BAB 4. INQUIRY

1357 Kata
Satu bulan belakangan ini, Yohan selalu merasa sedang diikuti seseorang. Sejak kecil hingga usianya menginjak dua puluh lima tahun, Yohan selalu mendapat pengawalan ketat, meski kedua orangtuanya sudah meninggal. Itu karena Roy masih menganggapnya seperti anak-anak yang harus dijaga selama dua puluh empat jam. Karena sudah terbiasa, Yohan jadi memiliki kepekaan tinggi. Ada tiga orang yang sejak tadi Yohan perhatikan. Kemungkinan tersangka yang mengikuti Yohan satu bulan terakhir. Yang pertama adalah seorang laki-laki yang menutupi wajahnya dengan koran, posisi membelakangi Yohan. Kedua adalah seorang pria yang memakai jaket kulit berwarna hitam, memakai masker dan topi yang menutupi keningnya. Terakhir, adalah seorang gadis yang sejak tadi curi-curi pandang ke arah Yohan. Dia menggunakan ponsel canggihnya seolah sedang diam-diam mengambil gambar Yohan. Mencoba untuk bersikap biasa, Yohan kemudian menyesap kopinya. Kopi yang tak tersisa uapnya karena mendingin. Yohan memang sengaja. Toh, baik panas maupun dingin, tidak ada bedanya di mulut Yohan. Lebih baik menghindari panas yang bisa membuat lidahnya terbakar tanpa dia menyadarinya. Lagi, wanita itu mengambil gambar Yohan. Kali ini tertangkap basah dan dia mengalihkan pandangan. Yohan memutuskan untuk berdiri, mendekati gadis itu dengan langkah pelan dan sopan. Dia mengulurkan tangan. "Boleh saya pinjam ponsel kamu sebentar?" Gadis itu menggeleng. Dia refleks berdiri dan memeluk ponselnya erat-erat. Gerak tubuhnya tampak salah tingkah. Matanya tak mampu menatap mata Yohan yang berkilauan. "Buat... apa?" Gadis itu akhirnya buka suara. Dia melirik Yohan sesekali. Senyumnya terlukis manis. "Jangan diam-diam ambil foto saya lagi." Yohan memperingatkan. Tatapan matanya tampak dalam dan menusuk. "Saya nggak suka." Gadis itu mengerjab. Dia kemudian menunduk sambil mengusap ponsel dengan jari-jarinya. Ekspresinya tampak terkejut bercampur gugup. Yohan menurunkan tangannya. "Kamu harus hapus foto itu kalau enggak mau saya laporkan ke kantor polisi." Yohan memberi ancaman. Namun, bibirnya mengulas senyum tipis. "Kamu tentu nggak mau kan? Mumpung saya masih ba--" Yohan tak bisa melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba mulut gadis itu menyemburkan darah, seketika menciprati wajah Yohan. Sejenak, Yohan terpaku. Gadis itu sudah terjatuh di lantai. Dia meringkuk kesakitan dengan darah yang tak berhenti keluar dari mulutnya. Jeritan gadis itu terdengar pilu. Tangannya terulur meminta pertolongan. Orang-orang mulai bergerak membantu, tetapi Yohan masih terpaku. Sorot mata yang tampak menderita, urat-urat leher yang menonjol, suara batuk yang mengerikan, dan juga... gigi-gigi yang menggeretak. Apa... sesakit itu rasanya? Yohan mundur dua langkah. Raut wajahnya tampak datar di saat orang-orang bergerak panik. Yohan menyeka darah yang terciprat di wajahnya dengan punggung tangan, kemudian berbalik, menelpon ambulans untuk meminta bantuan. Yohan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kemungkinan gadis itu keracunan, atau dia memang sudah sakit tetapi tidak menyadarinya sehingga bom langsung meledak tanpa peringatan. Tanpa sadar tangan Yohan bergetar, jantungnya berdetak kencang. Langkah Yohan kian cepat menuju toilet. Sebuah bayangan terbentuk di otaknya tanpa komando. Hal mengerikan semacam itu, Yohan bisa mengalaminya kapan saja. Bisa jadi lebih parah, dan langsung merenggut nyawanya saat itu juga. Yohan tidak takut mati. Dia hanya sedikit terkejut dengan kejadian barusan. Toh, meskipun seluruh organ Yohan hancur, dia tak akan kesakitan. Yohan hanya akan mati seperti sedang tertidur lelap. **** "Udah ketemu polanya?" Cikal bertanya saat rapat pagi mereka dimulai. Tanpa basa-basi, dia menatap Visakha yang baru saja duduk di kursi. "Seenggaknya biarin aku tarik napas dulu." Visakha menaruh buku catatannya di atas meja. Dia menyandarkan punggung dan menatap Cikal lekat. "Kenapa kita nggak mulai dari apa yang kamu temuin tadi malam?" Cikal tidak tahan untuk memutar bola mata. Dia kemudian mengambil sebuah penggaris dan memukul-mukulnya di papan. Membuat semua pasang mata menatap ke sana. "Oke semuanya, fokus. Kasus Moon Hunter sudah lima tahun menggantung tanpa penyelesaian. Sudah dua puluh lima korban terkonfrmasi. Kalau sampai bulan ini kita nggak bisa nangkap pelakunya, kita semua nggak layak disebut sebagai polisi." Cikal mengambil napas panjang. "Jika kita lihat polanya, pembunuhan paling banyak terjadi dua bulan ini. Bahkan di tahun 2035, dia nggak membunuh. Aku ngerasa kalau Moon Hunter lagi main-main sama kita." "Lebih kayak ngejek kali ya." Visakha berpendapat. "Saking banyaknya korban di bulan ini, kita jadi kelewatan banyak detail. Kerjaan bagian forensik banyak yang belum keluar. CCTV nggak berguna sama sekali. Lokasinya menyebar dan acak. Siapa yang tahu kalau ternyata Moon Hunter punya kaki tangan? Orang-orang dari pihak kepolisian bisa jadi juga terlibat." Mata Visakha mengedar penuh curiga. Dia menyeringai sinis. Tidak dipedulikannya wajah-wajah yang menatapnya tidak terima. "Pemalsuan barang bukti, pembersihan TKP, rekaman CCTV yang rusak. Sidik jari yang nggak pernah ditemukan. Terus apa lagi?" Visakha menggebrak meja di depannya. "Fokus aja sama kasus terakhir. Aku nemuin barang bukti yang cukup kuat." Kali ini semua orang memandang Visakha dengan sorot penasaran. Ekspresi wajah mereka sangat beragam. Ada yang seolah mengatakan bahwa Visakha adalah cewek gila, terlalu pemberani, hingga konyol. Visakha memang sudah terkenal dengan gaya penyelidikannya yang bar-bar. Dia juga bukan tipe gadis lemah lembut yang menawan. Meski begitu, track record seorang Visakha tidak bisa diragukan lagi. "Apa?" "Apa yang kamu temukan?" "Jangan bercanda." "Kasih tahu kita." Visakha menyeringai. Dia mengambil sesuatu dari saku celananya dan dengan tenang maju ke depan untuk menurunkan layar. Visakha hendak memutar rekaman CCTV yang terlewat dari proses penyelidikan. Itu adalah sebuah rekaman dari bagian depan sepeda listrik yang jatuh tak jauh dari lokasi pembuangan mayat pada pembunuhan terakhir. Setelah semuanya siap, Visakha menatap rekan-rekannya tajam. "Cuma kalian yang ada di tempat ini yang aku kasih tahu. Jadi, kalau sampai bocor ke luar, kita bisa saling mencurigai." Visakha memencet tombol ON, dan seketika, layar itu menampilkan sebuah video rekaman. Tampak seseorang berpakaian hitam terlihat punggungnya. Suasana malam hari yang gelap membuatnya tampak samar. Dia sedang menyeret bungkusan kantung jenazah. Begitu pelan dan tenang, menuju sebuah monumen yang baru selesai dibangun setahun lalu. Dari kejauhan, dia mengambil mayat dari dalam kantung, kemudian menggantungnya di puncak monumen tanpa kesulitan. "Kita bisa tahu siapa pelakunya kalau dia berbalik." Seseorang memecah hening. "Tapi kalau wajahnya ketutupan, jadi sia-sia." Bima menimpali. "Tapi seenggaknya kita punya gambaran. Masih ada harapan." Mereka menunggu penuh antisipasi. Saat pelaku itu kemudian berbalik, kesiap napas terdengar, penuh antisipasi. Pelaku memakai sebuah topeng yang menutupi sebagian besar wajahnya. Kemudian, seolah semesta sedang berkonspirasi, video itu mati. Semua orang yang berada di sana menghela napas seolah frustrasi. Rasanya seperti sedang menonton film horor, tetapi listrik tiba-tiba mati saat hantu muncul hendak membunuh tokoh utama. "Kehabisan baterai." Visakha menyeringai. Dia terkekeh kecil saat melihat wajah-wajah frustrasi yang beragam. "Seenggaknya kita punya ciri-ciri perawakan Moon Hunter. Punggung anak cowok meski keliatan sama, tapi aku bisa tahu bedanya." Visakha terkekeh tanpa paham situasi. Jiwa fangirl-nya seolah terpanggil. "Aku bahkan bisa ngenalin dewa Asoka cuma lihat punggungnya aja." Dewa Asoka itu aktor yang sedang naik daun. Usianya masih dua puluh satu tahun, tetapi dia sudah muncul di banyak judul drama dengan kemampuan akting yang mengagumkan layaknya dewa. Visakha menyukainya sampai setengah gila. "Serius, Visakha." Cikal memperingati. Raut wajah cowok seolah mengatakan bahwa dia ingin menggetok kepala Visakha pakai penggaris. Visakha mengangkat jempolnya dan tersenyum manis pada Cikal. "Kita bisa mulai tanya ke orang-orang yang tinggal di dekat sana. Kalau perlu, kita bisa mampir ke pengrajin topeng buat bertanya kira-kira siapa yang beli topeng dengan motif yang sama. Itu bukan jenis topeng yang biasa dijual sama abang-abang tukang mainan yang biasa nongkrong di tempat hajatan." Khas seorang Visakha. Ada saja hal-hal absurd yang menyelingi kalimatnya. "Aku bakal bawa videonya untuk dianalisis lebih lanjut." Cikal memutuskan kemudian. Dia mendekati Visakha dan mengulurkan tangan, meminta flash disk. "Setelah itu, kita lanjutkan penyelidikan. Fokus ke lima korban terakhir dulu." Visakha salah paham dan menggenggam tangan Cikal erat-erat. Dia mengayunkannya ke depan dan ke belakang seperti bocah kasmaran yang baru pertama kali dipegang tangannya oleh lawan jenis. Cikal sontak menatap Visakha dengan sebelah alis terangkat. "Kamu ngapain?" Visakha tersenyum bodoh. "Pegang tangan kamu lah. Bukannya kita berdua mau nyelidikin ke sekitaran TKP langsung?" Cikal menyentak tangan Visakha hingga terlepas. Tatapan cowok itu tampak datar. "Aku minta flash disknya buat dianalisis." Semua orang yang berada di sana menahan tawa. Diam-diam mengatai Visakha tanpa suara. Tingkah Visakha yang terlalu blak-blakan dan Cikal yang tidak peka membuat hiburan tersendiri. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau Visakha menyukai Cikal, tetapi Cikal masa bodoh dan hanya melihat gadis itu sebagai rekan. Bagi Cikal, menangkap pembunuh lebih penting ketimbang menangkap istri. Tak heran jika cowok itu jomblo sejak lahir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN