Kalian pasti sudah mengenal siapa Altha, iya, dia mantan pacarku yang dulu sangat, sangat, sangat aku sayangi. Bahkan aku tidak pernah melirik gadis manapun saat menjalin hubungan dengan Altha, singkat kata dia benar-benar tak memberikanku celah untuk berpaling. Tapi semuanya berubah saat Altha mendadak pindah tanpa memberitahuku apa alasan kepindahannya. Bahkan berpamitan saja tidak, hubungan kita menggantung, tidak ada kejelasan sama sekali sampai akhirnya aku memutuskan hubungan kami secara sepihak.
Aku mulai melupakan kehadiran Altha dihidupku, menjalani kembali hari-hari sibukku seolah kepergiannya tidak terlalu mempengaruhiku. Tak peduli jika sisa rasa itu masih ada, tersimpan rapi di tempat yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh siapapun.
Dan hari itu tiba, ketika penerimaan siswa baru. Aku melihat seorang gadis, yang begitu menarik di mataku. Dia sibuk mencari jepitan rambut yang terjatuh di rerumputan.
“Ini yang lo cari?”
Aku mengangkat jepit rambut berwarna hitam yang tak sengaja ku injak saat hendak menghampirinya.
“Oh iya! Akhirnya, ketemu juga” dengan senyum lebar, gadis itu mengucapkan kalimat terima kasih,
Jantungku berdebar, rasanya aku kembali merasakan jatuh cinta setelah sekian lama. Aku tidak mundur, aku juga bukan tipe orang yang langsung merasa trauma. Tidak sulit untuk mengetahui siapa dia, Nana Ratnaningsih Bagaswara. Seorang Youtuber yang hobi traveling.
Baiknya, tuhan kasih kesempatan itu kepadaku. Nana mengajakku untuk bergabung dengan teman-temannya pada saat liburan ke London nanti. Aku harap bisa lebih dekat dengan Nana, kalau bisa sih aku juga pengen mengakui perasaanku saat disana nanti.
“Kesurupan setan mana sih nih orang”
Aku tersadar kala mendengar suara Agra, “Berharap banget gue kesurupan?”
“Ya kalo mau sih nggak papa, Kak. Tapi jangan sekarang deh, PR gue belum kelar”
Malam ini, Agra memang memintaku untuk membantunya mengerjakan PR dia yang banyaknya minta ampun. Untung saja semua pekerjaanku telah selesai, dan tugas sekolahku tidak terlalu banyak.
“PR lo kenapa banyak banget deh, Gra. Gue curiga lo lagi di kerjain sama guru-guru”
“Mana ada guru ngerjain muridnya.”
“Siapa tau, ‘kan, lo nakal di sekolah terus guru lo dendam sampe akhirnya dia ngasih PR lo segunung gini”
“Liar.” Agra kembali fokus mengerjakan, sementara aku membantu dia mengerjakan PR bahasa inggris untuk menerjemahkan sebuah cerita pendek ke dalam bahasa inggris. Belum lagi tugas merangkum.
Satu jam kemudian, semua PR Agra telah selesai, cowok itu membereskan alat-alat tulisnya. Dia menatapku sejenak yang sekarang tepar di atas karpet. “Kerjaan dari Papa lagi banyak, Kak?”
“Hm? Nggak, kayak biasanya kok.”
“Gue denger, Papa kasih tambahan satu tempat lagi buat kakak handle”
Senyum tipis mengembang dari bibirku. Apa yang dikatakan Agra tidak salah, Papa memang memberikan satu toko lagi untuk aku handle, belum lagi Papa juga sudah mendaftarkan ku les di salah satu tempat les paling terkenal di kota ini.
“Satu doang mah nggak ngefek buat gue, Gra. Capeknya tetep sama kayak biasanya”
“Lo tuh nggak bisa bohongin gue, Kak. Kantung mata lo tuh, hitam kayak panda yang habis begadang setahun”
“Ya apapun itu, gue nggak bisa menolak keinginan Papa. Kalaupun setelah ini gue dikasih tanggung jawab buat handle sepuluh toko pun pasti gue sanggupin”
“Iya, habis itu lo masuk UGD”
“b******k!” aku dan Agra sama-sama terkekeh. “Btw, liburan nanti gue mau ke London”
“Ajakin gue dong”
“Yeee, gue aja di ajak sama Nana. Lo tau kan, anak-anak yang suka traveling itu, yang suka riwa-riwi di youtube”
“Trasquad??”
“Iya, mereka yang ngajak gue buat traveling ke London”
“Boleh nitip nggak?”
“Nitip apa?”
“Salam ke kembaran gue, Tom Holland”
Aku melempar bantal ke arah Agra, sementara sang empu dengan sigap menangkap seraya tertawa puas. “Gue mau liburan ya, anjir. Bukan mau jumpa idola!”
-Batas-
Waktu berjalan tanpa terasa, karena semua kesibukan yang aku jalani setiap harinya, mengesampingkan rasa lelah, tau-tau Ujian Akhir Semester telah tiba didepan mata. Aku menatap jadwal dengan lemas, kepalaku terkulai diatas meja kelas, mataku terasa begitu berat.
“Ga” Kelvin dan Reno tiba-tiba menghampiriku di kelas, “Berhubung minggu depan kita udah UAS, gue butuh data-data lo buat ngurus tiket pesawat dan lain-lainnya.”
“Si Kelvin nih, kalo menjelang ujian suka nggak mau diganggu sama hal-hal lain” tambah Reno memperjelas. Kelvin mengangguk.
“Gue anterin ntar sore atau malam ke rumah lo, Vin.” Kepalaku terangkat, “Oh iya, Vin. Kalo butuh bantuan buat ngurus sesuatu lo bisa hubungin gue”
“Gampang lah, kalo gitu gue duluan”
Tak berselang lama setelah kepergian Kelvin, satu pesan masuk. Ternyata Papa telah menerima jadwal ujianku. Papa bilang, aku boleh melepas dulu tanggung jawabku di toko dan menambah jam les, Papa menekankan agar aku bisa masuk tiga besar paralel di kelas dua belas ini.
Agak berat memang, tapi aku akan berusaha sebaik yang aku bisa.
Tuk!
Sebuah kotak teh menyentuh pelipis ku, tanpa menoleh aku sudah tau siapa pelakunya. Dari bau parfum yang dia pakai saja aku masih ingat, Altha belum mengganti parfumnya.
“Apa yang bisa gue bantu?” tanya dia tiba-tiba. "Wajah lo muram banget, lagi banyak pikiran?"
“Jangan ganggu gue sampai Ujian Akhir selesai.” ucapku to the point.
Altha duduk di bangku yang ada di depanku sebari menopang dagu, wajahnya lebih cantik dari dua tahun yang lalu. Terlihat lebih dewasa, dan lebih menarik tentunya. Hanya saja, kilasan rasa sakit yang sudah cewek itu berikan setidaknya mampu menghalangi hati lemah ku ini.
“Nggak masalah, Ga, kalo lo masih belum mau maafin gue” Altha menjeda kalimatnya, “Apalagi kemarin gue sempet kasar ke Nana, pasti lo makin benci sama gue”
"Gue nggak mempermasalahkan hal itu lagi, semuanya udah kita bicarakan baik-baik." Kemarin aku memperingatkan ke Altha tentang siapa dia dan status kita, serta batasan-batasannya jika masih ingin berada di dekatku.
Altha menyerahkan sesuatu ke arahku, sebuah amplop coklat berukuran sedang. Aku membuka amplop itu tanpa banyak bertanya, "Surat izin? 1 bulan??"
Cewek itu mengangguk, "Gue harus pergi lagi, kali ini satu bulan." Tangan Altha menyentuh tanganku, sejujurnya aku ingin menarik tanganku, hanya saja rasanya tidak bisa. Ada sesuatu dalam diriku yang menahannya, membiarkan Altha menyentuhnya.
"Kali ini juga, gue pamitan ke lo, Ga. Nggak langsung kabur gitu aja"
Kekehan sinis spontan keluar dari bibirku, lucu saja melihat seseorang yang sudah tidak memiliki hubungan lagi denganmu, mendadak berpamitan saat ingin pergi.
"Kenapa baru sekarang setelah kita udah nggak ada hubungan, Al? Kenapa ngga dari dulu lo kayak gini, menghargai keberadaan gue sebagai pacar lo"
Altha hanya diam dan menatap ke arahku tanpa berkedip sama sekali. "Gue lagi nggak mau berantem sama lo, Ga. Flight gue malam ini"
Aku tau, dan paham apa maksud Altha. Dia ingin membuktikan apakah aku masih menyimpan rasa padanya atau memang sudah sepenuhnya hilang dan terlupakan. Jika aku muncul di bandara malam nanti, Altha pasti akan tau bahwa masih ada sisa rasa yang sengaja aku simpan rapat-rapat. Dan jika aku tidak datang, maka dia akan menganggap aku telah melepasnya.
Altha pergi saat guru masuk, karena sebentar lagi pelajaran akan segera di mulai kembali.
-Batas-
"Yu, financial report nya gue bawa ya. Oh iya, analisis kebutuhan ada di meja gue, kalo Papa tanya lo cari aja disana" seraya memakai jaket aku memberitahu Ayu, salah satu pegawai yang ada di toko.
"Siap, Mas"
"Kalo gitu gue cabut duluan"
"Hati-hati, Mas"
Aku melirik jam yang melingkar di tangan, pukul 18.30, sepertinya masih ada waktu. Menyalakan mesin motor, aku memacu kendaraan roda dua tersebut untuk membelah malam menuju bandara.
Macet.
Adalah masalah utama di Kota ini, entah bagaimana cara pemerintah untuk menanggulangi kemacetan ini. Rasanya aku ingin terbang saja agar cepat sampai ke Bandara, semoga aja masih ada waktu.
Segera setelah lolos dari kemacetan, aku kembali memacu motorku dengan kecepatan 80km/jam. Sekitar satu jam lebih tiga puluh menit, aku tiba di Bandara. Sayangnya, aku tidak tau Altha masih disana atau tidak.
Setelah bolak balik mencari, langkah kakiku terhenti. Dari kejauhan, aku melihat sosoknya berdiri di depan outlet Coffee dengan kepala yang terjulur untuk melihat proses pembuatan Coffee tersebut.
Sudut bibirku naik, berjalan ke samping lantas menjatuhkan tubuhku ke tempat duduk yang disediakan. Rasanya lega saat melihat gadis itu tersenyum, interaksi antara dia dan pegawai Coffee Shop menarik perhatianku.
"Sori karena gue nggak bisa nyamperin lo, Al" tatapanku tak lepas dari Altha yang kini sudah duduk seraya meminum kopinya.
"Gue dateng, meski cuma bisa natap lo dari kejauhan–"
"Aw, aduh, aduh"
Ucapanku terhenti saat melihat kopi panas yang ia pegang tidak sengaja jatuh dan tumpah mengenai lengannya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghampirinya.
"Ceroboh" segera aku mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan sisa-sisa kopi di lengan dan bajunya.
Aku tau Altha diam karena menatapku, mungkin dia kaget karena kedatanganku secara tiba-tiba.
"Kapan sih lo nggak ceroboh? Minum kopi gini aja sampe tumpah. Gimana kalo tangan lo melepuh?"
Demi seluruh hal teraneh di dunia! Kenapa mulutku malah nyerocos sih, dan entah kenapa rasanya khawatir saat melihat Altha dalam keadaan seperti ini. Selesai membersihkan lengannya, aku menatap Altha yang masih tak berkedip.
"Gue pasti lagi halusinasi, nggak mungkin lo Arga" gumam bibir tipis gadis itu.
"Gue Arga, gue dateng buat lo. Puas?" Aku menarik tangannya, "Cepetan ganti baju lo, itu kotor banget bekas ketumpahan kopi"
Altha menggeleng, "Nggak mau, kalo gue pergi ganti baju, setelah itu lo bakal pergi. Gue mau disini aja, sama lo sebelum take off"
Aku menghela nafas, ku lepaskan jaket yang sedari tadi membungkus tubuhku. Lalu mengenakan jaket itu untuk menutupi bagian kotor di baju Altha. "Sweet banget"
"Gue bisa lebih dari ini kalau saja dulu lo nggak tiba-tiba ngilang" aku duduk disamping Altha. Sesekali aku melirik lengan gadis itu, ada bekas kemerahan disana.
"Kenapa sih lo terus aja bahas hal itu, Ga? Gue udah minta maaf ke lo soal itu"
"Minta maaf nggak bikin rasa sakit akibat kehilangan yang selama ini gue rasakan menghilang, Al"
"Ya terus gue harus apa dong? Kalo gue ajak lo balikan, pasti lo juga nggak mau. Apalagi lo bilang lagi suka sama Nana"
Dalam posisi seperti ini, aku merasakan keraguan yang amat sangat besar. Bohong kalau perasaanku ke Altha telah hilang, apalagi sekarang aku bisa melihat wujud cewek itu lagi, rasanya perasaan yang telah lama terpendam mulai merambat naik ke permukaan.
Sementara perasaanku ke Nana, disini sepertinya hanya aku yang merasakan adanya ketertarikan itu, sisanya Nana tidak peduli.
"Balikan bukan jadi prioritas bagi gue untuk saat ini. Tapi, kalo sekali lagi kita ketemu, mungkin gue bisa pikirin ulang tentang perasaan yang selama ini gue kasih cuma buat lo"
Altha tersenyum tipis, dia menarik tanganku untuk digenggam. "Inget nggak, tangan ini yang dulu selalu lo genggam tanpa mau lo lepas. Kangen gimana lo yang protektif ke gue, lo yang cemburuan, dan lo yang perhatian"
Benar, rasanya seperti sedang bernostalgia. "Gue udah mutusin buat kembali, Ga. Dan gue pengen memperbaiki semuanya, lo nggak perlu effort apapun, sekarang giliran gue buat meyakinkan elo, tentang seberapa besar keinginan gue untuk kembali menjalin hubungan dengan lo"
Altha kemudian berdiri, dia harus pergi sekarang. "Gue.. apa gue boleh peluk lo sekali aja, Ga?"
Tanpa mengucapkan apapun, aku meraih tubuhnya dan mendekap tubuh mungil itu dengan erat. Ku lepas semua kerinduan yang selama ini tertahan, aroma shampoo Altha masih sama, langsung menyesuaikan diri di indera penciumanku.
"Gue tunggu lo negating ucapan lo barusan"
Altha mengangguk, "Gue pergi ya, Ga. See you next time"
Melepas Altha sekali lagi, dan untuk yang kesekian kali. Rasanya masih sama, berat.
Malam semakin larut saat aku tiba di rumah, lampu dirumahku semakin terang karena tidak mungkin jam segini kedua orang tuaku dan juga Agra sudah tidur.
"Darimana saja, Ga? Kenapa jam segini baru pulang? Tadi Papa dapat laporan kamu bolos les"
"Habis ngerjain tugas kelompok bikin video, Pa. Jadi ya gitu, terpaksa bolos. Tadi aja dari toko langsung cabut ke rumah temen, deadline tugasnya besok"
Dengan lancar aku menjawab karena telah menyiapkan alibi. Papa pasti bertanya, pikirku. Dan benar saja, 'kan.
Papa terdiam beberapa saat, fokusnya kembali ke laptop dan pekerjaan.
"Mandi dulu gih, Ga. Kamu udah makan?" Mama datang dari arah dapur seraya mengaduk kopi dalam cangkir.
"Iya, Ma. Habis itu aku turun buat makan malam"
Melanjutkan langkah, naik ke lantai dua. Tanganku terangkat untuk memegang handle pintu, namun yang kutemui justru pintuku sedikit terbuka.
Tidak perlu menebak, karena yang biasa keluar masuk kamarku itu pasti Agra.
"Ngapain lo disini??"
"Kak, komputer lo ini kepake nggak sih? Gue udah bilang Papa buat minta komputer baru, tapi sampe sekarang belum dibeliin"
"Kepake lah, pake aja laptop gue kalo lo mau"
Aku meletakan backpack hitam di atas ranjang, lantas melepas sepatu dan bergegas mandi. Gini-gini perutku juga lapar, sejak sore tadi belum diisi makanan.
Tak butuh waktu lama untuk ku selesai mandi, kulihat Agra tengah sibuk ngeprint tugasnya. Iseng, aku melihat tugas apa yang sedang ia kerjakan.
"Aqilla Danuarsita??"
Agra secepat kilat menyambar kertas yang ku pegang, dengan wajah gugup aku menatapnya heran. "Siapa tuh?"
"Bukan urusan lo." Jawab Agra ketus, sudut bibirku melengkung ke atas, "Gak usah lancang deh, kepo banget"
"Yaelah cuma gitu doang, nggak bakal gue cepuin ke Papa kok" Aku merangkul pundaknya, lantas berbisik. "Dia, pacar lo??"
"Bu-bukan!"
"Ngaku aja kali, gue bisa jaga rahasia. Yang mana sih yang namanya Aqilla Danuarsita??" Selintas, aku teringat pada gadis yang kala itu mengejar Agra, "Nggak mungkin, 'kan, cewek yang waktu itu ngejar lo????"