Bagian 3 II Arga Pov

2019 Kata
-Kehadiranmu lekat, tapi tak bisa kupeluk erat- Casanova. Apa pendapat pertama yang muncul di pikiran kalian saat tau nama belakangku itu? Ya, kalian pasti langsung teringat sosok Giacomo Casanova, laki-laki nakal dan penakluk wanita asal Italia itu. Tapi kalian salah besar jika menganggapku sama seperti sosok Giacomo Casanova, nama Casanova yang aku punya tidak mempunyai arti sedalam itu, aku bukan pria nakal dan sebagainya. Casanova adalah gabungan dari nama Papa ku Caessar Rudianto dan Mama Nova Sartika kumala. Itu saja, tidak ribet kan? tentu saja tidak. Namun aku tak menampik kalo ketampananku rada mirip sama si Casanova asal Italia itu. Tidak seratus persen sama sih, kita hanya punya satu persamaan yakni, tampan.  "Arga." Aku menoleh, "Apa?!"  "Masih belum berubah,  kayaknya risih banget sama gue" jawabnya seraya menggandeng lengan ku dan menyenderkan kepalanya di bahuku. Sumpah, aku risih banget sebenarnya, tapi mau gimana lagi, diusir pun dia tidak akan mau pergi. "Kalo boleh jujur sih, Iya" Liona, dia teman seangkatanku yang kata teman-teman lain cantik banget. Memang aku akui kalau Liona cantik dengan tubuh langsing dan putih mulus, tinggi 167 cm. Tapi tetap saja, kelakuannya yang suka menempel padaku membuatku risih. "Ish. Arga, gue tuh kangen sama lo..” “Li, lepasin deh, ntar kalo ketahuan guru bisa-bisa di panggil BK” kataku seraya mencoba melepaskan cekelan tangan Liona. “Ih nggak apa-apa tau, lo lupa siapa guru BK kita?” “Mama lo” “100 buat yayang Arga!” Aku memutar bola mata malas, “Beneran deh, Li. Gue risih banget ini” Akhirnya Liona mau melepaskanku, cewek itu menatapku dengan kesal. “Yaudah deh kalo nggak mau gue tempelin, bye!” Setelah mengatakan hal itu, Liona langsung melenggang pergi. Aku baru bisa bernafas lega setelah itu, lebih lega lagi saat netraku tak sengaja menatap sosok yang berjalan dari kejauhan. Sosok itu adalah cewek pujaanku. Crush. "Nana!!" Mantap, panggilanku berhasil membuat dia berhenti dan menoleh. "Apaan?" jawab Nana cuek seperti biasa. Entah kenapa, Nana selalu memasang wajah cuek, dari sejak pertama kali aku bertemu dengan dia, belum pernah aku melihat Nana tersenyum lebar. Nana adalah adik kelasku, aku tak sengaja bertemu dengannya kemarin di depan sekolah dan anehnya aku langsung menyukai dia. Aku juga mulai stalk ig, twitter serta akun sosial media lainnya, bahkan sekarang aku punya nomor kontak cewek itu. Tak susah untuk mencari siapa Nana, karena dia seorang youtuber yang isi kontennya adalah traveling.  Aku berjalan mendekat ke arah Nana. “Mau kemana lo?” “Kelas” “Mau ke kantin bareng gak? Gue traktir makan” Nana melipat tangan didepan d**a. “Apa menurut lo muka gue kek orang gak punya duit?” Sumpah, Nana emang paling beda. Kalau cewek lain di tawari traktiran, pasti akan langsung semangat, nah ini? Malah ngamuk-ngamuk. Aku mengusung senyum manis, senyum yang bisa meleleh kan hati para ciwi SMA Bina Jakarta. “Ya,.. nggak gitu juga sih, Na” “So?” Nana mengibaskan tangannya. “Udah ah, gue udah kenyang tadi juga sudah makan. Gue ke kelas duluan ya, Ga” Kampret emang si Nana, manggil seenak jidat. Tapi karena ini Nana jadi aku tidak masalah. Aku mengangguk dan membiarkan Nana pergi begitu saja. -Batas Suci- Mungkin ini perdana, aku akan bilang ke kalian kalau aku benci berada di keramaian seperti saat ini. Pulang sekolah tadi, Mama menyeretku untuk dijadikan sopir sekaligus tukang dorong troli saat sudah sampai di supermarket. Yaps, biasalah Ibu-ibu belanja bulanan. Karena tak sabar menunggu Papa pulang, akhirnya aku yang jadi korban. Balik ke topik awal, aku benci berada di keramaian karena risih dengan tatapan orang-orang. Mereka terus menatapku seolah tak pernah melihat orang tampan saja. Terserah kalian mau menganggapku aneh,..arrkkhh!! Aku benar-benar ingin langsung pulang saat memergoki banyak pasang mata menatap ke arahku, apa sih yang mereka lihat? Wajahku? Sumpah ya, di luaran sana masih banyak wajah yang lebih tampan dariku, aku bukan satu-satunya orang tampan. Menurut kalian, aku tampan tidak sih? Kalau kata teman-temanku, wajahku itu mirip Eric The Boyz.  "Ma, kenapa nggak nunggu papa pulang aja sih belanjanya" kata ku seraya mensejajari langkah kaki mama. Kalau mama peka, dia pasti tau kalau aku tidak nyaman disini. Tapi sepertinya mama tidak menyadari ketidaknyamanan ku karena mama sudah sibuk dengan daftar belanjaan.  "Kelamaan, Ga. Makanan di rumah udah abis, kamu sama Agra mau makan apa nanti, batu?" "Ya nggak gitu juga mama, kan ada indomie sekerdus di dapur" "Kalo kamu sama Agra makan indomie selama satu minggu, mama yang bakalan kena semprot papa mu karena gak bisa ngurus kalian, paham?" "Tapi aku risih, Ma, di lihatin sepanjang jalan sama orang-orang" gerutuku sambil berjalan di samping mama. "Udahlah cuekin aja, salah sendiri kamu terlahir ganteng" Aku berdecak karena jawaban mama "Kok jadi aku yang salah. Kan bahannya dari papa sama mama juga" "Emang kamu donat apa yang buatnya harus pake bahan" jawab mama tak mau kalah. "Lah, emang dulu mama sama papa pas buat Arga, enggak pake bahan gitu?" Mama diam, menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, memastikan sekali lagi penampilanku, siapa tau ada yang salah. Tapi berapa kalipun aku mengecek, hasilnya tetap sama, aku biasa saja. Mengenakan kaos hitam polos dengan celana selutut, serta topi yang juga berwarna senada.  "Ma, kapan selesainya?"  "Demi tuhan ini anak, kita aja baru sampai lima belas menit yang lalu, Ga. Tau gini mama tadi ajak Agra aja" jawab mama yang sepertinya kesal karena aku terus saja mengomel. Oh iya, sekilas aja, Agra adalah adik ku. Jadi kalian tidak usah bingung siapa Agra itu. Mama kembali sibuk memilih bahan  bahan dapur yang aku sendiri tidak tau apa namanya. "Kenapa Mama nggak belanja di supermarket kita aja, lumayan gratis kan"  "Gratis mulutmu! Mendingan kamu diem deh, Ga. Atau gak pergi kemana gitu, makan kek, nonton kek, Mama nggak bisa tenang kalo kamu ngomong terus"  "Dih, mama kok ngusir" Mama menatapku, lantas menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Tak menjawab, mama kembali memilah sayuran. "Aduh, ini kenapa harga sawi aja mahal banget sih. Kalo si mamang yang jual harganya pasti lebih murah, bisa ditawar lagi"  Aku menggerutu dalam hati, mana bisa harga di tukang sayur perumahan di samakan dengan harga di supermarket. Mama ini aneh-aneh aja.  "Arga makan dulu deh kalo gitu, nanti kalo mama udah selesai telpon aja." Mama hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahku, dia sibuk memilih bumbu-bumbu dapur.  Setibanya di tempat Foodcourt, tak sengaja aku melihat seseorang, seseorang yang langsung membuat mood ku jadi baik kembali setelah perdebatan dengan mama tadi, tanpa menunggu waktu lama aku langsung menghampiri seseorang itu. "Hei"  Nana menoleh, "Arga"  "Sendirian?" Ya, aku bertemu Nana. Dia tengah duduk sendirian di temani segelas sakura fizz. "Kok perasaan dimana-mana ada elo sih, Ga"  Yeu, bukannya menjawab dia malah membelokan pembicaraan. Tapi tak masalah karena ini Nana, jadi terserah dia mau apa juga, terserah. Bisa-bisanya aku menyukai cewek sejutek Nana. "Gue kan ibarat jin nya aladin, Na. Dimana ada yasmine disitu ada Jin" "Cih, kok gak nyambung sih" jawabnya, namun sedetik kemudian Nana terkekeh. "Nyambung dong, kan dimana ada yasmine disitu ada aladin" "Iya juga ya" Senyumku langsung pudar saat mendapati satu orang yang aku anggap sebagai rivalku datang. Aku melirik sekilas ke arah Nana yang langsung tersenyum lebar saat melihat kedatangan orang itu. “Lama amat, Rik” Yep, dia adalah Riki. Teman, atau bisa dikatakan sahabat Nana. Mereka itu sudah seperti surat dan perangko, yang kemana-mana selalu menempel. Dimana ada Nana, pasti di situ juga ada Riki. “Eh, ada kak Arga. Sendirian kak?” tanya Riki, cowok itu duduk di samping Nana. “Bukan urusan lo.” Meski tak berniat judes, entah kenapa kejudesan itu alami muncul dari dalam diriku. Riki dan Nana menatapku dengan bingung. “Lo kenapa dah, Ga?” tanya Nana, menyedot sakura fizz nya dengan nikmat, di susul jemarinya mencomot kentang goreng lantas di lahap dengan penuh penghayatan. “Nggak apa-apa, mungkin efek capek. Daritadi dorong troli belanjaan Mama banyak banget” “Widiii, anak Mama nih” lagi, suara itu membuatku kesal. Aku melempar Riki dengan kentang goreng yang ada di meja. “Diem ae lo, anjir.” Riki tergelak, dan anehnya Nana juga ikut tergelak. Aku menatap dua orang yang ada di depanku dengan kesal. “Kak Arga sensi banget sama Riki, ada dendam pribadi apa gimana?” tanya Nana di sela gelak tawanya. “Muka dia tuh kayak minta di jotos, Na. Lagian lo kok mau-maunya temenan sama cowok tengil kayak dia” jawabku jujur. Nana menatap aku dan Riki secara bergantian, sebelum akhirnya menjawab. “Takdir mungkin.” Ponselku bergetar, nama Mama terpampang disana. “…” “Iya, Arga kesana, Ma.” lantas panggilan  berakhir. Aku menatap sengak ke arah Riki yang hendak meledekku lagi. “Apa lo?!” “Nggak” katanya seraya menggelengkan kepala. “Gue duluan deh kalo gitu” kata ku berpamitan. Nana mengangguk mengiyakan. -Batas suci- “Gra!” aku mengayunkan tangan memanggil adikku yang duduk dibangku SMP kelas 2. Cowok yang tingginya hampir sama denganku itu mendekat. “Bantuin angkat belanjaan mama dong, gantian.” “Idih. Orang mama nggak nyuruh” kata Agra yang marganya sama denganku Casanova. Aku menonyor kepalanya. “Dimintai tolong bukannya bantuin malah bantah, mau lo jadi gembel di jalanan?” “Dih, emang kak Arga yang kasih aku makan? Enggak kan?” Aku mengambil ancang-ancang hendak menendang bokongnya, Agra, meski dengan kesal akhirnya mengiyakan. “Sini!” katanya, wajahnya sudah masam seperti acar yang direndam cuka selama lima ratus tahun lamanya. “Lagian belanja banyak amat, mau ada syukuran apa ya” Agra menebak-nebak seraya mengambil satu kardus dari dalam bagasi mobil. “Tanya sendiri noh sama mama” jawabku, berjalan masuk seraya membawa dua tumpukan kardus. Sementara mama ada di dapur tengah menata belanjaan dan memasukan sayur-sayuran ke dalam kulkas. “Udah semua, Ga?” “Udah, Ma” “Yaudah taruh situ aja, nanti biar Mama yang beresin” Aku mengangguk patuh, setelah tugasku selesai aku berjalan ke kamar. Mandi dan setelah itu makan, tadi aku yang niatnya makan gagal karena ada Nana dan Riki, rasa-rasanya perutku kembali keroncongan. Tak butuh waktu lama aku selesai mandi, namun saat keluar aku mendapati Agra tengah berada di dalam kamarku, lebih tepatnya memainkan game yang ada di komputer ku. “Ngapain lo disini?” “Numpang” jawabnya singkat, Agra tengah fokus menatap layar komputer yang ada didepannya. Mengabaikan Agra, aku memilih untuk segera berganti baju. “Papa kapan pulang, kak?” tanya dia. “Lusa mungkin” “Lama amat, aku mau minta komputer baru padahal” Aku berdecak pelan. “Emang komputer lo kenapa?” “Rusak, udah kebanyakan virus mungkin.” “Bukan kebanyakan virus, tapi kebanyakan film p***o, iyakan?” Agra menatapku sengit. “Sembarangan! Jangan fitnah gitu dong, nanti kalo mama denger, kan bisa berabe” “Gue mau turun, ntar jangan lupa di matiin kalo udah selesai” “Hm” Melangkahkan kaki menuruni anak tangga, aku berpapasan dengan Mama di bawah. “Agra mana? Itu dibawah ada temennya, katanya sih mau belajar kelompok” “Ada tuh di kamarnya Arga, Ma” “Panggilin gih, Ga. Kasihan kalo temennya nunggu lama” “Graa—awh!” Aku mengusap bahu yang barusan kena pukul oleh Mama. “Mama kenapa mukul sih?!” tanyaku sewot. “Panggil kesana! Jangan teriak-teriak, gak sopan!” “Iya, iya” meski kesal aku tak membantah ucapan Mama. Yah, beginilah hidupku. Aku seorang Argarendra Casanova, terlahir sebagai anak sulung di keluarga yang amat sangat  mencintai bisnis. Bahkan semenjak aku kelas sebelas, Papa sudah sering mengajakku untuk keliling mengecek supermarket yang ada di kota tempat kami tinggal. “Suatu saat, kamu yang bakal gantiin bisnis, Papa, Ga. Menjaga itu lebih sulit daripada membangun, makanya kamu udah papa kenalin sama bisnis ini sejak masih muda” “Terus Agra?” “Agra juga sama, bedanya kamu nanti yang akan mengajari dia. Dan kalian akan saling kerja sama untuk mengembangkan bisnis yang sudah papa rintis dari nol" Tanganku memegang handle pintu, membukanya. "Woi! Ada temen lo tuh dibawah, katanya mau belajar kelompok" "Oke" "Eit! Matiin dulu tuh komputer gue!" aku menghadang Agra yang hendak kabur tanpa mematikan komputer setelah di pakai. "Ribet bener ah" Agra berjalan kembali, lantas mematikan komputernya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN