Roy adalah pengasuh Yohan sejak dia masih berusia sepuluh tahun. Roy yang bertugas untuk memberi informasi kepada kepala keluarga Argantara yang merupakan Ayah Yohan. Namun, setelah kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan tragis, Roy menjadi pelayan yang sepenuhnya setia kepada Yohan.
Yohan tentu sering bertanya kepada kedua orangtuanya, kenapa mereka mengurung Yohan layaknya tahanan. Kenapa mereka tidak ingin Yohan diketahui oleh dunia padahal dia adalah anak satu-satunya. Kenapa mereka hanya mengunjungi Yohan di malam hari.
Alasan yang bisa mereka katakan saat itu hanya satu, bahwa Yohan adalah bom waktu. Tidak ada yang tahu kapan dia akan mati mendadak. Jika rahasianya sampai terbongkar, maka hidup Yohan akan segera berada di ujung tanduk. Penyakit Yohan tak hanya menjadi pedang untuk dirinya sendiri, tetapi juga kelemahan untuk keluarga Argantara.
Tentu saja Yohan merasa marah. Dia tidak ingin terlahir dengan penyakit genetik langka. Tidak bisa merasakan sakit dan suhu adalah sebuah kutukan yang membuatnya hanya bisa mendekam di dalam kastil mewah. Kulit tangannya penuh bekas jarum suntik yang berwarna kehitaman. Peralatan medis adalah temannya sehari-hari. Bau desinfektan seolah sudah menyatu dalam nadinya.
Ketika kecil, Yohan selalu penasaran, bagaimana rasanya saat tangannya tergores pisau. Dia suka mengamati reaksi orang-orang di sekitarnya. Tukang kebun yang meraung saat ujung jarinya putus, perawat yang mengerutkan kening sambil meringis saat tangannya tergores pinggiran kaca tajam, atau ketika Roy berteriak sambil mengeluarkan air mata saat kakinya patah. Dan juga… Mama yang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan perban yang membungkus kepalanya. Mama sempat sadar dan menatap Yohan dengan sorot putus asa, bola matanya memerah dan urat-urat kecil muncul di kening dan pelipisnya. Namun, meski begitu, bibirnya yang pucat mengulas senyum tipis. Mama berkata bahwa dia baik-baik saja. Kemudian malam harinya, Mama sudah kehilangan nyawa.
Usia Yohan dua puluh tahun saat dia akhirnya sadar bahwa semua orang menyimpan bom waktu di tubuhnya. Hanya saja, milik Yohan berukuran lebih besar dan tidak punya penghitung waktu mundur. Dia bisa saja meledak pada hitungan ke sepuluh, tetapi tidak ada yang tahu bahwa bom sudah dinyalakan. Satu-satunya cara adalah dengan membuat bom itu memiliki jangka waktu yang lebih lama sebelum meledak.
Bertahun-tahun mempelajari ilmu kedokteran membuat Yohan akhirnya menyadari bahwa, penyakit genetikanya tak bisa disembuhkan. Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis atau lebih dikenal dengan penyakit CIPA membuat Yohan tidak bisa merasakan sakit, suhu maupun berkeringat. Itu berarti, mekanisme pertahanan hidup Yohan tidak berfungsi. Yohan bukan menusia super yang kebal dengan rasa sakit. Justru Yohan bisa terbunuh hanya karena tipes atau malaria.
Yang dia bisa lakukan hanya terus berusaha untuk tetap hidup. Meski itu berarti Yohan harus bersentuhan dengan alat medis setiap hari.
"Tuan Yohan, apa Anda memerlukan bantuan untuk memeriksa kesehatan Anda?" Roy bertanya begitu Yohan selesai dengan makan malamnya.
"Tidak perlu." Yohan mengusap sudut bibirnya dengan tisu, kemudian berdiri. Setiap gerakannya tertata rapi seolah dirinya adalah bangsawan kelas tinggi. "Aku bisa melakukannya sendiri."
Yohan sudah menganggap pemeriksaan kesehatannya seperti sebuah rutinitas, setara dengan makan dan minum. Jika Yohan melewatkannya dalam beberapa hari, dia bisa mati konyol.
Kastil ini sangat luas untuk ditempati Yohan beserta dua pelayan, satu tukang kebun dan satu kepala pelayan. Hari-hari Yohan lalui di kastil ini, ditemani hawa dingin malam yang menusuk, kicauan burung dan binatang liar, serta suara patahan ranting. Desikan dahan-dahan bersama angin yang bertiup kencang sering Yohan dengar dari balik kaca jendelanya.
Jika boleh jujur, Yohan sudah mulai muak dengan kehidupannya. Dia juga sudah lelah berhadapan dengan jarum suntik dan peralatan medis. Puluhan anggur mahal di bawah tanah juga tidak berani dia sentuh. Fast food yang berminyak pun Yohan belum pernah merasakannya. Padahal kata orang-orang, makanan-makanan itu sangat enak. Apalagi, mie instan pedas yang masih panas, tidak ada yang bisa menandingi kelezatannya. Bagi Yohan, semua makanan sama saja. Baik panas maupun dingin, tidak ada bedanya.
***
Malam mulai beranjak menjadi dini hari, tetapi sebuah ruangan di kantor polisi itu masih menyala terang meski tempat-tempat sebelahnya sudah dimatikan. Cikal masih sibuk memeriksa barang yang ditinggalkan Moon Hunter di tubuh para korbannya, berharap bisa menemukan sebuah petunjuk.
Semua barang yang ditinggalkan Moon Hunter selalu sama. Sebuah kawat panjang untuk mengikat tangan korban, dan juga, perban di bagian leher yang disayat dengan bentuk bulan sabit, seolah-olah dia sengaja membebat luka sayatan itu agar tetap bersih dan steril. Selain itu, setiap korban pasti punya banyak sekali luka sayatan. Ada yang masih basah, ada juga yang sudah mengering menjadi bekas kehitaman. Mulai dari wajah, tangan, perut, hingga kaki. Tidak ada yang luput dari bekas sayatan melintang, kecuali leher. Dia seolah menegaskan bahwa leher adalah tempat sakral untuk meninggalkan jejak bulan sabit.
Cikal mendesah. Dia ingat kata dokter forensik yang memeriksa semua korban Moon Hunter. Bahwa psikopat gila itu sengaja memberikan sayatan-sayatan pada tubuh korbannya sebelum dibunuh. Baik berupa sayatan tipis di bagian terluar kulit hingga menancap ke dalam.
Semuanya bertujuan untuk membuat korban menanggung rasa sakit hingga batas maksimal. Seolah-olah, Moon Hunter adalah psikopat gila yang terobsesi dengan rasa sakit orang lain.
Alasan apa yang membuat Moon Hunter menyiksa korbannya? Dia sengaja mengambil orang random untuk di bunuh, atau dia memang sudah mengamati calon korban sejak lama? Jika dilihat dari latar belakang korban sejak pembunuhan pertama, Cikal tak menemukan sesuatu yang mirip. Korban-korbannya berasal dari kalangan atas hingga tunawisma.
Namun, ada satu hal yang kemudian membuat Cikal curiga. Bahwa lima belas dari tiga puluh total korbannya punya catatan kriminal, yaitu melakukan kekerasan pada anak di bawah umur. Kemungkinan Moon Hunter memilih korbannya berdasarkan hal itu masih belum cukup kuat. Hanya lima puluh persen. Cikal tak bisa menarik benang merah untuk mengetahui siapa korban Moon Hunter berikutnya.
"Tidur, Cik." Sebuah suara membubarkan konsentrasi Cikal. Spidol di antara jari-jarinya berhenti berputar. Dilihatnya Visakha yang datang sambil membawa setumpuk berkas di tangannya.
Cikal menghela napas panjang. Dia menyandarkan punggung. "Udah dibilangin jangan panggil Cik. Aku bukan ayam,"
"Lah, emang namamu Cikal, kok. Cik. Cikal. Anak pohon kelapa." Visakha berujar tanpa dosa. Dia duduk di depan Cikal dan meletakkan setumpuk berkas ke atas meja. "Malam ini aku tidur di kantor. Sambil ngerjain tugas dari Paduka Cikal yang katanya harus cepat selesai."
"Kamu bisa ngerjain sama Bima." Kali ini Cikal menatap Visakha tepat di mata. Jelas sekali terlihat bahwa Cikal kelelahan. Wajahnya tampak kuyu dan gelap, seolah-olah dia sedang menggendong gunung sendirian.
"Udah kubagi kok. Tenang aja. Bima ngerjain besok subuh katanya. " Visakha mulai membuka satu-persatu berkas yang dia bawa. Namun, tatapannya tidak beralih dari Cikal. "Mending kamu tidur, deh. Biar nggak tiba-tiba menggila karena kena virus zombie."
Cikal menatap Visakha seolah cewek itu adalah orang paling aneh sedunia. "Nggak usah kebanyakan nonton drama."
"Justru karena banyak nonton drama, aku jadi punya banyak referesi buat selesain kasus." Visakha tersenyum manis. "Industri film di Indonesia kan mulai maju. Banyak screen-writer berkualitas yang mulai menunjukan taringnya. Bikin naskah yang relate pakai riset abis-abisan. Sinematografinya juga makin berkembang."
Cikal mengetuk-ngetuk meja di depannya. Dia menaikkan sebelah alis. "Kenapa nggak sekalian aja kamu jadi penulis skenario? Ada banyak kasus yang bisa kamu pakai."
Visakha terkekeh. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Emang udah mulai bikin sih. Tapi ketunda gara-gara kasus Moon Hunter yang belum ketemu hilalnya."
"Padahal aku cuma bercanda, tapi kamu jawabnya serius." Suara Cikal terdengar datar. Dia kemudian kembali mengambil spidolnya dan mencoba untuk fokus kembali. Buku catatan Cikal sudah dipenuhi dengan mind map dan coretan-coretan kasus Moon Hunter. "Kamu boleh di sini, tapi nggak boleh berisik." Cikal menatap Visakha dengan sorot memperingati. Bola mata tajam itu khas sekali. Jika Cikal sudah mengeluarkan jurus andalan, maka Visakha pun tak berani mencekcoki. "Bikin suara sekecil apapun, aku bakal langsung tendang kamu dari sini."
Visakha mengangkat jempolnya, kemudian membuat gerakan seperti tanda seperti sedang mengunci bibir. Cikal cuma geleng-geleng kepala dan kembali fokus pada catatannya. Bagaimana pun, Cikal harus menyelesaikan kasus ini secepatnya, agar dia bisa tidur dengan tenang.