Bisa nggak sih bagianku di skip aja?
Kalian pasti tau kan, apa yang orang butuhkan kalau lagi galau begini? Ketenangan. Tapi semesta tidak pernah memberikan hal itu kepadaku, keadaan membuatku harus menyingkirkan seluruh ego dan perasaan yang sebenarnya ingin aku nikmati pesakitannya.
Aku menatap gelas berisi minuman beralkohol di tanganku, padahal sebenarnya malam ini akan diadakan rapat untuk membicarakan planning liburan ke London. Kuteguk minuman itu hingga tandas, rasa pahit dan getir membuatku merasakan sensasi yang berbeda, meski begitu alkohol tetap menjadi pelarian pertamaku disaat hari-hariku terasa buruk.
Dari pantulan kaca, aku melihat kepala Nana menyembul. “Lo nggak turun? Yang lain udah pada dateng”
“Hm”
Ku Letakkan gelas diatas meja sebelum akhirnya turun bergabung dengan yang lainnya. Terlihat mereka tengah mengobrol di depan TV. Nana duduk bersila di atas karpet, sementara Riki sibuk dengan laptopnya, Arga mengangkat tangan seraya tersenyum menyapaku.
“Reno belum dateng?”
“Ck. Lo habis minum ya??” Nana mendorong bahuku, aku bergeser. Cewek itu memang paling tidak suka mencium aroma alkohol, dan selama ini dia tidak pernah menyentuh minuman tersebut.
“Kak Reno masih dirumah sakit, lo nggak tau kalo Redy habis operasi?”
Nggak berguna. Mungkin itulah kata yang dapat mendeskripsikan diriku sebagai sahabat Reno. Padahal dia selalu ada disaat aku terpuruk, dia selalu mengerti apa yang aku rasakan. Tidak pernah sekalipun Reno berpikiran buruk tentangku, justru akulah yang toxic dalam hubungan persahabatan ini. Aku menggeleng lemah.
“Jadi, mau nunggu dia apa kita mulai aja rapatnya?” pertanyaan itu meluncur dari mulut Arga, mengalihkan tatapan Riki dan Nana yang awalnya terpusat padaku. “Gue nggak bisa lama-lama, soalnya ada urusan yang belum kelar” tambahnya. Meski aku tidak terlalu dekat dengan Arga, sejauh yang aku tau dia punya banyak kegiatan selain belajar di sekolah, denger-denger dia juga yang menjadi penggantiku di Olimpiade Astronomi kemarin.
“Kita mulai aja lah, Vin” kata Nana, aku mengangguk, toh aku juga tidak tau kapan Reno akan datang.
“Awalnya, gue pengen liburan pas musim dingin. Sayangnya, kita libur semester bulan Juni pas musim panas. Tanggalnya gue ambil mulai tanggal 21 sampai 28 Juni.”
Tanpa aku minta, Nana sudah paham apa yang harus dia lakukan. Mencari tiket pesawat di tanggal itu, jarinya dengan lincah menari diatas keyboard. “Lo pasti tau kan, Ga, apa yang bakal kita lakuin di sana selain liburan?”
“Bikin konten?”
“Exactly!” aku menjentikkan jari, kemudian melanjutkan “Hari pertama kita akan ke…………”
-Batas-
“Aduh, Na, enak banget” Mama menikmati pijatan Nana, "Sebelah sini, Na. Pencet aja yang keras, kalo pelan-pelan suka nggak kerasa soalnya". Kedua perempuan itu duduk di sampingku setelah rapat selesai dan masing-masing sudah menerima job desk ketika di London nanti. Reno datang meski terlambat, jadi dia tau apa tugasnya nanti selain liburan saat di London dan kemana saja tujuan yang akan kami berlima tuju.
“Pundak Mama keras banget heran, kenapa Mama nggak berhenti kerja aja? Toh, aku sama Kelvin udah bisa cari duit sendiri”
"Kalo pundak keras tuh cari tukang pijit, Nanasayaaang. Bukan malah berhenti kerja" Mama menggelengkan kepala, tidak salah juga sih apa yang Mama katakan tadi.
“Mama mu mana mau, Na, cuma diem dirumah.” Papa yang sibuk membaca buku tebalnya tiba-tiba ikut menimpali, diantara kedua anaknya, Papa lah orang yang paling tau tentang Mama. “Kalaupun Mama mau, udah dari dulu dia dirumah, ngurus kalian”
“Gini lho, Na.” Mama menoleh ke arah Nana yang masih setia memijat kedua pundak Mama. “Mama itu tipe orang yang nggak bisa diem dirumah, lagipula kita ada asisten rumah tanggla yang udah ngerjain semuanya. Dan Mama nggak tega kalau harus lihat Papa mu berangkat pagi, pulang pagi, keluar kota, keluar negeri sendirian. Jadi, sebagai istri yang baik Mama mau nemenin Papa”
“Idih, so sweet banget nih mama-mama” Kulihat Nana terkekeh.
Kumpul dan berbincang kecil seperti ini selalu menjadi momen yang paling aku tunggu setiap saatnya, mungkin bukan hanya aku melainkan Nana juga. Kerap ditinggal kerja sejak kita berdua masih kecil membuat kita merasa kurang mendapatkan kasih sayang.
“Iya dong, ngomong-ngomong di sekolah udah ada yang bikin kamu tertarik belum? Mama lihat temen mu kok cuma Riki”
“Nana mana tertarik, Ma, sama yang namanya cowok–” b******k! Nana melemparkan bantal ke arah wajahku, mana aku tidak sempat menghindar lagi. Mau aku lempar kembali, takut malah nyasar ke Mama, sori-sori aja nih, gue belum siap jadi tuna wisma.
“Gue masih normal ya, Vin!” matanya yang sipit itu dipaksa melotot ke arahku, langsung saja aku menjulurkan lidah, mengejek. Memangnya, selama ini cuma dia apa yang bisa bikin aku kesal.
Papa menutup buku tebal yang baru saja dibaca, meletakan benda itu diatas meja, berganti meraih ponsel. “Papa sih nggak ngelarang kalau kalian mau pacaran, tapi ya jangan sampai hubungan itu ganggu sekolah dan kehidupan kalian”
Demi tuhan! Ini Papa lagi nyindir aku apa gimana sih, kok ngomongnya sambil melihat ke arahku. Pengen aku balas, tapi takut dosa dan tentu saja lagi-lagi takut jadi tuna wisma yang hidup sebatang kara dipinggir jalan. Serba salah emang kalo jadi anak.
“Kayak si onoh kan, Pa?”
Ini lagi satu, pake segala manas-manasin! “Apa lo lihat-lihat??” tiba-tiba saja intonasi suaraku jadi nyolot, abis kesal banget lihat kelakuannya. Punya saudara satu kelakuannya amit-amit banget, hobi ngajak tawuran.
“Udah, Na. Kasihan tuh abang kamu mukanya ditekuk terus, gamon nanti dia”
Ya tuhan, ini keluarga kompak banget sih kalo soal sindir menyindir. Nana tergelak, disusul kekehan mama dan senyum tipis Papa. “Siapa juga yang gamon”
“Alah, kelihatan kali, Vin!” seloroh Nana, kelihatan banget mukanya seneng lihat aku menderita. Emang anak setan sih, kalo bisa akan ku tukar tambah dia dengan adik-adik manis yang tidak hobi menistakan kakaknya sendiri.
“Udah ah, aku mau ke kamar aja.”
“Yeee, baru digituin udah pundung, cupu lo, Vin!”
Kali ini, tanpa belas kasih aku melemparkan bantal tepat saat Nana tertawa dengan mulut terbuka.
"KELVIIINNNN!!!!!"
Sebelum dia membalas perkataanku, aku segera kabur berlari menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar.
Saat masuk kamar, netraku langsung jatuh pada foto yang masih terpajang rapi di dalam figura, itu fotoku dan Fiersa saat kita masih pacaran, ku dekati benda itu dan ku angkat bingkainya. Lamat-lamat aku menatap senyum indah yang terpatri di wajah cantik nan pucat itu. “Semuanya akan gue akhiri disini, Fier. Tentang lo, dan tentang kita.”
Tanganku menarik laci, dan meletakan foto itu disana agar tidak tertangkap oleh mataku saat memasuki kamar. Aku membuka pintu balkon, di seberang Riki yang mendapati kemunculanku mengangkat gelas dengan cairan berwarna merah didalamnya. “Ngenes banget muka lo”
“Biasalah, nenek rombeng cari gara-gara mulu sama gue. Heran sama tuh anak, gak ada habisnya bikin gue kesel” Riki terbahak di seberang, aku menggelengkan kepala. “Kok bisa sih lo betah temenan sama dia?”
“Nggak tau juga kenapa gue bisa betah temenan sama Nana”
Aku bersandar pada pembatas balkon, menatap ke arah langit yang terlihat semakin pekat. Malam semakin larut, terakhir kali kulihat jam sudah pukul sepuluh malam. “Ngomong-ngomong soal rencana yang udah lo susun tadi, gue berharap liburan kali ini lancar. Secara, ini pertama kalinya kita ke Luar Negeri tahun ini.”
“Gue juga pengennya sih gitu.” ragu-ragu aku menatap Riki. “Kayaknya gue mau berhenti jadi konten kreator di Youtube deh, Rik.” bisa kulihat Riki memuntahkan kembali anggur yang semula sudah di teguk. Sebelum dia menyela, aku melanjutkan kalimatku, “Gue udah kelas dua belas, setelah ini pun gue harus sibuk persiapan ujian-ujian. Tuntutan dari Papa gue harus lolos NUS, misal gue nggak lolos disana, terus harus kuliah di Indo Papa pengennya gue masuk President University"
“Stres banget kayaknya jadi lo, untung aja Papa sama Mama nggak terlalu menuntut gue soal pendidikan. Bahkan ketika gue bolos sekolah aja mereka nggak peduli”
“Mereka bukan nggak peduli, tapi mereka percaya sama lo. Lo udah bukan anak-anak yang harus disuapi baru bisa makan, Rik. Di usia lo sekarang, seharusnya lo udah tau kemana harus bawa langkah dan impian-impian yang ada di pundak lo itu”
“Gimana ya, kak. Dari dulu, gue emang udah nggak minat sama yang namanya sekolah. Hobi gue sebagai editor dan traveler udah cukup buat jadi alasan kenapa gue bertahan hidup sampai saat ini. Gue pengen jadi konten kreator yang pendapatannya bisa Milyaran dalam sebulan”
Aku tertawa mendengarnya, "Bawa tuh Trasquad sampai bisa dititik mana yang lo mau sama Nana"
"Sama lo juga, setan! Biar gimanapun, Trasquad ada karena kita bertiga, bukan cuma gue sama Nana doang"
“Ya intinya, lo udah tau apa yang mau lo lakuin itu nggak ngerugiin diri lo sendiri.”
Kali ini Riki yang gantian tertawa renyah diseberang, “Gila, kenapa kita jadi deep talk ya. Geli banget gue dengernya, Kak”
“Lebih geli gue yang tiap hari harus dengerin lo panggil kak. Please lah, panggil nama aja kenapa sih?”
“Actually, gue pengen panggil lo nama langsung. Cuma ya takut aja lo anggap gue nggak sopan”
“Chill”
-Batas-
Seperti biasa, aku selalu ingin tidur saat baru tiba di sekolah. Minimal lima belas menit sebelum kelas dimulai. Baru saja aku melangkah masuk, ku lihat teman-temanku sibuk berkutat dengan buku mereka masing-masing, ada yang berkelompok dan individu. "Vin, tugas Bahasa Inggris lo udah selesai belum?" tanya salah satu teman sekelasku.
Aku mencoba mengingat, "Yang di halaman 48 sampai 51? Udah nih"
"Nah sip, nyontek dong, Vin."
Dengan santainya aku mengambil buku tugas dari dalam tas, lalu melemparkan buku tugas itu ke arah dia yang meminta contekan tadi. Sontak, satu bangku tempat bukuku mendarat langsung dikerubungi oleh yang lainnya. "Dasar pemalas." aku sih tidak peduli mereka mau menyalin tugasku, tunggu saja sampai ujian tiba, hasil dari menyontek mereka tidak akan paham apa-apa.
Akan aku berikan jawaban tugasku, tapi jangan harap kalian bisa mendapatkan jawaban dari soal-soal ujianku.
Reno datang seraya merangkul bahuku. "Cabut kantin yuk, gue belum sempet sarapan"
"Tugas lo udah selesai?"
"Udah, tenang aja. Meski gue nggak tau jawabannya bener semua atau enggak"
Nah, kalau Reno ini tipe yang mau mengerjakan sendiri meskipun dia tidak yakin jawaban dia sepenuhnya benar atau justru banyak yang salah. Dia tidak pernah menyalin tugasku, hanya saja setiap ujian dengan cuma-cuma aku membiarkan dia menyalin jawaban dariku tentang bagian yang tidak ia pahami.
"Kantin pagi-pagi gini cuma sediain bubur, mentok sih roti-rotian"
"Bodo amat dah, yang penting gue makan. Semalem Redy rewel banget, dia nggak mau makan, nggak mau minum obat kalau nggak sama gue." aku bisa melihat wajah kusut Reno, "Tuh anak nempel banget sama gue, padahal disana ada mama sama papa."
"Ya nggak heran, mengingat dari bayi lo yang ngurus dia"
"Apa Nana dulu juga gitu, Vin?"
Aku mencoba berpikir sejenak, menggali ingatan yang sudah lama terarsip dengan rapi di memori otak. "Nana mandiri sejak kecil. Selagi dia bisa melakukan itu sendiri, dia nggak bakalan mau ngerepotin gue atau bibik. Tapi ada waktu tertentu Nana jadi manja banget, kayak pas dia lagi sakit"
"Jadi gue anggap normal lah ya kalo sekarang Redy juga jadi sedikit lebih manja dari biasanya"
Sebagai jawaban aku hanya mengangguk, "Ntar pulang sekolah gue ikut lo kerumah sakit"
"Boleh."
Sementara menunggu Reno menghabiskan sarapannya, aku mulai menyibukan diri berkutat dengan ponsel. Niat untuk tidur jadi batal karena Reno menyeretku ke kantin. Tak apalah, sesekali aku berbaik hati kepadanya. Jemariku menggulir beranda insta, mulai mengarsipkan satu persatu foto Fiersa yang pernah aku upload disana. Segala tentang dia, akan aku lupakan, sebisa mungkin.
"Lo inget cewek yang hampir nampar Nana kemarin nggak?"
"Inget, kenapa sama dia?"
"Ternyata dia sepupu Fiersa!" Reno meneguk air putih dari botol hingga tersisa setengah. "Kebetulan gue punya temen yang sekelas sama Altha. Dia bilang Altha berubah perangai setelah pindah dari Luar Negeri, dulu perangainya nggak sekasar dan suka cari gara-gara kayak gitu"
Meski ada sesuatu yang ingin sekali aku tanyakan, aku menahan. Reno melanjutkan sesi berceritanya, bel sekolah akan berbunyi lima menit lagi. "Terus temen gue ini malah nodong gue, katanya gue deket sama Fiersa tapi kok nggak tau soal Altha, padahal mereka sepupuan"
"Plot twist banget" komentarku singkat, pura-pura tidak peduli.
"Bukan plot twist lagi, tapi dunia ini emang sempit banget" Reno menunjuk ke arahku, "Dan nggak menutup kemungkinan, merpati bisa kembali setelah terlepas."
Bodoh banget kalau aku berharap Fiersa bisa kembali kepadaku lagi, hanya akan ada rasa sakit akibat harapan yang aku ciptakan dalam khayalan manis yang ku buat sendiri.