-Bahuku cukup lebar, bisa kamu pakai untuk bersandar-
Sudah ku duga pasti aku akan mendapatkan giliran untuk menyapa kalian semua. Entah apa yang direncanakan oleh dia, mengikut sertakan ku dalam cerita ini. Sebelum aku melanjutkan, aku ingin bertanya kepada kalian, setelah sampai di part ini, siapa saja yang sudah kalian kenal?
Kelvin?
Nana?
Riki?
Atau ketiganya kalian sudah kenal?
Yep, lagipula, siapa sih yang tidak mengenal mereka bertiga? Youtuber dengan jumlah subscribe yang lumayan banyak, terakhir kali aku cek sih sekitar 11 juta subscribe. Isi konten mereka juga beragam, tapi paling dominan kegiatan traveler sih.
Aish, kenapa aku jadi ngoceh tentang mereka?
Skip. Mari kita mulai mengenal siapa aku.
Namaku Reno Alfarizi, aku teman dekat Kelvin yang bisa dikatakan sebagai sahabat. Kami kenal saat mulai masuk SMA Bina Jakarta dan dia duduk di sampingku. Aku anak sulung di keluarga Bramanto, nama papa ku, sementara nama mamaku Adelia. Aku punya 1 adik yang berusia 6 tahun, Redy Alfarizi.
Pagi ini seperti biasa, aku datang dengan motor matic ku yang kuberi nama Cimory. Fyi saja, aku suka sekali dengan yogurt. Cimory berhenti di parkiran, setelah mesin mati aku melepaskan helm, dan berjalan menuju kelas.
Aku tak sepopuler Kelvin meski kami bersahabat. Tapi yah, tetap saja, dikit-dikit kepopuleran Kelvin ada pengaruhnya untukku. Followers i********: ku ribuan, dan tak jarang ada tawaran endorse, namun selalu aku tolak karena aku tidak terlalu tertarik dengan hal-hal semacam itu. Dari kecil, papa sudah mengenalkanku pada dunia Investasi. Jadi ya, mau tak mau ketertarikanku mengarah ke sana.
Baru saja bokongku menempel di bangku, muka kusut teman sebangkuku penjadi pemandangan pertama yang aku lihat. “Masih pagi muka kusut amat, begadang lagi?”
“Hm, ngelembur konten yang baru gue take kemarin sih”
“Kesehatan lo juga diperhatikan, Vin, jangan konten mulu yang lo pikirin”
Kelvin terkekeh. “Makasih sayang..”
Aku menempeleng kepalanya. “JAUH-JAUH LO DARI GUE KELVIN!” Teriakku, ya gimana, habisnya dia menjawab seperti itu dibarengi dengan senyum m***m. Sumpah demi tuhan, aku bukan gay, begitu juga dengan Kelvin, setahuku sih.
“Canda, aelah, lagian lo perhatian banget kek doi”
“Emang doi lo perhatian?” tanyaku denial. Kelvin hanya mengangkat bahunya.
Jarang ada yang tau kalau Kelvin sudah punya pacar, keduanya menyembunyikan hubungan entah apa alasannya. Setahuku, Kelvin sudah berpacaran selama setahun terakhir ini, nama pacarnya adalah Fiersa.
Dan lucunya, Fiersa satu sekolah dengan kami dan bahkan satu angkatan dengan kami. Kenapa aku bisa mengenal Fiersa? Karena aku sahabat Kelvin? Tentu saja bukan, sebelum Kelvin mengenal Fiersa, aku lebih dulu mengenal gadis itu.
“Fiersa hari ini nggak masuk lagi” kataku menyambung percakapan kita berdua.
“Kok dia nggak bilang apa-apa ke gue?” tanya Kelvin seraya menatapku dengan wajah masam. Bukan rahasia lagi kalau Kelvin selalu cemburu akan kedekatan ku dan Fiersa.
“Ya mana gue tau anjir, gue kira dia bilang ke elo” jawabku tak enak hati. Lagipula, kenapa juga Fiersa tidak bilang ke Kelvin dan malah bilang ke aku.
“Yaudahlah, toh udah sering kan kejadian kayak gini. Lo akan selalu jadi prioritas, sementara gue jadi selingannya” sarkas Kelvin, cowok itu memalingkan wajah.
Hubungan Fiersa dan Kelvin tuh memang seaneh itu. Aku sendiri juga tidak paham. Kelvin dengan segala kesibukannya selalu berusaha menyisihkan sedikit waktu untuk Fiersa jika cewek itu meminta. Namun keseringan, Fiersa jarang meminta, justru dia lebih sering meminta waktuku, meski hanya untuk menemaninya makan.
“Lo nggak coba ke rumahnya? Siapa tau dia sakit atau—“
“Kenapa harus?” Kelvin menegakkan punggungnya. “Kenapa gue harus peduli sama orang yang nggak pernah menghargai keberadaan gue selama ini?”
Aku terdiam mendengar penuturan Kelvin.
“Setahun, gue bertahan sama dia. Tapi dia, selalu menjadikan elo sebagai rumahnya, dan cuma elo, Ren.”
"Cemburu lagi.." kata ku lemah.
-Batas Suci-
Pulang sekolah aku memutuskan untuk menuju rumah Fiersa yang jaraknya lumayan jauh karena arah rumah dia dan rumahku berbeda. Namun karena kekhawatiranku itu, aku akhirnya memutuskan untuk pergi kesana.
“Bentar, Mor. Beli jajan dulu buat Fiersa” kataku seraya mengelus Cimory. Turun dari motor, aku masuk ke salah satu minimarket. Mengambil keranjang dan menuju ke rak makanan ringan. Aku membeli beberapa yogurt, s**u, minuman rasa buah, makanan ringan, biskuit, dan beberapa bungkus indomie.
Setelah selesai aku langsung ke kasir dan membayar belanjaanku.
“Mau isi pulsa sekalian, Mas?”
“Nggak, Mbak”
“Total belanjaannya lebih dari lima puluh ribu, bisa tebus murah. Ada softex yang harganya jadi lima ribu, lalu—“
“Enggak, Mbak, itu aja” balasku cepat. Lagian, masa cowok ditawari softex.
Setelah membayar aku langsung keluar dan kembali melanjutkan perjalanan bersama Cimory menuju rumah Fiersa.
Seperti biasa, rumah cewek itu selalu sepi. Aku turun dan memencet bel rumahnya, ponsel Fiersa juga mendadak tidak bisa di hubungi membuatku semakin khawatir. Dua kali aku memencet, dan barulah seseorang muncul dari balik pintu.
“Mas Reno”
“Mbak, Fiersa nya ada?”
Mbak Susi membuka gerbang, “Ada di dalem, Mas. Masuk dulu” aku mengangguk dan berjalan masuk. “Mbak Fiersa ada di kamarnya, mas Reno langsung masuk aja gak apa-apa”
Masih dengan menenteng kantong plastik berisi belanjaan tadi, aku melangkahkan kaki menuju kamar Fiersa di lantai atas. Sebelum masuk aku mengetuk pintunya dulu.
“Nggak dikunci” kata suara dari dalam.
Aku membuka pintu kamar Fiersa, cewek itu tengah duduk di depan jendela seraya memunggungiku, bahkan dia tidak menoleh sama sekali.
“Hei” sapaku. Barulah dia menoleh, wajahnya pucat seperti biasa. Aku tidak tau apa yang membuat Fiersa murung akhir-akhir ini.
“Lo sakit?” tanyaku seraya mendekat dan menempelkan punggung tangan di dahinya.
“Ngapain? Gue lagi pengen sendiri, Ren” katanya pelan seraya menyingkirkan tanganku. Aku mengusap pelan surai hitam panjangnya, menyungsung senyum tipis.
Aku duduk di ranjang milik Fiersa. “Lagi ada masalah sama bokap?”
Cewek itu menggeleng. “Nyokap?”
Tak ada jawaban, berarti disana letak permasalahannya. “Masih tetep ya masalahnya? Kalo lo emang pengen kesana, ya kesana aja. Lagipula lo disini juga sendiri, kasihan bokap lo harus bolak balik, Fier”
Fiersa menghela nafas. “Gue tau. Tapi gimana sama sekolah gue? Kelvin? Elo?” tanya dia dengan frustasi, “Gue nggak akan bisa nemuin yang kayak kalian disana”
“Tapi mama lo—“
“Kata papa, mama baik-baik aja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi setiap gue ngomong sama mama, dia nangis, selalu minta gue pindah, Ren”
Fiersa berbicara menggebu-gebu, seakan ada sesak yang ingin sekali dia keluarkan namun malah tertahan. Aku bangkit dari dudukku, lantas memeluk Fiersa. Membenamkan kepalanya pada d**a bidang milikku.
“Nangis aja nggak apa-apa” kataku pelan.
Selama ini Fiersa selalu menyembunyikan masalahnya dari semua orang termasuk Kelvin yang notabene adalah pacarnya sendiri. Dia selalu datang padaku jika sudah tidak kuat menahan sesak sendirian.
“Gimana kalo lo cuti seminggu buat ke Korea jenguk mama lo, setelah lo tau kondisi nya, lo pasti bisa mutusin apa yang akan lo lakuin. Pindah, atau stay disini sampai lulus” saranku. Fiersa melepaskan pelukannya, dia mendongak menatapku dengan mata sembab.
“Thanks” jawabnya.
“Udah nangisnya? Gue bawa cemilan buat lo, sama vitamin sih tadi. Gue takut lo kenapa-kenapa”
“Ren” panggilnya, aku menaikan alisku bertanya. “Jangan bilang Kelvin, dia pasti sibuk banget. Gue nggak mau bebani dia sama masalah yang gue punya”
“As always”
“Thanks, sekali lagi”
-Batas Suci-
Netraku tertuju pada sosok yang berdiri dibawah anak tangga, sorot mata tajam menatapku dan Fiersa secara bergantian. Di tangannya ada kantong plastik entah berisi apa. "Udah ada Reno toh ternyata" ucap dia.
"Vin, lo gue sama Fiersa--"
"It's okay, kalian sahabat." Kelvin menaiki anak tangga, dia berdiri tepat di depan Fiersa seraya tersenyum manis. "Nih, gue bawain martabak buat lo. Tadi lo bikin SW katanya pengen martabak"
Fiersa menerima kantong plastik yang diulurkan oleh Kelvin. "Gue cuma mau nganterin itu sih, lagian udah ada Reno juga disini. Gue balik dulu" sebelum melangkah pergi, Kelvin menyempatkan diri untuk mengecup kening Fiersa.
Setelah kepergian Kelvin, aku menatap Fiersa. "Lo kenapa diem aja sih?"
"Terus gue harus apa, Ren? Nggak ada yang harus gue jelasin juga ke dia, toh dia juga gak nanya apa-apa ke gue"
Aku menyisir rambut menggunakan jari. Menatap dengan kesal ke arah Fiersa. "Sikap lo yang kayak gini yang bikin Kelvin selalu curiga sama kita berdua, Fier. Kalo lo emang udah nggak ada rasa, putusin."
"Kalo gue putus sama Kelvin, lo mau jadi pacar gue?"
"Fier--"
"Mending lo pulang aja, gue lagi males berdebat cuma gara-gara Kelvin doang. Thanks udah nyempetin dateng kesini"
Dan setelah itu, Fiersa kembali masuk ke dalam kamarnya. Aku menghela nafas, disini posisiku serba salah. Aku tidak bisa memarahi Fiersa akan sikapnya yang seperti itu karena dia sedang stres memikirkan keluarganya. Sementara Kelvin, aku juga tidak bisa mengendalikan dia juga emosinya.
"Jangan sampai persahabatan gue sama lo rusak cuma gara-gara cewek, Vin"
Aku melangkahkan kaki menyusul kemana perginya Kelvin sebelum cowok itu marah-marah lagi, mengenal Kelvin cukup lama membuatku tau apa yang sedang dipikirkan Kelvin sekarang.
Aku berhasil menyusul Kelvin, "Woy! Berhenti!"
"Apaan?!"
"Biar gue jelasin dulu ke elo! Jangan emosi kayak gini" kataku lagi. Kelvin di balik helmnya menaikan sudut bibirnya.
"Nggak ada yang perlu lo jelasin, Ren. Gue udah cukup tau diri dan sadar posisi." jawab dia, memelankan laju motornya. "Yang dia butuhin elo, bukan gue. Tenang aja, gue nggak pa-pa kok."
"Halah, t*i. Lo ngomong gitu awas aja lo musuhin gue besok"
"Chill"
"Gue mau makan, didepan ada rumah makan nasi padang. Ikut nggak lo?"
"Boleh"
Seperti itulah persahabatanku dengan Kelvin. Di saat ada problem, aku selalu ingin menjelaskan, namun Kelvin dengan memasang wajah santai selalu menganggap semua baik-baik saja agar tidak memperpanjang masalah yang sudah ada.
Motor kita berhenti didepan rumah makan nasi padang, Kelvin melepaskan helmnya dan masuk duluan. Dia memesan satu porsi untuk kita berdua.
"Lo nggak ada niatan cari pacar, Ren?" tanya Kelvin saat aku baru saja duduk di kursi plastik yang di sediakan oleh pemilik rumah makan.
Aku mengangkat bahu tak tau. "Harus banget ya punya pacar?"
"Nggak juga sih"
"Lo tenang aja, sedeket apapun gue sama Fiersa, selagi dia masih pacaran sama lo, gue nggak akan ambil dia dari lo"
"Gue lagi nggak bicarain soal Fiersa"
"Tapi arah lo kesana, Su"
"Su?"
"a*u"
Aku tergelak saat Kelvin langsung memasang wajah masam.
"Ren" panggilnya.
"Apaan"
"Akhir bulan papa mau ngajak gue ke Spain, menurut lo gimana? Gue juga ada Olimpiade lagi"
Netraku menatap wajah Kelvin yang sepertinya galau berat. "Yang paling lo suka yang mana?"
Dia menggeleng lemah. "Nggak ada. Lo tau sendiri gue benci Olimpiade, gue juga ga suka pergi buat ikut bisnis papa"
Aku menepuk pundak Kelvin bersahabat, "Kalo saran gue sih mending lo ikut papa lo deh, selain lo bisa jalan-jalan, bikin konten, lo juga dapet pengalaman. Kalo Olimpiade, selama ini lo udah sering ikut, lagipula dengan lo mengundurkan diri lo bisa kasih kesempatan ke yang lain buat unjuk gigi"
"Kayak gini?" Kelvin melebarkan bibirnya, membuat gigi putih dan rapinya terpampang didepanku. Dengan kesal aku menyumpal mulut Kelvin menggunakan tisu yang ada disana.
"Nggak gitu juga, ngab!"
Kelvin tergelak, tak lama makanan kami siap.