Ruangan itu dipenuhi meja-meja yang diatasnya terdapat banyak tumpukan berkas dan kertas-kertas berserakan. Ada sebuah meja panjang yang seluruh bagiannya dihuni oleh detektif-detektif terpilih untuk menyelesaikan kasus Moon Hunter. Mereka baru selesai melakukan patroli dan kembali ke kantor untuk rapat. Gara-gara kasus yang tak kunjung terpecahkan, mereka terpaksa bergadang sepanjang hari tanpa libur. Kantung-kantung mata berwarna kehitaman terlihat jelas, membuat mereka tampak seperti zombie.
Cikal berdiri di depan sebuah white board yang dipenuhi dengan coretan dan foto korban pembunuhan Moon Hunter. Ada juga sebuah bagan yang menjelaskan alur pembunuhan Moon Hunter. Di sebelahnya lagi, ada papan berisi data mengenai lokasi-lokasi Moon Hunter membuang para korban. Ada banyak titik-titik yang tersebar, menandakan berapa banyak orang yang menjadi korban Moon Hunter hingga saat ini.
Seorang pembunuh berantai sangat suka memberi petunjuk dan teka-teki. Kebanyakan dari mereka adalah orang cerdas yang ingin menguji orang lain lewat cara paling ekstrem, yaitu pembunuhan yang meninggalkan petunjuk. Begitu pula dengan Moon Hunter. Cikal dibantu tim-nya berhasil membuat sebuah pola dengan mengumpulkan semua kasus Moon Hunter sejak lima tahun belakangan.
Pembunuhan bilangan prima. Sejak lima tahun terakhir, Moon Hunter selalu membunuh korbannya pada tanggal-tanggal yang sesuai dengan bilangan prima. Dua, tiga, lima, tujuh, sebelas, dua puluh sembilan hingga tiga puluh satu. Memang tidak setiap tanggal prima dia membunuh, tetapi korban selalu terbunuh pada tanggal-tanggal itu. Data dari tim forensik cukup valid untuk dijadikan barang bukti. Sementara, lokasi pembuangan mayat terlihat acak, dan belum ada yang mampu memecahkan polanya.
Cikal memutar spidol di tangannya, pertanda bahwa dia sedang berpikir serius. Tatapan pria itu lurus pada titik-titik lokasi yang tersebar di peta. Sekarang sudah tanggal dua puluh empat. Cikal menduga bahwa Moon Hunter akan membuang mayatnya pada tanggal dua puluh sembilan nanti. Hanya saja, Cikal tidak tahu di mana lokasi persisnya. Dia masih menebak-nembak. Cikal juga mungkin saja salah. Moon Hunter bisa membunuh pada tanggal-tanggal prima yang lain.
"Mungkin Moon Hunter cuma kebetulan lagi dinas di dekat-dekat sana, makanya dia asal buang mayat?" Visakha memecah hening yang terjadi sejak tiga puluh menit lalu. Semua orang yang mengelilingi meja ini, tidak ada yang berani mengusik Cikal yang sedang dalam mode berpikir. Hanya Visakha orangnya. Si biang kerok yang suka mencari masalah. "Moon Hunter masih belum pro kalau soal urusan nyari lokasi, jadi, abaikan aja dan patroli di tempat-tempat sepi."
Cikal refleks melempar spidol ke arah Visakha. Tatapan cowok itu begitu dingin dan kejam. Seluruh benang yang mulai tersusun rapi di otak Cikal mendadak buyar kembali, menjadi bola kusut. Jika bukan karena Visakha pernah memecahkan teka-teki pembunuhan di Andong yang hampir menemukan jalan buntu, maka Cikal tak akan sudi menerima cewek itu berada dalam timnya. Celotehan Visakha sangat mengganggu. Dan fakta bahwa mereka sudah berteman sejak masuk akademi kepolisian membuat Cikal mempertanyakan dirinya sendiri. Bisa-bisanya, dia tahan berteman dengan cewek sinting itu?
"Waktu kita tinggal lima hari. Jangan main-main. Seenggaknya kita bisa mempersempit pencarian jika berhasil memecahkan titik-titik lokasi ini." Cikal berujar tegas, begitu pula tatapan matanya yang tajam dan dalam.
Cikal adalah definisi seorang polisi yang menjadi kebanggaan kepolisian. Maksudnya, dia sangat sempurna untuk menjadi wajah yang ditempel pada banner-banner selamat datang. Cikal punya postur tubuh tinggi dan gagah, bentuk wajah yang kotak nan tegas. Dan, yang paling penting, dia punya sejenis tatapan yang mampu membuat tersangka mendadak ciut. Sesuatu yang mengintimidasi dan membuat bulu kuduk mendadak berdiri.
Bima mengangkat tangan, menarik perhatian Cikal. "Apa aku boleh kasih pendapat?"
Cikal mengangguk singkat. "Ya, silahkan."
"Titik-titik abstrak itu, bakal jadi sebuah pola tergantung cara kita menarik garis." Bima menunjuk dengan ujung pulpennya. "Dengan mengabaikan beberapa titik yang agak jauh, kita bisa bentuk suatu pola. Contohnya kayak itu. Dari kecamatan Mamede, Wakatobi, Binu, Mena, sama Birik. Kalau ditarik garis bisa bentuk rasi bintang Aquarius."
"Uwah Daebak." Visakha bertepuk tangan sekali. Dia menatap Bima dengan sorot mata berbinar-binar. "Ternyata ada gunanya kamu belajar rasi bintang."
Bima tersenyum dan menepuk dadanya merasa hebat. Sementara itu, Cikal mencerna kalimat Bima di kepalanya. Bima bisa jadi benar, tetapi bisa juga salah. Sebab, dari dua puluh lima titik yang tersebar, ada banyak pola dan kemungkinan yang bisa terjadi. Dia tak pernah tahu pola apa yang akan dibentuk Moon Hunter pada pembunuhan kali ini. Namun, tetap saja, setidaknya mereka harus berusaha untuk membuat sebuah kemungkinan.
"Gimana kalau diurutin tanggal kejadiannya aja? Jangan dijadiin satu. Misalnya per-tahun 2031 sampe 2032. Itu ada sekitar lima kasus, kan. Coba aja." Visakha memberi saran. Kali ini sebuah saran yang cukup menarik untuk dipertimbangkan. Wajah cewek itu selalu santai tetapi ucapannya serius. "Nanti kalau diurutin pasti bakal ketemu polanya."
Cikal mengangguk setuju. "Oke. Kamu sama Bima yang bertugas buat nyari polanya. Pastikan kalian juga cari tahu maknanya, juga kemungkinan bentuk pola selanjutnya." Cikal kemudian melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tepat pukul dua belas malam. "Oke, hari ini kita sudahi dulu rapatnya. Besok kita ketemu jam delapan pagi."
Sebagian besar dari mereka hanya bisa mendesah pasrah, kemudian menutup bukunya masing-masing dan berdiri gontai. Satu bulan belakangan, mereka selalu lembur dan tidak memiliki hari libur. Publik memaksa mereka untuk segera memecahkan kasus dan menangkap Moon Hunter. Para petinggi kepolisian juga sudah nyaris putus asa. Mereka mempertaruhkan jabatannya untuk mengambil kembali kepercayaan publik. Maka dari itu, mulai hari ini, jam malam diberlakukan dan petugas patroli berkeliling untuk menjaga keamanan.
Tanggal dua puluh sembilan Februari menjadi sebuah penentuan. Jika mereka tak bisa menemukan Moon Hunter, maka kewibawaan polisi akan berada di ujung tanduk. Orang-orang akan mengadakan mosi tidak percaya dan membahayakan tubuh kepolisian beserta keselamatan warga sendiri.
****
Ada sebuah kastil mewah yang letaknya berdekatan dengan hutan belantara. Untuk menuju ke sana, terdapat jalan beraspal membelah pepohonan rimbun, yang hanya muat dilewati sebuah mobil saja. Di malam hari, pencahayaan satu-satunya hanya berasal dari dalam kastil. Suara-suara kicauan burung hantu dan kelelawar yang keluar mencari buruan terdengar jelas, membuat merinding setiap orang yang datang untuk kali pertama.
Kastil itu sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu, sebelum kota Jayamena terbentuk. Berbagai rumor beredar di pedesaan tak jauh dari lokasi. Bahwa seperti dongeng Si Cantik dan Si Buruk Rupa, kastil itu juga dihuni oleh sesosok makhluk mistis yang memiliki rupa jelek. Belasan tahun terakhir, mereka sering melihat mobil mewah keluar masuk jalanan itu. Cerita mulai beredar bahwa orang-orang kaya rurin mengunjungi makhluk itu untuk membuat mereka semakin kaya.
Nyatanya, mereka hanya tidak tahu jika seseorang dikurung di sana sejak kecil. Seorang anak laki-laki yang menghabiskan hidupnya tanpa tahu kerasnya dunia luar. Hidupnya dipagari, gerak-gerikanya dibatasi. Makanan yang masuk ke mulutnya haruslah sesuatu yang bergizi. Dia tidak boleh naik pohon, tidak pula boleh menggunakan pisau. Seluruh hidupnya terkontrol dengan rapi dan diawasi ketat. Tiap detik di hidupnya selalu dibayangi marabahaya.
Barulah, sepuluh tahun belakangan, anak laki-laki itu berhasil keluar dari kastil setelah kedua orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan tunggal. Untuk pertama kali, dia menginjakkan kaki dan melihat dunia luar yang kejam. Untuk pertama kali, dia berbicara dengan orang selain pelayan, dokter, perawat dan tukang kebun. Ya, meski seluruh gerak-geriknya masih diawasi oleh pengawal.
Namanya Yohan Argantara. Usianya kini sudah tiga puluh tahun. Dia adalah lelaki dewasa yang tampan, cerdas dan memesona. Sekarang, dia adalah pewaris Argantara Group satu-satunya. Yohan mengambil alih perusahaan lima tahun lalu, setelah dia menyelesaikan studi S2-nya di sebuah universitas terkemuka. Kehadirannya di perusahaan seperti pangeran yang datang dari negeri dongeng. Mereka tahu jika keluarga Argantara mempunyai seorang pewaris. Namun, mereka baru bisa melihat Yohan setelah dua puluh lima tahun Yohan hidup.
Orang-orang memujanya diam-diam, tetapi tak ada yang cukup berani mendekat karena aura dingin di sekelilingnya. Yohan tipe orang bertangan dingin. Argantara Group mencapai puncak kejayaannya di tangan Yohan. Dia suka menebar senyum, terlihat ramah dan sopan. Namun, sekali lagi, dia menciptakan dinding pembatas yang tak mungkin dilewati orang asing. Tentu saja, karena Yohan satu-satunya yang tersisa, hidupnya dibayangi oleh musuh.
Yohan juga masih tinggal di kastil mewah itu, meski tidak setiap hari bermalam di sana.
Pria itu membuka pintu kastilnya hingga menimbulkan suara berderit. Seorang pelayan setia berusia setengah abad mengikuti dari belakang. Ruang tamu itu megah, dipenuhi lampu-lampu kristal yang tampak mahal. Dinding-dindingnya dicat cokelat lembut, dipenuhi lukisan-lukisan karya pelukis terkenal dengan harga fantastis. Namun, di antara semua kemewahannya, aura dingin itu mendominasi.
"Tuan Muda Yohan, apakah ada sesuatu yang ingin Anda makan malam ini?" Pelayan itu bertanya, memecah keheningan malam. Dia menaruh satu tangannya di depan d**a dengan hormat.
Yohan, si tuan penghuni kastil itu berbalik dan memasang senyum tipis. "Aku bisa makan apapun, Roy. Asal bukan ikan mentah."
Roy mengangguk. "Baik, Tuan Muda. Akan segera saya persiapkan."
Perlahan, Yohan berjalan menaiki anak tangga. Dia melonggarkan ikatan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya. Mendadak Yohan merasa lelah berpura-pura di hadapan Roy. Haruskah Yohan membunuh pria tua itu malam ini juga?