bc

Hide and Seek : Moon Hunter

book_age18+
597
IKUTI
2.5K
BACA
killer
doctor
drama
twisted
mystery
evil
detective
male lead
supernatural
crime
like
intro-logo
Uraian

Seorang pembunuh berantai berkeliaran di kota dan sudah menewaskan sepuluh orang dalam waktu satu bulan. Julukan Moon Hunter disematkan karena dia selalu meninggalkan tanda bulan sabit di leher korbannya. Begitu teliti dan presisi. Kabarnya, Moon Hunter memiliki penyakit genetik yang membuatnya tidak bisa merasakan sakit dan suhu.

Adalah Cikal, seorang detektif yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus Moon Hunter. Dia menemukan petunjuk bilangan prima dan memerintahkan seluruh personil polisi untuk berjaga di tempat-tempat yang diduga akan digunakan Moon Hunter untuk membuang korbannya pada tanggal bilangan prima. Perangkap Cikal berhasil dan dia menemukan terduga Moon Hunter.

Sayangnya, Moon Hunter kabur ke hutan belantara saat pengejaran, membuat seluruh jajaran kepolisian kehilangan jejak. Penyisiran kemudian dilakukan dari jalur darat dan udara. Kemudian, Cikal dipertemukan dengan seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun di pinggiran hutan belantara. Anak itu mengenalkan namanya sebagai Rimba.

Selang satu bulan setelah Cikal mengadopsi Rimba, kasus pembunuhan Moon Hunter terjadi lagi. Bertepatan dengan itu, polisi menemukan jaket Moon Hunter yang tercabik dan berlumur darah. Jika Moon Hunter dinyatakan tewas, lantas siapa yang membunuh dengan meninggalkan jejak yang sama persis?

Publish : September, 24, 2021

End : January, 25 2022

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB 1. MOON HUNTER
Indonesia pada tahun 2036 memindahkan ibu kotanya dan membuat sebuah nama kota yang baru, yaitu Jayamena. Kota Jayamena terletak berseberangan dengan hutan lindung yang sebagian besar wilayahnya sudah dibuka untuk perkebunan sawit. Jika dilihat dari atas pada malam hari, maka akan jelas sekali terlihat perbedaan warna yang mencolok. Seperti taburan bintang yang berkilau bersebelahan dengan hitam pekat yang menakutkan. Sama seperti ibukota pada umumnya, Jayamena dipadati oleh penduduk dari berbagai penjuru tanah air. Semua berkumpul di sini berharap bisa mengadu nasib dan mendapat kehidupan yang layak. Karena itulah, kota hidup dua puluh empat jam nonstop. Tidak ada bedanya berjalan di siang hari atau malam hari. Namun, ada yang berbeda hari ini. Jalanan pusat kota mendadak lengang. Embusan angin yang bertiup seakan membawa teror ke setiap sudut kota tanpa terkecuali. Kios-kios ditutup rapat, begitu pula tiap pintu rumah kecil hingga apartemen mewah. LED yang menyala di atas gedung pencakar langit menampilkan gambar seorang polisi yang sedang memberi himbauan pada orang-orang untuk tidak keluar diatas jam sepuluh malam. Pembunuh berantai yang sudah menewaskan total sepuluh orang dalam jangka waktu satu bulan masih berkeliaran dengan bebas dan menyaru sebagai warga biasa. Meski ada yang patuh dan memilih untuk bersembunyi di balik selimut hingga pagi menjelang, ada pula yang tetap membuka tokonya demi mempertahankan hidup yang keras. Mati karena kelaparan lebih mengerikan ketimbang ditikam oleh pembunuh berantai yang kejam. Karena ada kafe yang masih buka, tentu saja ada pula pelanggan yang datang diam-diam. Namun, terbatas pada lingkungan gang. Kafe yang berada di sudut gang itu lampunya menyala terang. Ada sekitar tiga meja yang terisi penuh oleh pengunjung. Di atas meja terdapat beberapa botol bir dan kudapan ringan, juga sebuah pemanggang daging yang menguarkan asap gurih ke udara. Di dinding atas kafe itu sebuah televisi 21 inch menyala. Seluruh stasiun televisi menampilkan wajah detektif kepolisian yang menangani kasus ini. Siaran Live tengah berlangsung. Peraturan sudah resmi diturunkan dan para personel dari anggota polisi dan tentara diturunkan di jalan-jalan besar untuk menjaga ketertiban, sekaligus mengamankan kota dari gangguan sang pembunuh berantai yang meresahkan. "Bukankah ini terlalu berlebihan?" Seorang pria bertopi hitam dengan bekas luka panjang di pipinya buka suara. Dia mengetuk ujung rokoknya ke pinggiran asbak. "Kenapa seluruh negeri harus heboh hanya karena seorang pembunuh? Bukankah dia akan lebih leluasa bertindak jika jalanan kota sepi?" "Bahkan ketika pandemi berlangsung beberapa tahun yang lalu, mereka tidak seheboh ini," pria bertubuh tambun di seberang meja tahu-tahu menimpali. Kening lebarnya mengkerut. "Padahal lebih banyak yang meninggal karena virus daripada dibunuh oleh psikopat gila itu." Satu-satunya gadis yang duduk sendirian di pojok kafe menegak kopi panasnya dengan begitu santai. Dia memakai hoodie berwarna abu-abu. Kepalanya tertutup tudung. Dia kemudian menyandarkan punggung dan melipat kedua tangan. Ada senyum misterius terlukis di bibirnya. "Bukankah Psikopat itu suka membuat pertunjukan? Terakhir kali, dia menggantung mayatnya di sebuah monumen bersejarah. Jika terus-terusan diberi panggung, dia akan semakin gencar dengan aksinya." "Maksudmu, Psikopat itu seorang narsistik?" Pemilik kafe menimpali setelah menaruh botol bir pesanan pembeli. Raut wajahnya tampak begitu penasaran. "Kudengar, dia selalu meninggalkan tanda sabit pada mayat-mayatnya." "Ah, jadi karena itu dia disebut moon hunter?" Si pria bertopi hitam menimpali dengan nada tertarik. "Tapi aku lebih suka memanggilnya psikopat gila tukang pamer." Gadis dengan hoodie abu-abu itu tiba-tiba berdiri. Dia meletakkan satu pecahan seratus ribu ke atas meja padahal hanya memesan sebotol air putih. "Sudah hampir jam sepuluh malam. Bukankah ini saatnya bubar? Polisi akan segera mengobrak-abrik tempat ini." Dia tersenyum tipis, terlihat begitu menawan dengan lesung kecil di sudut bibirnya. "Aku punya kawan seorang polisi. Katanya, ada dugaan kalau psikopat gila narsistik itu tinggal di daerah ini." Gadis itu memasang sikap hormat dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Sementara wajah orang-orang di sana berubah panik. "Kalau begitu, aku permisi dulu. Nikmati saja hidangan kalian pelan-pelan." Setelah menimbulkan keributan, dia melangkah dengan santainya keluar kafe sambil memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Di jalan gang yang remang-remang itu, dia melihat mobil polisi yang sedang berpatroli. Satu per satu personil keluar sambil membawa senjata. Sementara itu, dia justru melambaikan tangan pada salah satu dari mereka. "Cikal. Here!" Seorang polisi dengan name-tag Cikal di dadanya menghampiri gadis itu dengan langkah tergesa. "Si gila ini. Ngapain masih keliaran di jalan jam segini?" Cikal menepuk kepala belakang gadis itu kuat. Yang ditepuk malah cengengesan. "Kafe di ujung gang sana masih buka," dia menunjuk kafe yang barusan dia masuki. "Masih ada beberapa orang di sana." Cikal menarik hoodie milik kawannya. Muncul sebuah name-tag dari kerah bajunya. Visakha. Detektif kepolisian. "Kenapa nggak langsung ditertibin aja?" Cikal mendengus. Ditatapnya gadis itu dengan sebelah alis terangkat. Kedua tangannya berkacak pinggang. "Takut kalau moon hunter ternyata ada di sana." Visakha cengengesan tanpa rasa bersalah. Sementara Cikal hanya bisa menghela napas pasrah. Tanpa kata, Cikal memberi kode pada rekan-rekannya untuk segera melakukan penyisiran ke kafe-kafe sekitaran gang. Mereka bergerak cepat namun tanggap, membawa masing-masing satu pistol di kedua tangannya. Visakha tiba-tiba meninju lengan Cikal dan mengerling jail. "Muka lo muncul di seluruh stasiun TV. Yakin bukan lo yang bakal jadi korban moon hunter berikutnya?" Dasar partner tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyumpahi rekannya agar segera mati? Meski Cikal menguasai hampir seluruh jenis bela diri dan memegang sertifikat profesional penembak jitu, bukan berarti Cikal tidak akan bisa ditipu oleh sang pembunuh berantai. Akan selalu ada kesempatan untuk membunuh Cikal dan mematikan instingnya. "Kalau aku mati duluan, kamu adalah orang pertama yang bakal aku hantui." Cikal berujar dengan nada tak peduli. Dia kemudian mengikuti rekan-rekannya untuk menyisir tempat ini. Meninggalkan Visakha yang hanya bisa terkekeh geli. **** Ruangan itu remang dengan pencahayaan yang hanya berasal dari bola lampu kuning lima watt. Samar-samar, terlihat beberapa peralatan medis keluaran terbaru, terpasang dengan begitu rapi dan berfungsi dengan baik. Beberapa monitor menyala, menampilkan sebuah grafik dan gambar-gambar hasil CT scan yang hanya bisa dibaca oleh petugas medis. Pintu ruangan itu tiba-tiba dibuka dan seseorang melangkah masuk, membuat cahaya di belakangnya menyinari ruangan, menciptakan sebuah siluet yang menawan. Dia membiarkan pintu dalam keadaan terbuka, kemudian duduk di kursi yang di depannya terdapat meja dengan berbagai peralatan medis. Pria itu mengambil kasa steril, mengusapkannya cepat ke bagian dalam pergelangan tangannya, kemudian menyuntikkan jarum dan mengambil sampel darah. Gerakannya begitu cekatan, cermat dan terstruktur, seolah dia sudah terbiasa melakukan hal itu sepanjang hidupnya. Di pergelangan tangannya terdapat beberapa bekas tusukan jarum berwarna kehitaman, yang kemudian dia tutup dengan jam tangan yang berukuran cukup lebar. Setelah memasukkan sampel darahnya ke dalam sebuah alat uji, pria itu mengambil termometer dan mengecek suhu tubuh. Tak lupa dia juga menggunakan tensimeter untuk mengecek tekanan darah. Setelah semua ritual pengecekan kesehatan itu selesai, dia mencatat semua hasilnya ke dalam komputer dan memberikan tanda bahwa tubuhnya berada dalam keadaan baik hari ini. Pria itu menggerakkan leher dan bunyi gemeretak terdengar. Setelah membereskan semua peralatan itu agar bisa digunakan lagi keesokan harinya, dia keluar dari ruangan dan menutup pintu, melewati ruang tamunya yang cukup luas dengan cahaya lampu yang terang. Ruang tamu itu cukup mewah, tetapi dingin. Belum pernah ada satu pun tamu yang datang berkunjung. Dia sendiri tak pernah sekalipun duduk di sana, karena dia tidak suka sofa berbahan beludru. Dia lebih suka bahan kulit. Perlahan, pria itu membuka sebuah pintu rahasia yang menyatu dengan dinding. Dia hanya perlu menggeser buku bersampul kulit cokelat dan perlahan-lahan dindingnya bergeser. Itu adalah sebuah gudang penyimpanan anggur. Anggur kualitas terbaik yang berusia puluhan tahun dan berharga ratusan juta per botol. Dia menyentuh ujung-ujung botol itu dengan jarinya, berurutan, hingga berhenti pada sebuah botol anggur berusia paling muda. Dia menggeser anggur itu dan sebuah dinding rahasia kembali terbuka. Sebuah anak tangga membentang ke bawah, menuju sebuah ruangan remang-remang. Ruangan itu cukup luas, dengan lampu gantung berwarna kuning lembut yang berada tepat di sebuah meja dan kursi kayu, mirip tempat yang digunakan untuk menginterogasi penjahat. Sementara itu, di bagian ujung ruangan, ada sebuah lemari besi besar. Di sebelahnya ada tiang yang digunakan untuk menggantung infus. Sementara itu, tepat di bawah meja, seseorang sedang meringkuk ketakutan. Mulutnya disumpal kain. Kedua tangannya diikat dengan kawat di belakang tubuh. Di pelipisnya terdapat darah yang mulai mengering, merambat hingga leher. Sepasang bola matanya melebar dipenuhi ketakutan. Rasa sakit yang dia terima terakhir kali masih membekas hingga ke tulang. Luka sayatan di seluruh bagian tubuhnya bahkan belum mengering sempurna. Mau menjerit dan memohon sekeras apapun, tidak ada seorang pun yang bisa membebaskannya. Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar menggema, memenuhi ruangan. Pria itu mendekat dengan perlahan, seperti seeokor macan kumbang yang sedang menandai buruannya. Dia kemudian membuka sebuah kotak besi dengan memasukkan kunci. Di dalam kotak itu terdapat berbagai macam jenis pisau dengan berbagai bentuk dan ukuran, mulai dari pisau daging yang tebal dan besar hingga pisau berulir tipis nan tajam. Semua benda itu bertujuan untuk membuat korban merasakan kesakitan tiada duanya. Dia menatap sang korban dan tersenyum manis. "Kamu suka pisau yang mana?" Dia menimang dua buah pisau di tangannya. Yang satu berujung lancip dan tampak berkilat tajam, sementara satunya lagi adalah pisau berulir yang bisa memberi efek paling menyakitkan jika ditusukkan ke tubuh. Dia menyeringai. "Pisau ini untuk mengukir bulan sabit kesukaanku di lehermu, sementara satunya lagi untuk ditancapkan pada jantungmu perlahan-lahan. Semakin kamu merasa sakit, maka aku akan melakukannya lebih pelan." Dia memiringkan kepala. Suaranya terdengar seperti lonceng kematian. "Jadi, pilih yang mana?" Memberi tanda bulan sabit menandakan bahwa tugasnya sudah selesai. Dia selalu meninggalkan tanda itu saat korban hampir sekarat menuju ajal. Baginya, hal paling menakjubkan dalam hidup adalah melihat tatapan kosong tanpa kehidupan persis ketika di selesai dengan pisau kesayangannya. Sang korban berusaha menghindar dengan putus asa. Dia bergeser menjauh dengan sisa-sisa tenaganya, bagai ulat bulu yang berlari dari kejaran burung pipit. Dia menggelengkan kepala dan air mata itu mulai luruh. Setelah yakin jika korbannya sudah terpojok dan tidak bisa lari lagi, dia menyingirkan kain yang menyumpal mulut korbannya supaya bisa berteriak sekuat tenaga. Nyatanya, tak ada suara. Hanya derik menyakitkan seperti tikus terjepit. "Sebelum mulai, kamu mau minum dulu?" pria itu menawarkan dengan nada manis. "Supaya tenggorokanmu tidak terlalu kering?" Sang korban menggeleng dengan putus asa. Memberikannya minuman adalah jenis penyiksaan yang lain. Setelah tiga hari dikurung di tempat ini, dia menyadari bahwa psikopat gila itu sangat terobsesi dengan teriakan rasa sakit. Semakin korban berteriak dengan putus asa, maka psikopat gila itu justru semakin berlama-lama menggoreskan pisaunya. Sedikit demi sedikit, menyiksa dengan kematian yang lambat. Dia bahkan tahu titik-titik mana saja yang menimbulkan rasa sakit yang paling mengerikan. "Kenapa tidak mau?" Dia berkedip sekali. "Tidak semua orang menerima kebaikan hatiku." Dia kemudian berdiri dengan tenang dan berbalik. "Kamu menyinggung perasaanku. Padahal tadinya aku ingin membunuhmu hari ini karena sudah bosan dengan suara teriakan lemahmu." "Tolong..." pria itu memohon dengan suaranya yang serak dan kering, berlumur keputusasaan yang menyayat hati. "Bunuh aku. Bunuh saja aku..." "Kamu tidak akan mendapat kematian yang mudah." Suara sepatunya bergerak cepat. Dia membuka lemari besi dan mengeluarkan cairan infus dari sana. Dia juga membawa kotak perak berisi jarum suntik dan beberapa botol multivitamin. "Aku berencana untuk menyembuhkanmu karena suasa hatiku sedang baik sekarang." Disembuhkan untuk diberi rasa sakit lagi kemudian, bukankah itu adalah sesuatu yang lebih kejam? "Jangan!" Sang korban menjerit dengan putus asa. Selama ini, belum ada orang yang bisa lolos dari cengkeraman sang moon hunter. Cepat atau lambat, semua korbannya akan terbunuh. Mengulur waktu kematian lebih lama hanya akan membuat tubuhnya semakin tersiksa. "Hey. Kamu tidak boleh membentakku, Bung." Dia menggeser tiang infus yang sudah terpasang. Cepat, pria itu berjongkok di depan korbannya, bersiap memasang selang infus. Bola matanya menyorot tajam dan dingin. "Siapa bilang kalau kamu bisa memerintahku?" Tak kehabisan cara, si korban sengaja meludahi wajah psikopat itu untuk memancing kemarahannya. "Orang yang menghabiskan seluruh hidupnya sendirian, tidak akan tahu bagaimana penderitaan orang lain. Seharusnya kamu mati dan membusuk di neraka! Kamu akan tahu rasa sakit dibakar hidup-hidup!" Bukannya merasa tersinggung, dia justru dengan tenang membersihkan air ludah di wajahnya. "Benarkah? Apa neraka memang menyakitkan seperti kedengarannya? Aku memang ingin ke sana, tapi tidak sekarang." Dia mendorong pria itu ke lantai, mengambil punggung tangannya dan memasukkan selang infus dengan begitu mudah, seolah sudah terbiasa melakukannya dalam jangka waktu yang lama. "Tidak usah repot-repot membuatmu terbunuh hari ini. Jika waktunya tiba nanti, kamu akan mati." Sang pemburu kemudian berdiri dan tersenyum puas melihat hasil kerjanya. Dia membuka sarung tangannya dan tersenyum tipis sambil melambaikan tangan. "Sampai jumpa nanti."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Scandal Para Ipar

read
700.3K
bc

Menantu Dewa Naga

read
179.8K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
864.7K
bc

My Devil Billionaire

read
95.8K
bc

Marriage Aggreement

read
83.6K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
632.7K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook