. “Dia bilang gue nggak bisa dijadikan rumah saat dia lelah. Seenggak nyaman itu dia sama gue" Semalam, Fiersa meneleponku dan berkeluh kesah tentang hubungannya dengan Kelvin yang harus kandas begitu saja. Fiersa bilang dia juga masih sayang Kelvin, tapi rasa sayang dia tak bisa membuatnya bahagia. Fiersa membutuhkan sosok yang bisa dijadikan tempat pulang, bercerita banyak  hal tentang kehidupan dia mulai dari A sampai Z. “Jadi, mulai sekarang udah nggak ada adegan lo ngambek sama gue kalo mergokin gue lagi jalan atau deketan sama Fiersa, kan?” Barulah aku membuka mata, dan tatapanku langsung bertemu dengan tatapan tajam milik Kelvin. Dilihat dari sudut manapun, Kelvin lebih tampan dariku, dia juga pintar, aku tidak ada apa-apanya dibanding dengan Kelvin. “Hm, bebas kalo sekarang lo mau deketin Fiersa atau kalian mau pacaran. Cewek di dunia ini bukan cuma dia doang” jawab Kelvin seraya mengalihkan tatapan. Aku menaikan sudut bibirku, berteman dengan Kelvin cukup lama membuatku tau kalau cowok itu sering membohongi hatinya sendiri. Memasang topeng tebal untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. “Boong nya ketara banget” Aku menegakkan tubuhku, tapi tak lama kemudian berganti dengan menyangga kepala bagian kanan seraya menatap ke arah Kelvin. “Kalo gue beneran jadian sama Fiersa, palingan esoknya gue muntah paku karena lo aji-aji” Kelvin terkekeh, tanpa perasaan cowok itu mendorong kepalaku, untung saja tidak sampai menatap tembok. “Gue nggak se-dramatis itu ya, anjir. Ngapain kirim paku, beling lah, biar kayak limbad” Kita berdua sama-sama tergelak, entah bagian mana yang lucu. “Kelvin! Reno!” Ups, mampus. “Kalian ngobrol sendiri dari tadi, sekarang coba ulangi penjelasan saya tadi” Aku menyenggol lengan Kelvin, “Diem lo!” peringat, Kelvin seraya mendesis seperti ular. Cowok itu berdiri, menatap teman-teman yang saat ini juga tengah menatap ke arahnya. “Halah si Kelvin mah pasti lancar banget tuh, coba Reno—“ “Hust! Diem lo!” Aku melotot ke arah cewek yang duduk didepanku. Kelvin benar-benar menjelaskan, kening bu Sri berkerut-kerut saat mendengarkan penjelasan Kelvin. Setelah lima menit berlalu, Kelvin kembali duduk. “Kelvin, saya belum menjelaskan sampai sejauh itu” katanya dengan bingung. Aku mengulum senyum tipis seraya melirik Kelvin dengan ekor mata. Cowok itu terlihat jelas salah tingkah. Bukan hal aneh saat Kelvin bahkan memahami pelajaran yang bahkan belum dijelaskan. Entah, dulu saat pembagian otak mungkin dia mengantri paling depan. “Yasudah, sepertinya kamu sudah paham. Nah, sekarang Reno—“ “Loh bu, tadi kan sudah di wakili Kelvin” aku tak sadar menyela ucapan bu Sri. “Mana ada yang kayak begitu.” Dengan berat hati aku berdiri, sekarang gantian Kelvin yang menahan senyum di sampingku. s****n! -Batas Suci- “Mas, udah nih” Aku mendongak, menatap Redy yang menenteng kantong plastik berisi tas dan beberapa peralatan sekolah. Mulai minggu depan dia akan mulai masuk kelas 1 SD, sementara tas TK nya sudah tak layak pakai. “Butuh apalagi?” tanyaku, mengambil alih belanjaan Redy. “Makan aja deh, Mas. Laper nih” “Oke” Menggandeng Redy yang tingginya sepinggang ku, anak itu tidak banyak tingkah dan selalu menurut. Bahkan ketika mama dan papa harus pergi keluar kota dan aku ditinggal sendirian di rumah, Redy tidak pernah merepotkanku. “Mau makan dimana? Hokben?” “Boleh deh, Mas” tuh kan, dia tuh tidak rewel. “Bento spesial 4 ya, Mas. Minumnya lemon tea” celetuk Redy setelah kaki kami memasuki area Hokben. Redy berjalan mencari tempat duduk, sementara aku pergi memesan. Lima belas menit mengantri, aku datang dengan nampan berisi makanan. Redy langsung melahapnya tanpa banyak bicara. “Makan yang banyak, Red. Biar cepet gede, nanti kalo mas harus kuliah ke luar kota kamu bisa jaga diri baik-baik dirumah sendirian” Redy, tersenyum simpul. “Mama kenapa nggak mau ambil pembantu aja sih, Mas. Jadi kalo kalian pergi kan aku nggak perlu kerepotan” “Setahu mas, sih, dulu mama pengen jadi ibu rumah tangga aja. Tapi karena papa butuh bantuan mama, makanya sesekali mama di ajak kalo harus pergi keluar kota” “Oh gitu.” Redy menyedot lemon tea nya. “Kalau tau mas Reno mau kuliah diluar kota mending aku sekolahnya nunggu mas Reno aja, biar bisa ikut. Kalo aku dirumah sendirian nanti kalo ada apa-apa siapa yang bakalan jagain aku, Mas” Tanganku tergerak untuk mengusap surai hitam Redy. “Red, kamu tuh cowok. Jadi cowok harus kuat, mandiri dan bisa mengandalkan diri sendiri. Mama, Papa sama mas Reno nggak bisa selalu ada buat kamu” “Haaah, aku iri kadang mas sama Tanu, dia bisa main sepeda, bisa jalan-jalan sama mama nya. Sementara aku—“ “Jangan banding-bandingin hidup kamu sama hidup orang lain, Redy. Banyak loh diluaran sana anak yang pengen ada di posisi kamu.” Aku tidak tau apakah Redy paham akan setiap ucapan yang aku lontarkan atau tidak, semoga anak itu paham deh. Kalau di dunia ini, dia tidak bisa mengandalkan siapapun kecuali dirinya sendiri. Semakin dewasa, dia akan sadar kalau dunia ini keras. Yang lemah tidak akan pernah bisa bertahan. Dua puluh menit, aku dan Redy selesai makan. “Habis ini mau kemana lagi? Mumpung lagi di Senayan City nih.” “Mas, itu mbak Fiersa!” Spontan aku menoleh, mendapati Fiersa melintas di samping tempatku dan Redy. “Ayo, Red!” Aku menarik lengan Redy agar cepat berdiri. Berjalan cepat mengejar Fiersa yang tengah berjalan sendirian. “Fiersa!” Cewek yang saat itu memakai rok selutut serta blouse berwarna abu-abu menoleh. “Reno, Redy” “Mbak Fiersa sendirian?” pertanyaan retoris dari Redy. Ya jelaslah Fiersa sendirian, orang tidak ada siapa-siapa di samping cewek itu. “Iya, Red” “Lo mau kemana?” tanyaku. “Jalan-jalan aja sih, dirumah juga suntuk banget nggak ada temen” “Mas, ajak mbak Fiersa ke Timezone aja yuk! Aku sekalian mau main” Redy menarik ujung hoodieku. Fiersa menaikan alisnya seraya tersenyum. “Itu mah mau nya kamu aja, kan, Red?” “Hehehe, iya, Mbak” “Yaudah, yuk” putus ku. Fiersa berjalan di samping kanan, sementara aku disamping kiri dan Redy di tengah. Kenapa aku merasa seperti keluarga kecil yang tengah berjalan-jalan di mall. Ah s****n! “Udah lama lo disini?” tanyaku seraya berjalan menuju Timezone. “Lumayan sih, tadi sempat mampir ke toko sepatu, tapi nggak ada yang cocok.” Fiersa menatapku, wajahnya yang pucat tetap cantik seperti biasa. Senyumnya manis dan selalu membuatku deg degan. “Lo sendiri udah lama disini sama Redy?” “Hm. Tadi nemenin Redy beli tas sama peralatan sekolah, terus mampir makan” Akhirnya kami sampai di lantai lima tempat timezone berada. “Nih, main aja” aku mengangsurkan, Powercard yang sudah aku isi saldonya. Sementara aku dan Fiersa duduk di salah satu tempat duduk yang ada di sana. “Lo baik-baik aja kan?” pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Fiersa mengangguk. “Yep, baik-baik aja kok” “Udah move on dari Kelvin?” Fiersa tertawa. “Reno, Reno, nggak semudah itu ngelupain Kelvin, Ren. Apalagi dengan hati gue yang masih sepenuhnya buat dia” jawabnya santai. “Oh iya, Ren. Gue udah mutusin akan pergi ke Korea buat jenguk mama. Cuma masih cari waktu yang pas aja” “Bagus deh kalo lo dengerin saran dari gue. Kita udah sahabatan dari lama, Fier. Dan selama ini gue nggak pernah suka lihat lo murung terus” “Iya juga ya, kita udah sahabatan dari SMP loh” Dari SMP juga aku suka sama kamu, Fiersa! Sayang nya kamu nggak peka dan malah milih Kelvin buat kamu jadiin pacar. Sayang sekali kalimat panjang itu hanya bisa aku katakan dalam hati, netra Fiersa menatap Redy yang sibuk bermain sendirian, jelas anak itu keseruan karena jarang keluar rumah dan main seperti ini. -Batas Suci- Entah hanya perasaanku saja atau tingkah Nana begitu aneh malam ini. Bukan sesuatu yang aneh saat aku menginap di rumah Kelvin. Mama dan papa pulang lebih cepat dari yang dijadwalkan sehingga Redy punya teman dirumah. “Lo ngapain sih mondar mandir kayak orang gila? atau jangan-jangan p****t lo bisulan?” Kelvin menatap Nana dengan tatapan bete. Sudah jadi rahasia umum kalau mereka berdua jarang sekali akur, kecuali ada maunya. “Yee, serah gue  dong, kaki, kaki gue juga. Lagian, lo ngapain bahas p****t di depan kak Reno sih?” balas Nana yang tak pernah takut pada Kelvin. Justru cewek itu memasang wajah nyolot. Saat ini aku dan Kelvin tengah bermain game di ruang keluarga, tante Salma dan om Natan sudah berangkat ke luar negeri entah kapan hari, aku tidak tau. Yang pasti, di rumah ini hanya ada dua bersaudara itu juga satu pembantu. “Vin, gue laper nih” Nana menjatuhkan tubuhnya di sofa seraya mengelus perut. Nana itu, punya pipi yang bisa dikatakan chubby, tubuhnya ideal dengan beberapa bagian yang berisi. Ehem, kalian tau lah ya maksudku gimana. “Minta makan ke bibi sana” “Pengen sate” Kelvin meraih ponsel yang ada di sampingnya, lantas melempar ke arah Nana begitu saja sebelum akhirnya kembali fokus ke permainan. “Telepon Riki, minta dia buat temenin lo beli sate” Bukannya menuruti kemauan Kelvin, Nana justru semakin cemberut. Game over. Aku menatap layar, s****n, gara-gara sibuk mengamati Nana aku jadi kalah dari Kelvin. “Jiakh! Kalah lo” tak mengindahkan ejekan Kelvin, aku mendekat dan duduk di samping Nana. “Na, gue anterin beli sate, mau?” Wajah Nana melongo, dia menatapku sebentar. “Serius nggak apa-apa, kak?” “Nggak apa-apa lah, kan gue yang nawarin” “Boleh deh” Aku berdiri seraya menyambar kunci motor, Nana juga langsung berdiri. “Gue anterin adek lo dulu.” Kelvin memberikan anggukan kepala, tapi bola matanya mengerling ke arah Nana seakan memberi kode atau apalah yang tidak aku pahami. Nana membuka gerbang. “Na, mau kemana lo?” Aku dan Nana kompak menoleh, mendapati Riki yang berdiri tak jauh dari tempat pembuangan sampah, sepertinya cowok itu selesai membuang sampah. “Keluar bentar, cari makan.” “Sama kak Reno?” tanya Riki retoris. Jelas sekali kalau aku tengah bersama Nana sekarang. “Iya” “Oh” hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Riki sebelum akhirnya dia masuk ke dalam rumah. “Ayo, Na” Nana tersadar dari lamunan nya, lantas mengangguk. Cewek itu segera menutup kembali gerbang sebelum akhirnya naik ke atas jok motorku. Tidak jauh sebenarnya, di depan perumahan juga ada yang jual sate. Kebetulan, aku juga tinggal di kawasan Senopati, hanya beda blok dengan Nana. Entah ini aku yang terlalu peka atau gimana, perubahan raut wajah Nana jelas sekali terlihat. Dari yang tadinya antusias kini berubah jadi lebih pendiam. Cewek yang saat ini tengah duduk di kursi plastik berwarna biru itu bengong. “Bengong mulu, kesambet loh, Na” Aku sedikit menarik ujung rambut panjangnya, membuat Nana menoleh. “Apa iya Riki marah sama gue, kak?” “Loh, marah kenapa emangnya?” Nana mengangkat bahunya. “Ya.. gara-gara gue pergi sama lo. Biasanya gue kalo pergi sama dia kemanapun, 24 jam selama seminggu, dia selalu siap nganterin” “Waduuuh, udah sedekat itu ya kalian?” Nana mengangguk dengan polos. “Gue bahkan udah tidur bareng sama dia” Anj!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN