-You stress me out, you kill me, you drag me down, you f**k me up, we’re on the ground, we’re screaming. I don’t now to make it stop, I love it, I hate it, and I can’t take it-
-Batas-
Demi apapun, melihat Kelvin yang biasanya penuh semangat saat pergi ke luar negeri, sibuk bikin konten sana sini untuk channel youtube nya, dan belajar banyak hal tentang bisnis papa kini tampak seperti tubuh tanpa nyawa. Baru saja kita tiba dirumah, cowok itu langsung masuk ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Untung saja mama sedang tidak di rumah, seandainya mama tau kondisi Kelvin saat ini, bukan cuma papa yang mengamuk, mama pun pasti akan lebih mengamuk.
Dari kak Reno akhirnya aku tau sebab Kelvin sehancur ini, dia tinggalkan pas lagi sayang-sayangnya. Dan oh, s**t! Ternyata selama ini Kelvin punya pacar, dan kabarnya dia juga kakak kelasku, tapi sekarang udah pindah ke Korea.
Aku menyusul Kelvin, membuka pintu kamarnya. Ku lihat dia tengkurap di atas ranjang, “Gue benci banget lihat lo kayak gini, Vin. Anggap aja gue bukan adik yang baik buat lo, tapi lo juga harus sadar. Bentar lagi kita traveling, ke London, Vin! Lo mau kayak gini terus??”
“Biarin gue sendiri dulu, Na. Lo nggak akan paham sesakit apa perasaan gue.”
Bukannya pergi, aku justru mendekati Kelvin. Duduk di samping ranjang dan memegang bahunya. “Kapan sih lo mau terbuka sama gue? Kenapa lo nggak percaya sama gue, Vin? Sebagai sodara, lihat lo kayak mayat hidup gini gue juga nggak tega, asli.”
Kelvin menatapku sejenak, tak lama dia bangkit. Tatapannya intens namun sendu, bisa ku lihat seberapa banyak luka yang ia simpan dibalik lensa matanya. “Boleh gue peluk lo bentaran, Na?”
“Everytime, if you want it, do it.” jawabku seraya merentangkan tangan. Kelvin memelukku erat, nggak peduli seberapa sering aku bertengkar dengannya, jika aku membutuhkan seseorang, selain Riki, Kelvin lah yang akan selalu datang. Dan jika Kelvin membutuhkan seseorang seperti saat ini, aku pun siap untuk menjadi sandarannya.
“Salah nggak sih, Na, kalo gue terlalu fokus sama pendidikan dan karya-karya gue selama ini? Meskipun gue sibuk, gue juga pengen quality time, deep talk sama cewek gue, Na. Tapi diantara kita nggak ada yang mau mulai, dia lebih milih buat pulang ke Reno dibanding gue.”
“Sekarang gue tanya sama lo, kontribusi dia di hidup lo tuh apa?”
Kelvin terdiam, cowok itu menguraikan pelukan kita. Lagi-lagi dia menatapku, kali ini tatapannya berbeda, tak ada sendu sedikitpun. “Bener juga, kontribusi dia di hidup gue apaan? Selama ini dia nggak pernah peduli sama kesibukan gue, apa yang gue lakuin.”
“Maka dari itu, Kelvin. Seharusnya lo sadar, selama dia nggak berkontribusi apapun di hidup lo, nggak usah di pusingin. Soal perasaan lo, nggak usah dipaksa buat berhenti, nanti juga hilang sendiri. Tunggu aja sampai ada orang baru yang isi”
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, muncul muka kak Reno dengan raut khawatir. Aku dan Kelvin menoleh bersama-sama, menatap kaget ke arah kak Reno. Merasa mereka berdua butuh privasi, aku segera berdiri. “Gue ke kamar dulu kalo gitu” aku undur diri, menyempatkan tersenyum ke arah kak Reno yang masih berdiri di ambang pintu.
“Sadarin tuh kak, temen lo”
“Abang lo, Na”
Aku hanya menanggapi dengan kekehan, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan kamar Kelvin. Semoga saja, tuh anak nggak bikin ulah lagi, cukup pas di Spain aja dia bertingkah. Nggak lucu kalo aku harus jemput Kelvin tiap malam di club.
-Batas-
Aku pikir, mama sama papa bakalan pulang paling tidak minggu depan. Mama sih cuma pergi ke Surabaya, dan papa masih di Spain. Tapi ternyata, esoknya aku mendapati mereka berdua duduk di kursi makan. Kelvin yang sedang mengancing baju seraya jalan disampingku spontan menghentikan langkah kakinya. Kepalanya menoleh ke arahku. “Mampus lah gue, Na!” desisnya.
“Lo aja sana mampus sendiri, berani ngulah ya harus berani bertanggung jawab.” aku tersenyum dan menyapa kedua orang tuaku. Lalu duduk di samping mama. “Aku pikir papa sama mama masih lama pulangnya”
Tatapan kedua orang tuaku terpaku pada Kelvin yang baru saja duduk di kursi, “Jangan kira papa sama mama nggak tau apa yang udah kamu lakukan selama di Spain, Kelvin.”
Ups.
Suara Papa terdengar begitu dingin, sori, Vin. Kali ini aku nggak bisa bantuin apalagi belain didepan papa sama mama.
“Papa pikir kamu bisa berpikir jauh kedepan.”
“Dan mama kira, kamu bisa mengendalikan diri sendiri. Selama ini, mama sama papa begitu percaya sama kamu, Kelvin. Sebagai anak sulung, kamu begitu mandiri, kamu pintar, kamu bisa melakukan segalanya. Tapi hanya karena masalah cewek kamu melakukan hal bodoh seperti itu, Kelvin Bagaswara Bima?!” intonasi suara mama mulai naik.
Selama ini, mama sama papa jarang sekali marah. Kalau dilihat sekilas mereka terlihat tidak peduli dengan apa yang aku dan Kelvin lakukan. Tapi sebenarnya mereka memantau dari jauh, mereka selalu tau apa yang aku dan Kelvin lakukan di luar rumah.
“Papa kecewa sama kamu, Vin. Banyak kolega papa yang bertanya, dimana kamu saat pertemuan itu. Dimana anak yang selalu Papa banggakan, dimana otak cerdasmu itu, Kelvin?!”
Dicecar terus menerus oleh Papa dan Mama, Kelvin terdiam seribu bahasa.
“Ini pertama dan terakhir kalinya Papa lihat kamu seperti ini. Papa nggak mau lihat kamu bertindak bodoh. Fokus sama pendidikan dan hobimu, jangan hancurkan masa depanmu cuma karena seorang gadis yang bahkan menghargai keberadaanmu saja tidak.”
Mantap!
Lanjutkan, Pa! Kelvin memang harus dikasih paham supaya mengerti. Lagian, dia nangisin cewek yang gak ada gunanya di hidup dia. Apalagi kata Kelvin, tuh cewek kelihatan naksir kak Reno, cih, secantik apa sih dia??
“Ingat apa kata papa mu tadi, Kelvin. Ini juga berlaku buat kamu, Na. Jangan pernah merusak diri sendiri demi orang yang nggak berguna di hidup kamu, kalian itu masih muda, papa sama mama kasih kalian kebebasan untuk mengeksplor luasnya dunia, belajar sebanyak yang kalian bisa. Paham??”
“Paham, Ma.”
“Paham.”
“Yasudah, kita sarapan sekarang”
Hari ini Riki berangkat duluan karena dia harus piket. Dia bilang, Rosa mengancam akan memutilasi Riki jika tidak datang untuk piket kelas. Yah, gimana ya, Rosa kalo ngancem emang serem sih hahaha. Ujung-ujungnya, aku harus berangkat bareng Kelvin.
“Lo sadar nggak, Na” celetuk Kelvin saat kendaraan roda duanya berhenti di lampu merah. Aku menatap wajahnya dari samping. “Mama sama Papa kalau marah kayak tadi, dimata gue berharga banget. Momen langka, mereka kelihatan peduli banget sama gue”
Aku mendorong kepala Kelvin. “Yeee, nih anak. Bukannya sadar setelah dapet kultum, malah mikir macem-macem. Jangan kayak orang kurang kasih sayang lo, Vin.”
“Emang kurang, ‘kan?”
Mendadak perasaanku jadi aneh, “Eng..nggak lah!” ragu. Aku yakin Kelvin menangkap gelagat keraguanku, hanya saja dia tidak memperpanjang obrolan karena harus kembali melajukan motor saat lampu berubah warna menjadi hijau.
Tak berselang lama, kita sampai di SMA Bina Jakarta. “By the way, kita mau meet kapan buat bikin plan traveling? Kita cuma punya waktu dua bulan lagi sebelum ujian dan liburan semester”
“Malem nanti juga oke, ntar gue kabarin Reno sama Arga.”
“Hm, okay. Gue ke kelas duluan kalo gitu” baru saja aku balik badan, aku teringat sesuatu. Aku menyodorkan telapak tangan, “Minta duit dong, buat jajan”
Kelvin melirik ku dengan tajam, sementara aku pura-pura bloon, “Lo manusia nggak tau diri yang pernah gue lihat.” meski ngomel, Kelvin tetap mengeluarkan dompetnya. Aku mengintip seraya menggigit bibir, merah, biru, hijau, oke.. please, pasti yang mer—
“CEBAN?!!” mataku melotot saat Kelvin buru-buru turun dan berlari kabur dariku seraya memainkan bokongnya. Anak setan! “Duit ceban buat apaan anjir, beli boba juga nggak cukup, miskin banget punya abang!”
Dengan kesal aku memasukan uang ceban ke saku celana, lantas berjalan menuju kelas. Saat berjalan di samping lapangan, tak sengaja aku menatap dua orang tengah berbicara, aku menyipitkan mata, “Berantem ya mereka?” untuk pertama kalinya kulihat wajah tegang Arga, kakak kelasku. “Sapa nggak ya.. nggak usah deh, takut ganggu”
Langkah kaki ku terhenti saat hendak menaiki anak tangga, netraku menangkap sosok yang selama beberapa hari ini tidak kutemui, sahabat sehidup sematiku. Ku urungkan niat untuk menaiki anak tangga, mengubah haluan. Beberapa meter dari tempat Riki berada, aku melipat kedua tangan didepan d**a.
“Woy! Anak kukang!”
Kepala Riki mendongak, dengan rambut basah dia menoleh ke arahku. “Siapa ya? Kita kenal?”
Senyumku mengembang. Riki mengacak rambut basahnya, wajah cowok itu terlihat fresh, nambah deh kadar ketampanannya! Dia berjalan menghampiriku seraya melempar percikan air ke wajahku. “Spain bikin lo stres ya??”
Selain ke kak Reno, aku curhat masalah Kelvin ke Riki. “Bukan cuma stres, hampir gila gue. Bayangin aja tiap malem gue harus datengin satu persatu club buat cari si Kelvin.”
“Kok lo bisa masuk club sih???”
“Hehe, rahasia.”
“Jangan bilang lo nyamar jadi ninja terus menyelinap ke dalam?”
“Kebanyakan nonton 2D lo!”
“Ngomongin soal 2D, gue udah sampai episode 900 One Piece! Gila nggak tuh.”
“Juling, juling dah tu mata, Rik. Gue kira lo begadang cuma buat ngerjain konten”
“Lo pikir gue nggak butuh healing, stres yang ada”
“Seragam lo mana?”
“Ada di kelas, tadi gue basahin kepala nih. Gerah banget habis beresin kelas, asal lo tau aja Rosa galak nya kambuh. Dia bawa penggaris besi buat mukul anak-anak yang nggak mau piket!”
Yah, begitulah Riki. Selalu ada topik menarik yang dibahas jika tengah bersamaku. Kadang, dia menceritakan sesuatu yang tidak aku pahami tentang cewek dua dimensi nya. Sementara Riki juga selalu menanggapi cerita random ku tentang para cowok Korea yang cakep-cakep itu. Katanya, Wibu sama Kpopers adalah ras terkuat di Bumi ini, rill kah??
-Batas-
Ku pikir, segala jenis masalah sudah aku hindari. Termasuk yang satu ini.
Setelah lelah belajar 4 jam di kelas, aku kan juga lapar. Bersama teman-temanku, Riki, Bia, Rosa dan Risa, kita mendapatkan makanan di nampan masing-masing. “Duduk di pinggir jendela aja deh, kosong tuh” Rosa menunjuk salah satu bangku menggunakan dagunya.
“Boleh, gue udah laper banget.”
Saat aku hendak melangkah, seseorang menghadang. Dia menatap wajahku intens, dari atas ke bawah lalu balik lagi menatap wajahku. Sumpah, raut wajahnya nggak enak banget buat di tatap. “Sori, gue mau lewat.” kalian semua harus tau, aku cinta damai. Kecuali sama Kelvin!
“Gue penasaran, lo itu secantik apa sampai bikin Arga jatuh cinta dan berpaling gitu aja dari gue.”
Damn!
“Lo siapanya Arga?”
“Gue Altha, mantan pacar Arga.”
Sudut bibirku spontan menukik ke atas, kepalaku menggeleng-geleng. “Cuma mantan, ‘kan? Itu artinya Arga bebas buat jatuh cinta ke siapapun termasuk gue. Lo ngerasa kalah saing??”
Gotcha!
“s****n!!” Altha mengangkat tangan hendak menamparku, tapi sebuah tangan menahan lengan cewek nggak jelas itu. Aku melirik ke samping dimana Kelvin dan kak Reno berdiri.
“Berani nampar Nana, lo berurusan sama gue. Gue nggak peduli lo siapa dan gender lo apa.”
Widih, kesambet apaan nih si Kelvin tiba-tiba dateng bak pahlawan kesiangan. Mau baper, tapi dia abang sendiri. Altha menarik tangannya, dia menatap kesal ke arah aku dan Kelvin. “Dasar sasimo! Udah punya pacar, masih aja genit ke Arga!”
Bitch!
Dia ini beneran anak Bina apa enggak sih? Masa nggak tau kalau aku sama Kelvin itu saudaraan. Oke, mari kita sedikit mendramatisir keadaan. Kukalungkan tanganku di lengan Kelvin, memasang wajah semanja mungkin. “Beb, masa aku dikatain sasimo sih??”
Gelak tawa terdengar dari seluruh penjuru kantin, aku sengaja menaikan suaraku agar semua orang tau. Sementara aku menahan tawa, Kelvin memasang wajah ingin menelanku hidup-hidup seandainya dia bisa. “Kamu percaya kan kalo aku nggak ada hubungan apa-apa sama Arga, beb??”
“Altha!”
Panggilan itu membuyarkan suasana di dalam kantin, Arga menderap dan menghampiri Altha. “Lo apa-apaan sih?! Childish tau nggak!”
“Kasih tau sama mantan pacar lo itu, Ga. Kalo kita nggak ada hubungan apapun, dan gue nggak pernah genit ke cowok manapun.” setelah itu, aku melenggang pergi menuju bangku diikuti oleh teman-temanku. Kelvin dan Reno melangkah menuju antrian untuk mendapatkan jatah makan.
“Sumpah, Na. Wajah kak Kelvin kayak orang nahan b***k pas lo panggil dia beb!” Risa cekikian.
“Lagian sih, tuh cewek gaje dateng-dateng ngelabrak gue. Pake ngatain gue sasimo lagi. Perasaan gue nggak pernah gatel sama cowok”
“Tapi, Na. Kak Arga beneran suka sama lo?”
Pertanyaan itu langsung menyita atensi ku, soalnya yang bertanya si Bia. Cewek yang sejak tadi bungkam. Aku mengangkat bahu santai. “Lo harusnya tanya gitu ke Arga, Bi. Bukan ke gue, tapi kalo lo tanya apa gue suka sama dia, jelas gue jawab, enggak.”
“Si Nana kan sukanya sama—”
Buru-buru aku membungkam mulut cablak Rosa sebelum melontarkan sebuah nama yang memang sudah terpatri di dalam hati, hanya saja aku malas untuk mengumbar, apalagi sampai mengejar sosoknya. Biarlah ini jadi urusanku sendiri.