◍•◍•✿•◍•◍❤◍•◍•✿•◍•◍
Maisha : Aku perlu waktu, dan, ya aku tunggu buktinya.
▪️▪️▪️
Siang ini seperti biasa, Maisha terpaku pada layar laptop untuk membuat diagram omzet bisnisnya sambil menemani Khai yang hampir terlelap di pangkuannya. Sudah hampir seminggu berlalu sejak lamaran tak langsung yang Ferdian utarakan pada Maisha malam itu, hingga kini tak sekalipun mereka bertukar kabar.
Maisha pun enggan memulai untuk menghubungi terlebih dahulu, hingga akhirnya ponselnya bergetar berkedip-kedip tanda panggilan. Layarnya menampilkan nama lelaki yang baru saja ia pikirkan. Ferdian.
“Assalamualaikum Rum."
"Iyaa wa'alaikumsalam Fer." Maisha menegakkan posisi duduknya.
"Besok siang abis jumatan aku mau balik ke Malang, hmmm.... mau ikut?” tanya Ferdi di seberang sana.
“Hmm... makasih tawarannya, tapi kayaknya nggak dulu Fer, salam aja sama keluarga disana.”
“Oke, pasti aku sampein salamnya, mau nitip-nitip mungkin?” tanya Ferdi lagi.
“Yah? sebenernya belum kepikiran Fer, nanti aja deh kalo inget aku chat yah.” Maisha memaksakan senyum.
“Jmm... yaudah deh kalo gitu, by the way Khai mana kok sepi?"
"Ada, lagi tiduran di sebelahku, ngantuk dia." Maisha melirik ke arah putranya yang hampir memejamkan mata.
"Oh okey kalo gitu, yaudah aku tutup dulu kalo gitu yaa Rum, Assalamualaikum.”
“Iya Fer, Wa’alaikumsalam.”
Maisha mengakhiri panggilan dari Ferdian dengan sejuta tanya di kepalanya. ‘kenapa mendadak banget sih Ferdi ngajak ke Malang’ monolognya dalam hati.
▪️▪️▪️
Ditempat lain Ferdian sudah memantapkan hatinya untuk langsung menemui kedua orang tua Maisha begitu sampainya di Malang. Dan sekarang ia sudah ada diruang tamu rumah Maisha, masih mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk disampaikan pada lelaki paruh baya di hadapannya.
“Jadi nak Ferdian ini temannya Maisha sejak SMP?” tanya pak Hilman, ayah Maisha.
“Iya pak, kami sudah saling mengenal sejak SMP dan maksud kedatangannya saya kesini unt—” Ferdi mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Nak Ferdian, diminum dulu tehnya.” tiba-tiba ibu Maisha datang dengan nampan berisi teh hangat dan bolu kukus untuk dihidangkan.
“Iya bu, terima kasih banyak.” ucap Ferdian langsung meminum teh nya berharap bisa meluruhkan kegugupan yang mendadak mendera.
“Silakan dilanjutkan nak Fer yang tadi, maksud kedatangan nak Ferdi menemui kami.” Ibu Maisha bertanya dengan senyum ramahnya.
“Saya punya niatan baik terhadap Maisha bu, pak.” Ferdian dengan berat menelan salivanya.
“Saya memohon restu untuk meminang putri bapak dan ibu, dan secepatnya saya akan membawa kedua orang tua saya kesini.” lanjutnya mantap.
Ayah dan ibu Maisha tampak terkejut bersamaan dan saling menatap satu sama lain. Pak Hilman— ayah Maisha bahkan masih setengah menganga mencoba mencerna maksud perkataan Ferdi barusan. Lelaki 60 tahun yang masih tampak bugar itu menaikkan kacamata bacanya dan bersandar pada tempat duduknya.
“Maisha sudah tau tentang ini?” tanyanya ragu.
“Saya sudah memberitahu Rumaisha tentang niatan saya ini pak, namun dia belum memberi jawaban hingga sekarang. Karena itu saya kesini untuk membuktikan keseriusan saya.” lanjut Ferdian hati-hati.
“Nak Ferdian sudah tau status Maisha sekarang?” tanya pak Hilman lagi
“Sudah pak, dan saya menerima Maisha apa adanya.”
“Kalau nak Ferdian sendiri gimana statusnya, saya tidak ingin putri saya salah pilih untuk kedua kalinya.” tegas Ayahml Maisha yang langsung disambut tatapan sinis istrinya.
“Saya duda pak, sudah pernah menikah sebelumnya pak, dua tahun yang lalu istri dan putra saya meninggal karena kecelakaan.” lirih Ferdian tak mampu menatap sepasang suami istri didepannya.
“Innalilahi.....”sahut ibu Maisha dengan mengusap dadanya.
“Ya sudah kalo gitu buk, hubungi Maisha sekarang, suruh pulang secepatnya.” titah Ayah Maisha dengan ekspresi wajahnya yang masih datar.
Seketika itu pula jantung Ferdian makin bertalu-talu, menerka-nerka kelanjutan perbincangan mereka akan dibawa ke arah mana.
“Nak Fer, sebenarnya sudah ada beberapa kali laki-laki yang kemari dengan niat yang sama, bahkan, kami pun penah menjodohkan Maisha dengan putra rekan-rekan kami. Tapi semuanya langsung ditolak Maisha. Anu... jadi...” kalimat ibu Maisha terpotong karena ia mencoba menyeka ujung matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Semua keputusan ada pada Maisha, karena dia yang menjalani, kami hanya bisa merestui jika memang keputusannya sudah final.” lanjut ibunya.
“Iya bu, saya bersedia menerima semua keputusan dari Maisha.” jawab Ferdi yakin
“Ya sudah sini ibu pinjam ponselnya ya nak Ferdi bisa? tolong telponin Maisha yang ada gambar-gambar videonya itu lho, ibu bisa tau jawaban anak itu kalau melihat tatapan matanya secara langsung.”
“Video call maksudnya bu?” tebak Ferdian
“Iya yang itu maksudnya.”jawab ibu Maisha
Dengan cepat Ferdian mengeluarkan ponselnya dari saku, dengan gesit jemarinya mencari nomor Maisha dan melakukan panggilan video pada nomor Maisha, dan sebelum tersambung ia langsung menyerahkannya pada Bu Dewi, ibu Maisha.
“Saya bawa kekamar dulu ya nak Fer, silahkan lanjut ngobrolnya sama bapak dulu.” pamit ibu Maisha dan bergegas masuk ke biliknya.
Ferdian mengangguk sopan dan kembali menyantap hidangan yang disediakan didepannya tadi. Sesekali ia mengedarkan pandangannya pada bingkai-bingkai foto diruangan itu, terdapat beberapa foto masa kecil Maisha yang tergantung disana.
Foto keempat saudari Maisha dengan salah satu yang paling besar menggendong balita sekitar satu tahunan, ‘pasti itu Maisha kecil, senyumnya sama’ batin Ferdi. Dikeluarga ini Maisha jadi ada bungsu dari lima bersaudara, yang semuanya perempuan, dan hanya Maisha yang jarak usianya terpaut jauh dari kakak-kakaknya.
Tak berapa lama, ibu Maisha datang dengan secercah senyum diwajahnya, setelah mengembalikan ponsel Ferdian, lantas ia duduk disebelah suaminya. Sekilas ia melirik ke arah Ferdian, membuat pria manis itu terkesiap seketika.
“Gimana bu?”
“Alhamdulillah pak.” jawab singkat ibu Maisha hampir terisak, suaminya langsung mengerti dan mengangguk pelan.
Ferdian langsung bisa mengartikan jawaban Maisha dengan melihat bahasa tubuh kedua orang tua Maisha. Ia hanya bisa tersenyum lega dan menegakkan posisi duduknya.
“Secepatnya, ajak orang tua nak Ferdian kesini secara resmi, Maisha sudah ibu minta pulang besok pagi.” lanjut ibu Maisha
“Pasti bu, besok malam saya akan bawa orang tua saya kesini.” jawab pria itu bahagia dengan dengan senyum yang tak pernah lepas.
Mereka bertiga melanjutkan pembicaraan santainya hingga hampir maghrib, sampai akhirnya Ferdi berpamitan karena hendak menghadiri syukuran rumah baru kakaknya. Tak lupa orang tua Maisha membawakannya sekantong penuh strawberry segar hasil panen mereka tadi pagi.
▪️▪️▪️
Selepas ashar Maisha dikejutkan dengan panggilan video dari nomor Ferdian, dengan tergesa ia pakai kerudung instannya sebelum mengangkat panggilan tersebut.
“Assalamualaikum, iya Fer.” jawabnya tanpa melihat layar ponselnya.
“Maisha....” jawab sang penelpon, yang tak lain adalah ibunya sendiri.
Seketika itu Maisha menoleh dan mendapati wajah perempuan paruh baya yang melahirkannya itu dengan raut wajah yang tak bisa diartikan.
“Ibuukk... kok?!lho kok bisa ponselnya Ferdian ibu yang pegang sih?” teriak Maisha membolakan matanya tak percaya.
“Ibu pinjem ponselnya nak Ferdi, ibu minta tolong dia telponin kamu. Tau sendirikan ibu gak bisa caranya telpon video gini.” jelas ibunya.
“Ferdian disana? ngapain?” racau Maisha masih kebingungan.
“Iya, dia didepan, bicara sama bapakmu.” jawab ibunya menahan senyum “Mai, nak Ferdian kesini hendak melamar kamu, dia kelihatannya baik nduk, kalian udah lama kenal katanya ya?” lanjutnya.
“Hah? ap- apa buk?” singkat Maisha.
Ia masih setengah percaya dengan penjelasan ibunya diseberang sana. Ferdian langsung mendatangi orang tuanya, inikah bukti keseriusan Ferdi tempo hari? hatinya masih menerka-nerka.
“Sebelum dia ajak orang tuanya secara resmi, ibu mau tau dulu jawaban kamu nduk? Ibu gak mau perjuangan dia membawa orang tuanya sia-sia, kalo ujung-ujungnya kamu nolak juga kayak yang lain-lain.” tegas ibunya
“Anu bu, itu... Maisha, gimana yaa.” Maisha terlihat salah tingkah sendiri dengan rentetan pertanyaan sang ibu.
“Nduk kalo bicara lihat ibu sini toh, nyari apa kamu nunduk-nunduk gitu.” titah ibunya dan Maisha langsung mengangkat wajahnya menatap perempuan yang diidolakannya itu.
“Maisha udah istikharah buk, anu itu bu.. itu...” Maisha masih tergagap berbicara dengan ibunya meskipun hanya dari video call.
“Trus piye (*gimana)?? Buruan ini ponselnya nak Ferdian lowbath loooh.” kilah sang ibu, padahal saat itu dia sudah mengecek ponsel Ferdian dan baterainya masih full.
Sesaat setelah itu, Maisha hanya mengangguk pelan, dan ibunya sudah tau segalanya. Yaa, perempuan paruh baya itu tentu sangat tau anak-anaknya hanya dengan melihat sorot matanya saja.
“Alhamdulillah nduk, ya udah ibu kedepan dulu ya, takut mereka nungguin lama. Kamu siap-siap pulang, besok naik kereta paling pagi ya.” perintah ibunya tak mau dibantah.
“Ngapain bu???” sanggah Maisha
“Ibu mau nyuruh Ferdian ajak orang tuanya kesini.”
“Ibuuukkkk... cepet banget?” pekik Maisha.
“Gak inget umur kamu? Mau nunggu apa lagi nduk? udah pokoknya besok jam sepuluh udah kamu sama cucu kesayangan ibu harus ada dirumah.” lanjut ibunya yang langsung mematikan panggilan.
Maisha masih terbengong-bengong dengan ucapan ibunya, bahkan ponselnya masih terangkat didepannya meskipun ibunya sudah mematikan panggilan, rasanya baru beberapa hari yang lalu ia dilamar secara tak langsung oleh cinta pertamanya, dan hari ini ternyata Ferdian dengan tegas berani menemui orang tuanya langsung sendirian.
Ia hanya tak menyangkan secepat ini Ferdian membuktikan keseriusan ucapannya. Setaunya, Ferdian yang dulu adalah laki-laki pendiam dan sangat hati-hati dalam mengambil keputusan.
Ia mengatur nafasnya sesaat sebelum akhirnya menghempaskan tubuhnya dikasur dan menatap langit-langit kamarnya dan bertanya-tanya akan seperti apakah pertemuannya dengan Ferdi besok.
.
Bersambung ( ˘ ³˘)♥