Bagian 2 II Riki Pov

1664 Kata
-Ketika hati tak sejalan dengan pikiran.- Oit. Hai. Perlukah aku kenalan dengan kalian? Tapi rasa-rasanya, siapa sih yang tidak mengenal sosok dibalik editing terbaik vlog-vlog nya Nana dan Trasquad? Omg, bukan aku yang kepedean, tapi memang itulah kenyataannya. Kalau kalian tidak percaya, tanya saja pada kak Kelvin atau Nana. Baiklah, jika kalian memaksa aku akan memperkenalkan diriku dulu. Namaku Riki Ferdiansyah, anak sulung Mama Caroline dan Papa Guntur. Tahun lalu aku dinobatkan sebagai kakak terbaik oleh adikku, Sasa Caroline. Alasannya, karena Sasa, hanya punya satu kakak, jadi dia tidak punya pilihan lain selain diriku. Yep, aku kira sudah cukup perkenalannya. Kalian akan lebih mengenalku nanti seiring berjalannya waktu. “Maa” “Apaan sih, Rik?” “Si Micin kemana?” Mama Olin mengusap d**a, sepertinya Mamaku sudah lelah menegur lantaran aku keseringan memanggil adikku dengan sebutan Micin. Yah, siapa suruh dia memberi nama Sasa, kan jadi seperti merk Micin. “Sasa lagi main ke rumahnya Olan" “Main mulu tuh beban keluarga” “Sesama beban keluarga gak usah saling ngatain” Mama dan aku kompak menoleh, Papa datang seraya melonggarkan dasinya. Mama segera menyambut kedatangan Papa dengan mesra, seakan lupa kalau aku masih ada disini. Cih! Iri adalah salah satu sifat setan, karena aku bukan setan akhirnya aku memutuskan untuk naik ke lantai atas. Masuk kedalam kamar. Jujur saja, banyak tugas menumpuk, kerjaanku sebagai editor Trasquad juga belum ada satupun yang aku kerjakan. “Masih mager, entaran aja.” Netraku tak sengaja menatap amplop putih yang tergeletak di meja, aku lupa akan isi amplop tersebut. Berjalan mendekat dan mengeluarkan isinya, ternyata dua tiket konser Bruno Mars yang beberapa hari lalu tiba setelah sebulan pemesanan. “Kira-kira Nana mau nggak ya gue kasih ini” gumamku. Bukan rahasia lagi kalau Nana menyukai penyanyi asal Amerika serikat itu. Selain Bruno Mars, Nana juga suka lagu Kpop juga Cpop. “Gila aja dia nggak mau, rugi banget dong gue beliin dia tiket mahal-mahal” Memasukan kembali tiket itu, aku keluar kamar. Baru saja kakiku menginjak tangga paling bawah, aku tak sengaja menangkap kedua orang tuaku tengah kissing. s****n, mereka yang kissing kenapa aku yang malu? “Gas teros, Om. Gak kasih kendor” Aku berjalan melewati mereka seraya nyengir. “Siapa yang kamu panggil, Om?!” Tanya Papa dengan nada tak sedap, tak mau mencari masalah dengan sumber cuan, akhirnya aku memilih untuk mengalah seraya menyatukan telapak tangan. “Mohon ampun baginda raja” “Anak siapa sih kamu, tengil banget” komentar Mama. “Keturunan kamu tuh, Ma” kali ini Papa yang menimpali, dan sudah dapat aku pastikan kalau mereka akan berdebat mengenai sifat siapa yang diturunkan kepadaku. Tak mau menonton acara debat mereka, aku memilih untuk pergi dari sana menuju rumah Nana ku sayang. Jangan salah paham, aku dan Nana hanya sebatas teman, tidak kurang tidak lebih. Yah, setidaknya itulah yang aku bisa simpulkan dari pertemanan kami selama ini. Rumah Nana ada didepan rumahku, jadi tak butuh waktu lama aku sudah berdiri didepan gerbang. Memencet bel rumah, tak lama ada yang keluar, kak Kelvin. “Lo lagi, lo lagi, Rik. Kinda bosen gue lihat muka lo” “s****n!” maki ku, kak Kelvin membuka gerbang. “Nana di rumah?” “Ada tuh di kamarnya” Tanpa menunggu persetujuan kak Kelvin, aku langsung menerobos masuk. Rumah Nana sudah seperti rumah kedua bagiku, kedua orang tua nya juga tak pernah mempermasalahkan tingkahku selama ini. Di depan Tv ada tante Salma yang tengah menonton. “Fokus banget, Tan” celetukku mengalihkan atensi tante Salma. “Kamu, Rik. Iya nih, lagi seru nonton film” Sebelum menghampiri Nana, aku duduk di samping tante Salma. “Tumben dirumah, Tan? Biasanya kan keluar negeri terus” “Dua hari lagi, Rik. Nggak jauh sih, ke Malaysia” “Nggak capek, Tan?” “Capek nggak capek sih, Rik. Namanya juga cari cuan” Kami berdua mengumbar senyuman. Aku bangkit. “Yaudah deh, Riki ke kamar Nana dulu” “Hm, ajak makan, Rik. Tuh anak belum makan dari tadi” Lihat kan, semua anggota keluarga Nana itu kelewat santai. Bahkan mereka tak masalah jika aku sering menginap disini, bahkan kadang tidur bersama Nana sekalipun. Om Natan juga tak jauh beda dari tante Salma, selalu santuy. Mengetuk pintu, dan aku masuk ke dalam. Nana tergolek di atas tempat tidur seraya memegang ponsel. “Gabut banget gak sih, Rik?” tanya dia, dengan wajah super bosan. Aku melemparkan amplop itu dan mengenai wajah Nana. “Apaan nih? Cek ya? Berapa? Dua ratus juta?” “Loyo banget mulut lo, buka aja” kataku seraya duduk di pinggiran ranjang Nana. “Tiket konser? Demi apa lo beliin gue ini??” Nana langsung bangkit dari posisi nya, cewek itu memelukku dengan erat. Hal seperti ini sudah biasa bagiku dan Nana. “Jadi, lo mau pergi sama gue?” “Mau lah!” jawab Nana dengan semangat 45. Cewek itu melepaskan pelukannya. “Rik, gue laper nih. Makan yuk” katanya dengan nada manja. Aku mengusap kepala Nana. “Gaslah, mau makan dimana?” “Gue pengen makan bebek goreng nih” Akhirnya aku turun duluan, karena Nana mau siap-siap dulu katanya. Di bawah ada kak Kelvin yang tengah menyantap dessert box. “Gue sama Nana mau makan diluar, ikut nggak?” tawar ku. Kak Kelvin langsung menggeleng. “Ogah gue kalo ada Nana, pasti ntar berantem mulu disana” “Iya sih, kalian memang suka gitu. Gak pernah akur, masih mendingan gue sama si micin” “Ngomong-ngomong soal Sasa, gue lihat dia nangis sambil lari pulang.” “Halah, palingan juga rebutan mainan sama si Olan” Tak lama, Nana turun dengan rambut yang dicepol asal. Meskin sederhana, Nana masih terlihat begitu cantik di mataku. Aku tidak pernah menutupi fakta bahwa aku menyukai Nana sejak lama, namun anehnya, aku masih belum ingin berpacaran dengan nya. Hubungan ini cukup nyaman untukku dan untuk Nana. “Itu dessert box gue kenapa lo makan sih, k*****t!” Nana merampas dessert box kak Kelvin yang isinya tinggal sedikit. “Pelit amat jadi orang, di kulkas masih ada noh” “Ya tapi kan.. ah, elu maah. Gantiin sini!” kata Nana seraya menodongkan tangannya. “Minta Mama sana” dan setelah itu kak Kelvin berjalan pergi. Aku sudah biasa dengan pemandangan seperti ini. Mereka berdua memang sering sekali berantem dan jarang sekali akur. Tapi aku yakin, kalau keduanya sama-sama saling menyayangi. -Batas Suci- “Cin!” panggilku saat membuka pintu kamar Sasa. Bocil berpipi bakpau itu tengah bermain barbie. “Mau sate nggak?” Sasa masih tak menoleh, dia anteng dengan mainannya. Karena kesal diabaikan, aku akhirnya mendekat dan langsung mengangkat tubuhnya. “Kak Rikiii!! Turunin!” teriaknya seraya memukuli wajahku yang tampan. “Makanya kalo dipanggil tuh nyaut, Cin” “Lagian kakak manggil aku Micin terus. Namaku Sasa.Caroline!” koreksi Sasa penuh penekanan. “Yaudah sih, gitu aja ribet lo.” aku mendengus. “Di bawah ada sate, mau nggak?” Sasa menggeleng dan kembali duduk. “Nggak mau, tapi kalo dikasih duit aku mau” “Ini nih, beban keluarga yang nggak tau diri.” Aku keluar kamar Sasa, membiarkan bocil itu bermain sendirian. Di bawah, Nana tengah main hape. “Nggak mau dia, Na” “Yaudah sih, gue udah laper nih” “Anjir, masih belum kenyang lo habis makan bebek goreng?” Cewek itu nyengir lebar. Mama lagi di rumah tetangga, katanya ada arisan. Papa tidur di kamarnya semenara si bocil main. Di rumah ini tidak ada pembantu, Mama bilang dia sanggup mengurus rumah tangga tanpa bantuan siapapun. Memang Mama ku paling bisa diandalkan, paling keren juga. Meski kadang suka ngomel-ngomel. Back to topic, sumpah ya, aku juga heran kenapa mau-maunya berteman dengan Nana. Bahkan sekarang, aku yang melayani dia seperti putri raja. Menyiapkan sate di piring, menuang air di gelas dan lain-lain. Bahkan kadang, aku menyuapi Nana juga. “Masih aja manjanya nggak berubah ya, Na” kataku. Aku dan Nana udah temenan dari lama, seingatku mulai kami masuk SMP. Dulunya aku tidak mengenal Nana, karena pulang pergi sekolah SD selalu di antar, dan aku jarang bermain keluar. “Cuma sama lo doang, Rik.” jawab dia, lantas membuka kembali mulutnya. “Lagian, mana pernah gue manja-manjaan ke orang lain? Ke Kelvin aja nggak pernah, yakan?” “Bener juga sih. Tapi, nggak selamanya gue bisa ada di samping lo, kan?” “Emangnya lo mau pergi?” “Bisa jadi, suatu saat” “Yaudah sih, gue tinggal ikut kemana lo pergi aja” “Loyo banget mulutnya” Nana menyudahi makan nya, cewek itu bersendawa pelan. “Gue kenyang” kata dia seraya mengelus perut. “Mbak Nanaaaa” Senyum di wajah Nana mengembang tak kala Sasa berlari turun dan langsung menghambur ke pelukan Nana. “Ih, kok nggak bilang kalo mbak Nana disini?” tanya Sasa dengan wajah polosnya. “Emang tadi sama Riki nggak dikasih tau, Sa?” “Nggak tuh” Sasa menatapku tajam, tak lama dia kembali menatap Nana. “Main yuk mbak, kemaren abis di beliin Mama mainan barbie” “Yuk” Aku membiarkan Sasa dan Nana naik ke lantai atas, sementara aku harus membereskan sisa makanan Nana. Kalau sampai Mama tau meja makan berantakan maka sudah bisa dipastikan kalau aku yang akan kena omel. Setelah membuang sampah dan mencuci kembali piring sekaligus gelasnya, aku naik ke lantai atas menyusul Nana juga Sasa. Tapi yang aku temui justru Sasa tengah main sendirian, sementara Nana tergolek di atas ranjang milik Sasa. Tertidur pulas. “Lah, Nana tidur?” Sasa menoleh. “Iya, kak. Ketiduran dari tadi" “Kakak bawa ke kamar dulu deh, daripada disini” “Kak, aku lapar” kata Sasa seraya menatapku dengan puppy eyes nya. Aku menghela nafas. “Habis ini kakak goreng sosis buat kamu” “Oke, makasih kakak” “Iyaaa” Kalian tau, kejadian seperti ini sudah sering aku alami. Menjadi baby sister Nana dan Sasa di saat bersamaan. Kadang aku merasa menjadi Ayah nya, sementara Mama nya dan Sasa anaknya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN