Bagian 10 II Nana Pov

2034 Kata
-Sepertinya aku akan mengikutimu, berkeliling dan menempel padamu- -Batas Suci- Sumpah ya! Aku tidak tau alasan kenapa aku harus berdiri di luar rumah Riki pukul 11 malam seperti ini. Dari tadi  perasaanku tak enak, apalagi melihat dia yang sepertinya bete berat padaku. Riki itu, jarang sekali bersikap seperti itu padaku. Selama ini yang aku tau, dia selalu ceria dengan cengiran lebarnya. Jadi kalau ada sedikit perubahan, aku pasti akan langsung  merasakannya. Apa iya dia bete hanya gara-gara aku pergi dengan kak Reno untuk beli sate? Kalau cuma gara-gara itu, fiks Riki kekanak-kanakan. Tapi lebih kekanak-kanakan aku yang malam-malam begini malah menyatroni rumah cowok itu dengan dalih ingin meminta maaf. Padahal, mana ada cewek normal yang bertamu ke rumah cowok pukul sebelas malam?  Terdengar suara sandal yang beradu dengan lantai. Aku mendongak, mendapati Riki berjalan ke arahku dengan muka kantuknya. Yep, aku sengaja tidak memencet bel, takut akan membangunkan seluruh isi rumah. Karena tujuanku kemari itu Riki, jadi biar lebih efisien aku menelepon nya. Cowok bercelana kolor dengan kaos hitam itu membuka gerbang, menyandarkan kepalanya disana. s**l, melihat raut wajah Riki malah mendatangkan rasa sesal karena sudah mengganggu jam tidur dia yang tidak seberapa itu. “Masuk aja lah, Na. Nggak enak banget ngomong di luar malem-malem gini” Aku mengangguk, melangkah masuk ke rumah Riki sementara sang empu masih menutup gerbangnya kembali. “Nana” aku menoleh, mendapati tante Olin yang baru saja menutup kulkas berjalan ke arahku. “Tumben malem-malem kesini.” “Iya, Tan. Ada deadline video Nana yang masih di Riki, mau minta direvisi dikit” “Oh, gitu” “Iya, Nana ke atas dulu ya, Tan” “Iya, iya” Melangkah menaiki anak tangga, samar-samar aku mendengar obrolan Riki dan tante Olin. Tapi menguping bukan kebiasaanku, setelah masuk ke kamar Riki aku tak lagi mendengar obrolan mereka. Netraku menemukan satu komputer dan satu laptop menyala di mejanya, dugaanku, Riki tadi sempat lembur mengedit  video, setelah itu dia ketiduran dan aku membangunkannya. Tak lama Riki muncul, tak lupa dia menutup pintu dan menguncinya. “Apaan” kata dia dengan suara serak, berjalan menuju ranjang dan berbaring disana. Sementara aku yang masih duduk di sampingnya memutar tubuh sembilan puluh derajat menghadap ke arah Riki. “Rik, lo kenapa cuekin gue?” “Hm?” “Lo kenapa cuekin gue, kenapa?” Riki menarik lenganku, membuatku jatuh dan berujung berbaring di sampingnya. Dia memberikan lengannya sebagai bantalan. Aku bisa mencium aroma natural badan Riki, wangi sabun dan sedikit asem. Tapi entah kenapa, wangi itu selalu membuatku merasa aman dan nyaman. “Nggak ada yg cuekin lo, Na. Gak usah di pikirin deh” “Terus kenapa chat gue, telepon gue nggak lo angkat? Lo kayak gini gara-gara gue pergi sama kak Reno? Iya kan?” Terdengar kekehan yang keluar dari mulut Riki. “Kenapa lo jadi bertingkah kayak pacar yang lagi bujuk cowok nya biar nggak ngambek?” “s****n! Gue serius ya anjir” Kesal, itulah yang aku rasakan sekarang. Bagaimana bisa Riki bersikap semenyebalkan itu. Dia selalu bercanda sementara sesekali aku berucap serius. “Kalo gue bilang nggak kesel, boong banget. Karena nyatanya gue kesel pas lihat lo pergi sama kak Reno. Gimana ya, Na. Selama ini lo selalu bergantung sama gue, bahkan lo mengabaikan keberadaan Kelvin karena lo punya gue.” “Rik. Gue cuma laper dan pengen beli sate. Kebetulan ada kak Reno dan dia nawarin buat nganter. Yaudah gue iyain.” “Kenapa nggak telepon gue?” Skakmat. Aku terdiam beberapa saat, menatap manik mata Riki dalam remang cahaya kamar cowok berusia 16.5 tahun itu.  Sebelum membuka mulut, aku memikirkan kembali jawaban apa yang sekiranya pantas untuk ku lontarkan. “Yaa.. lo tau sendiri gue nggak mau ribet.” “Oh, jadi sekarang buat sekedar telpon gue itu ribet?” “Bukan gitu, Rikiiii” gemas, aku memukul-mukul tubuh Riki yang malah terkekeh disampingku. Cowok itu menggenggam erat kedua kepalan tanganku, lantas mengecupnya singkat. “Udah ya, nggak usah dibahas lagi. Lagipula, kekesalan gue udah ilang sekarang.” “Janji nggak akan bete lagi sama gue?” “Iya.” “Besok masih mau jadi tukang ojek gue kan? “Hm.” “Terus masih mau traktir gue makan kan?” “Iya, Nanasayaaang” Riki memelukku, aku membalas pelukannya. Degup jantung Riki terdengar begitu menenangkan. “Lo degdegan Rik?” “Diem. Jangan bikin gue khilaf, Na. Mending lo tidur sekarang” Tak mau membantah ucapan Riki, akhirnya aku menutup mata dan mulai menuju alam mimpi. -Batas Suci- Sumpah ya, si Riki menyuruhku pulang dini hari. Dan sekarang aku tidak tau jam berapa karena setelah dari rumah Riki aku kembali melanjutkan tidur. Suara alarm yang sepuluh menit lalu berbunyi kini kembali berbunyi nyaring membuatku mau tak mau langsung terjaga. Pukul setengah tujuh pagi! “Aaaaa k*****t, k*****t! s****n gue telat!” melompat turun dari ranjang dan bergegas mandi. Sumpah, tidak ada ritual mandi ala-ala, aku mandi hanya asal basah. Sepuluh menit cukup, aku keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di tubuhku. Acara memakai seragam dan memoles bedak tipis hanya membutuhkan waktu sepuluh menit. Sangat kilat. Menyambar tas yang ada di kursi, aku segera keluar kamar seraya mencepol rambut asal-asalan. Sampai di anak tangga paling bawah, netraku tak sengaja menatap Kelvin yang tengah duduk santai menikmati sarapan paginya dengan kolor dan t-shirt putih. “Woy! Kok lo masih dirumah?” Kelvin menoleh. Dia menatapku dengan heran. “Lo mau kemana anjir?” kok dia malah tanya kemana sih? Jelas-jelas aku pakai seragam sekolah gini loh. “Sekolah lah, nggak lihat gue pake seragam gini?” “Pffttt! Sadar, Na! Sekarang hari minggu! Lo ngapain mau ke sekolahan. Bersih-bersih?” Hah? Aku merogoh saku rok, mengambil ponsel dan melihat hari serta tanggalnya. s****n. Kelvin benar kalau sekarang adalah hari minggu. Kenapa aku bisa lupa? “Kok gue bisa lupa?” “g****k sih” Aku mencibir, berjalan mendekat ke arah meja makan dan duduk pada salah satu kursinya. Bibi menawariku sarapan, dan aku mengiyakan. Menyambar satu buah apel yang ada di atas meja, aku mulai menggigit apel tersebut. Sementara mulutku sibuk mengunyah, jariku sibuk menggulir feed insta. “Tumben nggak ada endorsan” gumam ku. “Kenapa? Udah mulai miskin lo?” “Ck. Gimana mau miskin kalo subscriber youtube kita terus meningkat tiap harinya.” jawabku, sedikit sombong. “Eh, Vin, udah banyak yang nanyain kapan upload video traveler lagi nih.” “Main yuk, hari ini. Ke… kepulauan seribu? Mayan nggak?” usul Kelvin di tengah acara sarapannya. Bibirku melengkung sempurna, kenapa nggak kepikiran sampai sana ya? Lagipula, kita bertiga juga sudah jarang pergi liburan karena kesibukan masing-masing. “Good idea, Kelvin! Gue telepon Riki bentar” Tak susah mengajak Riki untuk pergi karena cowok itu gampang sekali ajakannya, selagi ada aku disana, Riki pasti mau. Bibi membuat beberapa bekal untuk kami makan di perjalanan nanti. Tidak ribet, hanya beberapa potong sandwich plus beberapa potong buah juga berry. Karena diantara kita bertiga yang sudah punya sim hanyalah Kelvin, jadi cowok itu yang akan menyetir mobil menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Dari sana kita rencananya akan naik kapal PELNI. “Perjalanan ke kepulauan seribu nya berapa jam sih?” tanya Riki yang duduk di samping kemudi. Kelvin mengendarai mobil dengan kecepatan 60 km/perjam. Kami berangkat pukul tujuh lewat lima belas menit. “90 menitan.” “Tujuan kemana?” tanya Riki lagi. “Pulau pelangi. Karena cuma sehari, kita nggak bisa lama-lama disana. Padahal mah, pulaunya banyak” jawabku yang duduk di belakang bersama tiga daypack berwarna abu-abu. Kita membeli daypack ini saat ada di diskon di Senayan City. Riki memegang pipiku dengan gemas. “Makanya jangan mendadak kayak gini dong ngajaknya” Aku menepis tangan Riki. “Ya udah nggak usah pegang pegang juga, Rik.” “Apaan, orang semalem pas gue pegang-pegang aja lo nggak masalah” Aku tau Kelvin menatapku dari kaca tengah mobil, menjatuhkan tubuh pada sandaran, aku menatap ke arah samping mengabaikan tatapan tajam milik Kelvin yang sesekali menghujam ke arahku dengan penuh peringatan. “Ehem.” Kelvin berdehem untuk mencairkan suasana. “Btw, Vin. Bukannya semalem kak Reno nginep? Kok pas gue bangun dia udah nggak ada?” aku membelokan pembicaraan setelah mendapatkan kode dari lirikan mata Kelvin. “Udah pulang pagi-pagi, katanya Redy telpon nyuruh dia pulang” -Batas Suci- ‘Hai guys. Tebak gue sekarang lagi dimana? Taraaa!!!’ Kamera yang aku pegang menyorot ke arah laut lepas, tak lama kembali menyorot wajahku. Biasalah, aku membuat opening vlog untuk ku upload di youtube nanti.  ‘Gue sama yang lain, mau ke Kepulauan Seribu untuk mengisi waktu luang. Sori banget, ya, guys akhir-akhir ini jarang upload video traveler karena memang belum saatnya liburan’ Riki menghampiriku yang saat ini berdiri di deck kapal. Rambut panjangku terbang kesana kemari diterpa angin laut yang bisa bikin aku mabuk perjalanan. Tapi ku hiraukan meskipun nanti kemungkinan besar aku akan muntah-muntah. Cowok yang mengenakan celana pendek serta hoodie berwarna hijau maroon itu mengambil alih kamera, lantas mengambil videoku. ‘Guys, gue excited banget!!! Perjalanan nya tinggal 20 menit lagi. Kita sambung nanti kalo udah sampai tujuan, see you’  'See you guys'  Riki ikut menyumbang suara meski mukanya tidak kena shot kamera. Senyum di wajahku langsung lenyap saat kamera dimatikan. Aku segera berlari masuk ke dalam kapal dimana ada Kelvin yang duduk tenang sembari menikmati kopi hitam. “Vin, gue mau muntah” “Anj! Ke toilet sana!” “Dimana?” Kelvin menunjuk salah satu pintu yang ada di sudut bagian kanan, aku segera berlari kesana dan menuntaskan mualku. s****n memang, Aku sudah yakin akan mabok, mungkin karena tubuhku kurang vit kali ya. Sepuluh menit, aku keluar dari toilet dan bergabung kembali dengan Kelvin. Riki menyodorkan minuman ke arahku. “Minum dulu, Na” “Kan gue udah bilang, nggak usah shot video di atas. Ngeyel sih” aku memutar bola mata malas mendengar ocehan Kelvin. Bukannya perhatian melihat adiknya muntah, eh, dia malah marah-marah. “Jangan sampe liburan dadakan kali ini gagal gara-gara lo ya, Na.” timpal nya lagi yang masih belum puas kalo belum bacotin aku panjang lebar. “Vin, bisa diem gak sih? Kepala gue pusing nih, apalagi denger ocehan lo yang kayak petasan banting itu.” akhirnya aku bisa menyerukan keluhanku. Riki langsung berinisiatif memegang kepalaku. “Sini gue pijitin” “Nah, jadi cowok tuh kayak Riki. Baik. Gak suka marah. Perhatian. Lah elo?” Kelvin spontan berdiri, dia menyambar kamera dan naik ke deck. Aku tak mempedulikan apa yang akan dia lakukan disana. “Jangan berantem dulu dong, Na. Kita kan mau liburan” “Lagian, Kelvin ngeselin banget, Rik” “Iya udah Kelvin ngeselin, jangan marah-marah lagi, nanti kepala lo makin pusing.” Entah kenapa, suara Riki begitu menenangkan ketika masuk indera pendengaranku. Tak seperti suara Kelvin yang selalu terdengar menyebalkan. Huh. Kenapa aku terus membanding-bandingkan Kelvin dengan Riki? Ya sudahlah, aku tidak peduli. “Emm, Na” panggil Riki di tengah sibuknya memijat kepalaku. “Kak Arga jadi ikutan ke London?” Oh iya! Aku lupa bertanya pada Arga apakah dia jadi ikut atau tidak. “Belum ada kabar, Rik. Minggu depan sih kemungkinan gue udah sibuk booking tiket sama cari penginapan buat tinggal disana” “Kalo nggak bisa nggak usah di paksa, Na.” Aku mengkurva kan bibir. “Halah bilang aja lo gak suka kalo dia ikut, kan?” “Emang.” Aku tergelak mendengar jawaban Riki, melepaskan tangannya yang tengah memijat kepalaku. Senyum manis ku suguhkan untuk satu-satunya sahabat terbaikku, Riki Ferdiansyah. "Lo cemburu sama Arga, Rik?" "Nggak." "Boong.." aku menoel hidung bangirnya dengan gemas. "Kelihatan banget cemburunya." "Ya gimana nggak cemburu. Dia ngebet banget sama lo gitu" "Cemburu tanda cinta loh, Rik. Emang nya lo cinta sama gue?" Ups, sepertinya ucapanku terlalu jauh karena wajah Riki langsung berubah. Aku tidak bisa mendeskripsikan perubahan wajah cowok itu. "Lo disini sendiri nggak apa-apa, kan? Gue mau susulin Kelvin ke atas" "Oke" Aku hanya bisa menatap punggung Riki  yang perlahan menjauh. Lupakan, Riki tidak mungkin suka apalagi cinta sama aku. Lagipula, kalau dia mau dia bisa menjadikanku pacar dari lama, tapi sampai sekarang bahkan dia tak berniat untuk menjadikan ku pacar. Hey! Bukan berarti aku berharap dia menjadikanku pacar, karena.... Ada satu alasan, yang tidak bisa aku katakan sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN