-Senyum terus ya, setidaknya biar gue tau kalo lo baik-baik aja-
-Batas Suci-
“Mas Riki mau kemana?”
Langkah kakiku terhenti saat mendapati pertanyaan yang dilontarkan oleh Sasa, “Sekolah lah, kemana lagi?”
“Oh, kirain udah nggak sekolah”
“Lambemu, Sa. Kalo gue nggak sekolah nanti siapa yang nerusin pekerjaan Papa”
“Ya Sasa lah! Kalo udah gede Sasa mau kerja terus ajak liburan Mama sama Papa” jawab bocil yang saat ini tengah di suapi sarapan oleh Mama.
Aku ikut bergabung seraya memakai kaus kaki. “Makan tuh yang banyak biar cepet gede”
“Kamu nggak sarapan dulu, Rik?” tanya Mama, tangan kanan nya menyodorkan sesendok nasi dan daging ke mulut Sasa. Bocah itu baru masuk TK beberapa bulan yang lalu. Wajahnya semakin menggemaskan tak kala Sasa mengenakan seragam TK.
“Nggak, Ma. Nanti aja di sekolahan” jawabku, setelah selesai aku menyempatkan diri untuk mencium pipi Mama, dan berganti Sasa seraya bersiap untuk berangkat. “Aku berangkat dulu, Ma. Mbul, sekolah yang pinter jangan nyusu terus” aku mencubit pipi Sasa dengan gemas.
Bocah itu langsung menatap tajam ke arahku. “Mas Riki rese! Sasa nggak suka di cubit! Sukanya di sayang aja”
Aku tergelak, tak menjawab ocehan Sasa, kalau ngobrol sama Sasa suka lupa waktu, jadi ku putuskan untuk langsung berangkat tanpa menjawab ucapan si gembul merk micin. Kalian tanya siapa? Papa, masih tidur. Semalam Papa juga pulang larut karena lembur kerja. Motor matic scoopy hitam bertengger manis disamping mobil papa, biasanya sebelum aku pakai scoopy hitam itu aku panasi dulu.
Tapi karena ini sudah siang, jadi tidak ada waktu lagi. Seperti biasa, aku mampir dulu ke rumah Nana. Tak lama cewek yang saat ini mencepol rambutnya mendekat dengan wajah bete seperti biasa. “Cemberut mulu, lagi PMS lo?”
“Gue bareng Kelvin, Rik. Lo duluan aja”
“Lah, tumben”
Nana menghembuskan nafasnya frustasi. “Gara-gara laptop dia gue ilangin file nya, sampai sekarang dia belum mau ngomong sama gue.” Nana mengeluh dengan wajah pasrah. “Papa nyuruh gue buat baikan sama Kelvin dulu”
“Oh, jadi lo mau ngerayu kak Kelvin dulu gitu?”
Cewek cantik dengan riasan tipis itu mengangguk.
“Oke deh, gue duluan kalo gitu. See you di sekolahan!”
“Titidj, Rik!” (Hati-hati di jalan)
Sebenarnya, pertengkaran antara kak Kelvin dan Nana itu sudah biasa, sangat biasa malah. Tapi selama ini, belum pernah aku melihat raut wajah Nana sememelas itu. Dan baru kali ini, mereka bertengkar sampai mendiamkan satu sama lain.
Sepanjang perjalanan, pikiranku tersita oleh Nana. Entahlah, aku tidak biasa melihat wajahnya yang murung seperti tadi, Nana itu ceria dan selalu banyak tertawa, setidaknya kalau didepanku. Setelah sepuluh menit perjalanan, aku berhenti saat lampu menyala merah, didepan aku melihat seseorang yang tidak begitu asing tengah berdiri di depan halte.
Lampu menyala hijau, aku menjalankan kembali motorku dan berhenti tepat di depan cewek berseragam SMA Bina Jakarta. “Hei” sapaku. “Lagi nunggu bus?”
Dia mengangguk. “Bareng gue aja, kalo nggak salah kita sekelas. Gue Riki” aku mengulurkan tangan untuk berkenalan. Dengan ragu cewek itu menerima uluran tanganku, hangat langsung menjalar saat kurasakan telapak tangan cewek berambut panjang itu menyentuh telapak tanganku.
“Bia.”
“Bareng aja yuk, daripada lo telat nanti. Gratis kok”
“Gue nunggu bus aja deh”
“Udah deh, yuk!” Aku menarik tangannya, menyodorkan helm yang biasa Nana pakai untuk Bia. “Pakai”
Bia hanya diam saja saat aku memaksanya, dia bahkan tidak memberontak atau menolak lagi. Di kelas pun, dia hanya duduk di pojokan sendiri, tidak pernah sekalipun aku melihat Bia berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Pribadi Bia sepertinya berbanding terbalik dengan Nana.
“Kalo lo takut pegangan aja nggak apa-apa”
“I-iya”
Motoku kembali berjalan, berhambur dengan kendaraan lain. Sepanjang jalan Asia Afrika, Bia hanya diam. “Lo biasa nunggu di halte situ ya? Rumah lo dimana?” tanyaku membuka percakapan. Kalau sama-sama diam, maka suasana akan jadi canggung.
“Enggak, rumah gue di jalan Mas Putih. Tadi nganterin buku adik gue yang ketinggalan”
“Wah, muter dong. Padahal Mas Putih sama SMA Bina kan deket”
“Hm”
Hm. Adalah jawaban final yang tidak perlu aku balas lagi. Untung saja motorku sudah belok ke jalan Gerbang Pemuda, tak lama kemudian sampai di depan SMA Bina Jakarta. “Gue turun disini aja deh, nggak enak kalo ada yang lihat” katanya.
“Nanggung banget kalo nggak sampai dalem, udah tenang aja” aku tak mengindahkan permintaan Bia. Akhirnya aku melanjutkan sampai berhenti di parkiran sekolah. Bia segera turun bahkan saat mesinku saja belum mati. Cewek itu segera melepaskan helm dan menyerahkannya kepadaku.
“Thanks”
“Bia” aku menahan pergelangan tangannya. Bia menatapku dengan bingung. “Mau jadi temen gue nggak?”
Diam selama beberapa saat, Bia melepaskan cekelan tanganku dan tersenyum kikuk. “Tapi gue anak beasiswa.”
“So?”
“Biasanya nggak ada anak yang mau temenan sama anak beasiswa kayak gue”
Hah? Aku menatap tak percaya ke arah Bia yang masih menatapku dengan intens. “Hah? Lo anak beasiswa, tapi fikiran lo sempit. Nggak semua kayak gitu, jangan di pukul rata, Bi” aku terkekeh sinis.
“Oh ya?”
“Hm, jadi gimana? Lo mau jadi temen gue?”
Cewek itu tak menjawab, melainkan langsung melenggang pergi. Aku tidak tau apa yang membuat dia berpikir seperti itu. Aku juga tidak paham sikapnya barusan itu bentuk kesombongan atau memang dia takut untuk berteman.
“Gile, gile! Udah gebet cewek lain aja nih anak”
Suara itu membuatku menoleh, tatapanku langsung bertemu dengan Nana yang saat itu menatapku dengan datar. Sementara di sampingnya ada kak Kelvin yang cengar-cengir tanpa dosa. Apa mereka berdua melihat kejadian barusan?
“Gue duluan.” Nana pergi begitu saja.
Kak Kelvin berjalan menghampiriku. “Cemburu tuh nenek rombeng” katanya. “Siap-siap dompet lo di kuras abis buat minta maaf ke Nana” lanjutnya seraya tertawa dan dia melenggang pergi begitu saja.
Cemburu?
Iyakah?
Ada debaran aneh yang merambat di hatiku, apakah Nana benar-benar cemburu? Kalau begitu, apa dia juga punya perasaan yang sama denganku? Tak sadar senyumku mengembang, argh! Bisa gila kalau aku membayangkan orang seperti, Nana bisa cemburu, dan cemburunya itu karenaku!
Jiakh!!
-Batas Suci-
Kantin selalu ramai saat jam istirahat tiba, para manusia kelaparan berkumpul untuk mendapatkan makanan. Entah sejak kapan diberlakukan makanan catering di kantin. “Ini sejak kapan ada catering gini sih?” tanya Rosa, terlihat jelas raut wajah nya kesal.
“Yah, gue nggak bisa makan bakso satu mangkok lagi dong kalo gini caranya” timpal kembarannya, Risa. Eh, aku tidak kebalik kan menyebutkan nama mereka? Pasalnya, Rosa dan Risa ini susah dibedakan.
“Bacot ah, tinggal makan aja apa susahnya sih”
Keduanya langsung terdiam saat di semprot oleh Nana, didepan kami antrian masih lima anak. “Na, sensi banget. Lo beneran PMS beneran ya?”
“Bukan urusan lo”
Fiks sih ini Nana memang beneran cemburu. Aku menatap Rosa dan Risa yang asik mengomel di belakangku. “Gara-gara kalian nih, Nana ngamuk-ngamuk”
Risa memukul bahuku, aku mengaduh kesakitan. Tangan cewek kalo dibuat mukul kenapa sakit banget sih. “Enak aja! Si Nana ngamuk tuh gara-gara lo. Pas lo nggak masuk aja dia seru kok, nggak pernah ngamuk”
“Nah tuh, bener banget. Jadi semua gara-gara lo”
Aku menggaruk rambut yang tidak gatal. “s****n, dimana-mana cowok selalu salah dan cewek selalu benar”
Akhirnya giliranku tiba, aku menerima nampan berisi nasi, daging, tumis kangkung, sambal dan sepotong buah melon. “Enakan juga mie ayam” gerutuku, menyusul Nana yang sudah berjalan duluan menuju bangku kosong yang ada didekat jendela.
“Na” panggil ku, Nana masih asik memakan buah nya. “Lo marah sama gue gara-gara Bia tadi pagi? Demi Tuhan, Na, gue nggak ada hubungan apa-apa sama Bia. Gue juga nggak suka sama dia, cuma ya, dia kan temen sekelas kita, jadi apa salahnya gue ajak dia berteman, kan?”
Nana menaikan kedua alisnya, mulutnya masih sibuk mengunyah. “Gitu?”
“Hm” aku mengangguk dengan antusias.
“Gue nggak peduli tuh. Gue juga nggak marah sama lo. Gue cuma lagi badmood aja gara-gara Kelvin” Nana mulai menyuap nasi ke dalam mulut. “Dan, kalo seandainya someday lo suka sama cewek, it’s up to you. Nggak ada hubungannya sama gue”
Pipiku memanas, untung saja si kembar duduk terpisah dengan kita berdua. Andaikan mereka disini, keduanya pasti akan kompak menertawai kepedean ku yang selangit. Ramainya kantin menyelamatkan ku dari rasa malu yang sudah meluap-luap, ini semua gara-gara hasutan kak Kelvin!
-Batas Suci-
Lagi-lagi aku hanya bisa menggaruk rambut yang tidak gatal saat mendengar perdebatan antara kakak beradik legend didepanku ini. Parkiran sekolah lumayan sepi karena 85% muridnya sudah pulang kerumah masing-masing.
“Vin, ayolah. Lo jangan siksa gue kayak gini. Kalo sampai rumah nanti kita belum baikan, Papa bakalan sita cc gue” Nana memegang lengan kak Kelvin yang tampak tak acuh, justru cowok itu malah sibuk mengulum permen s**u.
“Bukan urusan gue.”
Nana terdiam beberapa saat, cewek itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sebelum mengatakan. “Kak Kelvin, gue bener-bener minta maaf. Gue tau gue salah udah hapus file di laptop lo. Plis, kak, maafin gue”
Uhuk!
Aku dan kak Kelvin sama-sama tersedak liur, kami berdua saling tatap sebelum akhirnya memecahkan tawa. “Na? Sumpah lo panggil kak? Geli anjir!” kataku seraya tertawa terbahak. Sementara Nana langsung menginjak kakiku dengan sengaja.
“Diem lo!”
Spontan aku langsung menutup mulutku daripada kena semprot. Kak Kelvin mengusap sudut matanya yang berair karena kebanyakan ketawa. “Oke-oke, karena lo udah imut banget dengan manggil gue kakak, gue bakalan maafin lo” Kelvin mengusap rambut Nana, lantas merangkul bahunya.
“Kita pulang bareng.”
“Cie akur cieeee” godaku, tatapan super tajam Nana langsung menghunus tepat di manik mataku.
“Peace!” aku menunjukan kedua jariku membentuk huruf V.
Mengekor di belakang motor Kelvin, saat di lampu merah Nana berteriak kepadaku. “Rik, gue mau makan sama Kelvin, lo ikut?”
“Ikutlah!”
“Oke”
Kita bertiga memutuskan untuk makan di sekitar jalan Galuh, di sana ada rumah makan ikan bakar yang muantep. Aku dan Nana sendiri sering pergi ke sana.
“Biar gue aja yang pesen” Kelvin tumben-tumbenan mau mengorbankan dirinya untuk memesan makanan. Aku dan Nana mengangguk dan berjalan menuju bangku kosong. Nana ingin duduknya lesehan, aku pun tak kuasa untuk menolak.
Tak lama kemudian kak Kelvin menyusul.
“Kita udah lama nggak liburan, kangen traveling” celetuk Kelvin seraya meletakan ponselnya diatas meja.
“Kemaren gue ajakin liburan di Indo aja gak mau” aku menjawab ucapan kak Kelvin.
“Akhir bulan ini gue mau ikut papa ke Spain. Terus bulan depannya kita ujian kan? Setelah itu libur, kira-kira enaknya kita kemana?”
“Lo mau ke Spain, Vin?” tanya Nana penuh minat. “Gue ikut dong, ya, ya?”
“Dih, minta ke papa sana. Ngapain ke gue”
“Gitu banget lo sama gue, bantuin ngomong ke papa biar boleh ikutan”
“Ogah”
Lagi, nggak dimana-mana keduanya selalu terlibat adu mulut. Telingaku sampai kebal.
“Gimana kalo kita ke London aja, kak?”
Dua pasang netra langsung mengarah padaku. “Kita belum pernah kesana btw, pas banget akhir tahun. Lagi musim dingin juga”
“Iya juga ya, kenapa gue nggak kepikiran” Nana tersenyum cerah, bahkan cerah sekali. Senyum pertama yang aku lihat setelah seharian cemberut. “Gue pengen banget ke dunianya potter! Ayo kesana!”
Kalau sudah membahas masalah liburan, cewek ini lah yang paling bersemangat, karena gemas aku menangkup wajah Nana dan menggoyang-goyangkannya. “Gemes banget sih, Na”
“Gimana, Vin?” Nana melepaskan tanganku dan menatap ke arah Kelvin.
“Budget aman?” tanya Kelvin, Nana mengangguk antusias. “Kalau buat bertiga aman kayaknya.”
“Gue pengen ajak Reno” celetuk Kelvin lagi.
“Ya nggak masalah sih, kak. Fifty-fifty bayarnya. Biar tiket pesawat sama hotel kita yang bayar, tapi selebihnya ditanggung sendiri” usulku.
Kak Kelvin menatap Nana, meminta pendapat. Nana langsung mengangguk dengan antusias. “Kita ajak Arga juga, makin rame makin seru!”
Bamsat!!!
“Nggak! Gue nggak setuju kalo ajak kak Arga”
Langsung saja ku tolak mentah mentah, aku yakin liburanku kali ini akan buruk kalau sampai kak Arga ikutan.