“Mas Rikiiiii, ayo bangun!! Yang telat suruh cuci piring kata mama!!”
“Maasssss!!!”
Ingin sekali aku abai, suara Sasa benar-benar merusak tidurku yang baru berjalan sekitar tiga jam. Pasalnya semalam aku benar-benar terkena insomnia, alhasil aku begadang lagi menyelesaikan edit konten untuk aku upload hari ini. Niatnya sih, hari ini aku bolos sekolah saja, tapi suara barusan…benar-benar mengacaukan segalanya.
Dengan berat hati aku menyibak selimut, sebelum beranjak aku duduk sembari mengumpulkan sisa nyawaku yang masih tercecer di alam mimpi. Mataku sudah tidak bisa dijelaskan lagi, rasanya super duper berat banget.
“Mamaaa!! Mas Riki nggak mau banguun!!!”
Anak siapa sih?! Berisik banget sumpah, bisa-bisanya dia teriak dari lantai dua, mana tepat di depan kamar ku lagi. Kupaksa kakiku melangkah menuju pintu, “Woy!”
Sasa terkejut, sedikit menghibur kekesalanku.
“Jangan teriak-teriak, turunkan bisa”
“Masa Riki jelek banget”
Ya tuhan, nih anak kalau bisa sudah aku jadikan giveway tujuh belas agustusan di komplek. “Bodo, turun sana. Berisik, gangguin orang tidur aja”
“Kamu nggak sekolah, Rik?”
Aku dan Sasa kompak menoleh, Papa baru saja keluar dari kamar seraya memakai dasi. Pria itu berhenti sejenak, menatap kita berdua secara bergantian. “Marahin aja, Pa. Masa suka bolos sekolah, kata Bu Guru nggak boleh bolos, nanti jadi temennya setan”
“Lo tuh temennya tuyul!”
Papa tidak melerai, justru hanya menggelengkan kepala. “Sasa turun aja yuk sama Papa, jangan kelamaan ngobrol sama Mas-mu itu, nggak baik buat kesehatan mental mu”
“Iya, Papa”
Penurut banget nih bocil satu, Sasa berlari kecil menghampiri Papa. “Siap-siap sana, Rik. Jangan sampe telat ke sekolah, jadi contoh yang baik buat adikmu ini”
“Iya, Iya”
-Batas-
Ada satu hal yang patut aku syukuri bisa lahir ditengah keluarga kecil ini. Meski kami tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama, setidaknya kami selalu menyempatkan untuk sarapan bareng. Percakapan hangat yang penuh perdebatan random antara aku dan Sasa, tentang bagaimana Mama bertanya perihal pekerjaan Papa, dan bagaimana cara Papa bertanya apakah Mama butuh sesuatu yang baru, mesin cuci misalnya.
Karena dirumah ini tidak ada asisten rumah tangga, Mama menghandle semua pekerjaan rumah sendirian. “Sasa mau Mama bawain bekal apa hari ini?”
“Terserah Mama aja, Sasa doyan semua”
“Maruk banget, Cil.”
“Sasa gak denger”
Cara dia berbicara, dan lirikan matanya, selalu mengundang jiwa penghujat ku untuk membully Sasa. Sasa itu terlalu menggemaskan dimataku, kalau aku berhasil membuatnya kesal, ada rasa bahagia yang tidak bisa aku definisikan lewat kata-kata.
“Soal rencanamu ke London, jadi, Rik?”
Ah, soal ini aku memang sempat menyinggungnya kemarin.
Pertanyaan Papa menghentikan kunyahan ku, aku tersenyum lantas mengangguk. “Jadi, Pa. Minggu ketiga, bulan Juni.”
“Riki kalo soal traveling, mukanya pasti langsung berseri-seri” Mama ikut menimpali, aku menanggapi hanya dengan cengiran lebar. Mereka jarang sekali bertanya bagaimana tentangku di sekolah, tentang nilai, dan tentang ilmu yang aku serap. Mereka tau aku tidak terlalu menyukai sekolah, jadi, apapun yang mereka tanyakan pasti seputar hobiku, Traveling dan editing. Kebiasaan bolos ini sudah ada dalam diriku sejak SMP, even ada panggilan orang tua, Mama selalu datang dengan damai. Apapun yang wali kelasku katakan hanya dianggap angin berlalu.
Sarapanku akhirnya tandas, “Ada roti bakar di pantry, mana tau kamu mau bawa buat Nana” Mama menunjuk ke arah pantry, aku mengangguk dan langsung ngacir menuju pantry untuk mengambil roti bakar.
Setelah memastikan makanan itu masuk ke dalam tasku, aku mencium pipi Mama dan Papa, tak lupa si gemas, bocil kesayangan, Sasa. “Berangkat dulu, guys!!”
“Heh! Yang sopan!” tegur Mama, aku terkekeh.
Hari ini Nana bilang mau berangkat bareng Kelvin, jadi aku tidak perlu menjemputnya dan langsung menuju sekolah. Aku tau sekarang udah kesiangan banget, dan bisa dipastikan aku akan terlambat. Tapi anehnya, aku benar-benar tidak peduli. Justru aku menikmati kemacetan pagi hari yang super duper bikin banyak orang naik darah.
Tebakanku tidak meleset sama sekali, aku tiba di depan gerbang sekitar pukul setengah delapan pagi, alias udah telat banget. Memaksa masuk? Oh, tentu saja tidak. Aku putar balik, tak jauh dari Bina, ada sebuah cafe yang ramah untuk pelajar seperti ku.
Kesanalah tujuanku.
Untung tadi aku sempat membawa laptop, jadi aku bisa melakukan editing video yang ada di draft, milik Nana sih sebenarnya. Selain itu, aku juga akan upload video terbaru di channel youtube.
“Coffee Latte satu, Mas”
“Hot apa Es?”
“Hot aja”
Masih pagi, dan masih sepi. Cocok banget suasananya, karena aku suka gagal fokus kalau ada ditempat rame alias otak ku tidak mau jalan. Baru saja bokongku menyentuh kursi, kurasakan ponselku bergetar.
Tak perlu menebak, itu pasti telepon dari Nana.
“Eh anak setan! Lo bolos lagi???”
“Ho oh, tadi gue telat. Yaudah gue belok aja ke Cafe dekat sekolah”
“Emang kurang ajar!!” ngomel aja terus, Nana emang gitu. Cerewet banget kalo soal absen sekolahku. “Kenapa nggak ajak gue sih??”
Tawaku pecah, aku kira Nana akan kembali mengomel karena aku keseringan bolos. Ternyata tuh anak malah pengen ikut, pikirannya memang tidak bisa ditebak oleh siapapun. Termasuk oleh diriku yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun.
“Yaelah, Na. Udah, lo sekolah aja yang pinter, gue mah udah pinter jadi nggak usah sekolah”
“g****k jangan dipelihara dong, Rik. Malu gue punya temen kayak lo”
“Oh gituuu, yaudah. Kita putus pertemanan kalo gitu”
“Cih, udah ah. Males gue sama lo, bolos nggak ajak ajak-ajak. Nggak bestie”
Sambungan telepon terputus bahkan sebelum aku mengatakan apapun lagi. Ku keluarkan laptop, mulai mengedit. Tak lama kopi ku datang, dengan penuh kenikmatan aku menyesap kafein itu. Rasanya candu banget, entah sejak kapan aku kecanduan minum kopi.
Sekitar dua puluh menit aku fokus pada layar laptop, sampai tak sadar gelas kopi ku hampir tandas. Pada satu bagian, dimana wajah Nana ke close up, aku menjeda bagian itu hanya untuk menatap wajah cantiknya lebih lama.
