-Ketika aku menginginkan hidup seperti orang lain, tanpa sadar ada orang lain juga yang menginginkan bisa hidup sepertiku-
-Batas Suci-
Lahir dan besar ditengah-tengah keluarga pebisnis membuat jiwa pebisnis yang ada didalam diriku perlahan bangkit. Mulai dari kakek, om, papa, mama, semua dari keluarga pebisnis. Mama sejujurnya juga pebisnis, dulu mama join di perusahaan keluarga, namun setelah menikah mama memutuskan untuk berhenti dan jadi ibu rumah tangga.
Tak sampai setahun, mama kembali membuka bisnis marketplace dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi belanja online untuk berjualan. “Sayang banget kalo bakat mama dibiarin gitu aja, Ga. Jadi orang tuh harus produktif, yah, meskipun uang bulanan dari papa lebih dari cukup.” kata mama waktu itu saat aku membantu mengawasi proses pick up barang yang akan di antar ke customer.
“Punya bisnis itu enak loh, Ga. Meski ada up and down nya, tapi seru aja gitu. Selalu ada hal baru, tantangan baru, bisnis membuat mama jadi bisa berpikir kreatif serta inovatif. Biar nggak kalah saing sama orang-orang”
“Iya kalo orangnya punya jiwa bisnis dan suka, kalau enggak ya gak seru, Ma. Mereka pasti bakal lebih milih jadi karyawan kantor dan nikmati gaji sebulan sekali”
"Apa enaknya hidup seperti itu."
Beda dengan aku ataupun mama dan papa, adikku, Agra, dia paling anti sama yang namanya bisnis. Meski seringkali papa dan mama menghasut Agra agar mencintai bisnis, tetap saja anak itu tidak akan peduli. Dia punya jalan hidup sendiri.
“Mungkin untuk sekarang aku nggak akan bantah ucapan mama sama papa, kak. Tapi suatu saat, kalo aku udah memutuskan, siap nggak siap aku bakalan ngomong ke papa sama mama kalau aku punya cita-cita. Dan itu bukan jadi pebisnis”
Aku dan Agra memang tak begitu dekat, namun tak begitu jauh juga. Deep talk yang kami lakukan biasanya sambil main game ataupun belajar bersama. Kita tidak perlu meluangkan waktu untuk deep talk dengan sengaja.
Menutup lembaran kartu stock yang tengah aku input, netraku menatap layar ponsel yang menyala, ada panggilan dari Nana.
Lelahku seketika langsung sirna.
Menggeser tombol hijau, aku menempelkan benda pipih itu di antara telinga dan pundak. “Ya, Na?” sementara tanganku kembali sibuk dengan kertas-kertas yang berserakan di meja.
“Gue ganggu lo nggak?”
“Enggak, ada apa emangnya?” sesibuk apapun aku, Nana tidak pernah menggangguku. Karena mendapatkan telepon darinya saja adalah sesuatu hal yang aku tunggu-tunggu.
“Akhir tahun, gue sama trasquad mau traveling ke London. Dan gue tiba-tiba kepikiran sama lo, tertarik untuk ikut?”
Plak!
“Anjir, sakit, nggak lagi mimpi ternyata” monolog ku, pasalnya, tidak ada angin, tidak ada hujan Nana menawariku untuk ikut liburan bareng. Gila, gila! Itu artinya aku bisa pedekate sama Nana disana nanti!
Dan dia bilang apa tadi? Tiba-tiba kepikiran sama aku? Ciaaaa!!! Aku tak bisa menahan senyum yang langsung mengkurva pada bibir tipisku.
“Ga? Lo masih disana kan?”
Aku melepaskan kacamata baca, lantas berdiri dan beranjak dari meja belajar menuju ranjang. Merebahkan tubuh disana, menikmati merdunya suara Nana bersamaan dengan rasa lelah di tubuhku.
"Arga, halo?"
“E-eh, iya, iya, gue masih disini. Kaget aja tadi tiba-tiba lo ajakin liburan” jawabku dengan gugup. Tanganku tanpa sengaja meremas seprai ranjang, kenapa aku mendadak jadi salah tingkah seperti ini.
“Jadi gimana, lo mau ikut nggak?”
“Em.. gue nggak bisa janji, Na. Harus izin dulu ke mama sama papa, biasalah mereka kan tipe strict parents."
“Oh gitu, oke. Gue tunggu kabar baiknya aja kalo gitu”
"Oke"
Sambungan telepon ditutup begitu saja tepat saat pintu kamar terbuka dan kepala Agra nyembul disana. Aku yang kaget langsung mengangkat kepalaku hanya untuk menatap wajahnya yang lempeng itu. Agra itu, tipe cowok dingin yang ada di n****+-n****+. “Dipanggil sama papa di ruang kerjanya” kata dia menyampaikan pesan.
Sebelum aku menjawab, Agra sudah menutup kembali pintu ku. Tanpa mengulur waktu aku segera beranjak, menuju meja belajar untuk mengambil laporan keuangan, laporan sisa barang juga lembaran PO sebagai lampiran atas pemesanan barang ke supplier minggu lalu.
Ruang kerja papa ada di sudut ruangan lantai dua, di samping kanan nya ada kamar mama dan papa, lalu kamar Agra dan setelah itu kamarku. Rumah berlantai dua ini di d******i oleh warna putih, lalu tangganya berwarna perak.
Kenapa aku jadi mengoceh tentang interior rumah yang sebenarnya tidak penting?
Memasuki ruang kerja papa yang diterangi lampu led, aku duduk di sofa yang ada disana. “Udah selesai, Ga?”
“Udah, Pa. Semua lapo—“
“Maksud papa udah selesai kamu ngerjain tugas sekolahnya?”
Menelan saliva dengan kasar, aku menatap papa yang masih fokus menatap layar komputernya. “Belum. Arga, baru selesai ngerjain laporan minimarket yang ada di jalan Patimura.”
Jemari papa yang tengah menari diatas keyboard berhenti, netra dibalik kacamata itu menyorot ke arahku dengan tajam. “Kamu ini siswa, Ga. Seharusnya tau mana yang harus di prioritaskan, antara pekerjaan dan sekolah.”
Diam selama beberapa saat, papa kembali melanjutkan ucapannya. “Tinggalin laporannya disitu, sekarang kamu kerjakan tugas sekolahmu. Papa nggak mau lihat nilaimu turun semester ini.”
“Iya”
Keluar dari kamar papa, aku disambut wajah sinis Agra yang tersenyum miring ke arahku. “Mau-mau nya jadi b***k, papa.” cemooh dia, sebelum melenggang pergi menuju kamarnya.
Tuh anak mulutnya sesekali memang minta di sentil. Bukannya menghibur kakak nya yang lagi badmood, dia justru semakin memperkeruh suasana hatiku.
Aku menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan. Selama ini, aku tidak pernah mengeluh tentang sikap papa. Jam 6 tadi, papa memberiku data-data dari salah satu minimarketnya, dia bilang agar aku menginput semuanya dan harus selesai sebelum jam 8 malam.
Sementara tugas sekolahku juga numpuk.
Tapi, deadline tugas sekolah kan masih besok, jadi bisa dikerjakan setelah mengerjakan laporan. Dan sekarang, papa menegur ku. Apa yang harus aku lakukan? nothing! Melangkahkan kaki masuk kembali ke kamar, aku duduk di kursi belajar, menatap tumpukan buku ekonomi dan akuntansi yang ada disana.
Ketukan pintu membuat kegiatanku yang hendak membuka buku terhenti, mama masuk dengan nampan berisi s**u hangat dan beberapa camilan buah.
“Lagi belajar?”
“Belum, Ma. Baru mau mulai”
Mama mengelus surai hitamku yang mulai tumbuh memanjang. “Weekend potong rambut ya, udah mulai panjang”
“Iya, Ma, kalo ada waktu”
“Sempetin dong, Ga”
Aku menatap mama yang masih setia mengkurvakan bibirnya. “Ma” Aku menjeda panggilanku, memikirkan rangkaian kata selanjutnya yang hendak aku sampaikan ke mama. “Em, kalo semisal akhir tahun Arga ke London boleh nggak?”
Mama mengerutkan keningnya, menatapku dengan penuh tanda tanya. “Ngapain ke London?”
“Liburan.”
“Tau kan, di rumah ini keputusan ada di siapa?”
“Papa”
“Jadi?”
“Harus izin sama papa”
Jemari Mama menangkup wajahku, “Asal kamu bisa dapetin nilai tinggi dan semua pekerjaan kamu selesai dengan baik, mama yakin papa pasti kasih izin. Jadi, kalau mau liburan nanti, sekarang Arga harus sedikit kerja lebih keras, oke?”
Aku mengangguk. “Makasih, Ma. Tumben mama nggak ngeselin kayak biasanya”
Mama terkekeh. “Mama juga tau waktu, Ga. Udah ah, sekarang belajar dulu, jangan lupa di minum susunya”
Setelah mama keluar, aku kembali memikirkan ucapan mama, kalau mau liburan nanti, sekarang harus kerja keras. Haaah, segitu banget ya? Padahal anak-anak seusiaku bisa bebas kemanapun mereka mau.
-Batas Suci-
Pukul enam lewat lima belas menit aku turun, di ruang makan sudah ada Agra yang sibuk dengan komiknya, sementara papa sibuk dengan membaca koran, juga mama yang tengah menyiapkan sarapan. Acara sarapan bersama ini sudah seperti tradisi di keluarga. Kata papa, meski sebentar sarapan bareng itu banyak manfaatnya. Karena kesibukan masing-masing, hanya di meja makan saat sarapan inilah waktu untuk berkumpul keluarga.
Mama mengisi piring-piring dengan nasi, sementara papa masih fokus membaca koran dengan secangkir kopi di salah satu tangannya.
“Udah, Ma, cukup” Agra mencegah mama saat hendak menambahkan sayuran ke dalam piringnya. Sialnya, papa yang peka langsung menatap ke arah Agra.
“Kamu tau, berapa banyak orang diluaran sana yang kena penyakit cuma gara-gara nggak mau makan sayur, Gra?”
Agra menggeleng lemah. “Makan. Papa nggak mau sampai kamu penyakitan karena kurang zat besi dari sayur” setelah mengatakan hal itu, papa kembali sibuk dengan korannya. Agra menatap mama dengan pandangan memohon.
“Dikit aja, ya?” bujuk mama, Agra yang udah pasrah mengangguk lemah.
Acara sarapan pagi ini seperti biasa, tenang dan khidmat. Lima belas menit kemudian aku menandaskan sepiring sarapan dan segelas s**u. “Oh iya, Ga. Kamu udah kelas 12, semester depan mulai les ya. Papa udah ada beberapa tempat les yang bagus buat kamu.”
Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan yang mau tak mau harus ku ikuti. Papa memang selalu seperti itu, memperlakukan aku dan Agra seenaknya. “Iya” hanya itulah jawaban yang bisa aku berikan kepada papa tanpa banyak protes.
“Agra gimana, betah sama sekolahnya?”
“Betah kok, Pa. Fasilitas sama pembelajarannya juga bagus, sangat bagus malah. Temen-temen nya juga seru, banyak kegiatan yang bisa Agra ikuti”
Senyum papa melengkung, “Nggak salah kan, papa masukin kamu kesana, banyak anak yang pengen masuk kesana tapi gak bisa, Gra. Kamu yang punya kesempatan harus dimanfaatkan dengan baik”
“Iya, Pa. Agra paham.”
“Yaudah, sekarang kalian berangkat, udah siang daripada nanti telat” mama menyela, aku dan Agra memang berangkat bersama. Sekolah Agra ada di jalan Patimura, tidak terlalu jauh dari rumah.
Sepuluh menit, aku sampai di depan SMP Bhakti Mulia tempat Agra mengenyam pendidikannya. Dia turun.
“Makasih”
“Eh!” selaku saat Agra sudah melenggang pergi. Cowok itu menoleh ke arahku. “Itu helm nya mau lo bawa masuk?”
Tangan Agra meraba kepalanya, lantas meringis. Agra kembali berjalan ke arahku, lantas menyerahkan helm kepadaku. “Lupa—“
“Agra!”
Kami berdua kompak menoleh, seorang gadis muda yang usianya kira-kira sama dengan Agra baru turun dari mobil dan langsung berlari ke arah kita. “Aku duluan, kak” Agra dengan setengah berlari segera memasuki area sekolah sebelum gadis itu sampai.
“Ih, kok malah lari sih”
“Heh, lo siapa?” tanyaku bingung pada cewek yang berdiri tak jauh dariku. Rambutnya di pasangi bando berwarna pink, khas gadis-gadis manis. Tapi kenapa Agra harus lari saat gadis itu mendekat? Pasti ada yang salah kan?
“For god sake! Kenapa dunia penuh sama orang-orang tampan! Kan aku jadi bingung.”
“Gak waras nih cewek.” tak mau membuang-buang waktu, aku langsung tancap gas menuju SMA Bina Jakarta. "Semoga Agra nggak perlu deket-deket sama cewek modelan begitu"
-Batas Suci-
“Ga, udah makan belum?”
“Arga, jalan yuk weekend?”
“Ga, lagi ada film bagus, nonton yuk, aku bayarin deh”
“Malming jalan sama gue ya, Ga?”
Baru saja kakiku menginjak lantai koridor, cewek-cewek agresif itu sudah mengerubungiku layaknya semut yang mengerubungi gula. Aku tau, aku tampan, tapi tak setampan itu sampai harus jadi objek ke agresif an cewek-cewek gak jelas itu.
“Mi-minggir, gue sibuk, gue nggak ada waktu” aku berusaha melepaskan diri dari mereka, namun agaknya mereka tak mau mendengarkanku dan terus menempel padaku hingga langkah kakiku saja terasa berat. Oh tuhan, aku bukan artis!
“Ehem!” suara deheman itu membuat langkah kakiku terhenti. Dan kerumunan yang tengah mengerubungiku juga ikut berhenti lantas menoleh dengan kompak. Di sana ada Kelvin dan Reno yang tengah kami semua dengan datar.
“Gue mau ngomong sama Arga” ucap Kelvin, cewek-cewek yang ada di sekelilingku mendengus tak suka, lalu bubar begitu saja. Akhirnya aku bisa bernafas lega setelah mereka semua pergi.
“Thanks ya, Vin”
“Famous banget lo di kalangan cewek-cewek Bina”
Bukan Kelvin yang menjawab melainkan Reno, aku tersenyum canggung. "Ya, as you see it. Haha"
Reno tersenyum tipis, mungkin jawabanku terlalu garing.
“Lo mau ngomong apaan?” tanyaku pada Kelvin setelah berbasa basi sejenak.
“Soal liburan. Kita butuh kepastian lo, karena traveling butuh perencanaan. Gue sama Nana juga Riki perlu pesan tiket dan booking penginapan."
"Wow. Butuh budget banyak nih" tanggapan ku, terkekeh canggung.
"Gue niatnya mau sewa kayak villa gitu, rencana nya biaya tinggal sama tiket mau kita bayarin, tapi setelah di rinci lagi, budget nya overload banget. Yah, akhirnya tiket pesawat bayar sendiri-sendiri"
Perjelas Kelvin panjang lebar, aku menghembuskan nafas kasar. Sebenarnya, aku tidak masalah jika harus mengeluarkan uang untuk liburan kali ini, asal ada Nana itu cukup bagiku. Tapi permasalahannya bukan terletak pada biaya, melainkan pada izin dari papa yang belum turun.
“Gimana ya, Vin. Gue sih mau-mau aja ikut, cuma kesibukan gue disini kayaknya susah buat di tinggal. Gue juga belum izin ke bokap” aku menatap Kelvin yang masih diam. “Emangnya siapa aja yang ikut selain gue?”
“Ya gue, Riki, Nana sama Reno sih. Kalo lo ikut jadi berlima”
“Kasih gue waktu sampai besok deh”
“Oke, gue tunggu kepastian lo, Ga” Kelvin menepuk pundakku sebelum melenggang pergi.
“Lumayan banget bisa liburan bareng youtuber, Ga. Hahaha, apalagi ada Nana, kalo gue nggak salah menyimpulkan, lo suka kan sama dia?” Reno tersenyum miring ke arahku lalu mengekor di belakang Kelvin.
Melanjutkan langkah menuju kelas. Pikiranku tersita oleh ajakan Nana dan Kelvin untuk ikut liburan bareng. Sumpah demi apapun, aku ingin sekali ikut, tapi kalian tau sendiri gimana papa. Haaah, dilemanya diriku ini.
Oh iya, fyi aja, aku, Kelvin dan Reno ada di kelas yang sama. Kita tidak terlalu dekat, sesekali aku dan Kelvin terjebak satu kelompok di salah satu mata pelajaran.