Nana tuh, cantik banget. Apalagi kalau dilihat langsung, tipe wajah-wajah yang nggak ngebosenin meski aku setiap hari bertemu dengannya. “Tante Salma ngidam apa sih sampe punya anak kayak Nana gini”
Jangan salah paham dulu, yah meski kalian tau lah ya gimana perasaanku ke Nana. Tapi aku tidak memaksakan keinginanku untuk memacari dia. Meskipun dia menerima pengakuanku, aku takut hubungan persahabatan ini akan rusak begitu saja.
Brak!
Blap!
Kepalaku mendongak, terkejut saat menemukan Nana tiba-tiba sudah berdiri di depanku seraya menggebrak meja. Untung reflek ku cepat menutup laptop, jangan sampai dia tahu apa yang baru saja aku lakukan. Meski sah-sah aja aku menatap wajah Nana lebih lama dari biasanya.
“Kok lo bisa disini?” tanyaku heran.
“Gue dihukum, nggak ngerjain PR. Makanya gue tadi ngomong ke lo, kenapa bolos nggak ngajak-ngajak.” Tanpa bertanya padaku, Nana langsung meneguk sisa kopi yang ada di gelas hingga tandas. Mana dia minum pas banget di bekas bibirku.
“Terus lo kabur kesini? Kok bisa?”
“Hehe, gue pinjem kunci gerbang belakang punya Kelvin”
“Tumben tuh anak mau kasih kuncinya ke elo”
Nana menggaruk rambut, dilihat dari tingkahnya saja aku yakin tuh anak tidak mungkin meminjam dengan cara baik-baik. Pasti ada sesuatu yang terjadi sehingga dia bisa mendapatkan kunci itu.
“Tadi gue chat kak Reno sih, minta bantuan dia buat ambilin kunci Kelvin. Gue lihat tuh anak jalan ke kamar mandi”
“Terus kalo ketahuan?”
“Paling ngomel, gue udah biasa kali kena omel dia”
Nana melipat kedua tangannya di atas meja. “Lo habis ngedit ya? Punya gue udah kelar belum?”
Aku menggeleng. “Baru setengah, ntaran aja. Udah nggak mood ngedit”
“Yaah, rugi banget dong gue kesini. Padahal gue pengen lihat hasil videonya”
“Ntaran aja deh dirumah. Nih ya, daripada nganggur, mending cari hotel atau villa aja buat di London”
“Ide bagus!” Nana merampas laptop milikku, dia kembali membuka layarnya.
Aku menggigit bibir bawahku, takut kalau Nana mempertanyakan soal wajahnya yang terpampang jelas disana. Nana sempat melirik sekilas kearahku, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Jarinya mulai lincah menari di atas keyboard.
“Nih, Rik. Gue ada beberapa rekomendasi, lo coba lihat dulu deh” aku menggeser tempat duduk. Nana kembali menunjukan gambar-gambar villa yang ada di layar. “Gue prefer yang ini, 6 malam sekitar 1,700 euro. Fasilitasnya oke sih, ada 3 kamar. Ntar satu kamar buat berdua, gue sendirian”
“Enak di elo dong?” tanyaku.
Nana hanya menunjukan deretan giginya. “Kalo hotel biayanya lebih mahal, gue belum bicarakan soal ini ke Kelvin sih. Semua keputusan kan ada di dia”
“Gue mah apa kata kalian aja deh, mau nginep dimana pun terserah”
“Jangan gitu dong, kan yang liburan bukan cuma gue sama Kelvin doang. Kalo lo bilang terserah-terserah sama aja lo bergantung, nggak ada effort” Nana menggeser laptopku kembali, tak lama muncul berbagai macam pilihan penerbangan. “Nih, kalo soal penerbangan Kelvin maunya pake yang ini, 1x transit. Gimana menurut lo?”
Pengen banget aku jawab, terserah.
“Jawab terserah gue lempar nih laptop ke muka lo” ancamnya, lumayan brutal.
-Batas-
Jujur saja, aku tidak tahu banget persoalan patah hati Kelvin, dari informasi yang aku dapat dia lagi galau karena ditinggal pacarnya ke Luar Negeri. Dengan banyak penyesalan yang dirasakan oleh cowok itu membuatnya sering lari ke club atau ke alkohol. Dan disinilah aku sekarang, balkon kamar Kelvin.
"Gue udah coba lupain dia, t*i! Tapi dia nggak mau enyah dari otak gue." dengan setengah sadar Kelvin mengatakan hal itu. Aku diam dan mendengarkan ocehan dia.
"Selama ini gue terlalu acuh ke dia, sampai-sampai dia lari ke Reno. Semua ini salah gue, nggak cuma soal pertemanan, bahkan soal relationship pun yang toxic itu gue."
Aku menahan tangan Kelvin yang hendak menuang minuman kembali ke gelas, "Lo kobam boleh, overdosis jangan." aku merampas botol minuman dari tangannya.
"Sampai kapan lo mau kayak gini sih, Vin? Kalo dia jodoh lo, mau seacuh apapun elo, mau sejauh apapun dia pergi, ujungnya bakal bersama kok."
Aku tidak tau Kelvin mendengarkan ucapanku atau tidak disaat kondisinya seperti ini. "Gue ngerasa udah nggak pantes buat dia, Rik"
"Nah itu lo sadar diri. Move on kalo gitu, cari sosok yang emang pantas buat lo, no more, no less."
Kelvin mengeluarkan smirk nya, dia menepuk-nepuk kepalaku. "Lagi gue coba."
"Sejak kapan lo kecanduan alkohol kayak gini?"
Setahuku, Kelvin bukan pecandu. Dia hanya minum disaat-saat tertentu. Tapi akhir-akhir ini, Nana bilang Kelvin hampir setiap malam selalu minum di balkon sendirian. Tuh cewek gak bakal mau mendekat karena dia tidak suka bau alkohol. "Inget, Vin. Alkohol nggak baik buat kesehatan lo, apalagi umur lo belum genap dua puluh tahun"
"Gue tau, gue tau. Nggak perlu lo kasih tau."
"Ada yang mau lo ceritain lagi?"
Kelvin menggeleng, aku berdiri seraya menepuk punggung cowok itu. "Kalo gitu gue ke kamar sebelah, kangen sama adek lo"
Entah darimana lucunya, Kelvin tertawa.
Di dalam kamar, Nana sibuk streaming oppa-oppa kesayangannya. Bahkan ketika aku masuk, dia tak menoleh sama sekali. "Na, komik gue yang ketinggalan disini lo taruh mana?"
"Cari aja sendiri, jangan ganggu. Gue lagi fokus"
"Yaelah, giliran ada Oppa, temen sendiri dibuang. Giliran ada butuhnya, temen yang dimanfaatkan"
"Bacot"
Aku mencari komik ku diatas tumpukan n****+ milik Nana. "Lo habis beli n****+ baru?"
"Gilak, n****+ apaan nih tebel banget"
"Buseet, album lo juga nambah kayaknya"
Suara musik dari laptop Nana terhenti, aku menoleh dan melihat dia tengah menatapku dengan penuh permusuhan. "Lo pergi dari kamar gue atau gue dorong dari balkon?"
"Sensi amat anjir, gue diem nih" sambil menunjukan komik.
"Yaudah, awas aja lo ngebacot lagi, beneran gue dorong dari balkon kamar"
Musiknya kembali menyala, aku ikut bergabung disamping Nana seraya membaca komik.
"Cowok kpop gue makin hari makin nggak ngotak, ganteng parah"
"Sama, cewek gepeng gue juga makin hari makin cantik. Pengen gue ajak ke KUA besok kalo nggak mendung"
Aku dan Nana saling melempar tatapan, sebelum sama-sama memecahkan tawa. Dasar, kalau soal halu kita bisa maju paling depan kayaknya. Nana menyudahi sesi streaming nya, cewek itu mendekat ke arahku. "Rik, misal nih ya misal, gue suka sama cowok, tapi gue ragu mau confess. Enaknya gimana?"
Mendadak otak ku blank, siapa kira-kira cowok yang sedang dibicarakan oleh Nana?